Thursday, June 23, 2011

Hambatan dalam Efektifitas Konseling atau Terapi Multikultural


Pengantar
Konseling dan psikoterapi dapat dipandang sah sebagai suatu proses interaksi interpersonal, komunikasi, dan pengaruh sosial, jika terjadi terapi yang efektif, maka antara  terapis dan klien harus dapat mengirim dan menerima, baik pesan verbal dan nonverbal tepat dan akurat. Sementara kegagalan dalam komunikasi sering terjadi antar anggota yang berasal dari berbagai budaya yang sama, masalah menjadi diperburuk antara orang-orang dari latar belakang ras atau etnis yang berbeda. Banyak profesional kesehatan mental telah mencatat bahwa faktor ras atau etnis dapat bertindak sebagai halangan untuk terapi dengan menurunkan pengaruh sosial (Locke, 1998; Paniagua, 1998; DW Sue, 2001; Vontress, 1981). Pemahaman keliru yang timbul dari variasi budaya dalam komunikasi dapat mengakibatkan pemindahtanganan atau ketidakmampuan untuk mengembangkan kepercayaan dan hubungan baik. Benturan budaya sering terjadi antara nilai konseling / psikoterapi dan nilai-nilai kelompok budaya yang berbeda.
Pada titik ini, kita beralih kepada analisis yang jauh lebih formal tentang bagaimana nilai-nilai ini dapat mendistorsi komunikasi atau mempengaruhi hubungan terapeutik. Kami membahas implikasi untuk terapi bagaimana perbedaan yang mencolok dari bahasa, budaya, dan variabel kelas dapat digunakan untuk menentukan intervensi yang tepat. Seperti analisis komparatif sangat membantu dalam menyediakan sarana untuk memeriksa kelayakan pendekatan konseling.  Pendekatan ini bukan hanya untuk klien dengan  budaya yang  berbeda tetapi juga untuk populasi khusus lainnya,  (wanita, gay / lesbian, secara fisik cacat, dan orang tua).

Karakteristik Umum Konseling / Terapi
Konseling dan psikoterapi dipengaruhi oleh kerangka sosial budaya dari mana ia muncul. Di Amerika Serikat, pada  budaya kulit putih Eropa-Amerika, masyarakatnya memegang nilai-nilai tertentu yang tercermin dalam proses terapeutik. Semua teori konseling dan psikoterapi dipengaruhi oleh asumsi yang bersifat teoretisi mengenai tujuan dari  terapi, metodologi yang digunakan untuk  perubah, dan definisi kesehatan dan penyakit mental. Konseling dan psikoterapi secara tradisional telah dikonseptualisasikan dalam hal individualistik Barat (Atkinson, Morten, et al, 1998;. Ivey, Ivey, Simek-Morgan, 1997). Apakah teori tertentu seperti psikodinamik, eksistensial-humanistik, atau kognitif-perilaku dalam orientasi, dan sejumlah spesialis multikultural (Corey, 2001;. Ivey et al, 1997) menunjukkan bahwa mereka berbagi komponen umum dari kebudayaan, nilai dan keyakinan. Katz (1985) menggambarkan komponen-komponen budaya  kulit putih.
            Perlu diketahui bersama bahwa salah satu hal penting dalam sebuah konseling adalah dengan memahami pribadi baik itu dari konselor pada klien maupun sebaliknya. Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan membawa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangannya. Klien  selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan  sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan terjadi bias pada nilai - nilai yang diyakini oleh klien ini, dan mungkin bertolak belakang dengan nilai  nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicarakan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri. Maka harus dipertimbangkan apakah ada alasan-alasan sosial politik, budaya, atau biologis untuk gejalanya.
      Secara ringkas, karakteristik umum dari konseling / terapi dapat dilihat dalam tiga kategori utama:
1.      Terikat nilai-nilai budaya: individu berpusat, verbal / emosional / ekspresif perilaku, pola komunikasi dari klien ke konselor, keterbukaan dan keintiman, pendekatan analitis / linier / verbal (sebab-akibat), dan jelas perbedaan antara mental dan kesejahteraan fisik.
