Pendahuluan
Sebelum anggota kelompok dapat berinteraksi lebih dalam pada proses kelompok, pemimpin kelompok dan semua anggota kelompok umumnya akan melalui tahap transisi/peralihan yang cukup menantang. Selama tahap ini, tugas pemimpin adalah membantu anggota kelompok untuk mempelajari cara bagaimana memulai bekerja pada masalah yang membawa mereka kedalam kelompok. Anggota kelompok memiliki tugas untuk memantau pemikiran, perasaan, reaksi, tindakan mereka sendiri, dan belajar untuk mengekspresikannya secara verbal. Pemimpin kelompok membantu anggota kelompok untuk dapat mengakui dan menerima rasa takut mereka serta perilaku membela diri; namun, pada saat yang sama, pemimpin kelompok menantang anggota kelompok untuk bekerja melalui kecemasan dan keengganan yang mungkin mereka akan alami selama proses trnsisi. Pemimpin kelompok perlu memahami dampak ketakutan di antara anggota dan mendorong mereka untuk mengeksplorasi semua keengganan mereka yang mungkin akan mereka alami selama berada didalam kelompok.
Pada tahap transisi ini, dalam kelompok muncul tanda-tanda umum yang menyertai antara lain kegelisahan/ketakutan, pembelaan diri, penolakan/perlawanan, berbagai masalah pengendalian konflik, konflik antar anggota, tantangan pada atau konflik dengan pemimpin, dan berbagai pola perilaku yang bermasalah. Jika anggota kelompok tidak bersedia mengungkapkan cara-cara di mana mereka berjuang dengan diri mereka sendiri dan orang lain, mereka tidak mampu bergerak maju dan mengembangkan kepercayaan yang diperlukan untuk masuk lebih dalam lagi pada proses kelompok. Perihal apa yang dilakukan oleh baik anggota dan pemimpin kelompok lakukan selama periode transisi, akan menentukan apakah kelompok dapat berkembang menjadi komunitas yang kohesif, yang memungkinkan anggota kelompok dapat terlibat dalam eksplorasi interpersonal yang bermakna. Kemampuan kelompok untuk maju bergantung pada kemampuan dan kemauan baik anggota kelompok dan pemimpin kelompok untuk bekerja dengan apapun yang akan dinyatakan atau diekspresikan di sini dan sekarang.
Tahap transisi dari suatu kelompok sangat menantang untuk pemimpin kelompok, dan itu adalah waktu yang sulit untuk anggota kelompok juga. Selama tahap ini, kelompok ini sering dijelaskan sebagai yang menjadi "resistif"/”memberi hambatan”. Jika Anda melihat suatu kelompok pada tahap ini, maka intervensi yang Anda berikan mungkin akan tercemar atau terpengaruhi oleh perspektif Anda. Untuk menghindari penumpukan pada apa yang tampak sebagai perilaku yang tidak kooperatif, anda perlu merubah sikap dan berusaha mencari tahu beberapa perilaku yang merupakan hasil dari ketakutan, kebingungan, dan perilaku kewaspadaan yang ada dalam anggota kelompok. Sebagai contoh, jika Anda memahami perilaku “melawan” dari anggota kelompok yang ditunjukkan sebagai gejala dari perasaan takut yang ia miliki, atau sikap diam yang ditunjukkan anggota lain yang merupakan indikasi kurangnya pengetahuan tentang cara terbaik untuk berpartisipasi dalam kelompok, Anda akan memiliki cara untuk bekerja dengan perilaku-perilaku tersebut. Dengan mengubah label 'melawan' untuk lebih menjelaskan/menggambarkan dan tidak menghakimi, ada kemungkinan bahwa Anda akan mengubah sikap Anda terhadap anggota yang terlihat tampak 'sulit'. Ketika Anda mengubah cara pandang Anda dalam melihat perilaku anggota kelompok yang muncul, hal tersebut akan membuat Anda lebih mudah untuk mengambil sikap pemahaman dan mendorong anggota kelompok untuk mengeksplorasi cara-cara mereka dalam menyikapi perilaku enggan dan perlindungan diri yang muncul.
Dalam membantu atau memfasilitasi kelompok untuk memenuhi tantangan yang akan dihadapi pada tahap transisi, sangat penting bahwa Anda memiliki pemahaman yang jelas tentang karakteristik dan dinamika kelompok selama tahap pembangunan kelompok. Akan menjadi bagian yang bermakna dalam reaksi Anda sendiri, terutama kecenderungan untuk memikul tanggung jawab total terhadap apa pun yang terjadi pada kelompok-atau meletakkan sepenuhnya tanggung jawab pada anggota kelompok. Dalam tahap transisi ini, fokus pembahasan terletak pada karakteristik kelompok selama tahap transisi dan saran-saran intervensi yang dapat dilakukan untuk menangani permasalahan transisi dalam kelompok.
Karakteristik- Karakteristik dalam tahap Transisi/peralihan
Kecemasan mendasari banyak perilaku anggota kelompok dalam tahap transisi. Untuk bergerak melalui tahap ini, anggota harus mampu menangani secara efektif dalam menghadapi pembelaan diri dan perlawanan, menghadapi ketakutan mereka, dan bekerja melalui konflik dan masalah-masalah pengendalian. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menciptakan iklim percaya yang mendorong anggota kelompok untuk mengambil resiko dengan menantang ketakutan mereka.
Beberapa karakteristik yang dapat kita kenali dalam tahap transisi ini adalah sebagai berikut
A. Kecemasan
Selama dalam tahap transisi, kecemasan merupakan hal yang sering terjadi atau yang sering muncul baik antara pribadi anggota kelompok sendiri dan dalam proses kelompok itu sendiri. Kecemasanpun berhubungan dengan beberapa ketakutan seperti: dalam menunjukkan rasa sakit, ketakutan mendengar suara “tidak cerdas”, menangani emosi yang sering muncul, kesalahpahaman, menjadi tertolak, dan tidak tahu apa yang diharapkan. Sebagai peserta dalam kelompok, menjadi saling percaya secara penuh antar sesama anggota dan pemimpin kelompok, akan berdampak pada kesediaan mereka dalam membagikan hal-hal apa yang menjadi perhatian mereka. Keterbukaan yang terjadi dalam kelompok dapat membantu mengurangi kecemasan anggota kelompok dalam hal membiarkan orang lain mengetahui atau melihat mereka sebagaimana adanya diri mereka.
