Friday, June 24, 2011

The Construction of Knowledge, Metacognitions, and Conceptions of Intelligence


I  KONSTRUKSI PENGETAHUAN
             Secara sederhana konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengetahui sesuatu. Seorang yang belajar merupakan subjek aktif yang membentuk pengertian, dan bukan sekadar meniru (berlaku pasif) apa yang diajarkan atau apa yang ia baca. Oleh karena itu, pengertian dan pengetahuan mencakup suatu proses aktif yang konstruktif di mana terjadi suatu proses pembentukan konsep yang terus menerus. Namun apa itu pengetahuan dan bagaimana seseorang mengetahui?
            Secara epistemologis, pengetahuan adalah hasil proses mental manusia dalam mengenal dan memahami esensi sesuatu. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognisi terhadap kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk mengetahui sesuatu. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialami.
Namun bagaimana manusia bisa mengenal sesuatu? Menurut Plato (427-347SM), sesuatu bisa dikenal karena ia mempunyai “forma” dan “materi”. Forma ini dikenal sebagai “ide abstrak” akan sesuatu yang menyatu dengan materi. Misalnya, ide abstrak untuk kursi berinteraksi dengan materi (kayu/besi/plastik, dan sebagainya) sehingga membentuk apa yang kita sebut sebagai kursi. Satu-satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya (Hergenhahn & Olson, 2008).
            Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Struktur konsep tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman mereka. Misalnya, konsepsi seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan dengan seorang lelaki akan menjadi suatu pengetahuan tentang “ciri-ciri wanita” bila konsepsi itu dapat digunakan dalam menganalisis wanita-wanita lain yang dijumpainya dan dapat membedakan antara wanita dan lelaki yang dijumpainya.
            Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid, pemindahan itu harus diintepretasikan dan dikonstruksikan oleh si pebelajar lewat pengalamannya. Dalam proses konstruksi itu diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pengalaman yang lain. Kemampaun mengingat dan mengungkap kembali pengetahuan sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan juga sangat penting untuk dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klsasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena kadang seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu dari pada yang lain, maka muncullah soal nilai dari pengetahuan yang kita bentuk.
II METAKOGNISI
Paradigma konstrutivistik melandasi timbulnya strategi kognisi yang juga disebut metakognisi. Metakognisi merupakan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. Oleh karena itu dalam pembelajaran, kita membantu para siswa untuk mengembangkan konsep-konsep, mengajar keterampilan-keterampilan diri mereka, menggunakan pemikiran metaforis untuk menyelidiki dan memecahan masalah sebagai pekerjaan ilmiah.
Menurut Preisseisen, sebagaimana dikutip oleh Martinis Yamin (2008), metakognisi meliputi empat jenis keterampilan:
1.    Keterampilan pemecahan masalah (problem solving) yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta-fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.
2.    Keterampilan pengambilan keputusan (decision making) yaitu keterampilan untuk memilih suatu keputusan yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan kelebihan dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan keputusan terbaik berdasarkan alasan-alasan yang rasional.
3.    Keterampilan berpikir kritis (critical thinking) yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisa argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan persepsi yang benar dan rasional, analisis asumsi dan bias dari argumen, dan interpretasi logis.
4.    Keterampilan berpikir kreatif (creative thinking) yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menghasilkan gagasan yang baru, konstruktif berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang rasional.
