A. PENDAHULUAN
Sebuah awal yang baik adalah sama dengan mendapatkan setengah dari kesuksesan dalam melakukan apapun. Setelah itu, semua keberhasilan kecil akan menghasilkan kesuksesan yang lebih jauh lagi. Prinsip yang sama juga berlaku bagi kelompok. Sesi pertama akan menentukan suasana bagi pertemuan-pertemuan berikutnya dari kelompok. Jika rasa memiliki hubungan, saling percaya dan memiliki harapan sudah bisa dibangun pada sesi pertama, maka kelompok akan bergerak ke arah yang sukses. Karenanya sesi pertama adalah sebuah sesi yang sangat penting bagi kelompok dalam keseluruhan masa hidup/masa berlakunya. Jika Anda menjadi pemimpin kelompok untuk pertama kalinya, maka sesi pertama ini mungkin akan menimbulkan kesulitan bagi Anda. Anda harus melakukan banyak penyesuaian ketika Anda berganti dari mode konseling individu menjadi mode konseling kelompok. Anda mungkin pada awalnya akan merasakan “kejutan kelompok” (group shock) (yang dideskripsikan dalam Bab 2).
Bab ini memaparkan cara-cara untuk menstruktur sesi kelompok pertama dan beberapa hal perlu diperhatikan untuk memastikan kesuksesan dari sesi pertama itu. Di sini akan dibahas tentang:
· Kepemimpinan dan tahap pembentukan
· Struktur dari sesi pertama
· Pertimbangan kepemimpinan untuk sesi pertama
· Refleksi/perenungan tentang sesi pertama
B. KEPEMIMPINAN DAN TAHAP PEMBENTUKAN
1. Lima Tahap dari Pengembangan Kelompok
Kelompok biasanya mengalami perkembangan dalam beberapa tahap selama masa kehidupan dari kelompok itu. Beberapa model kelompok telah menyebutkan bahwa ada empat tahap perkembangan dari sebuah kelompok (Corey dan Corey, 2002; Gladding, 1999) sementara beberapa model lain memandang bahwa ada lima tahap perkembangan dari sebuah kelompok (Lacoursiere, 1980; Tuckman, 1965; Tuckman dan Jensen, 1977). Dalam teks ini, kami menggunakan model lima tahap, karena lebih sesuai dengan kerangka dan ketrampilan-ketrampilan yang kami bahas di sini.
Tahap pertama dari perkembangan kelompok disebut sebagai tahap awal atau tahap pembentukan. Tahap ini ditandai dengan adanya penetapan tujuan dan batasan-batasan. Kelompok masih sangat tergantung pada pemimpin untuk mendapatkan struktur dan fasilitasi secara aktif. Tahap yang kedua adalah tahap pergolakan atau tahap transisi (storming stage atau transition stage), yaitu tahap dimana konflik-konflik dalam kelompok, baik yang tertutup maupun terbuka, mulai harus dihadapi oleh kelompok. Tahap yang ketiga disebut sebagai tahap normalisasi (norming stage). Dalam tahap ketiga ini, muncul rasa kesatuan dalam kelompok ketika para anggota kelompok mulai mendapatkan keyakinan diri dan mengambil resiko untuk mencapai tujuan mereka. Tahap yang keempat adalah tahap kerja atau tahap pelaksanaan (working stage atau performing stage). Ini adalah tahapan yang paling produktif. Dalam tahap ini, kemungkinan besar akan terjadi pengungkapan diri (self disclosure) secara lebih mendalam, pemberian masukan secara jujur, konfrontasi yang didasarkan pada keperdulian terhadap sesama anggota kelompok, rasa humor, pengujian terhadap realita dan kegiatan yang intensif. Tahap yang kelima adalah tahap penutupan (termination stage) dimana para anggota mengucapkan selamat berpisah kepada anggota lain dan bersiap untuk kembali kepada kehidupan mereka masing-masing dengan rasa memiliki kompetensi yang lebih besar.
Sekalipun tahapan-tahapan ini terkesan terpisah satu sama lain di dalam teori perkembangan kelompok, namun dalam situasi nyata, tahapan-tahapan ini bersifat cair dan seringkali sulit dibedakan satu sama lain dan juga tidak terjadi secara berurutan/linear. Tahap yang satu seringkali masih tetap berjalan ketika tahap berikutnya mulai terjadi. Dan banyak kelompok mengalami daur ulang, yaitu kembali mengalami tahap-tahap sebelumnya seiring dengan perjalanan yang dialami para anggota kelompok. Ketika kelompok mengalami daur ulang seperti ini, pemimpin perlu mengarahkan dan menunjang kelompok agar para anggota bisa tetap bertahan di dalam jalur mereka di dalam menjalankan tugas-tugas pembelajaran interpersonal.
2. Tahap Pembentukan
Bab ini akan memfokuskan pada tahap pembentukan dari perkembangan kelompok. Tahap pembentukan dari sebuah kelompok adalah tahapan yang paralel dengan masa kecil dari seseorang. Di dalamnya ada pandangan ke masa depan, penentuan tujuan, kebutuhan akan struktur, dan ketergantungan pada pemimpin untuk melakukan fasilitasi secara aktif. Dalam tahap pembentukan ini, tugas dari pemimpin adalah memberikan struktur untuk menguatkan rasa orientasi (Lacoursiere, 1980) dan mengurangi kegelisahan terhadap hal-hal yang belum diketahui.
Orang seringkali merasa cemas ketika mengikuti sebuah kelompok baru. Bagaimana nantinya kelompok ini? Siapa saja yang ada dalam kelompok itu? Apa yang akan dibicarakan? Apa yang diharapkan dari diri saya? Ada banyak pertanyaan yang akan bermunculan dalam pikiran orang. Para anggota dalam sebuah kelompok baru harus belajar tentang kegiatan dari kelompok dan bagaimana kelompok itu akan melakukan kegiatan itu. Dalam tahap pembentukan ini, para anggota kelompok sangat tergantung pada pemimpin kelompok, dan memiliki pengharapan bahwa pemimpin kelompok adalah seorang pakar dalam membangun kelompok (group building).
3. Dua Kunci Dari Kerja Kelompok: Tugas Dan Hubungan
Sebuah kelompok yang dibatasi oleh waktu mendapatkan tekanan untuk menjalankan tugasnya dengan secepat mungkin. Dua kunci untuk mulai mengerjakan tugas dari kelompok adalah tugas dan hubungan (Bales, 1953). Kelompok dibentuk untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sudah ditetapkan bagi kelompok. Tugas ini mendorong kelompok untuk mengerahkan energinya secara sadar. Namun seringkali para anggota dalam sebuah kelompok yang masih baru ingin menghilangkan rasa ketidakpastian atau ambivalensi dan akibatnya mereka menjalankan tugas dengan begitu saja tanpa menyadari apa cara sebenarnya yang harus dilakukan agar bisa menuntaskan tugas itu. Maka di sini pemimpin bertanggungjawab untuk memberikan struktur yang bisa digunakan anggota kelompok untuk menyelesaikan tugasnya. Memberikan struktur ini akan membuat para anggota baru dalam sebuah kelompok akan menjadi rileks dan produktif.
Sekalipun memberikan struktur dalam kelompok bisa mendorong kelompok untuk menjalankan tugasnya, namun pemimpin juga harus mengupayakan agar para anggota kelompok membentuk hubungan satu sama lain agar bisa membangun rasa keterikatan, rasa saling percaya, saling menerima dan memiliki harapan. Aspek hubungan ini adalah kunci kedua bagi kerja kelompok. Pemimpin tidak hanya harus mengembangkan hubungan baik (rapport) dengan anggota kelompok tapi juga harus memfasilitasi terbentuknya hubungan yang kohesif antar anggota kelompok itu sendiri. Dengan sendirinya, hubungan antar orang dalam sebuah kelompok yang relatif masih belum kenal baik satu sama lain tidak akan terjadi dengan begitu saja. Di sinilah ketrampilan kepemimpinan kelompok menjadi penting. Sebagian besar dari kepemimpinan memiliki hubungan dengan pembentukan hubungan antar kelompok yang bisa memberikan efek terapeutik bagi anggota kelompok.
Cara terbaik untuk menerapkan dua kunci ini (tugas dan hubungan -pent) di dalam sesi pertama adalah dengan meminta para anggota saling bercerita tentang masalah dan tujuan mereka kepada satu sama lain. Ketika orang mulai saling menceritakan kesulitan, masalah, dan hal-hal yang ingin mereka ubah, banyak hal-hal menakjubkan yang bisa terjadi. Rasa universalitas (Yalom, 1995) akan mulai terbentuk ketika para anggota kelompok mendengarkan kisah-kisah manusiawi dari sesama anggota kelompok yang lain. Rasa kesendirian dan keterasingan yang dirasakan orang akan menjadi luntur. Di sini rasa ikatan akan mulai terbentuk. Maka sebagian besar dari sesi pertama ini sebaiknya digunakan untuk membantu para anggota di dalam mengungkapkan apa yang menjadi tujuan mereka.
4. Kebutuhan Untuk Menjadi Bagian Dari Kelompok
Schutz (1958) telah menyebutkan bahwa ada tiga kebutuhan universal yang dirasakan semua individu, yaitu kebutuhan untuk menjadi bagian (need for inclusion), kebutuhan akan kendali (need for control) dan kebutuhan akan afeksi (need for affection, afeksi = perasaan terhadap orang lain -pent). Tiga kebutuhan ini memiliki peran sentral di dalam proses interpersonal dan perkembangan dari kelompok. Kebutuhan untuk menjadi bagian adalah kebutuhan yang sangat besar pengaruhnya di dalam tahap pembentukan dari sebuah kelompok (sementara kebutuhan akan kendali dan kebutuhan akan afeksi akan dibahas nanti di Bab 7 dan 9). Menjawab kebutuhan untuk menjadi bagian ini adalah tugas pertama di dalam membentuk sebuah kelompok. Ketika sebuah kelompok mulai terbentuk, maka para anggotanya harus saling mengenal sesama anggota kelompok yang akan berhubungan erat dengan mereka selanjutnya. Untuk memenuhi kebutuhan untuk menjadi bagian ini, pemimpin kelompok harus menciptakan sebuah struktur yang memudahkan bagi anggota kelompok untuk menunjukkan minat dan keperdulian mereka terhadap satu sama lain.