B. Membangun Kepercayaan
Membangun kepercayaan merupakan tugas utama dari tahap awal dalam evolusi kelompok, namun selama tahap transisi anggota kelompok masih bertanya-tanya atau berpikir apakah kelompok itu merupakan tempat yang aman bagi mereka. Dalam iklim kepercayaan yang diciptakan atau dibangun secara bertahap, anggota kelompok dapat mengekspresikan reaksi mereka tanpa perasaan takut dicela atau dihakimi. Seringkali kesediaan dari salah seorang anggota kelompok untuk mengambil resiko memperlihatkan kepedulian atau ketakutan diri sendiri, akan memimpin anggota lainnya untuk melakukan hal yang sama. Pengungkapan tersebut merupakan titik balik dalam membangun tingkat kepercayaan yang lebih besar. Saat kepercayaan tinggi, anggota kelompok akan secara aktif terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang terjadi didalam kelompok; membuat diri mereka sendiri mengetahui satu sama lain dengan cara mereka sendiri; mengambil resiko baik didalam maupun diluar kelompok; fokus terhadap diri sendiri dan bukan orang lain; secara aktif bekerja dalam kelompok dalam memaknai permasalahan-permasalahan pribadi; memperlihatkan perasaan-perasaan gigih seperti ketidakpercayaan; serta mendukung dan menantang anggota lain dalam kelompok.
Beberapa hal yang memperlhatkan kurangnya kepercayaan dalam kelompok yang ditunjukkan oleh anggota kelompok antara lain tidak berinisiatif untuk bekerja/terlibat; membuat alasan-alasan untuk tidak berpartisipasi; sangat ragu-ragu dalam mengekspresikan dirinya sendiri; menyimpan reaksi-reaksi mereka untuk diri mereka sendiri atau mengekspresikannya dengan cara yang tidak langsung; berlindung dalam cerita; terlalu sering diam; menaruh banyak energi pada “menolong” orang lain atau memberikan orang lain nasehat daripada membagikan permasalahan mereka sendiri; sebagian anggota kelompok mengatakan bahwa mereka mempunyai masalah namun kelompok tidak dapat menolong mereka; dan tidak mempunyai kesediaan untuk terbuka dalam menangani kelompok atau bahkan mengakui keberadaannya.
Saat kepercayaan berkurang, anggota kelompok akan tetap memeriksa hal apakah yang terjadi dalam proses, sebelum mereka menjadi sangat diam, yang dapat membuat kesulitan dalam mengeksplor apa yang sebenarnya terjadi dalam kelompok. Anggota kelompok lainnya mungkin akan mengeluarkan pernyataan menghakimi, yang berakibat menghambat keterbukaan dalam kelompok. Kita menemukan bahwa permasalahan dalam kelompok tidak hanya disebabkan oleh perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran orang yang seketika dan nampak, namun juga disebabkan oleh reaksi-reaksi yang tidak terlihat atau tidak diekspresikan. Oleh karena itu, tugas utama kita dalah tahap transisi adalah terus mendorong para anggota kelompok untuk dapat mengatakan dengan lantang tentang apa yang mereka pikirkan dan rasakan berkaitan dengan apa yang terjadi dalam kelompok.
C. Pembelaan Diri dan Perlawanan
Para anggota kelompok yang berpartisipasi akan menguji pemimpin dan anggota kelompok lainnya sebelum kelompok benar-benar menjadi tempat yang aman untuk beralih pada proses yang lebih dalam lagi. Ujian ini melibatkan pengamatan perilaku dari pemimpin dan anggota kelompok lainnya untuk menentukan apakah mereka dapat dipercaya. Ini sangat penting bahwa pemimpin mendorong anggota kelompok untuk menunjukkan keragu-raguan dan kecemasan mereka. Anggota kelompok terpecah antara menginginkan untuk aman dan menginginkan untuk beresiko. Proses kelompok akan berjalan dengan baik bila didukung dengan iklim rasa aman yang menunjang. Dalam proses ini, muncul perilaku membela diri dan melakukan perlawanan. Baik pemimpin maupun anggota kelompok harus memiliki pemahaman mengenai perilaku membela diri yang bermakna. Ini merupakan hal yang penting bahwa baik pemimpin maupun anggota kelompok dalam menghargai dan sabar terhadap pembelaan diri yang muncul dari para anggota kelompok.
Berdasarkan sudut pandang psikonalisa, perlawanan adalah penegasan dari seorang individu dalam menunjukkan keengganan untuk membawa diri kembali pada kesadaran yang mengancam yang pernah ditekan atau ditolak sebelumnya. Hal tersebut merupakan langkah pencegahan yang dilakukan oleh anggota kelompok dalam menghadapi material ketidaksadaran. Berdasarkan sudut pandang yang lebih luas, perlawanan dilihat sebagai perilaku yang menjaga kita dari penyelidikan konflik-konflik personal atau perasaan yang menyakitkan. Perlawanan dapat menjadi cara yang biasa kita amati dalam usaha kita untuk melindungi diri kita dari kecemasan. Menghargai sikap pembelaan diri dari anggota kelompok artinya pemimpin kelompok tidak menghukum anggota kelompok yang enggan tetapi menyelidiki sumber dari keenganan yang ada. Terkadang anggota kelompok memiliki alasan yang realistis dari keengganan mereka.
Seringkali anggota kelompok bergumul dengan ketakutan-ketakutan mereka dan mengandalkan pertahanan-pertahanan yang mereka telah gunakan sebelumnya untuk mengatasi situasi-situasi yang kurang menyenangkan. Fenomena ini muncul dalam perilaku-perilaku yang ditunjukkan dengan berbagai cara. Perilaku yang menghambat adalah perilaku yang tidak dapat dihindari dalam kelompok, kecuali perilaku itu disadari dan diselidiki dapat menghambat kemajuan kelompok. Penolakan merupakan proses yang normal dan merupakan sarana yang dapat memimpin kelompok menjadi produktif dalam mengeksplorasi. Dengan alasan lain, perilaku membela diri menyatakan tanda-tanda yang penting tentang gaya interpersonal dari masing-masing anggota kelompok yang muncul dalam proses kelompok.
Gaya pertahanan diri dapat ditunjukkan dengan berbagai cara antara lain melalui konflik, bersikap objektif, curiga, menikmati, namun perasaan takut semakin dekat dan rentan secara tersirat. Jika pemimpin kelompok dapat menunjukkan kesediaan untuk mengeksplorasi dan memahami perilaku resistif, maka kelompok kemungkinan besar akan mengalami kemajuan. Cara terbaik yang dapat dilakukan oleh pemimpin dalam menangani perilaku yang sulit adalah menjelaskan dengan sederhana kepada anggota tentang apa yang mereka sedang amati dan membiarkan mereka mengetahui bagaimana dampak yang akan diterima dari apa yang mereka lihat dan dengar. Pendekatan ini merupakan ajakan untuk anggota dalam menentukan apa yang mereka lakukan dan akan bekerja untuk diri mereka sendiri.