Keempat keterampilan ini saling terkait dan sukar untuk membedakannya karena keterampilan-keterampilan tersebut terintegrasi. Paradigma konstruktivistik dan teori metakognisi ini melahirkan prinsip refleksi tindakan (Reflection in Action), yaitu prinsip refleksi dari pengalaman praktis dalam pemecahan masalah yang pernah dihadapi untuk memecahkan masalah baru. Proses reflection in action ini merupakan gambaran tentang proses belajar, di mana seorang yang belajar melalui aktivitas sendiri melakukan pengkajian ulang atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Perilaku yang direfleksikan akan menjadi suatu petunjuk bagi terjadinya perilaku yang berikutnya. Proses pembelajaran strategi kognitif ini merupakan proses reflection in action.
III KONSEPSI INTELIGENSI
The Merriam Webster’s Collegiate Dictionary memberikan definisi inteligensi sebagai “kemampuan untuk mempelajari atau memahami atau menghadapi situasi baru atau situasi yang dihadapi”. Menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Linda Campbell, Bruce Campbell, & Dee Dickinson (2006), intelegensi adalah kemampuan untuk: pertama, menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia; kedua, mencari dan menemukan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan; ketiga, menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang. Karena itu, menurut Gardner ada tujuh inteligensi, yakni: linguistic intelligence, logical-mathematical intelligence, spatial intelligence, bodily-kinesthetic intelligence, musical intelligence, interpersonal intelligence, dan intrapersonal intelligence.
Linguistic intelligence (kecerdasan linguistik) adalah kemampuan untuk berpikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna sesuatu yang dipikirkan. Para pengarang, penyair, jurnalis, pembicara dan penyiar berita memiliki secara dominan tingkat kecerdasan linguistik ini.
Logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika-matematis) yakni kemampuan dalam menghitung, mengukur, dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesa matematis serta menyelesaikan operasi-operasi matematis. Para ahli matematika, akuntan, insinyur, dan pemogram komputer mempunyai kecerdasan logika-matematis yang kuat.
Spatial intelligence (kecerdasan spasial) membangkitkan kapasitas untuk berpikir dalam tiga cara dimensi seperti yang dapat dilakukan oleh pelaut, pilot, pemahat, pelukis dan arsitek. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali, merubah atau memodifikasi bayangan dan menguraikan informasi grafik.
Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik) memungkinkan seseorang untuk menggerakkan objek dan keterampilan fisik. Kecerdasan ini paling nampak dalam diri para atlet, penari dan seniman yang mempunyai kemampuan teknik.
Musical intelligence (kecerdasan musikal) paling nampak dalam diri orang yang memiliki sensivitas pada pola nada, melodi, dan ritme. Orang-orang yang mempunyai kecerdasan ini antara lain: musisi, pembuat alat musik dan pendengar musik yang sensitif.
Interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal) merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Hal ini paling dominan pada diri guru, pekerja sosial, artis dan politisi yang sukses.
Intrapersonal intelligence (kecerdasan intrapersonal) merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang. Beberapa individu yang memiliki kecerdasan semacam ini adalah ahli ilmu agama, ahli psikologi dan filsuf.
            Para pengembang model pemebelajaran dalam buku Models of Teaching ini membagi  tiga keyakinan tentang intelegensi: pertama, gender, ras dan etnis tidak mengganggu dan menjadi penghambat perkembangan inteligensi (lht. Bab 5). Kedua, inteligensi sulit dirasakan, tetapi dapat dipelajari dan dipikirkan. Ketiga, inteligensi berdimensi banyak dan setiap dimensi itu dapat dikembangkan melalui model pengajaran yang khusus. Hal ini didukung oleh Howard Gardner (1983) dan Robert Sternberg (1986) yang mengatakan bahwa intelegensi mempunyai banyak dimensi dan bahwa lingkungan pembelajaran seharusnya memperbesarkan dimensi-dimensi ini. Lebih lanjut Gardner berpandangan bahwa kombinasi dari dimensi-dimensi inteligensi dalam campuran yang berbeda merupakan satu alasan kita untuk mengembangkan kepribadian-kepribadian yang unik. 