Ketika seorang pemimpin membentuk sebuah kelompok baru, maka kebutuhan pemimpin untuk menjadi bagian dari kelompok akan terpenuhi secara otomatis, karena dia akan menjadi inti dari kelompok dan para anggota akan tergantung pada keahliannya sebagai pemimpin. Namun jika pemimpin memasuki sebuah kelompok yang sudah terbentuk sebelumnya, dia akan memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian kelompok yang lebih besar daripada anggota-anggota yang sudah ada dalam kelompok itu, karena si pemimpin akan menjadi orang baru. Para anggota kelompok bisa jadi akan menguji si pemimpin untuk mengetahui apakah dia bisa mengatasi masalah. Dalam situasi ini, cara terbaik untuk merespon adalah dengan keterbukaan, otentisitas, dan level keyakinan diri yang cukup besar, dan kejelasan tentang peran yang Anda jalankan.
5. Kelompok Terstruktur, Semi Terstruktur Dan Tak Terstruktur
Untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompok untuk menjadi bagian dari kelompok, maka pemimpin dalam sesi pertama harus menciptakan sebuah struktur yang kondusif bagi anggota kelompok untuk menunjukkan keperdulian mereka terhadap satu sama lain. Salah satu cara yang bisa Anda gunakan sebagai pemimpin kelompok adalah dengan metode “bergantian” (go-around exercise), dimana metode ini akan memastikan bahwa semua anggota kelompok disertakan dalam berbagi cerita dan bisa mengurangi kegelisahan dari para anggota yang merasa cemas atau canggung dalam situasi.
Pada umumnya, sebuah proses kelompok yang terfokus secara interpersonal adalah tidak terstruktur atau paling banter adalah kelompok semi terstruktur. Sebuah kelompok yang strukturnya minimal telah diketahui memiliki kekuatan, yaitu ketiadaan struktur itu menimbulkan ambiguitas/ketidakjelasan yang membuka kesempatan bagi para anggota kelompok untuk mengungkapkan gaya interpersonal mereka masing-masing. Gaya dan pola interpersonal ini, yang terbentuk dalam proses kelompok, bisa menjadi dasar bagi kegiatan kelompok. Namun ini sebaiknya tidak dijalankan dulu dalam sesi pertama. Sesi pertama selalu memerlukan banyak struktur agar kelompok bisa memulai dengan baik untuk jmengerjakan aspek-aspek yang terkait dengan tugas (Hetzel, Barton dan Davenport, 1994).
Begitu menginjak pada sesi kedua, kelompok pengalaman (experiential group) bisa menggunakan struktur yang minimal agar memberikan ruang yang maksimal bagi kemunculan gaya interpersonal dari tiap anggota kelompok sendiri. Berbicara secara bergantian tentang topik yang sudah ditentukan atau kegiatan terstruktur sebaiknya tidak digunakan sebagai alat bantu biarpun memang hal semacam itu sebaiknya digunakan dalam pembukaan dan penutupan dari sesi. Struktur pada pembukaan dan penutupan dapat menjadi jembatan untuk masuk dan keluar dari intensitas dari interaksi interpersonal yang terjadi di dalam sesi.
C. STRUKTUR DARI SESI PERTAMA
Struktur dari sesi pertama bisa menggunakan urutan berikut: (1) sambutan/salam dan menyebutkan nama, (2) memecahkan kebekuan, (3) memperkenalkan tujuan personal dari tiap anggota, (4) menyajikan secara rinmgkas tujuan dari semua anggota dalam bentuk tema bersama, (5) membahas masalah-masalah rasa memiliki kelompok (group ownership) yang muncul, (6) menutup sesi pertama dan (7) memberikan pesan/mengingatkan kembali. Ini adalah struktur yang disarankan saja dan tidak bersifat wajib dan Anda bisa mengubahnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi dari kelompok Anda sendiri. Berikut ini adalah paparan terinci dari struktur ini:
1. Sambutan/Salam Dan Menyebutkan Nama
Sambutlah anggota kelompok dengan cara yang akrab dan profesional, seperti misalnya:
Saya ucapkan selamat datang kepada semua anggota yang hadir di sini. Selamat datang ke sesi pertama dari kelompok kita ini. Saya senang semuanya bisa hadir di sini malam ini. Kita punya waktu 90 menit. Kita akan mulai belajar untuk mengenal satu sama lain. Karena saya sudah tahu nama-nama Anda tapi Anda belum kenal dengan yang lain maka mari kita bergantian menyebutkan nama kita dan memperkenalkan diri dengan satu kalimat atau lebih.
2. Memecahkan Kebekuan
Orang seringkali datang ke sebuah kelompok baru dengan perasaan yang bermacam-macam. Jika tidak diungkapkan, maka perasaan yang tidak keruan ini bisa membuat mereka tidak hadir secara penuh di dalam kelompok. Pada prinsipnya, mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakan bisa berfungsi untuk memecahkan kebekuan (ice breaker, memecah es). Dalam kegiatan memecah kebekuan ini, yang memerlukan waktu 5-10 menit, Anda bisa meminta anggota kelompok untuk secara bergantian menyampaikan beberapa kalimat untuk mendeskripsikan perasaan mereka di dalam kelompok yang baru ini. Anda misalnya bisa mengatakan:
Terima kasih atas perkenalannya. Sebelum kita mulai dengan sesi pertama kita, mungkin sebaiknya kita semua bercerita sedikit tentang latar belakang kita dan apa yang kita rasakan saat ini. Mungkin ini adalah pengalaman Anda pertama kalinya dalam mengikuti kelompok seperti ini namun tentunya kita masing-masing memiliki perasaan sendiri tentang sesi pertama ini. Apapun yang Anda rasakan adalah penting untuk diketahui oleh semua anggota kelompok ini. Kita bisa menggunakan waktu 5-10 menit untuk ini. Mari kita mulai secara bergantian. Saya ingin agar kelompok menjawab pertanyaan ini: emosi apa yang Anda rasakan saat ini? Saya akan mulai dari diri saya sendiri, lalu selanjutnya ke arah ini (menunjukkan dengan gerak tangan).
Tidak heran kalau masalah kerahasiaan (confidentiality) akan selalu muncul sebagai masalah yang banyak dirasakan anggota kelompok. Jika ada anggota kelompok yang mengemukakan kekhawatiran semacam itu, maka pemimpin bisa menerima baik apa yang ia rasakan dan memfasilitasi kelompok untuk membahas masalah itu:
Tampaknya Judy merasa bahwa apa yang dikatakan dalam kelompok ini akan terdengar oleh orang lain di luar kelompok. Ini jelas akan membuat siapapun merasa tidak enak. [Berpaling kepada kelompok] Saat ini saya ingin agar kelompok ini membicarakan tentang bagaimana pandangan Anda masing-masing tentang masalah kerahasiaan dan apa yang bersedia Anda lakukan untuk melindungi hak orang lain untuk mendapatkan kerahasiaan ini.
Jika masalahnya sudah dibahas sampai tuntas, maka pemimpin bisa berkata:
Bagaimana kesimpulannya tentang masalah kerahasiaan? Apa kita bisa beranjak ke tema berikutnya?
Untuk menuntaskan kegiatan memecah kebekuan ini, Anda bisa mengatakan:
Sekarang kita semua tampaknya bisa sepakat tentang masalah kerahasiaan ini. Saya ingin kembali kepada bagaimana perasaan kita masing-masing berada di dalam kelompok ini. Siapa berikutnya?
Setelah selesai melakukan kegiatan memecah kebekuan ini, pemimpin bisa meringkas perasaan-perasaan yang dirasakan para anggota kelompok untuk membangun rasa universalitas:
Tampaknya sebagian besar dari Anda merasakan bahwa ada hal positif yang bisa didapatkan dari kelompok ini dan beberapa dari Anda merasa ragu tentang tantangan dan masalah yang mungkin Anda hadapi.
Kegiatan memecah kebekuan ini tidak hanya ditujukan terhadap hal-hal yang muncul saat itu di dalam kelompok tapi juga sekaligus menjadi awal untuk membangun rasa persatuan dalam kelompok. Seperti yang disampaikan seorang pemimpin kelompok, “saya mendapati bahwa dengan memberi kesempatan pada semua orang untuk mengungkapkan perasaan mereka pada awalnya, kami mulai menjalani proses pembentukan ikatan (bonding).”
3. Memperkenalkan Tujuan
Tugas yang paling penting pada sesi pertama adalah memberikan kesempatan bagi para anggota untuk menceritakan apa yang menjadi tujuan personal mereka. Untuk memastikan kesuksesan dari sesi pertama ini, pemimpin perlu menggunakan sebagian besar dari waktu dalam sesi pertama ini untuk kegiatan pengungkapan tujuan personal ini. Sekalipun pemimpin sebelumnya telah mewawancarai para anggota kelompok secara satu per satu dan mengetahui apa yang menjadi tujuan mereka, namun para anggota lain dalam kelompok tidak mengetahui apa yang menjadi tujuan dari orang lain dalam kelompok mereka. Kalau tidak mengetahui apa yang menjadi tujuan dari yang lain, maka anggota kelompok tidak bisa saling membantu di dalam sesi-sesi berikutnya. Maka tugas yang paling penting di dalam sesi pertama ini adalah menceritakan tujuan yang ingin dicapai tiap anggota nantinya ketika pengalaman kelompok mereka usai.