Terkadang anggota kelompok tidak bersedia untuk bekerja sama dikarenakan beberapa faktor antara lain pemimpin yang tidak berkualitas, gaya kepemimpinan yang agresif dan tidak peduli, atau karena kegagalan dalam mempersiapkan anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam kelompok. Salah satu tugas utama dari kepemimpinan seorang pemimpin kelompok adalah secara tepat menghargai apapun sumber yang menyebabkan perilaku melawan ada pada anggota kelompok sebagai bentuk kecemasan atau ketidakcakapan kepemimpinan seorang pemimpin. Apabila pemimpin kelompok bersedia memahami konteks dari perilaku yang ditunjukkan anggota kelompok, maka kerjasama antar anggota kelompok dan pemimpin akan meningkat.
D. Pengalaman Ketakutan-Ketakutan umum pada Anggota Kelompok
Ketakutan-ketakutan umum yang muncul pada anggota kelompok terkadang tidak dapat dipaksakan untuk diutarakan dalam kelompok. Pemimpin kelompok dapat mengajak anggota kelompok untuk mengenal ketakutan-ketakutan yang mereka alami dan menjelaskan bahwa itu merupakan hal umum yang dapat terjadi pada anggota lainnya. Penjelasan umum pada tahap transisi berkaitan akan ketakutan-ketakutan yang ada, dapat menjadi suatu sarana yang digunakan di tahap selanjutnya atau selama proses untuk dapat membantu anggota kelompok.
Ketakutan-ketakutan umum yang muncul antara lain: terlihat bodoh di depan anggota kelompok lain; ketakutan pada penolakan; ketakutan akan kekosongan (tidak disukai dan tidak bernilai); ketakutan kehilangan control; dan ketakutan pada penyingkapan diri (membuka diri). Tidak mudah untuk menghilangkan atau mengeliminasi semua ketakutan tersebut, namun kita dapat berpikir bahwa anggota kelompok mampu mendorong diri mereka untuk menghadapi dan menantang diri mereka sendiri dalam membahas ketakutan-ketakutan tersebut. Apabila dalam tahap transisi ini kepemimpinan Anda mampu menciptakan iklim kepercayaan untuk anggota kelompok dapat menyatakan ketakutan-ketakutan tersebut, maka ini akan menjadi dasar yang baik untuk mambangun kepercayaan yang lebih lagi dalam proses kelompok selanjutnya.
E. Pergumulan-Pergumulan dalam Penguasaan Diri
Menjaga penguasaan diri/mengendalikan diri merupakan hal umum yang terjadi pada tahap transisi. Dua perilaku yang perlu dibahas dalam hal ini adalah berkaitan dengan tanggung jawab dan prosedur pengambilan keputusan. Anggota kelompok memiliki ketakutan terhadap banyaknya atau sedikitnya tanggung jawab yang akan mereka dapatkan. Agar hal ini dapat berjalan dengan lancar maka anggota kelompok perlu membahas secara bersama-sama. “Saya tidak mau bicara. Saya hanya ingin mendengar dan memperhatikan saja”; “Saya merasa berbeda dengan yang lain”; “Saya akan terlihat lemah kalau saya menyatakan perasaan saya”; merupakan sebagian contoh pernyataan-pernyataan yang muncul pada tahap transisi.
Tugas yang perlu dilakukan oleh pemimpin kelompok dalam meresponi berbagai pernyataan yang mencul seperti contoh tersebut adalah menolong anggota kelompok untuk memahami pergumulan mereka bahwa dalam mengatur penguasaan kendali diri dapat menjadi cara untuk melindungi diri mereka sendiri dari keterlibatan yang lebih dalam pada proses kelompok.
F. Konflik
Konflik merupakan salah satu hal yang bagi sebagian orang merupakan hal yang sulit untuk dihadapi baik dalam kelompok maupun dalam kehidupan sehari-hari. Asumsi mengatakan bahwa saat terjadi konflik, itu merupakan suatu pertanda bahwa ada sesuatu hal yang salah dan perlu dihindari dari semua harga yang harus dibayar. Saat dalam kelompok terjadi konflik, kecenderungan perilaku yang muncul antara pemimpin dan aggota kelompok adalah menghindarinya, daripada menghadapi dan berusaha untuk menyelesaikannya atau bekerja melaluinya. Bagaimanapun, konflik adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam semua hubungan termasuk dalam kelompok.
Konflik dalam kelompok dapat muncul karena tidak adanya pemahaman terhadap perbedaan yang muncul dalam kelompok seperti perbedaan usia, jenis kelamin, bahasa, orientasi seksual, status sosial ekonomi, ketidakmampuan, bangsa, etnik, dan jenjang pendidikan. Chen dan Rybak (2004) menaruh ide ini, “Ketidakpekaan pada isu-isu perbedaan yang ada walaupun itu tidak terlalu diperhatikan, dapat berdampak pada atmosfir kelompok dalam hal keterbukaan dan toleransi yang akan berdampak pada kinerja kelompok”. Setiap konflik yang muncul karena ketidakberhasilan dalam memahami dan menghargai perbedaan yang ada dari setiap anggota kelompok, harus di tangani secara terbuka dan dijalani jika iklim kepercayaan telah dibangun.
Konflik yang tidak terselami merupakan tipe dari ungkapan perilaku pertahanan diri, ketidaklangsungan, dan ketidak percayaan yang luas. Kelompok merupakan lingkungan yang ideal untuk belajar bagaimana menghadapi konflik secara efektif. Selama melalui tahap-tahap dalam perkembangan kelompok, khususnya pada tahap awal, merupakan hal yang perlu disadari bahwa konflik perlu diakui dan diatur secara efektif sehingga dapat meningkatkan tingkat kepercayaan. Dengan demikian, menjadi tugas awal dari seorang pemimpin untuk mengajarkan anggota kelompok tentang nilai atau pandangan bahwa dengan bekerja melalui konflik yang ada merupakan cara yang bersifat membangun.
G. Konfrontasi
Untuk membawa orang semakin dalam memahami dan jujur melihat dirinya sendiri, merupakan suatu hal yang penting untuk memiliki kesediaan mengambil resiko dalam mengungkapkan apa yang mereka pikirkan, walaupun mungkin sulit untuk dikatakan dan didengar. Kita sering berpikir bahwa orang lain dapat menjadi penghubung yang efektif bagi pertumbuhan orang lain jika mereka saling menantang satu dengan lainnya. Apabila konfrontasi merupakan hal yang menunjukkan tindakan kepedulian dan penghargaan, maka intervensi yang muncul seringkali mengalami perubahan. Suatu hal yang penting bagi pemimpin kelompok untuk membahas bagaimana konfrontasi dapat menjadi suatu hal yang berguna sebagai umpan balik, jika disampaikan dengan sikap kepedulian. Konfrontasi dapat dilihat oleh anggota kelompok sebagai hal yang utama, bagian dasar dalam proses kelompok.