IV CONTOH KASUS: FENOMENA PLAGIARISME DALAM PENDIDIKAN
4.1 Apa Itu Plagiarisme?
            Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) mengartikan “plagiat” sebagai aksi pengambilan karya (pendapat, teori, hasil cipta, dsb.) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karya sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri. Dari kata ‘plagiat’ ini terbentuk kata ‘plagiarisme’ yang berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang; dan pelakunya disebut “plagiator”. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas (id.wikipedia.org/wiki/plagiarisme).  
      Menurut Felicia Utorodewo dkk. (2007), yang tergolong sebagai aksi plagiarisme adalah: (1) mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri, (2) mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri, (3) mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri, (4) mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri, (5) menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya, (6) meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan (7) meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Masih menurut sumber yang sama (Felicia Utorodewo dkk., 2007), hal-hal yang tidak tergolong dalam tindakan plagiat adalah: (1) menggunakan informasi yang berupa fakta umum, (2) menuliskan kembali (dengan mengubah kalimat atau parafrase) opini orang lain dengan memberikan sumber jelas, (3) mengutip secukupnya tulisan orang lain dengan memberikan tanda batas jelas bagian kutipan dan menuliskan sumbernya.
4.2     Beberapa Contoh Kasus Plagiarisme Dalam Dunia Pendidikan
Muh. Abu Nasrun memuat berita dalam harianjoglosemar.com/.../plagiarisme-dunia-akademi-9719.html., tentang plagiarisme yang dilakukan oleh 1.820 guru di Pekanbaru-Riau. Para guru ini melakukan aksi menjiplak karya ilmiah ketika mengurus sertifikasi. Selain itu, Kompas, 10 Februari 2010, sebagaimana dikutip oleh Muh. Abu Nasrun memberitakan Guru Besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung, Prof Dr Anak Agung Banyu Perwita (AABP), dituding menjiplak karya Carl Ungerer, seorang penulis asal Australia. AABP, yang adalah kolumnis harian Kompas dan The Jakarta Post ini, setidaknya melakukan enam kali plagiarisme,  mengutip tanpa menyebutkan referensi. Kabar tentang plagiarisme yang dilakukan guru besar ini terkuak dari keterangan (disclaimer) editorial kolom opini The Jakarta Post yang dimuat 4 Februari 2010. Dalam keterangan itu disebutkan, artikel berjudul RI as A New Middle Power yang dimuat 12 November 2009, ternyata mirip dengan karya Ungerer yang berjudul The Middle Power, Concept in Australia Foreign Policy. Karya Ungerer ini telah lebih dulu dimuat di Australian Journal of Politics and History, volume 53.
Ini hanya dua contoh dari begitu banyak kasus plagiarisme yang dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya menjadi panutan dalam dunia akademik. Ketika membaca berita ini, kita mungkin menyampaikan pernyataan yang sifatnya psimistis: “kalau guru atau dosennya melakukan plagiat apalagi peserta didik atau mahasiswanya”. Pernyataan yang psimistis ini sedikitnya benar ketika Thomas Brandt sebagaimana dikutip Alois A Nugroho, peneliti bisnis dari Jerman, dalam news.okezone.com/red/.../plagiarisme-bisa-sengaja-atau-tidak, menyatakan bahwa di Indonesia telah terjadi “inflasi ijazah” (1997:211). Apa yang tertulis di sertifikat, diploma, atau ijazah tidak selalu mencerminkan kemampuan pribadi pemegangnya. Dalam konteks ini, usaha untuk memerangi plagiarisme akademis merupakan upaya urgen.
4.3 Penyebab Terjadinya Plagiarisme
            Menurut Ari S. Widodo Poespodihardjo selaku Header of Thesis Committe & Secretary of Postgraduate Program The London School of Public Relations Jakarta, sebagaimana dikutip oleh Hermansah dalam news.okezone.com/red/.../plagiarisme-bisa-sengaja-atau-tidak, alasan utama terjadinya plagiarisme adalah faktor ketidaktahuan dan kesengajaan. Faktor ketidaktahuan ini biasanya dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui prosedur akademik tentang metodologi penulisan dan peraturan hak cipta sebuah karya ilmiah, sebaliknya faktor kesengajaan dilakukan oleh orang yang ingin mencari ‘keuntungan diri’ dengan sengaja ‘mencuri’ karya orang lain. Penyebab yang lain adalah malas dan budaya instan yaitu suatu sikap mental yang ingin mendapat sesuatu dengan mudah dan tidak menghargai orang lain.
            Namun bila ditelisik lebih dalam, kita akan menemukan penyebab lain terjadinya plagiarisme terutama di kalangan mahasiswa adalah kurangnya kreativitas dan inovasi mahasiswa dalam mempelajari sesuatu. Pada tataran ini, kreativitas dan inovasi ini, erat kaitannya dengan keterampilan mahasiswa dalam berpikir analisis, praksis dan sintesis sebagaimana dikatakan oleh Sternberg (2003). Kemampuan berpikir analisis, praksis, dan sintesis ini merupakan salah satu strategi dalam mengkonstruksikan pengetahuan.
V  SOLUSI