Mungkin terasa mudah bagi pemimpin kelompok untuk membantu anggota kelompok menyempitkan/memfokuskan tujuannya di dalam wawancara awal sebelum kelompok dimulai, karena dalam wawancara seleksi (screening) sebelum kelompok dimulai seperti itu, situasinya lebih rileks dan lebih kondusif bagi anggota kelompok untuk mengungkapkan diri. Namun rasa nyaman dan rileks itu bisa dengan mudah lenyap ketika orang berada dalam sesi pertama kelompok mereka. Kegelisahan yang dirasakan ketika berada dalam ruangan bersama dengan banyak orang yang belum dikenal akan membuat anggota kelompok yang masih baru menjadi kesulitan di dalam menceritakan apa yang menjadi tujuan mereka yang sudah mereka paparkan dengan jelas di dalam wawancara awal. Bisa jadi mereka menjadi tidak jelas dan sulit dipahami ketika memaparkannya. Mereka memiliki kecenderungan untuk mundur ke sudut yang aman dan menutup diri sedapat mungkin. Ini bisa menjadi masalah bagi pemimpin di dalam sesi pertama ini.
Untuk mengurangi kegelisahan, pemimpin bisa menggunakan format berbicara bergantian (go-around) dalam memperkenalkan tujuan. Namun pemimpin harus hati-hati di dalam memilih siapa yang akan pertama kali ditunjuk untuk berbicara, karena orang yang pertama ini akan mempengaruhi suasana selanjutnya di dalam kelompok. Jika orang yang mendapatkan giliran pertama ini adalah orang yang terbuka secara emosional di dalam menceritakan tujuan-tujuan dan masalah-masalah yang ia hadapi, maka orang-orang lain dalam kelompok akan cenderung untuk terbuka juga. Namun jika orang pertama ini cenderung menutup diri atau terkesan tidak sungguh-sungguh maka anggota lain dalam kelompok kemungkinan besar akan juga menjadi takut-takut untuk mengungkapkan diri pada sebagian besar dari sesi itu. Maka Anda perlu mengingat siapa yang dalam wawancara awal adalah orang yang paling terbuka dan memiliki kesadaran akan diri sendiri, dan mengundang orang itu untuk memulai.
Sebagai pengantar Anda bisa mengatakan:
Kita punya waktu 70 menit untuk sesi hari ini. Saya minta masing-masing dari Anda menceritakan apa yang menjadi tujuan personal Anda di dalam kelompok. [jeda] Karena ada delapan orang dalam kelompok ini, maka tiap orang akan mendapatkan kesempatan 8 menit kurang lebih. [jeda] Sekalipun Anda semua sudah mendiskusikan tentang apa yang menjadi tujuan Anda bersama saya di dalam wawancara sebelumnya, namun anggota kelompok yang lain masih belum tahu. Karena kelompok kita ini nantinya berlangsung selama 12 sesi pertemuan, maka semua anggota yang lain perlu mengetahui apa yang menjadi tujuan personal dari rekannya yang lain, agar masing-masing dari kita bisa membantu yang lain di dalam mencapai tujuan mereka. [jeda]
Sekarang saya minta masing-masing dari Anda untuk menjawab tiga pertanyaan ini. Yang pertama, apa masalah yang ingin Anda atasi? Yang kedua, jika masalah itu tidak berhasil diatasi, apa konsekwensi negatif yang menurut Anda akan terjadi? Dan yang ketiga, perbaikan apa yang ingin Anda jadikan target nantinya di akhir dari kelompok ini? Sekarang kita akan mulai dari Jeff dan lalu bergantian ke arah sana [membuat gerak tangan menandakan arah]
Sekali lagi, Anda harus memastikan bahwa orang yang Anda pilih untuk mengawali putaran ini adalah orang yang terbuka secara emosional di dalam menceritakan masalah-masalah dan tujuan-tujuannya.
3.1. Empat Tugas Dalam Menceritakan Tujuan
Ketika seorang anggota kelompok menceritakan apa yang menjadi tujuannya, maka tugas dari kelompok adalah (a) membantu anggota itu menceritakan masalah yang ia hadapi, (b) membantu anggota itu mempertajam (shape up) tujuannya, (c) memaksimalkan interaksi kelompok dengan anggota itu dan (d) menjauhkan diri dari pemecahan masalah dan penyelamatan. Ke empat tugas kelompok dalam menceritakan tujuan dijelaskan secara spesifik berikut ini.
Menceritakan masalah. Tugas pertama dari kelompok dalam kegiatan menceritakan masalah adalah membantu dalam memaparkan masalah. Tujuan akan menjadi lebih mudah dimengerti ketika kita tahu masalah yang mendasari terbentuknya tujuan itu. Karenanya, Anda perlu mengundang anggota kelompok yang sedang menceritakan tujuannya agar pertama-tama memaparkan masalah yang mendasari tujuannya itu agar para anggota lain memahami mengapa tujuan itu menjadi penting.
Ada situasi yang tidak mengenakkan yang bisa terjadi secara tidak terduga. Beberapa anggota kelompok tertentu mungkin sengaja menutupi banyak informasi karena takut mengungkapkan informasi personal kepada kelompok. Ketakutan untuk membuka diri seperti ini bisa membuat mereka menggambarkan diri mereka dengan cara-cara yang impersonal. Pada saat yang sama, ini akan membuat anggota lain dalam kelompok merasa sulit untuk membuka diri juga, karena mereka tidak tahu sampai seberapa jauh mereka bisa berinteraksi satu sama lain. Ini terutama bisa terjadi pada individu-individu yang memiliki pengalaman budaya dan keluarga yang membuat mereka enggan untuk membuka informasi personal kepada orang-orang di luar keluarga mereka. Kemungkinan-kemungkinan semacam ini bisa terjadi di dalam sesi pertama. Seorang pemimpin kelompok perlu memiliki ketrampilan fasilitatif yang memadai agar bisa mengatasi situasi-situasi semacam ini. Ketrampilan-ketrampilan fasilitatif ini akan dipaparkan dalam Bab 5.
Ketika seorang anggota menceritakan tujuannya, baik pemimpin maupun kelompok bisa memfasilitasi anggota itu untuk mendeskripsikan secara lebih baik masalah yang mendasari tujuan itu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti misalnya:
Tolong ceritakan sedikit tentang asal muasal dari masalah ini.
Apa yang sudah Anda coba lakukan namun gagal?
Bagaimana dampak dari masalah ini bagi kehidupan atau hubungan Anda?
Jika perubahan tidak terjadi, apa dampaknya?
Mempertajam tujuan. Tugas yang kedua dari kelompok di dalam kegiatan menceritakan tujuan adalah membantu anggota di dalam mempertajam tujuan yang ingin dicapainya. Perlu ditekankan bahwa kerja kelompok yang sukses baru bisa tercapai ketika para anggotanya berangkat dengan tujuan-tujuan yang jelas (Haley, 1976). Seperti yang disebutkan dalam bab sebelumnya, tujuan adalah bentuk motivasi dasar bagi manusia, karena tujuan akan mengarahkan perilaku kita. Agar tujuan bisa kondusif bagi perubahan klien, maka tujuan itu harus didefinisikan dengan cara sedemikian rupa sehingga para anggota kelompok yang lain bisa melihat apakah tujuan itu berhasil dicapai atau tidak pada akhir dari kegiatan kelompok (Barker, 1985). Tujuan harus ditentukan dan dipertajam agar bisa menjadi bermakna, spesifik dan memiliki level kesulitan yang sedang. Maksudnya, tujuan itu harus cukup menantang, namun realistis dan bisa dicapai di dalam masa berlangsungnya kelompok.
Menentukan tujuan dengan cara seperti ini dapat membantu anggota kelompok untuk menciptakan sebuah visi, yaitu gambaran yang jelas dan konkrit tentang hasil yang ingin dicapai, yang bisa dipahami oleh keseluruhan kelompok. Jika visinya cukup jelas, maka visi itu bisa menjadi penuntun bagi arah yang akan diambil, membangkitkan komitmen dan menghasilkan momentum yang diperlukan agar visi itu bisa menjadi kenyataan. Karenanya para pemimpin berusaha untuk memfasilitasi kelompok agar bisa menolong satu sama lain dalam mempertajam tujuan agar tujuan yang didapatkan itu menjadi cukup menantang namun tetap masuk akal untuk bisa dicapai. Jika para anggota kelompok tidak tahu bagaimana cara melakukan itu, maka tanggung jawab itu jatuh ke pundak dari pemimpin kelompok. Para anggota akan meniru apa yang dilakukan pemimpin dan saling membantu satu sama lain di dalam menetapkan tujuan yang lebih jelas.
Salah seorang anggota kelompok mengenang kembali pengalamannya menjalani sesi-sesi kelompok, dan ia teringat bagaimana ia pada awalnya mengalami kesulitan di dalam menentukan tujuan personal bagi dirinya sendiri dan dari situ ia menyadari tentang pentingnya menentukan tujuan. Dia menulis:
Saya mendapati bahwa pengalaman kelompok saya adalah penuh dengan keperdulian terhadap orang lain dan mengasyikkan dan bukannya konfrontasional atau intrusif/mengganggu terhadap kehidupan pribadi seperti yang saya takutkan pada awalnya. Memang ini disebabkan karena penekanan pada empati dan kejujuran dan para anggota kelompok yang lain bersikap sangat jujur, apa adanya, memiliki komitmen dan murah hati. Namun yang paling penting adalah ide bahwa kita harus memiliki tujuan, tujuan personal, yang merupakan kunci bagi kesuksesan dari kelompok ini. Saya pikir ada sebuah pelajaran yang patut ditarik dari penentuan tujuan dalam kelompok ini, yang mestinya juga berguna bagi kehidupan nyata.
Ada dua ketrampilan yang digunakan di dalam membantu para anggota di dalam menentukan tujuan mereka. Para pemimpin harus membantu para anggota untuk mendefinisikan tujuan mereka (1) secara positif dan (2) secara behavioral dan nyata/bisa diamati (visible).