Pemimpin memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan anggota kelompok apa itu konfrontasi dan apa yang bukan konfrontasi serta bagaimana menantang anggota kelompok lainnya dengan cara yang sifatnya membangun. Konfrontasi bukanlah cara untuk membuat orang menangis, menyakiti orang lain dengan umpan balik yang negatif dan kemudian membuat dia mundur, bermusuhan dengan maksud untuk menyakiti orang lain, memberitahu yang lain tentang dasar dari kesalahan mereka, atau menyerbu integritas orang lain. Secara ideal, konfrontasi dilihat sebagai bentuk dari umpan balik yang sifatnya membangun- suatu ajakan untuk melihat beberapa askpek dari gaya interpersonal mereka atau gaya hidup mereka untuk menentukan bagaimana membuat suatu perubahan. Konfrontasi yang bersifat peduli dibuat untuk membantu anggota kelompok dalam membuat dugaan yang jujur dari diri mereka sendiri atau berbicara banyak tentang reaksi-reaksi mereka daripada membicarakan orang lain.
Bekerja dalam kebudayaan yang berbeda dalam kelompok, walaupun itu konfrontasi yang sifatnya kepedulian tetap membutuhkan waktu yang tepat dalam menyampaikannya sehingga anggota kelompok menyukainya saat mendengarkan umpan balik yang disampaikan. Sikap menghargai terhadap perbedaan dari nilai dan perilaku merupakan hal yang penting; dalam membuat konfrontasi, waktu dan kepekaan pada budaya dari anggota kelompok merupakan faktor kunci dalam menentukan apakah konfrontasi itu efektif atau tidak.
Ada beberapa panduan yang dapat dipelajari untuk menyampaikan konfrontasi yang tepat dan bertanggung jawab, yaitu: anggota kelompok dan pemimpin mengetahui alasan mengapa mereka menyampaikan konfrontasi; konfrontasi bukan suatu pernyataan yang dokmatik tentang siapa atau apa dari orang tersebut; orang yang dikonfrontasi akan tidak membela diri jika diberitahu tentang dampak dari apa yang mereka lakukan kepada orang lain daripada hanya diberikan label atau dihakimi; konfrontasi akan menjadi efektif apabila fokus pada suatu hal yang spesifik dan merupakan perilaku yang diamati; salah satu tujuan dari konfrontasi adalah untuk membangun kedekatan dan ketulusan dalam hubungan dengan orang lain; kepekaan merupakan unsur yang penting dalam konfrontasi yang efektif, dan itu membantu orang yang melakukan konfrontasi untuk membayangkan diri sebagai orang yang menerima hal apa yang disampaikan; konfrontasi memberikan orang lain kesempatan untuk merefleksikan umpan balik yang mereka terima sebelum mereka diharapkan merespon atau bertindak atas umpan balik tersebut; konfrontasi berarti membawa klien menyadari alternatif perspektif ; dan orang yang menyampaikan konfrontasi hendaknya bertanya atau meminta pada diri sendiri untuk bersedia melakukan hal yang sama seperti yang telah disampaikannya pada orang lain untuk melakukannya.
Kualitas dari konfrontasi-konfrontasi yang terjadi dalam kelompok menandakan bagaimana kefektifan kelompok tersebut. Semakin kohesif atau bersatu suatu kelompok, semakin anggota kelompok dan pemimpin tertantang dan memberanikan diri untuk melakukan konfrontasi.
H. Tantangan bagi pemimpin kelompok
Keberadaan pemimpin kelompok merupakan hal lain yang menantang dalam kelompok. Selama tahap transisi, mereka dihadapkan pada permasalahan yang berhubungan dengan profesionalitas dan kepribadian. Permasalahan yang sebagian anggota kelompok sering keluhkan antara lain tipe pemimpin yang tidak tepat, dan kompetensi pemimpin yang tidak baik. Tindakan pemimpin dalam merespon konfrontasi yang dilakukan oleh anggota kelompok akan berdampak tegas kepada bagaimana kepercayaan anggota kelompok akan mendekat pada pemimpin di masa yang akan datang. Bagaimana seorang pemimpin kelompok mengatasi tantangan yang dapat baik untuk dirinya maupun kepemimpinannya, dalam setiap tahapan, akan berdampak pada tingkat kepercayaan dalam kelompok. Pemimpin kelompok dapat menjadi contoh yang baik jika dapat menanggapi dengan terbuka daripada menghindar dengan melakukan perlawanan. Jika para pemimpin kelompok sering sensitif pada kritik dan menjadi rentan terhadap ego, mereka akan kemungkinan besar memiliki tantangan secara personal, yang berdampak pada kefektifan mereka.
I. Reaksi Pemimpin Kelompok dalam Perilaku Bertahan/Membela.
Banyak bentuk perilaku bertahan atau pembelaan diri yang muncul selama tahap transisi. Ini sangat penting bahwa sebagai pemimpin kelompok, kita tidak hanya belajar dalam mengenali dan berurusan dengan sikap pembelaan diri dari anggota kelompok, namun menjadikan kita menyadari reaksi apa yang muncul sebagai seorang pemimpin dalam menangani perilaku tersebut. Beberapa pemimpin kelompok biasanya terfokus pada “permasalahan anggota kelompok” atau kondisi yang sulit, daripada memperhatikan dinamika yang terjadi dan bagaimana hal tersebut dapat berdampak secara personal ketika mereka menghadapi “kelompok yang sulit”. Uniknya, pemimpin kelompok memiliki perasaan-perasaan seperti terancam dengan peraturan yang mereka buat sendiri dalam kepemimpinannya; marah kepada anggota yang tidak mau bekerja sama dan tidak antusias; perasaan ketidakcakapan dalam menghadapi poin yang muncul karena merasa tidak berkualiatas dalam memimpin; kebencian terhadap beberapa anggota kelompok yang diberi cap sebagai yang bermasalah.
