Robert N. Gagne dalam “The Conditions of Learning” (1965), menjelaskan performa pembelajaran sebagai berikut: Pertama, Respon spesifik (specific responding) yaitu tindakan membuat respon khusus pada sebuah stimulus tertentu. Misalnya, ketika seorang guru kelas satu memegang dan memperhatikan sebuah kartu bertuliskan “kucing” (stimulus) maka siswa siswa akan mengatakan “kucing” (sebagai respon).
Kedua, mata rantai (chaining), yaitu proses membuat rangkaian atau urutan respon yang dihubungkan satu sama lain. Contoh, ketika kita membuka sebuah pintu dengan kunci, maka akan terjadi beberapa mata rantai respon khusus (memilih kunci, memasukkannya ke dalam pintu, dan memutar untuk membuka pintu).
Ketiga, diskriminasi ganda(multiple discrimination), digunakan untuk mempelajari dan memilih secara tepat beragam respon dan mata rantai tertentu. Misalnya, seorang siswa belajar menghubungkan warna dan nama mereka berdasarkan situasi-situasi.
Keempat, klasifikasi (classifying), menetapkan beberapa obyek pada kelas-kelas tertentu . Misalnya, ketika siswa belajar membedakan tumbuhan dengan binatang atau mobil dengan sepeda.
Kelima, penggunaan aturan (rule using) yaitu kemampuan untuk bertindak dengan beracuan pada sebuah konsep yang kemudian melahirkan tindakan. Misalnya, dalam pelajaran mengeja, kita mempelajari berbagai konsep yang menggambarkan cara-cara mengeja kata. Kemudian kita mengaplikasikan konsep tersebut dalam bentuk aturan yang termuat dalam tindakan mengeja itu sendiri.
Keenam, problem solving, yaitu aplikasi aturan-aturan pada masalah yang tidak pernah dihadapi sebelumnya. Langkah ini melibatkan aktivitas memilih aturan yang baik dan mengaplikasikannya ke dalam sebuah kombinasi yang sempurna.
Nah, keenam konsep pembelajaran tersebut membentuk semacam tahapan secara hirarkis. Karena itu, susunan tersebut tidak dapat dibolak-balik. Sebelum seseorang mampu membuat mata rantai ia harus mempelajari respon khusus. Begitu seterusnya.
Tugas-tugas instruktur
• Memberitahu siswa mengenai sasaran pembelajaran
• Menyajikan stimulus (rangsangan)
• Meningkatkan perhatian siswa
• Membantu siswa kembali mengamati dan mengingat apa yang telah dipelajari
• Menyediakan keadaan-keadaan yang membangkitkan performa siswa
• Menentukan rangkaian pembelajaran
• Mendorong dan membimbing pembelajaran
• Mendorong siswa untuk menggeneralisasi sesuatu yang telah dipelajarinya sehingga siswa tersebut mempunyai skill dan konsep baru.
Tugas-tugas instruktur tersebut dapat kita skemakan demikian:
Katakan target yang akan dicapai! |
Dorong untuk mengaplikasikan! |
Anjurkan generalisasi yang telah dipelajari |
Kontekstualiasi di Perguruan Tinggi
Kasus I
Di beberapa Perguruan Tinggi, banyak dosen yang memberikan matakuliah hanya dengan menggunakan sistem ceramah atau membaca diktat. Mereka tidak memberikan kesempatan mahasiswa untuk bertanya atau membuka ruang dialog. Sehingga suasana perkuliahan amat membosankan dan menjemukan. Hal ini akan mencetak mahasiswa yang kurang kreatif, inovatif, dan kritis. Padahal, kata J. Holt, “The greatest enemy of learning is the talking teacher (musuh terbesar pembelajaran adalah guru yang mbacot melulu)”.
Solusi:
Kita menggunakan model pembelajaran yang disarankan Joyce. Yaitu, pertama: Katakan target yang akan dicapai. Tahap ini biasanya terdapat pada pertama kali masuk perkuliahan. Mahasiswa diberi penjelasan tentang tujuan mempelajari mata kuliah tersebut, diskripsi singkat mata kuliah, referensi, aktifitas belajar, kreteria keberhasilan, dan jadwal tentatif.
Kedua, mahasiswa didorong untuk menggeneralisasi sesuatu yang telah dipelajari dalam bangku perkulihan. Ketiga, dorong untuk mengaplikasikan teori-terori dalam perkuliahan dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa diberi tugas untuk melakukan “penelitian” di sekelilingnya dan dihubungkan dengan teori yang telah dipelajarinya. Sehingga mahasiswa mempunyai keterampilan dan menemukan konsep baru.