Mendefinisikan tujuan secara positif. Agar tujuan bisa dicapai, maka para anggota kelompok harus mendefinisikan tujuan mereka secara positif, dan bukan secara negatif. Seperti yang dijelaskan Barker (1985), “banyak orang datang dan ikut terapi dengan membawa tujuan negatif (negatif dalam artian mengandung penolakan terhadap sesuatu, yang biasanya diwujudkan lewat kata “tidak” dalam kalimat yang digunakan -pent). Misalnya mereka ingin tidak lagi depresi, tidak lagi makan terlalu banyak atau berhenti merokok. Atau mereka ingin agar anak mereka tidak lagi berkelahi, atau agar anak perempuan mereka tidak lagi menolak makanan yang mereka berikan. Semuanya ini adalah alasan yang cukup kuat untuk mencari bantuan profesional, namun belum memadai untuk bisa dijadikan sebagai kerangka bagi hasil yang ingin dicapai nantinya.” (hal. 67). Deskripsi dari tujuan yang ingin dicapai “memerlukan lebih dari sekedar pernyataan tentang apa yang Anda tidak ingin terjadi” melainkan kita juga harus memiliki “gambaran yang komprehensif tentang apa yang kita inginkan agar terjadi” (hal. 67). Untuk membantu seorang anggota kelompok di dalam mendefinisikan tujuannya dengan bahasa yang positif, Anda bisa mengajukan pertanyaan:
Kalau kamu tidak ingin merasa depresi, kamu ingin merasa bagaimana?
Apa yang bisa menggantikan merokok (atau makan) dalam hidupmu?
Apa yang harus dilakukan anak-anakmu kalau mereka tidak bertengkar?
Mendefinisikan tujuan secara behavioral dan dapat teramati. Bahkan ketika tujuan dari para anggota kelompok sudah dijabarkan secara positif, seringkali tujuan itu masih samar dan tidak jelas. Sebagai contoh, klien bisa saja mengatakan bahwa mereka ingin “menjadi lebih bahagia”, “memiliki semangat yang lebih besar”, atau “bisa memutuskan apa yang ingin dilakukan dengan kehidupanku”. Barker (1985) menyatakan bahwa “pernyataan-pernyataan semacam itu bisa menjadi titik awal bagi diskusi dalam menentukan tujuan dari terapi (treatment), tapi tujuan semacam itu sendiri masih belum bisa menjadi kerangka yang memadai. Apa yang dimaksud dengan lebih bahagia? Lebih bahagia dari apa atau siapa? Dalam situasi apa orang itu ingin menjadi lebih bahagia? Bagaimana klien dan terapisnya bisa tahu apakah tingkat kebahagiaan yang diinginkan itu sudah tercapai atau belum?” (hal. 68). Maka anggota kelompok harus diminta untuk mendeskripsikan sedapat mungkin secara behavioral tentang bagaimana jadinya kehidupannya ketika tujuannya telah sukses tercapai.
Sebagai contoh, jika ada anggota kelompok yang mengatakan bahwa dia ingin merasa lebih bahagia, pemimpin kelompok bisa bertanya:
Ketika kamu merasa lebih bahagia, apa yang akan kamu lakukan?
Ketika kamu menjadi lebih bersemangat, bagaimana perbedaannya dengan apa yang kamu lakukan hari ini?
Apa yang beda dari tindakanmu ketika kamu mencapai tujuanmu?
Ketika kamu sudah tahu apa yang ingin kamu lakukan dengan hidupmu, bagaimana kehidupanmu jadinya?
Bagaimana kita bisa tahu bahwa kamu sudah mencapai tujuanmu?
Interaksi kelompok. Tugas kelompok yang ketiga dalam kegiatan menceritakan tujuan adalah memaksimalkan interaksi kelompok. Kekuatan dari kelompok adalah terletak pada interaksi kelompok. Tanpa adanya interaksi ini, maka sesi yang dilakukan kelompok akan menjadi tidak menarik dan tidak hidup. Untuk membuat sesi pertama dari kelompok menjadi menarik dan membangun ikatan bagi para anggota, maka pemimpin harus memfasilitasi terjadinya interaksi kelompok semaksimal mungkin. Biasanya para anggota di dalam sesi pertama tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka ketika mereka mendengarkan anggota lainnya menceritakan tujuan dan masalah-masalah mereka. Pemimpin bisa memfasilitasi interaksi dengan cara mendorong anggota kelompok untuk memberikan komentar atau mengajukan pertanyaan yang meminta penjelasan secara spontan. Misalnya, pemimpin bisa berkata,
Saya ingin mengingatkan kepada kelompok bahwa ketika ada anggota kelompok yang menceritakan masalah-masalah dan tujuannya, anggota yang lain bisa memberikan komentar yang suportif, mendukung apa yang dirasakan anggota yang ada di depan, atau meminta dia untuk menjelaskan sesuatu dengan mengajukan pertanyaan kepadanya. Anda tidak perlu meminta ijin dari pemimpin. Apa ini jelas bagi semuanya?
Jika anggota kelompok yang lain masih merasa kurang bebas dalam bertanya atau memberikan komentar, pemimpin bisa mendorong terjadinya interaksi kelompok dengan bertanya kepada anggota kelompok:
Apakah ada yang punya pertanyaan yang ingin diajukan kepada Julie?
Apakah kalian semua memahami apa yang dikatakan Joe?
Apakah kalian menangkap maksud yang hendak disampaikan Mary?
Bisakah kalian menjelaskan kembali masalah apa yang sedang dihadapi Joe?
Membicarakan masalah yang kita hadapi di hadapan banyak orang bisa menimbulkan kegelisahan yang sangat besar. Karenanya akan sangat melegakan bagi seorang anggota kelompok ketika ia mendengar bahwa ada orang lain yang juga memiliki masalah yang serupa dengan dirinya. Ketika anggota yang berbicara di depan merasa bahwa dirinya tidak sendirian dan bahwa ada orang lain yang menghadapi dilema dan pengalaman yang serupa, maka dengan sendirinya akan terbentuk rasa percaya dan ikatan (bonding). Ini adalah faktor terapeutik dari universalitas yang terjadi dalam kelompok. Untuk mengembangkan norma berbagi kesamaan ini, pemimpin bisa memancing (elicit) anggota kelompok yang lain untuk menceritakan pengalaman yang serupa dengan yang disampaikan anggota yang berbicara di depan, misalnya dengan mengatakan:
Apakah ada dari antara kamu yang memiliki masalah yang sama dalam pengalamanmu sendiri?
Siapa lagi di dalam kelompok ini yang menghadapi masalah serupa?
Jika seorang anggota merasa skeptis/ragu untuk menceritakan masalahnya, pemimpin sebaiknya tidak berusaha terlalu keras di sesi pertama untuk membuatnya terbuka. Berikan waktu kepada anggota itu untuk memperhatikan dan mengobservasi kelompok sampai dia merasa cukup nyaman untuk membuka diri.
Menjauhkan diri dari pemecahan masalah dan penyelamatan. Tugas terakhir dari kelompok yang mendengarkan anggotanya menceritakan masalah dan tujuannya adalah bahwa kelompok tidak boleh melakukan perilaku pemecahan masalah dan penyelamatan. Orang seringkali terdorong untuk memberikan penghiburan, menawarkan saran atau pemecahan masalah begitu ia mendengar tentang masalah yang dihadapi orang lain, seolah mereka takut bahwa mereka akan dianggap tidak perduli kalau mereka tidak melakukan hal semacam itu. Dalam sebuah kelompok yang baru, anggota biasanya memiliki kecenderungan besar untuk melakukan perilaku semacam ini, yaitu langsung memberikan penghiburan atau bahkan saran.
Sebagai contoh, misalkan ada seorang anggota kelompok yang masih baru, bernama Katie, yang mengungkapkan masalahnya bahwa dia takut saudara laki-lakinya akan terkena wajib militer dan berkata bahwa dia khawatir akan keselamatan saudaranya itu. Ketika dia berbicara tentang masalahnya itu, terlihat bahwa dia makin lama menjadi makin cemas. Seorang anggota kelompok lain, yang bernama Julie, merasa terdorong untuk menyelamatkan Katie dengan berkata, “Rasanya perang tidak akan terjadi. Bahayanya tidak sebesar itu. Kamu tidak perlu kuatir.” Sekalipun Julie memberikan penghiburan itu dengan niatan baik, namun efek yang ditimbulkannya adalah dia terkesan seperti meremehkan ketakutan Katie. Yang menarik adalah justru respon seperti itulah yang diterima Katie dari ayah dan teman-temannya – yaitu sebuah respon yang menegasikan atau menolak perasaannya dengan mengatakan bahwa apa yang ia rasakan itu adalah tidak logis. Dengan melakukan pengubahan arah (redirection), pemimpin kelompok bisa menghentikan perilaku penyelamatan ini dan mencegah agar yang lain tidak ikut-ikutan melakukannya (cascading). Pemimpin bisa melakukan pengubahan arah dengan mengatakan, misalnya:
Saya ingin tahu apakah ada dari antara kalian yang memahami mengapa kejadian ini sangat sulit bagi Katie?
Katie, apa yang bisa dilakukan kelompok ini untuk menolong dirimu?
Ketika pemimpin mengucapkan kalimat yang kedua di atas, Katie mengungkapkan keinginannya untuk bisa belajar mengungkapkan perasaannya dengan lebih terbuka karena dia seringkali menutupi perasaannya. Ini menjadi tujuannya di dalam kelompok itu.
Dilihat dari perspektif seorang anggota, pengalaman dimana ia merasa ditolong dan dihibur belum tentu akan membuat dia merasa nyaman. Justru pengakuan terhadap kesulitan yang ia rasakan-lah yang bisa memberikan dukungan yang ia perlukan. Berikut ini adalah contoh lainnya: seorang anggota kelompok yang masih baru, bernama Judy, menceritakan pengalaman pahitnya yaitu tiga bulan sebelumnya ia putus dari pria yang sudah menjadi pacarnya selama lima tahun. Matanya berkaca-kaca ketika dia menceritakan bagaimana dia belum pernah mendapatkan penolakan seperti itu dalam hubungan sebelumnya. Dia ingin bisa berdamai dengan kejadian itu dan meneruskan kehidupannya dan melewati kejadian itu. Seorang anggota kelompok, bernama Job, mencoba untuk menghibur Judy dengan mengatakan, “Itu adalah bagian dari kehidupan. Semua orang mengalaminya.” Setelah sesi itu selesai, Judy menulis di dalam jurnalnya:
Ketika tiba giliran saya untuk menceritakan masalah dan tujuan saya, saya menceritakan apa yang menjadi masalah saya dan merasa seperti direndahkan atau diabaikan ketika Job mengatakan bahwa masalah saya adalah “bagian dari kehidupan” dan bahwa “semua orang mengalaminya”. Saya sadar bahwa Job sekedar ingin memberikan kesan bahwa masalah yang saya hadapi adalah wajar dan tidak terlalu berat, sehingga saya tidak merasa terbuang karena mengalami hal seperti itu. Namun saya merasa seolah saya mestinya tidak perlu menceritakan apa yang terjadi karena “putus berpacaran adalah normal dan terjadi pada semua orang”. Namun Ken terus mengatakan bahwa “itu memang sulit” dan mengakui bahwa “itu pasti mempengaruhi semua sisi yang lain dalam kehidupanmu” sehingga membuat saya merasa seperti dia memahami mengapa itu menjadi masalah yang sangat menyakitkan buat saya.