Cara yang paling ampuh untuk intervensi ketika pemimpin kelompok mengalami perasaan yang kuat diatas apa yang dirasakan sebagai keadaan membela diri adalah berhadapan dengan perasaan diri sendiri dan kemungkinan perilaku atau reaksi pembelaaan diri apa yang muncul terhadap situasi tersebut. Jika pemimpin mengabaikan atau mengesampingkan reaksi yang muncul, berarti pemimpin sedang membiarkan diri sendiri keluar dari interaksi-interaksi yang terjadi dalam kelompok. Lagi pula, reaksi apapun yang diberikan pemimpin kepada anggota kelompok, hal tersebut akan memberikan contoh yang secara langung menjadi gaya terhadap bagaimana berhadapan dengan konflik dan perilaku bermasalah. Pikiran, perasaan, dan observasi yang dimiliki oleh pemimpin kelompok, akan menjadi sumber yang kuat untuk berhadapan dengan sikap atau perilaku pembelaan diri. Ketika pemimpin kelompok mampu membagikan atau mengutarakan apa yang dia rasakan dan pikirkan tentang apa saja yang terjadi didalam kelompok (tentunya tanpa sikap menyalahkan/menghakimi atau mengkritik anggota kelompok atas sikap pembelaan dirinya), berarti pemimpin kelompok sedang membiarkan anggota kelompok mengalami kejujuran dan membangun interaksi yang bersifat konstruktif dengan dirinya.
Perilaku-Perilaku yang Bermasalah dan Anggota Kelompok yang sulit.
Terkadang anggota kelompok menjadi sulit karena perilaku meragukan dari pemimpin kelompok. Namun, sekalipun dalam kelompok yang pemimpin kelompoknya sangat efektif dalam melakukan intervensi, anggota kelompok memiliki potensi untuk menunjukkan perilaku bermasalah/meragukan yang merupakan sumber dari kesulitan bagi diri mereka sendiri, anggota lain, dan pemimpin kelompok. Dalam menetapkan aturan-aturan untuk mengurangi perilaku yang bermasalah, pemimpin kelompok harus membekali anggota kelompok dengan pemikiran-pemikiran yang rasional untuk tidak berfokus pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku yang tidak produktif. Tugas pemimpin kelompok adalah mendidik anggota kelompok untuk terlibat dalam perilaku yang produktif, yang nantinya akan memberikan keuntungan yang maksimal bagi pengalaman mereka sendiri. Ada beberapa intervensi yang bisa dilakukan oleh pemimpin kelompok agar efekif dalam menghadapi perilaku yang sulit, antara lain: Jangan menolak klien; Nyatakan kesulitan yang dihadapi kepada anggota tanpa mencemarkan karakter atau sifat pribadi tersebut; Hindari untuk meresponi sindiran dengan sindiran; Didik anggota kelompok tentang bagaimana kerja kelompok tersebut; Jujur pada anggota kelompok berkaitan dengan proses kelompok; Dorong anggota kelompok untuk mereka mengeksplorasi pembelaan diri mereka daripada menuntut mereka untuk menyerah pada sikap tersebut untuk melindungi diri mereka sendiri; Tunjukkan kepekaan terhadap budaya yang ada pada anggota kelompok dan hindari sikap stereotip; Mawas terhadap reaksi countertransference yang muncul; Tantang anggota kelompok untuk peduli dan menghargai setiap cara yang mungkin membuat mereka tidak nyaman dan sulit; jangan mundur dari konflik; seimbang antara pemberian dukungan dan tantangan; Jangan menanggapi reaksi anggota secara personal; dan Fokus pada mengeksplorasi masalah dibandingkan dengan pemberian solusi-solusi singkat.
Saat pemimpin kelompok berhadapan dengan anggota kelompok yang sulit dan bermasalah dalam perilaku, pemimpin perlu bertanya pada diri sendiri: “apa yang saya rasakan dan pikirkan saat berhadapan dengan dia?”; “apa yang harus saya lakukan untuk memecahkan masalah tersebut?”; “apakah anggota kelompok ini mengingatkan saya pada seseorang dalam kehidupan?” Pertanyaan-pertanyaan ini dapat menolong pemimpin kelompok dalam melatih dan memahami bagaimana reaksi personal yang mungkin merupakan perilaku pembelaan diri. Pemimpin kelompok perlu mengingatkan diri sendiri bahwa setiap orang yang mencari dan tergabung dalam kelompok merupakan cara yang efektif bagi dia untuk dapat mengekspresikan diri sendiri dan bagaimana berhubungan dengan orang lain.
Beberapa perilaku bermasalah yang muncul antara lain diam dan tidak mau berpartisipasi, perilaku yang memonopoli, suka bercerita, suka bertanya, memberikan nasehat, ketergantungan, memberikan dukungan yang pura-pura, perilaku bermusuhan, berlaku sombong , bersosialisasi, dan menanggapi secara ilmiah. Perilaku bermasalah lainnya yang muncul adalah adanya anggota kelompok yang bertindak atau mengambil peran sebagai asisten bagi pemimpin, memberikan pertanyaan, menyelidiki informasi, memberikan nasehat, dan memberikan perhatian pada dinamika yang terjadi dalam kelompok.
Berhadapan dengan Perilaku Membela Diri Secara Terapetik
Intervensi yang tepat dalam menghadapi perilaku yang bermasalah dapat membantu anggota kelompok dalam mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan secara terapetik, sehingga dapat membawa mereka berpartisipasi lebih aktif lagi dalam kelompok. Pemimpin kelompok diharapkan mampu menanggapi secara penuh dukungan terhadap anggota kelompok untuk menyatakan lebih banyak tentang keadaan diri mereka sendiri. Pertanyaan – pertanyaan yang sifatnya terbuka dapat menjadi cara mengundang anggota kelompok untuk berespon.
Berhadapan dengan Transference dan Countertransference
Transference adalah kondisi dimana klien/anggota kelompok memproyeksikan perasaan yang ada padanya kepada konselor/pemimpin kelompok. Perasaan ini muncul biasanya karena pengalaman anggota kelompok/klien pada hubungan yang terjadi dimasa lalu. Saat hal ini terjadi, maka pekerjaan dalam kelompok akan lebih terfokus pada menyelesaikan perasaan tersebut, dibandikan dengan mengurusi perasaan atau situasi yang saat ini sedang terjadi. Sedangkan countertransference adalah perasaan yang timbul dalam diri konselor/pemimpin kelompok akibat apa yang dirasakan oleh klien/anggota kelompok. Sama halnya dengan yang terjadi pada klien, perasaan tersebut merupakan pengalaman masa lalu; dan akan bekerja lebih keras lagi dalam menghadapi hal tersebut yang merupakan konflik baik terjadi di masa lalu maupun di hubungan saat ini dan belum terselesaikan.