            Solusi yang ditawarkan di sini bertolak dari thoritical based dan evident based yang nampak dalam fenomena plagiarisme sebagaimana yang diuraikan di atas. Solusi ini terimplementasi dalam pembelajaran sebagai suatu proses yang membelajarkan peserta didik dan juga pendidik dalam mengkonstruksikan pengetahuan. Oleh karena itu, penulis mengemukakan implikasi pandangan filsafat konstruktivisme tentang pengetahuan terhadap proses pembelajaran, di mana di dalamnya terjadi aksi belajar dan mengajar yang dilakukan oleh peserta didik dan pendidik (guru).
5.1 Implikasi Terhadap Proses Belajar
            Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Proses belajar bercirikan sebagai berikut:
a.    Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang dia lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.    Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, selalu mengadakan konstruksi.
c.    Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.  
d.   Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang meransang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidaksinambungan adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e.    Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pebelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
f.     Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pebelajar: konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari
Dari ciri belajar di atas maka kita bisa melihat posisi dan peran pebelajar dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, pebelajar harus lebih aktif untuk membangun sendiri pengetahuannya (Richard I. Arends, 2008). Pelajar harus proaktif dalam mencari arti dari apa yang mereka pelajari serta bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
4.2 Implikasi Terhadap Proses Mengajar
            Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi (Hergenhahn & Olson, 2008).
Berangkat dari arti mengajar seperti di atas, maka fungsi atau peran pengajar (guru) adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Fungsi mediator dan fasilitator dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
a.       Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu, jelas memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
b.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang meransang keingintahuan peserta didik dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
c.       Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si peserta didik jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik bisa berlaku atau dapat dipakai dalam menghadapi persoalan baru yang dialaminya. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik.
Agar peran dan tugas tersebut berjalan optimal, diperlukan beberapa kegiatan untuk dikerjakan dan bebepara pemikiran untuk disadari oleh pengajar/guru (Suparno, 1997):
a.       Guru perlu banyak berinteraksi dengan peserta didik untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
b.      Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga para peserta didik sungguh terlibat
c.       Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik (pembelajaran kontekstual). Ini dapat dilakukan oleh guru dengan berpartisipasi sebagai pebelajar di tengah para pebelajar.
d.      Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran para peserta didik, karena kadang mereka berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima pendidik.
Dari uraian tentang implikasi pandangan filsafat kontruktivisme terhadap belajar dan mengajar di atas, nampak bahwa peserta didik tidak hanya meniru atau ‘meng-copy paste’ apa yang diajarkan oleh pendidik, tetapi sebaliknya peserta didik mesti mengkonstruksi pengetahuannya sendiri setelah ia berkonfrontasi dengan pelbagai pengalaman baru termasuk di dalamnya ide dan teori orang lain. Hasil konfrontasi itu adalah konsepsi-konsepsi baru yang menjadi kepunyaan peserta didik tersebut. Langkah seperti inilah yang dilihat sebagai kreativitas dan inovasi peserta didik dalam pembelajaran yang memungkinkan peserta didik tidak melakukan plagiat.

























DAFTAR PUSTAKA

Campbell, L., Campbell, B., & Dickinson, D. Teaching & Learning Through Multiple Intelligence. diterj. oleh Tim Intuisi. Depok: Instuisi Press, 2006.

Hergenhahn, B.R. & Olson, M.H. Theories of Learning. diterj. oleh Tri Wibowo B.S. Ed. VII. Jakarta: Renada Media Group, 2008.

Joyce, B., Marsha W., & Emile C. Models of Teaching. Ed. VIII. New York: Pearson Education, 2009.

Nasrun, Muh. A. dalam harianjoglosemar.com/.../plagiarisme-dunia-akademi-9719.html.

Nugroho, Alois A. dalam  news.okezone.com/red/.../plagiarisme-bisa-sengaja-atau-tidak.

Sternberg, R.J. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. New York: Cambridge University Press, 2003.

Suparno, P. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Utorodewo, Felicia, dkk.  Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2007.

Yamin, M. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.

id.wikipedia.org/wiki/plagiarisme

No comments:

Post a Comment