Jelas bahwa anggota kelompok bisa menilai dari reaksi yang mereka berikan terhadap respon dari anggota lain tentang apakah respon itu benar-benar altruistik/memiliki keperdulian ataukah respon itu tidak memberikan manfaat apapun bagi anggota yang lain.
4. Meringkas Kesamaan Tema Antar Anggota
Setelah semua anggota kelompok sudah menceritakan dan menentukan apa yang menjadi tujuan personal mereka, pemimpin perlu meringkas tema-tema yang sama dari semua masalah dan tujuan yang diungkapkan para anggota kelompok. Ini bisa menguatkan rasa ikatan antar anggota kelompok. Sebagai contoh:
Saya mengucapkan terima kasih kepada semuanya karena telah bersedia menceritakan masalah personal dan tujuan yang ingin dicapai kepada semua yang ada di sini. Dari apa yang kalian sampaikan tadi, saya merasakan bahwa banyak dari kalian yang sama-sama memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah yang berasal dari masa silam agar kalian bisa hidup dengan lebih bermakna dalam hubungan-hubungan yang kalian jalani sekarang. Apakah ada tema-tema lain yang juga kalian perhatikan dari apa yang sudah disampaikan tadi?
5. Membahas tentang Masalah Kepemilikan Kelompok (Group Ownership)
Seringkali waktu yang tersedia dalam sesi pertama tidak memadai untuk membahas tentang aturan-aturan dalam kelompok. Seringkali diperlukan banyak sesi agar sebuah kelompok bisa membuat aturan-aturan bagi dirinya sendiri. Tapi jika ada masalah tentang kepemilikan kelompok seperti ini muncul dalam sesi pertama, maka pemimpin bisa memberikan waktu kepada kelompok untuk membuat kesepakatan sendiri tentang masalah-masalah itu. Biasanya masalah kolektif yang dirasakan oleh sebuah kelompok adalah tentang:
· Kerahasiaan informasi
· Kehadiran
· Keterlambatan
· Merokok dan makan selama sesi
· Merekam
· Sosialisasi di luar kelompok dengan sesama anggota
· Terlibat secara intim dengan anggota lain
· Hak dan tanggung jawab anggota
Pemimpin kelompok bisa meringkas diskusi dengan mengatakan:
Masalah-masalah yang baru saja kita bahas adalah penting bagi kita semua. Karena bagaimana jadinya kelompok ini adalah sepenuhnya tergantung pada kita sendiri, maka saya ingin agar kita semua tetap membahas masalah-masalah nanti kalau nantinya muncul lagi.
Pemimpin harus mengingatkan kepada kelompok bahwa perlu waktu sampai beberapa minggu agar kelompok bisa menyelesaikan daftar dari aturan lengkap dan memberi mereka kebebasan untuk menambahkan aturan baru yang mereka anggap penting bagi rasa aman dan kenyamanan mereka bahwa batas-batas mereka (boundary) tidak dilanggar.
6. Menutup Sesi (Wrapping Up)
Menutup sesi dengan baik adalah sebuah ketrampilan kepemimpinan yang penting. Untuk itu pemimpin bisa memberikan kesempatan secara bergantian kepada anggota kelompok untuk menceritakan apa yang ia rasakan dari sesi pertama yang sedang berjalan itu, dimana biasanya sesi pertama ini dirasakan sebagai menarik tapi sekaligus mencemaskan. Pemimpin bisa berkata,
Kita punya sisa waktu 5 menit sekarang. Sebelum kita menutup sesi ini, saya ingin agar anggota kelompok secara bergantian menceritakan apa yang kalian rasakan pada akhir dari sesi hari ini. Kita akan mulai dari Katie dan setelah itu giliran selanjutnya ke arah sana.
Pemimpin juga bisa memberikan responnya sendiri dalam kesempatan itu:
Saya merasa sangat positif tentang sesi pertama kita ini. Saya sangat berterima kasih kepada Anda semua karena mau mengambil resiko besar hari ini untuk memberikan peluang bagi orang lain untuk mengetahui apa yang menjadi masalah dan tujuan Anda. Saya terkesan melihat bahwa pengalaman-pengalaman yang dibawa ke dalam sesi ini begitu beragam.
7. Pesan-Pesan Pengingat (Reminder)
Pemimpin bisa memberikan pesan-pesan kepada anggota untuk memberikan gambaran kepada anggota tentang kira-kira persiapan apa yang bisa mereka lakukan untuk sesi berikutnya.
Terima kasih saya ucapkan kepada semua anggota atas kerja kerasnya hari ini. Sebelum kita bubar, saya ingin mengingatkan bahwa untuk minggu depan kita akan mulai menggunakan waktu sesi untuk menolong para anggota kelompok ini untuk mengatasi masalah dan mencapai tujuan yang sudah mereka tetapkan. Saya berharap Anda semua meluangkan waktu selama satu minggu ke depan untuk memikirkan tentang masalah yang ingin Anda sampaikan secara lebih terinci dalam sesi berikutnya. Oke, semoga minggu ini menjadi minggu yang menyenangkan bagi kita semua.
D. PERTIMBANGAN TENTANG KEPEMIMPINAN SELAMA SESI PERTAMA
Untuk memastikan kesuksesan dari sesi pertama ini, terapis harus mempertimbangkan hal-hal berikut.
1. Menghindari Kegiatan Terapi Secara Mendalam Pada Sesi Pertama
Sesi yang pertama bukanlah saat yang tepat untuk langsung melakukan terapi secara “mendalam” (in-depth). Ini berarti bahwa terapis sebaiknya tidak menggunakan waktu yang terlalu lama untuk satu anggota tertentu saja, seperti misalnya lebih dari 15 menit untuk menggali satu masalah tertentu. Memang ada godaan untuk langsung melakukan eksplorasi terhadap apa yang ada di balik masalah yang diungkapkan anggota kelompok ketika anggota kelompok itu sedang nampak sangat stress atau berurai air mata saat menceritakan masalah dan tujuannya. Namun sebagian besar anggota kelompok biasanya tidak siap untuk langsung masuk secara mendalam seperti ini pada sesi pertama. Ini tidak berarti bahwa sesi pertama harus dangkal. Justru sebaliknya, sesi pertama ini harus menarik dan menggalang keterlibatan dari para anggota (engaging) dan membangun ikatan antar anggota kelompok. Tapi melakukan terapi secara mendalam kepada anggota kelompok secara terlalu dini, yaitu sejak sesi pertama, justru bisa membuat mereka ketakutan. Ketakutan untuk membuka diri terlalu cepat kepada orang lain bisa dilihat dari perenungan seorang anggota kelompok berikut ini:
Sekalipun saya sudah mendengar bahwa sesi kelompok bisa memiliki potensi manfaat yang sangat besar namun saya tidak menduga bahwa saya sendiri sampai memberikan reaksi yang begitu kuat terhadap sesi yang saya ikuti. Saya adalah orang terakhir yang kebagian giliran untuk menceritakan tujuan saya. Saya sendiri tidak menduga bahwa saya akan menangis begitu saya menceritakan tentang tujuan saya kepada kelompok. Saya tentu saja sadar bahwa apa yang saya bicarakan di situ adalah sebuah masalah yang sangat menyakitkan bagi saya tapi terus terang saja saya tidak mengira bahwa emosi saya akan sampai meledak seperti itu, apalagi itu baru sesi pertama. Saya akui saya malu karena emosi saya keluar dengan begitu lepas. Saya merasa sangat lemah dan seperti ditelanjangi di depan anggota-anggota kelompok yang lain. Sekalipun saya mempercayai sebagian dari mereka tapi saya masih tetap merasa sangat rentan dan konyol dan terlalu dramatis di hadapan mereka.
Seperti yang nampak dari perenungan di atas, orang bisa merasa sangat rentan ketika mengungkapkan emosi yang bagi dia sulit untuk diungkapkan, terutama ketika belum terbentuk rasa kepercayaan yang mendalam di dalam kelompok. Jika seorang anggota nampak sedang mengalami tekanan besar ketika menceritakan tentang masalah dan tujuan yang ingin ia capai, maka pemimpin bisa mengakui apa yang dirasakan anggota itu dan memberikan arahan:
Amelia, saya bisa merasakan betapa sakitnya perasaanmu ketika ditolak oleh orang tuamu sendiri. Kelompok ini adalah sebuah kesempatan yang bagus untuk mengeksplorasi hal-hal semacam ini. Mungkin kamu bisa mendapatkan waktu untuk masalah ini di sesi berikutnya kalau kamu sudah siap.
Jika seorang anggota sudah menangis, maka Anda bisa mengurangi rasa malu dari anggota itu dengan mengatakan:
Tracy, menangis itu tidak apa-apa. Kita semua pernah mengalami momen seperti yang kamu rasakan sekarang ini. Tidak perlu terburu-buru menahan perasaanmu. Biarkan apa yang kamu rasakan itu ada di situ dulu beberapa saat. Kita siap menunggu di sini untuk kamu. Kita sama sekali tidak terburu-buru.
Setelah itu, Anda sebagai pemimpin kelompok perlu mengakui apa yang dirasakan anggota kelompok itu dan memberikan arahan, seperti yang ditunjukkan di contoh sebelumnya.