Besar potensi dalam kelompok untuk muncul banyak transference. Anggota kelompok dapat memproyeksikan perasaan mereka tidak hanya pada pemimpin kelompok, namun juga dapat dilakukan pada anggota kelompok lainnya. Anggota kelompok dapat mengidentifikasi sendiri saat perasaan itu muncul, mengingatkan mereka pada seseorang yang sangat signifikan dalam hidupnya,baik di masa lampau maupun saat ini. Bergantung pada tujuan dalam kelompok, bagaimana menyikapi hal ini; karena transference ini akan menjadi produktif jika dapat diselidiki, sehingga dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain: (1) Anggota kelompok dapat menyadari apakah dengan mempertahankan pola lama tersebut dapat membantu mereka dalam membina hubungan di masa sekarang; (2) Anggota kelompok dapat memperoleh pemahaman terhadap konflik yang belum terselesaikan ternyata menciptakan pola perilaku yang disfungsional. Dengan berfokus pada apa yang terjadi dalam kelompok, kelompok dapat menyediakan pemahaman yang dinamis tentang bagaimana fungsi anggota kelompok baik didalam maupun diluar kelompok. (3) Anggota kelompok mampu mengalami dan mengekspresikan perasaan serta reaksi-reaksi yang muncul dihadapan kelompok, dan mencaritahu bagaimana mereka memproyeksikan keluar dari situasi-situasi atas kelompok. Saat perasaan-perasaan ini menjadi produktif terselami dalam kelompok, maka anggota kelompok dapat dengan mudahnya mengekspresikan reaksi mereka secara benar, dengan cara yang benar.
Supervisi kita sendiri sebagai pemimpin kelompok merupakan faktor utama dalam mempelajari bagaimana berhadapan secara efektif dengan reaksi-reaksi transference dan countertransference. Pemimpin kelompok perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan countertransference yang memungkinkan dapat menjadi penyebab munculnya kesulitan-kesulitan dalam membangun kelompok. Beberapa pemimpim kelompok memproyeksikan masalah mereka sendiri dan urusan yang belum terselesaikan kepada anggota-anggota yang “sulit”. Jika pemimpin kelompok tidak bersedia berhadapan dengan permasalahan mereka sendiri, bagaimana mereka dapat berharap anggota kelompok untuk mengambil resiko untuk berubah?. Sebagai pemimpin kelompok, coba tanyakan beberapa pertanyaan ini kepada diri sendiri: Bagaimana saya harus merespon pada setiap transference yang berbeda yang muncul dari setiap kelompok?; Transference yang seperti apakah yang memancing munculnya countertransference dalam diri saya?; Apakah saya harus bersikap bertahan pada anggota kelompok dengan cara sendiri?; Apakah saya mencap diri saya bahwa saya kurang mampu?; Apakah saya melawan anggota kelompok yang terlihat bermasalah?; cara mana yang harus saya tempuh dalam saya meresponi perilaku yang bermasalah yang cenderung dapat meningkatkan atau menurunkan perlawanan diri pada sebagian anggota kelompok?
Sebagai pemimpin kelompok, kita dapat berhadapan dengan tantangan mengurusi reaksi-reaksi transference yang anggota kelompok bangun dalam kelompok, namun penyelesaianpun terkadang kompleks dan bergantung pada lingkungan yang dipengaruhi oleh hubungan yang tercipta. Jangan terlalu cepat untuk mengabaikan reaksi yang muncul dari anggota kelompok. Dalam menghadapinya, membutuhkan keberanian sebagai bagian dari mengenal dan mencaritahu; dan itu dapat membuat kita semakin peka kepada anggota kelompok. Anggota kelompok akan memperlakukan kita sebagai figur yang secara signifikan berpengaruh dalam kehidupan mereka, dan kita akan mendapatkan reaksi yang lebih dari yang kita harapkan.
Saat kita sadari kemungkinan untuk terjadinya transference atau countertrasnference, terdapat tiga cara tambahan yang perlu diperhatikan:
- Jangan terlalu kritis percaya pada apa yang disampaikan anggota kelompok kepada kita, terutama sekali yang disampaikan diawal. Hal tersebut akan sangat mudah memikat apalagi jika disertai dengan umpan balik yang mengatakan bahwa betapa kita sangat menolong, bijaksana, terbuka, menarik, tangguh, dan dinamik. Hindari untuk terbawa dengan atribut-atribut yang tidak realistik yang diberikan oleh anggota kelompok.
- Hindari untuk terlalu mengupas secara kritis dan mengabaikan kesungguhan umpan balik yang positif. Anggota kelompok akan merasakan kasih yang sungguh-sungguh dan respek dari pemimpin kelompok. Lagi pula, hanya karena anggota kelompok marah kepada kita, bukan berarti bahwa mereka mengalihkan kemarahan mereka terhadap orang tua kepada kita. Mungkin mereka akan merasa sungguh-sungguh marah dan memiliki reaksi yang negatif terhadap kita secara personal disebabkan oleh beberapa perilaku yang Nampak. Singkat kata, semua perasaan yang ditunjukkan secara langsung terhadap pemimpin kelompok tidah seharusnya menjadi “dianalisa” sebagai transference untuk menjadi pekerjaan yang membawa kebaikan bagi anggota kelompok. Panduan yang berguna yang dapat kita aplikasikan pada diri kita sendiri adalah jika mendengar kekonsistenan pola umpan balik yang disampaikan, baru kemudian kita secara serius menguji apa yang telah disampaikan kepada kita. Ketika kita memperhatikan kebenaran dari umpan balik tersebut, kita dengan senang hati akan melakukan perubahan dalam perilaku kita.
- Mengenal bahwa tidak semua perasaan kita terhadap anggota kelompok dikelompokkan sebagai countertransference. Mungkin kita bekerja dibawah kesalahpahaman konsep bahwa kita objektif dan peduli kepada semua anggota secara sama. Salah satu keyakinan kita yang tidak realistis dapat menjadi tuntutan bahwa kita harus menjadi apa saja untuk semua anggota. Countertransference dapat diindikasikan oleh perasaan yang berlebihan dan gigih cenderung terulang dengan berbagai macam anggota kelompok dalam berbagai macam kelompok. Kita dapat berharap untuk dapat nyaman dengan beberapa anggota kelompok dibandingan dengan yang lain, namun semua anggota kelompok dari kelompok kita layak mendapat kesempatan untuk di hargai dan disukai oleh kita.
Kepemimpinan yang efektif : Temuan dari para peneliti
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan proses kelompok berfokus pada hubungan yang terapetik, dimana melibatkan berbagai macam kemungkinan yang terstruktur, yaitu hubungan antara: anggota-anggota; anggota-pemimpin; anggota-kelompok; pemimpin-kelompok; pemimpin-anggota; dan pemimpin-pemimpin (Burlingame et. Al. 2004b). Persekutuan dalam hubungan merupakan variabel yang kuat dalam hasil proses kelompok yang sukses. Dalam tinjauan terhadap literatur hubungan yagn terapetik dalam proses kelompok, diidentifikasi terdapat tiga kunci yang dapat membangun hubungan yang terapetik dalam proses kelompok, yaitu: iklim kelompok, keterpaduan, dan kesatuan. (Burlingame, Fuhriman, and Johnson,2002). Penelitian yang dilakukan oleh Burlingame dan Fuhriman (1990) menghasilkan bahwa hubungan yng positif yang terjadi antara therapist dan klien memberikan kontribusi yang positif bagi perubahan diri klien.