Kasus II
Keberadaan Perguruan Tinggi, ibarat menara gading. Kehadiran civitas akademika Perguruan Tinggi kurang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat sekitarnya. Masyarakat sekitarnya masih kurang berdaya. Perguruan Tinggi kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya. Padahal, Perguruan Tinggi mempunyai semboyan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Ketiga-tiga itu merupakan satu kesatuan yang terintegrasi.
Solusi
Dalam melakukan pengabdian masyarakat, sekarang ini dikenal dengan menggunakan Parcipatory Action Research (PAR). Bahkan Ditpertais Kemenag RI, sejak beberapa tahun yang lalu menyediakan dana bantuan untuk para dosen yang melakukan pengabdian masyarakat dengan pendakatan PAR.
Dalam melakukan PAR, Mao Tsetung memberikan saran-saran demikian:
" ......perhatikan sungguh-sungguh ide-ide yang datang dari rakyat, yang masih terpenggal dan belum sistematis,
dan coba perhatikan lagi Ide-ide tersebut,
pelajari bersama rakyat sehingga menjadi ide-ide yang lebih sistematis,
kemudian menyatulah dengan rakyat,
ajak dan jelaskan ide-ide yang datang dari mereka itu,
sehingga rakyat benar-benar paham bahwa ide-ide itu adalah milik mereka,
terjemahkan ide-ide tersebut menjadi aksi,
dan uji kebenaran ide-ide tadi melalui aksi.
Kemudian sekali lagi perhatikan ide-ide yang datang dari rakyat,
dan sekali lagi menyatulah dengan mereka,
........ begitu seterusnya di ulang-ulang secara ajeg,
agar ide-ide tersebut menjadi lebih benar, lebih penting dan lebih bernilai sepanjang masa.
Demikian itu adalah teori pengetahuan rakyat.
Paulo Freire, salah seorang tokoh pendidikan kritis yang biasanya selalu dirujuk oleh aktifis pemberdayaan masyarakat, merumuskan model pembelajaran masyarakat demikian:
Analisis Model Joyce dan Freire
Kalau kita perhatikan, model pembelajaran Joyce dan Paulo Freire, terdapat beberapa perbedaan. Pertama, kalau model Joyce problematika berasal dari kehidupan orang lain (generalisasi teori) dan mahasiswa menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau model Freire problematika berasal dari realitas kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri dan (dengan fasilitator) dipecahkan bersama-sama.
Kedua, kalau pembelajaran model Joyce, instrukur tidak harus terlibat aktif dalam proses membentuk pengalamanan mahasiswa dalam melakukan generalisasi. Ia hanya mendorong. Karena itu komunikasinya masih terasa searah dan ada guru-murid. Tapi kalau model Freire, instruktur (fasilitator) harus terlibat aktif bersama masyarakat dalam memecahkan permasalahan. Karena itu, terjadi komunikasi dua arah dan tidak ada istilah guru-murid, semuanya menjadi guru!
Ketiga, model pembelajaran Joyce ini lebih cocok untuk pembelajaran di lembaga formal, misalnya di bangku perkuliahan. Sedang model pembelajaran Freire untuk pendidikan kritis, misalnya pemberdayaan masyarakat.
Sedangkan persamaannya, kedua-duanya terdapat tahapan perencanaan dan pengenalan masalah serta aksi. Kalau kita skemakan, akan tampak daur belajar sebagai berikut:
Kalau skema pembelajaran tersebut diterapkan dalam proses pembelajaran maka akan tercapai, sebagaimana kata pepatah, “Mendengar, saya lupa! Melihat, saya ingat! Melakukan, saya paham! Menemukan sendiri, saya kuasai!”
Semoga resume ini bermanfaat, dan bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Amien.
Daftar Pustaka
Donald E. Comstoc. 1980, A Method for Critical Research, Washington State University, 1980
Joyce, B & Weil, M. 1996. Models of Teaching, Boston
Makalah-makalah pada Workshop Nasional Intensif Metodologi Participatory Action Research untuk Dosen PTAI se-Indonesia Sistem 200 jam, 21 hari, Depag RI, Solo, 2008
Makalah-makalah pada Short Course Metodologi Pengabdian Kepada Masyarakat bagi Dosen PTAI sistem 184 jam, 2 bulan, Depag RI-Unisma, 10 Oktober-10 Desember 2009
No comments:
Post a Comment