2. Menjelaskan Aturan Dasar Ketika Terjadi Situasi
Pemimpin tidak perlu menunggu sampai akhir dari sesi untuk mendiskusikan tentang aturan-aturan dasar (ground rule) bagi kelompok. Sebaiknya aturan dibahas ketika terjadi situasi yang memerlukan aturan. Jika pemimpin membiarkan perilaku yang tidak diinginkan terjadi dalam kelompok sehingga menjadi kebiasaan (entrenched) dalam kelompok, maka itu akan sulit untuk diubah. Jika aturan dasar ditetapkan secara tepat waktu di dalam kelompok dengan mendapatkan persetujuan dari semua anggota, maka ada kemungkinan yang lebih besar bahwa aturan itu akan dipatuhi di dalam sesi-sesi berikutnya. Sebagai contoh, jika selama kegiatan memecah kebekuan ada seorang anggota yang mengungkapkan kekhawatirannya tentang konfrontasi antar anggota kelompok, maka Anda bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk membahas tentang aturan mengenai konfrontasi:
[kepada keseluruhan kelompok] Apa yang disampaikan Jamie ini adalah sebuah masalah yang penting. Saya ingin berkomentar tentang hal ini. Saya ingin agar kelompok kita ini membuat aturan bahwa tidak ada seorang pun boleh menyerang yang lain dalam kelompok ini. Kita hadir di sini untuk belajar dari satu sama lain dan bukan untuk menyerang mereka yang berbeda dari kita. Bagaimana komentar kalian kalau kita menetapkan aturan seperti itu?
Jika ada seorang anggota yang mengangkat tentang masalah kepercayaan, maka Anda bisa memanfaatkan peluang itu untuk membahas tentang aturan mengenai masalah kepercayaan antar anggota kelompok:
Ken, terima kasih karena telah menyebutkan tentang hal ini. Ini adalah sebuah masalah yang penting. [berpaling kepada kelompok] Sebelum ada anggota lain yang menceritakan masalah personal, saya ingin menekankan tentang aturan kerahasiaan yang sudah kita bahas sebelumnya. Jika kita ingin membangun sebuah kelompok dimana semua orang bisa saling mempercayai satu sama lain dan merasa aman, maka kita harus menjaga kerahasiaan dari apapun masalah personal yang diungkapkan dalam kelompok ini. Apakah semua orang bisa sepakat dengan aturan ini?
Jika para anggota bertanya tentang apakah mereka bisa menceritakan apa yang disampaikan dalam kelompok dengan orang lain yang signifikan (significant other, maksudnya suami, istri, pasangan hidup atau kekasih -pent) maka Anda bisa menggunakan kesempatan ini untuk memberikan pendidikan kepada mereka:
Saya pikir ada perbedaan yang besar ketika kita menceritakan kepada pasangan kita tentang apa yang kita sendiri kerjakan dalam kelompok ini dengan menceritakan tentang apa yang dikerjakan orang lain. Menjaga kerahasiaan berarti bahwa kita tidak menceritakan informasi tentang anggota kelompok ini kepada orang lain manapun. Bagaimana pandangan kalian tentang masalah ini?
3. Masalah Dan Tujuan Harus Berjalan Seiring
Selama menceritakan tentang tujuan, akan lebih produktif jika pemimpin kelompok mengundang anggota kelompok untuk menceritakan tentang tujuan mereka dalam konteks dari masalah interpersonal. Semua anggota kelompok harus memahami apa yang menjadi masalah dari anggota yang berbicara di depan dan apa yang harus diperjuangkan agar bisa saling membantu anggota yang lain agar berubah. Dengan kata lain, tujuan yang ingin dicapai itu haruslah kelanjutan dari sebuah masalah. Jika tidak mengetahui apa yang menjadi masalahnya, maka upaya untuk memahami tujuan itu adalah seperti mencoba untuk memahami sebuah foto hanya dengan melihat sobekan kecil dari foto itu saja. Tujuan harus dipahami berdasarkan pada masalah-masalah yang mendasarinya. Sebagai contoh, ada seorang anggota yang menceritakan tujuannya dengan sangat singkat, seperti “Saya ingin belajar untuk menjadi lebih terbuka secara emosional dengan orang lain”. Lalu dia berhenti. Anggota yang lain mencoba untuk menggali lebih jauh namun menerima jawaban yang patah-patah dan tidak lengkap. Pada titik ini, pemimpin bertanya:
Apa yang membuat tujuan ini penting bagi kehidupanmu saat ini?
Masalah apa dalam hidupmu yang menjadi latar belakang dari tujuan ini?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidaklah dimaksudkan untuk melakukan terapi secara “mendalam” melainkan ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang masalah-masalah yang menjadi latar belakang dari tujuan itu.
4. Manajemen Waktu
Manajemen waktu di dalam sesi kelompok adalah sebuah hal yang biasanya menimbulkan tantangan bagi orang-orang yang baru menjadi pemimpin kelompok. Kadang pemimpin yang masih baru mengerjakan sebuah kegiatan terlalu lama, sehingga kegiatan lainnya terpaksa harus dilakukan secara tergesa-gesa. Sebagai contoh, seorang pemimpin baru bisa jadi melakukan kegiatan memecah kebekuan yang terlalu lama sehingga waktu yang tersisa tidak memadai untuk menceritakan masalah dan tujuan, yang sebenarnya adalah kegiatan utama dalam sesi pertama.
Kesulitan lain yang terkait dengan manajemen waktu yang dihadapi oleh para pemimpin kelompok yang masih baru adalah bahwa pemimpin kelompok bisa jadi merasa kurang nyaman ketika mengarahkan aliran dari interaksi kelompok dan lebih suka membiarkan anggota tertentu terus bercerita panjang lebar, tanpa sampai kepada hal-hal yang relevan. Kegagalan pemimpin dalam melakukan intervensi semacam ini bisa membuat waktu yang berharga yang tersedia bagi kelompok itu menjadi terbuang. Ketrampilan fasilitasi yang disajikan dalam Bab 5 bisa membantu pemimpin meningkatkan kemampuan mereka untuk mengarahkan kelompok agar melakukan interaksi yang lebih produktif. Jika dalam sesi pertama ada anggota kelompok yang mulai bercerita panjang lebar secara tidak relevan, maka pemimpin bisa mengakui adanya masalah itu dan mengarahkan interaksi kelompok:
John, apa yang kamu ceritakan itu kelihatannya sebuah masalah yang sangat kompleks. Saya harap kamu bisa membawanya lagi di sesi berikutnya agar kelompok bisa membantu kamu. [beralih kepada kelompok] Sebelum kita beranjak ke anggota kelompok berikutnya, saya ingin memastikan bahwa semua orang memahami apa yang menjadi tujuan John. Apa ada yang bisa menjelaskan secara singkat apa yang ingin dicapai John dalam kelompok ini?
5. Memimpin Kelompok Secara Aktif Dan Direktif
Dalam konseling individu, terapis bisa menjadi non-direktif dan menggunakan banyak waktu untuk membangun keakraban (rapport) dengan kliennya. Namun dalam konseling kelompok, terapis harus lebih aktif dan direktif. Anda sebagai pemimpin kelompok harus menggunakan ketrampilan fasilitasi untuk membuat anggota kelompok saling berinteraksi satu sama lain. Jika Anda sampai lupa untuk memfasilitasi interaksi, maka anggota kelompok akan dengan cepat kehilangan minat dan menjadi bosan. Dan jika ada situasi yang muncul, pemimpin harus melakukan intervensi dengan cepat. Jika Anda menungu, maka interaksi itu akan terjadi dengan cepat dan kesempatan untuk melakukan intervensi yang tepat akan hilang.
6. Meningkatkan Interaksi Kelompok
Meningkatkan interaksi antar anggota kelompok adalah salah satu tanggung jawab terpenting dari pemimpin kelompok, terutama pada tahap-tahap awal dari perkembangan kelompok. Pemimpin harus meningkatkan interaksi kelompok dengan mengundang anggota untuk memberikan komentar atau meminta penjelasan secara bebas. Menunggu giliran berbicara dan kecenderungan untuk diam adalah dua hal yang seringkali menghambat interaksi kelompok. Karenanya, Anda jangan membiarkan kelompok memiliki kebiasaan untuk selalu bergiliran dalam berbicara. Doronglah anggota kelompok untuk melakukan interaksi secara spontan. Satu-satunya waktu dimana kelompok berbicara secara bergiliran adalah ketika pemimpin menggunakan kegiatan berbicara secara bergilir, terutama untuk membuka atau menutup sesi. Di dalam kesemaptan lainnya, kelompok akan berfungsi dengan lebih baik jika tidak berbicara secara bergilir. Dalam sesi pertama, pemimpin bisa menjelaskan kepada kelompok tentang pengharapan bahwa mereka akan melakukan interaksi secara spontan ini sebelum para anggota memperkenalkan tujuan mereka:
Setelah seorang anggota menceritakan apa yang menjadi tujuannya, saya ingin agar yang lain bisa dengan bebas berkomentar, mengungkapkan simpati, atau mengajukan pertanyaan yang meminta penjelasan/klarifikasi. Saya berharap kalian berinteraksi secara spontan dengan anggota yang berbicara di depan tanpa harus meminta persetujuan saya dulu.
7. Menghubungkan Kesamaan Pengalaman
Yalom (1995) menyatakan bahwa sebagian besar orang selalu pernah mengalami rasa kekurangan dalam dirinya, merasakan kekhawatiran yang besar tentang harga dirinya, atau merasa terasing dari pergaulan, atau merasa kuatir bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Tapi sebagian besar orang datang ke dalam kelompok sambil mengira bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang mengalami masalah seperti itu. Rasa sendirian ini justru memperbesar keterasingan sosial yang mereka alami. Karenanya mendengar bahwa ada anggota lain yang memiliki masalah yang serupa dengan dirikita bisa memberikan efek kesembuhan, yaitu mendapati bahwa diri kita tidak sendirian dan bahwa ada orang lain yang mengalami dilema dan pengalaman yang serupa. Para anggota kelompok akan merasakan kelegaan dan semangatnya akan bangkit ketika mereka menyadari bahwa “kita semua adalah manusia biasa”. Untuk menciptakan lingkungan bagi terjadinya efek penyembuhan ini, pemimpin bisa meminta anggota untuk menceritakan pengalaman mereka yang serupa dengan yang diceritakan oleh anggota di depan. Ini bisa dilakukan pemimpin dengan berkata,
Apakah ada dari antara kalian yang ingin menceritakan reaksi atau pengalaman yang serupa dengan yang baru saja disampaikan Tracy tadi?