2.      Terikat nilai Kelas: ketaatan pada jadwal waktu (50 menit, sekali-atau dua kali seminggu-pertemuan), pendekatan ambigu atau tidak terstruktur masalah, dan mencari tujuan jangka panjang atau solusi
3.      Variabel Bahasa: penggunaan bahasa Inggris standar dan penekanan komunikasi non-verbal.
Dalam  memahami konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas  dari istilah konseling dan budaya, karena keduanya merupakan suatu hal yang saling berhubungan. Konseling disini terdiri dari dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup yang berbeda. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat  mendasar, bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai,  atau perasaan- perasaan negatif lainnya. Hal itu sifatnya adalah alamiah atau manusiawi, sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang  selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling,  maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.

Hambatan Dalam Proses Konseling
Saat ini pusat-pusat layananan konseling memiliki tingkat pemanfaatan yang rendah, ini dikarenakan:
1.    Munculnya stereotip di beberapa kalangan bahwa  pusat konseling tidak peduli tentang siswa dengan budaya yang beragam, yang tidak memiliki pemahaman tentang gaya hidup dan dinilai tidak memiliki pengalaman, dan tidak ada upaya mendorong ke arah partisipasi yang asli dan tulus. Benar atau salah, banyak siswa mengasumsikan bahwa konselor tidak akan mampu berhubungan dengan pengalaman kelompok minoritas mahasiswa dan, memang, bahwa representasi minoritas menjadi rendah akibat kebijakan rasis dan praktik yang mendiskriminasikan mempekerjakan staf minoritas.
2.    Adanya pemahaman dalam diri konselor bahwa dirinya hanyalah konselor tradisional, yang melayani klien dengan cara one- on – one, dan klienlah yang harus datang menemui konselor. Seharusnya daripada konselor menuntut bahwa klien harus beradaptasi dengan budaya konselor, mungkin lebih baik bagi konselor untuk menyesuaikan dan bekerja di dalam budaya klien. Dengan kata lain, peran alternatif ini melibatkan konselor lebih aktif dalam pengalaman hidup klien dari apa yang kita secara tradisional telah dilatih untuk melakukannya. Ketika konselor keluar dari kantor mereka ke dalam lingkungan klien mereka,disini konselor menunjukkan komitmen dan kepentingan individu. Menurut pandangan nontradisional, konseling tidak hanya duduk dan berbicara dengan klien, tetapi mungkin melibatkan diri dalam kegiatan dengan klien dalam lingkungan rumah nya, bermain biliard dengan klien, dan bekerja dalam situasi di mana individu minoritas ditemukan. Sayangnya, kebanyakan pelatihan dalam konseling dan psikologi klinis tidak memberikan pengalaman yang cukup dengan jenis program penjangkauan agen perubahan. Memang, konselor sering kecewa dengan klien pada pertemuan di tempat klien karena itu dianggap "tidak profesional" dan bukan bagian dari peran konselor.
3.    Seringkali, konselor lebih tertarik dengan permasalahan personal-emosional (kejiwaan) dibandingkan dengan masalah pendidikan atau kejuruan. Namun tampaknya banyak orang itu jauh lebih peduli dengan tujuan-tujuan mereka yaitu kejuruan, pendidikan, dan karier. Contoh kasus disini terjadi pada budaya Asia Amerika bahwa siswa hanya dituntut ketuntasan akademik tanpa memberikan gambaran tentang karir apa yang akan diambil ke depan oleh siswa tersebut. Sedangkan konselor cenderung untuk melihat konseling pendidikan-kejuruan kurang bergengsi, maka sangatlah mungkin bahwa ini dikomunikasikan kepada populasi siswa   
Berdasarkan contoh kasus pada seorang klien bernama Fernando dengan latar belakang budaya Amerika Selatan yang secara kasat mata terlihat mengalami gangguan kecemasan akut, terlihat disini konselor mengahadapi berbagai hambatan ketika proses konseling diantaranya:
1.      Bahasa yang digunakan antara konselor dengan klien berbeda
2.      Diikutsertakannya penerjemah dalam proses konseling yang apa pada awalnya bertujuan untuk membantu konselor memahami maksud klien, namun karena penerjemah itu bagian dari anggota keluarga klien,maka muncul bias.
3.      Saratnya nilai-nilai budaya keluarga pada diri klien
4.      Munculnya stereotip tentang beberapa hal terkait dengan pribadi klien yang dihubungkan dengan persepsi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda.