Dukungan v.s. Konfrontasi
Tempaan yang dapat membuat kelompok yang efektif mencakup pencapaian pada kesempatan untuk menyeimbangkan antara dukungan dan konfrontasi. Dies (1983b) menyarankan agar pemimpin kelompok tidak terlalu cepat menunjukkan konfrontasi yang kuat sampai pada waktu yang tepat dengan terlebih dahulu membangun hubungan kepercayaan dengan anggota kelompok. Saat fondasi kepercayaan dalam hubungan interpersonal terbangun, maka akan dengan mudah bagi anggota kelompok menerima tantangan. Butuh waktu untuk membangun suasana yang suportif di dalam kelompok, sehingga Dies (1983b) menyarankan bahwa interaksi yang mengandung konfrontasi akan lebih mendukung dalam membangun kelompok. Konfrontasi mendukung terlebih telah terjadi dari tahap pengenalan dalam kelompok dan dapat terselesaikan dengan kepekaan dan penghargaan. Dalam kenyataan, fondasi dari kepercayaan seringkali menjadi utuh oleh konfrontasi yang mengandung kepedulian, yang dilakukan oleh pemimpin kelompok.
Panduan untuk menciptakan hubungan yang terapetik dengan anggota kelompok
Ada beberapa panduan untuk membantu kepemimpinan dapat berjalan dengan baik.
Berjuang untuk keterlibatan yang positif dalam kelompok melalui kesungguhan, empati, dan reaksi yang peduli terhadap anggota kelompok. Hubungan interpersonal, melepaskan, dan gaya kepemimpinan yang menghakimi dapat menghambat proses terbangunnya kepercayaan dan kesatuan/keterpaduan.
Bangun gaya kareakteristik terapetik yang terbuka dengan menyediakan dan memberi kemudahan penyingkapan diri, namun jangan itu sebagai latihan dengan menggunakan kelompok yang dipimpin sebagai kelompok terapi bagi diri sendiri. Bersedia untuk membagikan reaksi diri sendiri dan pengalaman-pengalaman emosional khususnya yang berhubungan dengan kejadian-kejadian atau hubungan-hubungan yang terdapat dalam kelompok.
Tanamkan dalam pikiran bahwa penyingkapan diri dari pemimpin kelompok dapat memberikan dampak konstruktif/menguntungkan atau merugikan dalam proses kelompok dan hasil yang didapatkan; bergantung pada beberapa faktor khusus seperti tipe kelompok, tahapan perkembangan, serta isi dan sikap dari penyingkapan.
Bantu anggota kelompok untuk mampu memanfaatkan secara maksimal dari keefektifan contoh atau panutan, khususnya anggota kelompok yang dapat menunjukkan perilaku yang diingikan. Anggota kelompok dapat memotivasi satu dengan yang lain untuk saling belajar. Jika pemimpin kelompok mempunyai asisten, asisten pun dapat menjadi model.
Perlengkapi dengan struktur yang memadai, khususnya pada tahap awal dari kelompok, namun hindari gaya kepemimpinan yang mengambil semua kendali.
Perlengkapi dengan berbagai kesempatan untuk semua anggota kelompok agar dapat menggunakan semaksimal mungkin semua sumber dalam kelompok dengan mengajarkan mereka kemampuan berpartisipasi aktif dalam proses kelompok.
Tunjukkan kepedulian dengan bersedia untuk berkonfrontasi dengan anggota kelompok, namun lakukan dengan sikap yang memberikan anggota kelompok contoh yang baik dari bagaimana berkonfrontasi dengan kepekaan.
Lengkapi dan perkuat aturan-aturan yang jelas sebagai cara untuk menjaga keterpaduan dalam kelompok.
Jika diperlukan, lindungi anggota kelompok dan berjuang untuk menaikkan rasa aman.
Lakukan intervensi ketika ada seorang anggota kelompok yang mencegah anggota kelompok lainnya untuk menggunakan sumber yang ada dengan cara melibatkan konfrontasi yang tidak membangun, sarkasme, dan menukar secara tidak langsung. Bantu anggota kelompok untuk sepakat satu dan lainnya secara langsung dan membangun.
Beberapa Persoalan berkaitan dengan Asisten Pemimpin dalam Tahap Transisi
Tahap transisi merupakan tahap yang kritis selama periode proses kelompok. Bergantung pada konflik dan kerentangan yang terjadi dan dapat diatasi, akan membawa kelompok apakah akan menjadi lebih baik atau menjadi buruk. Jika pemimpin kelompok bekerja bersama asisten, pemimpin kelompok dapat mempergunakan waktu secara efisien baik sebelum atau sesudah pertemuan kelompok, untuk fokus membicarakan proses kelompok; membicarakan reaksi apa yang muncul selama pertemua yang perlu diperhatikan. Ada beberapa masalah yang muncul antara pemimpin pada tahap ini:
v Reaksi Negatif terhadap satu pemimpin. Jika anggota kelompok langsung menunjukkan ekspresi negatif dan menantang terhadap asisten, ini merupakan hal yang perlu dihindari baik dengan cara pemimpin kelompok berpihak pada asisten untuk menyerang anggota kelompok atau berdampingan dengan anggota kelompok untuk melawan asisten. Sebagai gantinya, tidak melakukan pertahanan (seobjektif mungkin) pada kepemimpinan pemimpin kelompok dengan memfasilitasi pengeksplorasian yang membangun dari situasi tersebut. Pemimpin kelompok melakukan ini dengan cara bertanya kepada anggota kelompok yang bereaksi kepada asisten pemimpin kelompok dengan berbicara langsung kepadanya: Pemimpin kelompokpun mengajak asisten pemimpin kelompok untuk mengatakan apa yang dia dengar dan bagaimana itu berpengaruh padanya.