Untuk menciptakan lingkungan dimana muncul rasa kesadaran sebagai manusia biasa yang normal, pemimpin juga bisa menunjukkan secara ringkas beberapa kesamaan antara pengalaman dari berbagai anggota kelompok:
Tampaknya ada banyak anggota dalam kelompok kita ini yang mengalami ketakutan akan kehilangan orang yang dikasihi.
Kelompok ini tampaknya memiliki tema tentang perasaan menjadi orang yang tidak penting dalam kehidupan.
Saya dengar tadi tadi bahwa ada banyak anggota dalam kelompok ini yang ingin menjadi lebih kuat dan lebih penting. Saya juga dengar tadi Chris berbicara tentang keinginannya untuk menjadi manusia yang lebih nyata.
8. Memperhatikan Respon Anggota Kelompok
Dalam sesi-sesi kelompok, pemimpin harus menghindari melakukan kontak mata secara terus menerus dengan anggota yang sedang berbicara. Jika pemimpin terus menerus mempertahankan kontak mata dengan anggota kelompok yang sedang berbicara, sama seperti yang ia lakukan dalam konseling individu, maka itu akan mendorong anggota itu untuk berbicara kepada pemimpin kelompok dan bukan kepada anggota yang lain. Ini akan membuat interaksi itu berubah menjadi konseling individu secara satu lawan satu. Untuk menghindari terjadinya pola seperti ini, maka pemimpin harus menggerakkan matanya secara perlahan melintasi ruangan, untuk memperhatikan bagaimana reaksi dari anggota yang lain terhadap anggota yang berbicara, dan memperhatikan bagaimana bahasa tubuh mereka ketika mereka sedang mendengarkan. Bahasa tubuh biasanya bisa memberikan gambaran yang lebih jelas daripada bahasa verbal.
Ketika pemimpin memperhatikan bahwa ada bahasa tubuh tertentu yang terjadi secara konsisten pada seorang anggota tertentu, maka dia bisa menggunakannya sebagai isyarat untuk mengundang anggota itu untuk mengungkapkan responnya terhadap anggota yang berbicara di depan:
Mike, kamu tampaknya merasa tersentuh dengan apa yang disampaikan Sue. Apa mungkin kamu bisa menyampaikan sesuatu kepada Sue?
9. Peka Terhadap Dimensi Multikultural
Pengalaman dan latar belakang yang dibawa oleh para anggota ke dalam kelompok akan sangat mempengaruhi partisipasi dan pola respon dari kelompok. Dimensi multikultural yang berpengaruh bagi kelompok antara lain adalah budaya, etnis, bahasa, gender, status sosial ekonomi, dan kondisi dari kehidupan keluarga.
Agar sebuah kelompok bisa menjadi efektif, para anggotanya harus bisa mengapresiasi kemiripan dan menerima perbedaan agar semua anggota merasa diterima (Conyne, 1998). Pemimpin bisa menjadi teladan dari norma merayakan perbedaan budaya ini dengan mengatakan,
[kepada semua anggota kelompok] Sekarang setelah kita semua mendengar sedikit dari tiap-tiap anggota kelompok ini, saya bisa melihat bahwa ada beberapa kesamaan pada apa yang ingin kalian semua capai di dalam kelompok ini. Saya juga merasa sangat senang bahwa kita di sini memiliki potensi untuk belajar dari berbagai pengalaman dan latar belakang budaya yang berbeda yang dibawa oleh masing-masing dari kalian ke dalam kelompok ini.
Para anggota kelompok yang berasal dari etnis minoritas mungkin sekali tidak mendapatkan rasa diterima yang sama besarnya seperti para anggota kelompok yang berasal dari etnis mayoritas (Barker dkk., 2000). Karenanya, pengalaman yang mereka rasakan dalam kelompok mungkin menjadi kurang memuaskan. Karena adanya kemungkinan seperti ini, maka pemimpin kelompok harus menyadari bahwa para anggota kelompok bisa memperlakukan rekannya dengan cara-cara yang mungkin kurang kondusif bagi penciptaan lingkungan kelompok yang saling percaya. Jika ada anggota dari kelompok yang berasal dari etnis minoritas, Anda bisa menyampaikan pernyataan yang berikut ini agar menciptakan sebuah kelompok yang lebih inklusif/menerima perbedaan:
[kepada keseluruhan kelompok] Saya sadar bahwa banyak dari kita tidak memiliki banyak kesempatan di masa silam untuk membagikan pengalaman kita dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya dan pengalaman lain. Dalam kelompok ini, kita mendapatkan kesempatan yang sangat bagus untuk melakukan hal seperti itu. Saya berharap bahwa kita bisa mendapatkan banyak kesamaan di dalam kebutuhan dasar manusiawi kita dan saya berharap bahwa keragaman dari perspektif ini akan menawarkan kepada kita peluang-peluang yang lebih kaya di dalam memahami dan mengatasi masalah-masalah kehidupan kita.
10. Menempatkan Kelompok Untuk Duduk Dalam Lingkaran
Orang akan menjadi lebih rileks/santai di dalam berbicara kalau mereka duduk dalam lingkaran dan karenanya bisa melihat semua anggota kelompok yang lain. Sebelum sesi dimulai, pemimpin harus mengatur kursi-kursi sedemikian rupa sehingga tidak ada tiga orang yang duduk dalam satu garis lurus. Jika anggota kelompok ada yang duduk dalam garis lurus, maka mereka tidak bisa melihat satu sama lain. Kelompok terapi biasanya tidak menentu besarnya. Beberapa kelompok psikoedukasional kadang bisa beranggotakan lusinan orang dan bahkan ada yang beranggotakan ratusan orang, namun kelompok-kelompok yang berorientasi eksperiensial (experiential) biasanya adalah berbentuk kelompok kecil. Kelompok kecil menawarkan beberapa keuntungan yang sangat penting bagi pembelajaran interpersonal. Dengan duduk dalam lingkaran di dalam sebuah kelompok kecil, para anggota kelompok bisa saling melihat satu sama lain dan mengamati satu sama lain sehingga membangun rasa ikatan ketika kelompok menjadi lebih matang.
Dalam sebagian besar budaya, lingkaran adalah lambang dari keutuhan, kelengkapan dan pemenuhan. Masyarakat-masyarakat Pribumi Amerika (suku-suku Indian -pent) menganggap lingkaran sebagai tempat suci, yang mampu menampung semua aspek yang bermacam-macam dari kehidupan. Begitu juga halnya dengan budaya Tibet dan Hindu yang memandang mandala (lambang berupa lingkaran dalam bangun persegi empat -pent) sebagai simbol suci yang bisa menggambarkan berbagai aspek yang berbeda dari kebijaksanaan. Sifat-sifat yang dilambangkan oleh lingkaran ini adalah bagian dari sifat dari sebuah kelompok yang memiliki fokus eksperiensial (Arrien, 1992; Mullin dan Weber, 1996; Neihardt, 1959).
E. REFLEKSI TENTANG SESI PERTAMA
Seorang pemimpin yang masih baru bisa belajar dari membaca tentang pengalaman-pengalaman nyata dalam kelompok seperti yang dideskripsikan oleh orang-orang yang mengalaminya sendiri. Bagian ini menyajikan perenungan-perenungan tentang pengalaman selama sesi pertama yang ditulis dari sudut pandang anggota maupun pemimpin kelompok. Semua nama yang digunakan di sini adalah fiktif.
1. Refleksi Satu: Louise
Setelah menjalani sesi pertama, Louise menulis bahwa:
Saya datang ke sesi pertama ini dengan membawa perkiraan bahwa sesi pertama ini akan mudah, karena saya sudah mencoba mengatasi masalah saya lewat konseling individu. Saya sekarang tahu bahwa perasaan sakit yang saya rasakan dalam kaitannya dengan masalah yang saya hadapi dengan keluarga saya sebenarnya belum selesai dan bahwa masalah itu sebenarnya tetap ada di balik permukaan. Saya terkejut melihat reaksi dari diri saya sendiri ketika saya mulai merasakan emosi saat menjelaskan masalah-masalah yang mendasari tujuan saya. Yang paling mengherankan bagi saya adalah bahwa saya bisa ikut merasakan masalah yang disampaikan oleh anggota yang lain. Saya bisa merasa terhubung/konek dengan beberapa aspek dari masalah-masalah yang disampaikan anggota yang lain ... Setelah selesainya sesi pertama, saya merasa positif dan optimis. Saya benar-benar bisa percaya kepada semua orang yang ada dalam kelompok dan merasakan rasa aman. Saya pulang dari sesi pertama ini dengan perasaan bahwa semua anggota kelompok sama-sama menyadari pentingnya kelompok itu bagi kami semua. Namun saya juga realistis karena saya tahu konflik bagaimana pun juga akan terjadi. Tapi saya sangat tertarik dan ingin tahu apa perkembangan yang akan terjadi saat kami nanti akan mulai saling mendorong satu sama lain untuk mengatasi masalah kami dan menggali lebih dalam ke akar permasalahan kami.