5.      Kesulitan pemberian alternatif penyelesaian masalah dikarenakan benturan nilai budaya
Profesi konselor telah dinilai gagal untuk memberikan kontribusi pada perbaikan keanekaragaman kelompok budaya di Amerika. Program pelatihan Psikologi telah mendapatkan gambaran yang keliru tentang klien minoritas, baik dalam literatur  popular dan literatur ilmiah. Gambaran yang tidak tepat itu antara lain adalah: (a) asumsi monokultur kesehatan mental, (b) stereotip negatif patologi untuk gaya hidup minoritas, dan (c) ketidak efektifan,  ketidak pantasan dimana pendekatan konseling dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang oleh minoritas.
Di daerah Amerika Serikat dan beberapa negara, konseling dan  psikoterapi digunakan terutama di dalam wilayah penduduk kelas menengah dan kelas atas . Hal ini mengakibatkan, keberagaman nilai-nilai dan karakteristik budaya klien tidak terlihat di kedua tujuan dan proses terapi. Schofield (1964) telah mencatat bahwa terapis cenderung lebih suka klien yang menunjukkan sindrom YAVIS (Young, Attractive, Verbal, Intelligent, and Succesfull) muda, menarik, verbal, cerdas, dan sukses. Pandangan ini cenderung mendiskriminasikan orang dari kelompok minoritas yang berbeda atau mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah. Hal ini telah membuat Sundberg (1981) menunjukkan diskriminasi bagi terapi QUOID (Quiet, Ugly, Old, Indigent, and Dissimilar Culturally): diam, jelek, tua, miskin, dan berbeda budaya.
Hambatan-hambatan yang menjadi tidak efetifnya proses konseling yang terkait dengan budaya klien dan konselor adalah:
1.      Nilai budaya. Seperti kasus Fernando di atas, dia berekasi paranoid dan penuh kecurigaan, disini seorang terapis profesional harus mempertimbangkan apakah ada alasan-alasan sosial politik, budaya, atau biologis untuk gejala- gejalanya yang melatar belakangi perilaku Fernando tersebut. Dalam beberapa studi ditemukan bahwa nilai budaya membuat seseorang lebih diterima untuk beberapa populasi, misalnya jika kita datang ke sebuah tempat dengan budaya yang berbeda namun kita tidak bisa menyesuaikan diri maka kita akan sulit diterima. American Psychiatric Association's Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders (2000) mengakui bahwa tidak semua budaya memiliki kesulitan dalam penyesuaiannya, hanya beberapa budaya saja yang memiliki kultur budaya sangat spesifik yang sulit disesuaikan dengan kultur pribadi seseorang. Sedangkan kebanyakan konselor hanya mempertimbangkan aspek-aspek internal dari klien saja tetapi mengabaikan beberapa aspek eksternal klien salah satunya nilai budaya yang dianut klien. Nilai budaya seseorang sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonominya, hal ini juga yang menjadi salah satu hambatan dalam proses konseling, dalam kasus diatas dicontohkan masalah transportasi. Klien yang status sosial ekonominya kurang dan dia tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan akan mengalami kesulitan dalam perjalanannya menuju tempat terapi yang berada di perkotaan. Sebagai konselor seharusnya dapat melakukan kunjungan rumah, namun banyak konselor yang merasa segan, takut dan tidak nyaman karena dalam pandangannya klienlah yang membutuhkan konselor sehingga dia yang harus datang pada konselor.
2.      Bahasa. Dengan begitu beragamnya bahasa, dianggap akan menyulitkan proses konseling, karena di dalamnya membutuhkan verbalisasi pikiran dan perasaan supaya klien dapat menerima bantuan yang diperlukan. Hal ini sejalan dengan teknik pendekatan psikoanalisis oleh Frued tentang terapi bicara, dimana klien harus mengungkapkan apa yang ada di pikirannya melalui bicara. Hal ini juga menjadi kendala jika klien tidak dapat berbahasa nasional, dan hanya menguasai bahasa daerahnya sendiri. Namun kendala ini dapat diminimalisir dengan adanya seorang penerjemah, namun diharapkan yang mampu memberikan terjemahan yang akurat, (tidak semua bahasa memiliki makna yang sama meskipun dari wilayah daerah yang sama) dan juga diharapkan proses wawacara yang dilakukan konselor tidak menyalahi aturan keluarga klien misalnya ada garis patriarkis yang sangat kuat pada budaya keluarga tersebut.