v Tantangan untuk kedua pemimpin kelompok. Dugaan bahwa ada beberapa anggota kelompok yang kritis terhadap pemimpin kelompok dan asisten pemimpin kelompok dengan berkata: “Kalian pemimpin mengharapkan kami untuk menjadi diri kami sendiri disini, sedangkan kami tidak tahu apapun tentang kalian. Seharusnya kalian bersedia untuk membicarakan permasalahan kalian jika itu yang kalian harapkan untuk kita lakukan juga”. Dalam kasus seperti ini, kesulitan akan terjadi jika salah satu dari pemimpin kelompok berespon membela diri ketika yang lain bersedia untuk berhadapan dengan konfrontasi yang diberikan oleh anggota kelompok. Idealnya, kedua pemimpin dapat menanggapi secara objektif konfrontasi yang muncul. Jika tidak, ketidaksamaan pendapat ini menjadi topic yang penting yang perlu dibahas setelah pertemuan kelompok, atau selama supervisi. Semua kesulitan yang muncul seharusnya tidak diterima sebagai suatu pembahasan yang rahasia antara para asisten. Sebisa mungkin, sikap yang menyinggung terhadap apa yang terjadi selama sesi berlangsung, sebaiknya didiskusikan dalam kelompok.
v Berurusan dengan perilaku yang bermasalah. Pemimpin dan asistem pemimpin kelompok perlu mendiskusikan perilaku-perilaku bermasalah yang muncul yang pemimpin kelompok dan asisten perlu di konfrontasi. Suatu kesalahan jika pemimpin dan asisten pemimpin kelompok secara khusus menyusun strategi untuk ‘menyembuhkan’ perilaku yang bermasalah dari anggota kelompok, sedangkan diri sendiri mengabaikan reaksi sendiri terhadap perilaku bermasalah tersebut.
v Berurusan dengan Countertransference. Suatu hal yang tidak realistis jika mengharapkan pemimpin kelompok dapat bekerja secara efektif kepada semua anggota. Pada saat tertentu, ketidakefektifan terjadi merupakan hasil dari reaksi countertransference yang dilakukan oleh salah satu pemimpin.
Kesimpulan
Tahap transisi merupakan tahap yang penting dalam membangun kelompok yang efektif. Tahap transisi adalah tahap dimana baik pemimpin dan anggota kelompok mempunyai peranan yang penting dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam tahap transisi, berbagai perilaku baru muncul, yang belum muncul dalam tahap sebelumnya seperti kecemasan, menutup diri, membela diri, atau bersikap diam. Baik pemimpin maupun anggota kelompok, keduanya memasuki tahap penyingkapan diri yang semakin dalam. Hal terutama yang dibangun dalam tahap transisi ini adalah kedalaman tingkat kepercayaan yang mampu memberikan dampak pada proses kelompok di tahap selanjutnya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tahap transisi ini dicermati baik oleh pemimpin kelompok, anggota kelompok, dan bagaimana fungsi pemimpin dalam menjalankan kepemimpinan dalam kelompok.
A. Karakteristik pada Tahap Transisi
Tahap transisi dari perkembangan kelompok ditandai dengan perasaan cemas dan pertahanan diri yang merupakan bentuk dari berbagai macam perilaku.
§ Anggota kelompok memperdulikan tentang apa yang mereka pikirkan yang berkaitan dengan diri sendiri jika mereka meningkatkan kesadaran diri, dan tentang penerimaan atau penolakan dari kelompok terhadap diri mereka.
§ Anggota kelompok menguji pemimpin dan anggota lainnya untuk mengetahui seberapa besar rasa aman kelompok ini.
§ Anggota kelompok bergumul antara ingin bermain aman dan ingin mengambil resiko untuk terlibat.
§ Isu-isu berkaitan dengan siapa yang pegang kendali dan siapa yang berkuasa dapat muncul atau sebagian anggota akan mengalami konflik/pertentangan dengan anggota lain dalam proses kelompok.
§ Anggota kelompok mengamati asisten pemimpin kelompok untuk menentukan apakah dia dapat dipercaya.
§ Anggota kelompok belajar bagaimana mengekspresikan diri mereka sendiri, sehingga anggota lainnya akan mendengarkan mereka.
B. Fungsi Anggota Kelompok
Peran utama dari anggota kelompok pada tahap ini adalah mengenali dan berhadapan dengan banyak bentuk dari perlawanan
§ Anggota kelompok mengenali dan mengekspresikan apapun reaksi yang menetap; tidak menunjukkan perasaan dapat memberikan kontribusi kepada iklim yang rendah pada unsur kepercayaan.
§ Anggota kelompok menghargai pembelaan diri mereka namun bekerja dengan mereka.
§ Anggota kelompok bergerak dari ketergantungan menjadi mandiri.
§ Anggota kelompok belajar bagaimana mengkonfrontasi anggota lain dalam sikap yang membangun, sehingga mereka tidak menarik diri dalam sikap pembelaan.
§ Anggota kelompok berhadapan dan berurusan dengan reaksi-reaksi yang menjadi perhatian selama proses kelompok.
§ Anggota kelompok bekerja melalui konflik-konflik daripada berdiam diri atau membentuk sub kelompok diluar pertemuan.
C. Fungsi Pemimpin Kelompok.
Hal utama yang menantang untuk pemimpin kelompok selama tahap transisi adalah keinginan untuk mengintervensi pada kepekaan dan waktu yang tepat. Tugas utama adalah menyediakan dorongan dan tantangan untuk anggota kelompok menghadapi dan menyelesaikan konflik dan reaksi negatif yang hadir dalam kelompok, serta beberapa perilaku yang merupakan batang dari pembelaan diri melawan kecemasan. Untuk bertemu dengan tantangan ini, pemimpin harus mengikuti beberapa tugas dibawah ini:
§ Ajarkan anggota kelompok nilai dari mengetahui dan menangani secara penuh dari situasi-situasi yang menimbulkan konflik.
§ Bantu anggota kelompok untuk mengetahui pola mereka dalam pembelaan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri.
§ Ajarkan anggota kelompok untuk menghargai kecemasan dan perilaku pembelaan, serta bekerja secara konstruktif dengan usaha-usaha dalam melindungi diri.
§ Lengkapi model untuk anggota kelompok dengan beurusan langsung dan bijaksana dengan tantangan, baik secara personal maupun professional.
§ Hindari memberikan cap pada anggota kelompok. Belajar untuk memahami berbagai macam perilaku bermasalah.
§ Bantu anggota kelompok menjadi saling tergantung dan mandiri.
§ Motivasi anggota kelompok untuk mengekspresikan reaksi-reaksi yang terkait disini dan saat ini terjadi dalam sesi pertemuan kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, M. Corey, G. Dan Corey, C. (2010). Group: Process and Practice. 8th Ed. Pasific Grove: Brooks/Cole
Groski, A.M. dan Kraus, K.L.(2010) Group in Schools:Preparing, Leading and Responding. Boston: Pearson
Erford, B. T. (2010) Group Work in the Schools, Boston: Pearson
No comments:
Post a Comment