Berikut ini adalah refleksi dari pemimpin mengenai peranan dari Louis dalam kelompok yang sama:
Tujuan Louis adalah mencari cara agar dia tidak lagi selalu butuh atau meminta persetujuan dari orang lain. Saya merasa tersentuh oleh keterbukaannya mengenai kesulitan yang ia alami dan perasaannya terhadap ayahnya yang sama sekali tidak setuju dengan prestasi-prestasi yang telah ia capai dalam hidupnya. Kelompok kami tampaknya memahami apa yang ia hadapi. Setelah melakukan interaksi dan klarifikasi dengan kelompok, tujuan dari Louis tampaknya berubah, yaitu berusaha untuk mendapatkan persetujuan dari dalam dirinya sendiri dan bukan lagi dari orang lain. Emosi mulai muncul dalam dirinya ketika konsep tentang persetujuan dari diri sendiri ini tampaknya menyentuh sesuatu dalam dirinya dan dia mendapatkan sebuah pemahaman yang berharga tentang dirinya sendiri. Ketika saya melihat ke sekeliling ruangan, saya memperhatikan banyak dari anggota kelompok kami yang terlihat seperti berpikir keras dan menganggukkan kepalanya seolah sepakat dengan tujuan baru dari Louis itu.
2. Refleksi Dua: Karen
Berikut ini adalah refleksi tentang sesi pertama yang disebut oleh seorang anggota bernama Karen:
Sesi yang pertama ini bagi saya sangat menegangkan dan menakutkan. Saya pada awalnya merasa bahwa tidak seorang pun bisa menceritakan apa yang telah saya alami selama ini. Ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya dimana saya mendapatkan kesempatan untuk duduk dan membicarakan tentang apa yang terjadi dalam kehidupan saya. Saya merasa sangat gelisah dan cemas sewaktu memikirkan bahwa saya harus berbicara dalam sesi itu. Pikiran saya dipenuhi dengan bayangan tentang bagaimana reaksi dari kelompok terhadap hal-hal yang akan saya katakan dan pandangan mereka terhadap saya setelah saya selesai menceritakannya. Tapi ketika Louise mulai berbicara, saya merasa sangat cocok dengan apa yang dia katakan. Saya berpikir, “Akhirnya ada juga orang yang memiliki masalah dan tujuan yang mirip seperti saya”. Ketika tiba giliran saya untuk berbicara, saya menjadi sangat cemas. Tapi ketika saya mulai berbicara, saya mengamati reaksi dari orang-orang lain dan ekspresi non-verbal yang mereka tunjukkan. Respon yang diberikan kelompok saya membuat saya menjadi lebih mudah untuk mengungkapkan diri saya. Tujuan saya adalah agar saya memiliki kemampuan untuk menemukan seseorang dalam kehidupan saya yang bisa saya ajak berbicara dimana saya bisa merasa nyaman berbicara kepada orang itu. Saya ingin bisa mempercayai orang itu. Setelah saya selesai menceritakan tujuan saya, saya pikir itu adalah sebuah langkah awal bagi saya untuk mengembangkan kepercayaan dalam diri saya terhadap kepuasan ini ... Sekalipun ini adalah sesi kelompok pertama saya, namun saya merasa damai, duduk mendengarkan, belajar dan mengamati sekelompok orang yang relatif asing bagi saya yang akan berinteraksi dengan saya selama 11 minggu berikutnya. Saya harus memberikan penghargaan secara positif kepada pemimpin dari kelompok karena menjaga suasana dan mengalirnya interaksi.
Refleksi dari pemimpin kelompok mengenai Karen adalah sebagai berikut:
Karen berbicara dengan nada was-was kepada kelompok bahwa tujuannya adalah ingin bisa mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Saya merasakan dia telah sering dilukai oleh orang-orang yang ia percayai. Ini membuat saya merasa sangat dihargai ketika dia bisa membuka diri dan memberikan kepercayaan kepada kelompok. Langkah yang ia ambil itu menunjukkan bahwa dia memiliki kekuatan karakter biarpun dia telah mengalami banyak kekecewaan dan kesulitan. Dia mengakui bahwa dia mulai membangun tembok di sekitar dirinya untuk melindungi perasaannya sejak ia menyadari, ketika dia masih kecil, bahwa ibunya tidak akan pernah bisa memberikan dukungan emosional kepadanya. Kelompok mendengarkan dengan seksama dan saya bertanya-tanya apakah ada dari antara mereka yang juga harus berhadapan dengan rasa tidak percaya seperti itu sebelumnya. Saya juga bertanya-tanya apakah sesi pertama ini bisa memberikan kesan yang cukup baik bagi Karen untuk mulai mempercayai kami. Namun yang jelas sesi pertama ini adalah sebuah awal yang baik karena sesi ini memberikan kesempatan bagi para anggota untuk menceritakan sebagian dari kehidupahn mereka kepada satu sama lain. Saya yakin bahwa sedikit rasa percaya yang didapatkan dari sesi ini akan menciptakan ikatan di antara para anggota yang akan terus menguat dan tumbuh dalam sesi-sesi berikutnya.
F. SKENARIO-SKENARIO UNTUK PRAKTEK
(1) Ini adalah sesi pertama dari sebuah kelompok pertumbuhan personal. Sebagai pemimpin kelompok, Anda mengundang semua anggota untuk menceritakan tujuan yang telah mereka buat untuk kelompok ini. Lou, Sally dan Bill menceritakan tujuan-tujuan mereka, yang merupakan perubahan-perubahan behavioral yang cukup terfokus dan menjadi tujuan yang ingin mereka capai dalam kelompok ini. Ketika tiba giliran Sue untuk berbicara, dia mulai dengan sangat lambat, “Ketika saya berusia enam tahun saya harus tinggal bersama nenek saya selama dua tahun, karena orang tua saya bercerai dan ibu saya mendapatkan pekerjaan yang bagus ...” Selama 10 menit berikutnya, Sue terus menceritakan perasaan-perasaan negatif yang ia rasakan pada usia enam tahun. Apa respon yang bisa Anda berikan pada situasi semacam ini?
(2) Setelah Anda menjelaskan tentang aturan kelompok pada semua anggota, dan tiap orang sudah mengidentifikasi tujuan untuk kelompok yang baru terbentuk itu, Jared berkata kepada Alphie, “aku pikir semua orang dalam kelompok ini memiliki tujuan yang solid kecuali kamu. Tujuanmu itu konyol.” Bagaimana Anda memberikan respon jika Anda adalah seorang pemimpin yang ingin membangun norma-norma yang berguna dan efektif bagi kelompok?
(3) Dalam sesi pertama dari kelompok yang baru dibentuk, setelah tiap anggota sudah mengidentifikasi tujuan yang ingin ia capai dalam kelompok itu, Curtis bertanya kepada Anda secara langsung, “Saya berharap Anda akan mengajari kami apa yang harus dilakukan. Namun saya pikir tidak akan ada gunanya kalau yang mengajari adalah sama tidak tahunya dengan yang diajari, itu akan sama seperti orang buta menuntun orang buta.” Apa respon yang bisa Anda berikan sebagai seorang pemimpin kelompok?
(4) Mary menyatakan bahwa dia merasa enggan untuk datang ke kelompok, tapi suaminya, Phil, mendorong dia untuk datang karena Phil merasa bahwa istrinya “akan bisa belajar tentang bagaimana menjalankan kewajibannya sebagai istri. Bahkan Phil akan menelpon pemimpin kelompok dari waktu ke waktu untuk memastikan bahwa masalah yang ia anggap penting benar-benar dibahas dalam kelompok.” Aspek apa dari pernyataan ini yang perlu Anda tanggapi? Mengapa? Apa yang ingin Anda katakan?
(5) Sylvia berkata bahwa dia diberitahu tentang kelompok yang diikutinya ini lewat konselor individualnya yang mendorong dia untuk datang ke kelompok ini. Dia berkata bahwa dia tidak tahu bagaimana kelompok itu bisa membantu dia karena dia adalah orang yang sangat pemalu Apa yang bisa Anda katakan kepada Sylvia untuk membantu dia menemukan cara untuk mencapai kemajuan dalam kelompok?
G. REFLEKSI DIRI
(1) Apa pengalaman personal yang pernah Anda alami dalam kaitannya dengan masalah inklusi (rasa diterima dalam sebuah kelompok)? Apa yang bisa Anda lakukan agar semua anggota merasa diterima dalam kelompok? Apa yang akan Anda lakukan terhadap anggota kelompok yang tampaknya pemalu?
(2) Sebagai seorang pemimpin kelompok, Anda bertanggungjawab untuk menyaring/menseleksi calon anggota untuk menentukan mana yang tepat untuk kelompok mana. Sebagai seorang pewawancara, Anda mungkin tidak memiliki level kegelisahan yang sama dengan calon anggota yang Anda wawancarai. Bagaimana Anda bisa terus merasakan dan menjadi peka terhadap kegelisahan mereka dan kebutuhan mereka untuk diterima dalam kelompok?
(3) Ada waktu-waktu tertentu dimana Anda memasuki sebuah kelompok yang sudah terbentuk sebagai “orang luar” untuk memimpin atau konsultasi dengan kelompok itu. Bagaimana Anda memperkirakan cara Anda untuk mengatasi kebutuhan Anda sendiri untuk diterima di dalam kelompok dan mengatasi pengharapan dari anggota kelompok itu, yang mungkin bersikap tidak percaya atau bahkan bermusuhan, tergantung pada situasinya?
(4) Ingatlah kembali pengalaman Anda yang pernah terjadi belum lama ini dimana Anda menetapkan tujuan bagi diri Anda sendiri. Apakah itu berguna bagi Anda di dalam menjelaskan apa yang ingin Anda capai? Apakah Anda menemukan sumber daya yang bisa membantu Anda di dalam menjelaskan/mengklarifikasi tujuan-tujuan Anda?
(5) Untuk tujuan-tujuan yang bisa Anda capai dalam beberapa tahun terakhir, faktor apa yang menurut Anda memberikan kontribusi paling besar bagi kesuksesan Anda di dalam mencapai tujuan-tujuan itu? Apakah dukungan dari orang lain, tekad yang bulat, atau rencana tindakan yang bijak?
(6) Emosi apa yang cenderung untuk muncul dalam diri Anda ketika Anda masuk ke dalam kelompok yang masih baru? Pikiran apa yang cenderung untuk menyertai emosi-emosi itu? Bagaimana Anda memberikan reaksi terhadap pikiran dan emosi ini? Apakah Anda bertindak atau bereaksi dengan cara tertentu untuk mengatasi rasa tidak nyaman yang Anda rasakan?
No comments:
Post a Comment