3.      Isu budaya. Dalam proses konseling, konselor harus berhati-hati dalam interaksinya dengan klien, karena banyak isu-isu budaya yang dijunjung tinggi oleh klien dan itu berpengaruh pada lingkungan klien. Sebagai contoh klien dengan budaya patriarkis yang sangat kuat, akan sangat  menyinggung atau membuat salah paham pada salah seorang kepala keluarga karena konselor hanya akrab dengan anaknya yang mampu berbahasa nasional. Ini dinilai ”lancang” atau “pamali” karena melangkahi otoritas kepala keluarga.
4.      Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan. (Pedersesn, Lonner dan Draguns dalam Carter, 1991).
5.      Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, dan variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai.
Karakteristik dari konseling dan psikoterapi, yang dapat memicu konflik bagi kelompok budaya yang beragam, telah diidentifikasi pada awal tahun 1970 (DW Sue & Sue D., 1972).
1.      Terapis cenderung menuntut klien mereka untuk menunjukkan sikap keterbukaan diri. Kebanyakan teori membantu menempatkan premi yang tinggi pada kemampuan  ekspresi verbal, emosional, dan perilaku. Hal  ini adalah sebagai salah satu tujuan akhir dari terapi yang dilakukan.
2.      Terapi secara tradisional cenderung  mendorong klien untuk berbicara tentang aspek yang paling intim dari kehidupan mereka. Individu yang gagal atau menolak pengungkapan diri dapat dilihat sebagai seorang yang kaku, defensif, atau dangkal.
3.      Situasi konseling atau terapi ini sering bersifat ambigu.  Dimana klien didorong untuk mendiskusikan masalah saat konselor mendengarkan dan merespon. Sementara situasi terapi terstruktur dan kekuatan klien menjadi peserta aktif utama. Dengan pola komunikasi umumnya dari klien dengan terapis.
4.      Faktor lain yang  diidentifikasi sebagai karakteristik umum dari terapi adalah (a) orientasi satu bahasa, (b) penekanan pada tujuan jangka panjang, (c) penekanan perbedaan antara mental dan kesejahteraan fisik dan (d)  hubungan sebab-akibat. Lagi pula umumnya sejak terapi terisolasi dari lingkungan dan kontak yang singkat dengan klien (50 menit, seminggu sekali), secara alamiah mengarah pada pencarian tujuan  dan solusi jangka panjang.
Faktor lain yang penting dan sering diabaikan dalam terapi adalah adanya asumsi bahwa perbedaan yang jelas dapat terjadi antara kesehatan mental, penyakit fisik, ini terjadi pada pandangan Barat, sedangkan pada beberapa budaya lain  tidak dapat dibedakan secara jelas antara keduanya. Pemisahan tersebut mungkin membingungkan untuk beberapa klien yang beragam budaya sehingga menyebabkan masalah dalam terapi.
Ornstein's (1972), mengidentifikasi fungsi ganda otak, yang memiliki implikasi menarik untuk kegiatan terapi. Belahan otak kiri terlibat dengan proses linier, rasional, dan kognitif, sedangkan bagian otak kanan cenderung intuitif, perasaan. Bila kedua belahan otak beroperasi dalam model saling interdependen, maka mereka memfasilitasi fungsi kita sebagai manusia. bahwa  /linier logis / analitik / mode verbal otak kiri mendominasi pemikiran Barat. Sedangkan / holistik / kreatif intuitif / fungsi nonverbal dari otak kanan telah diabaikan dalam budaya Barat dan dipandang sebagai modus kurang sah berekspresi.

Sumber Konflik dan kesalahan dalam Terapi
Untuk menggambarkan dengan jelas tiga variabel utama yang mempengaruhi terapi yang efektif,  serta kaitan antara ketiga variabel ini, sangat jelas bahwa tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, penggunaan bahasa nasional dalam konseling dan terapi pasti akan menguntungkan bagi klien yang lancar berbahasa Indonesia. Namun, nilai budaya dan kelas yang berbeda dapat  menyebabkan kesalahpahaman serius. Lebih jauh lagi, adalah fakta bahwa banyak klien dari anyak suku berasal dari latar belakang yang didominasi kelas bawah, sehingga benturan kelas dan budaya mungkin sekali terjadi.  Namun demikian, perbedaan ini adalah berharga dalam mengkonseptualisasikan hambatan dalam konseling atau terapi  multikultural yang efektif .

2 comments: