Membahas tentang kompensi pendidik konselor, maka secara langsung maupun tidak langsung juga akan membahas tentang penyelenggaraan program pendidikan profesional pendidik konselor. Pembahasan (bahan yang disajikan) tentang kompetensi pendidik konselor ini merupakan penggabungan bahan pada Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, Rambu-Rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor, Rambu-Rambu Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Pendidik Konselor yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling.
A. Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Pendidik Konselor Pra-jabatan
Tidak jauh berbeda dengan konselor, kompetensi profesional pendidik konselor terdiri atas dua komponen yang berbeda antara satu dengan yang lain namun terintegrasi dalam sebuah praksis yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Penyelenggaraan program pendidikan profesional pendidik konselor pra-jabatan mengacu kepada standar kompetensi profesional pendidik konselor yang akan dibahas lebih lanjut pada bahasan dibawah ini.
1. Kompetensi Akademik Pendidik Konselor Profesional
Kompetensi akademik pendidik konselor merupakan landasan akademik bagi penerapan aspek profesional dalam penyelenggaraan pendidikan profesional bimbingan dan konseling, maka kompetensi akademik yang harus dimiliki seorang pendidik konselor terdiri atas kemampuan-kemampuan sebagai berikut.
a. Mengenal secara Mendalam Peserta Didik yang Hendak Dilayani
Konsidi awal yang harus dipahami terkait dengan prosedur pengenalan secara mendalam konseli yang hendak dilayani, diasumsikan sudah dikuasai ketika mahasiswa yang bersangkutan belajar di jenjang S-1 Bimbingan dan Konseling, Oleh karena itu, apabila Program S-2 Bimbingan dan Konseling juga menerima lulusan program S-1 bidang lain (yang masih memiliki keterkaitan dalam beberapa aspek, meskipun keterkaitan yang ada sangat kecil) perlu dapat dipra-syaratkan program matrikulasi untuk menutup secara efektif defisiensi kemampuan akademik calon mahasiswa yang terekam pada saat seleksi, dalam rangka mempertahankan mutu lulusan sehingga layak dinyatakan sebagai safe practitioner.
Pengenalan peserta didik secara mendalam (penetrate di bawah superficial level of observable behavior) dilakukan dengan bertolak dari konsep pedagogik yang bersifat multireferensial, yang meliputi sudut pandang antropologi budaya, psikologi, sosiologi dan filsafat. Pemahaman ini mengarah kepada keutuhan individu yang unik serta perspektif kemanusiaan sebagai mahkluk sosial dan individu. Oleh karena itu, sosok peserta didik yang akan dikenali itu meliputi tidak saja kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai inteligensi yang hanya mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerikal-matematik, melainkan juga aspek-aspek kecerdasan atau kemampuan intelektual yang dimiliki manusia, seperti berbagai gagasan kecerdasan majemuk (Gardner, 1993), motivasi dan keuletan (perseverance, Marzano, 1992), kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.l. Sternberg, 2003) serta kepemimpinan, yang keseluruhan dari berbagai pandangan atas aspek tersebut dicakup dalam kerangka berpikir yang dihadapkan pada berbagai macam karakteristik peserta didik yang telah bertumbuh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu.
b. Menguasai Khasanah Teoretik Bimbingan dan Konseling
Penguasaan khasanah teoretik Bimbingan dan Konseling pada penyelenggaraan program pendidikan profesional pendidik konselor pra-jabatan menggunakan label yang sama dengan penguasaan khasanah teoretik Bimbingan dan Konseling pada jenjang S-1. Hal yang membedakan yakni pada perluasan dan pendalaman kajian yang dilakukan pada jenjang S-2 jauh lebih luas dan mendalam jika dibandingkan denganjenjang S-1. Penguasaan khasanah teoretik Bimbingan dan Konseling mencakup kemampuan hal-hal sebagai berikut.
1) Penguasaan secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur pelayanan bimbingan dan konseling.
2) Pengemasan teori, prinsip, teknik dan prosedur pelayanan bimbingan dan konseling tersebut sebagai materi pembelajaran.
c. Menyelenggarakan Pembelajaran Bimbingan dan Konseling yang Mendidik
Dengan menggunakan penguasaan khasanah teoretik, prosedur dan teknik pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan sebagai konteks, kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik diwujudkan dalam beberapa kemampuan sebagai berikut.
1) Merancang program pembelajaran yang memfasilitasi penumbuhan karakter serta soft skills di samping pembentukan penguasaan hard skills, keseluruhan dari perencanaan program pembelajaran tersebut termasuk aspek yang khas diperlukan untuk penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan baik yang terbentuk sebagai dampak langsung dari tindakan pembelajaran (instructional effects) maupun sebagai dampak tidak langsung atau dampak pengiring (nurturant effects) dari akumulasi pengalaman belajar yang dihayati oleh peserta didik sepanjang rentang proses pembelajaran, kesemuanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan situasional (Joyce dan Weil, 1972; Joyce dan Calhoun, 1996).
2) Mengimplementasikan program pembelajaran dengan kewaspadaan penuh (informed responsiveness) terhadap peluang untuk menerjadikan optimasi antara pemanfaatan dampak instruksional dan dampak pengiring pembelajaran yang dibingkai dengan Wawasan Kependidikan sebagai asas pengendali (principles of reaction, Raka Joni, 1983), kesemuanya itu, sebagaimana telah diisyaratkan, demi ketercapaian tujuan utuh pendidikan S-2 Bimbingan dan Koseling.
3) Mengakses proses dan hasil pembelajaran yang tercapai baik sebagai dampak langsung maupun dampak pengiring proses pembelajaran dalam konteks tujuan utuh pendidikan S-2 Bimbingan dan Konseling.
4) Memanfaatkan hasil asesmen terhadap proses dan hasil pembelajaran itu untuk melakukan perbaikan pengelolaan pembelajaran secara berkelanjutan, baik melalui tindakan remidial maupun pengayaan.
d. Memelihara Mutu Kinerja Program S-1 Bimbingan dan Konseling
Pemeliharaan mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling mengindikasikan bahwa berbeda dari program S-1 Bimbingan dan konseling yang hanya menuntut kinerja individual lulusannya sebagai konselor dalam jalur pendidikan formal, program S-2 Bimbingan dan Konseling menuntut lulusannya untuk mampu membina kinerja organisasi yaitu mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling melalui (a) penyelenggaraan pendidikan akademik S-1 Bimbingan dan Konseling, (b) penyelenggaraan pendidikan Profesi Konselor, (c) melalui kerja kesejawatan dengan para koleganya sesama dosen program S-1 Bimbingan dan Konseling, juga sekaligus mampu secara berkelanjutan memelihara mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling agar mampu menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing minimal di tingkat nasional secara khusus, pemeliharaan mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling itu dilakukan dengan pembentukan penguasaan kemampuan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut.
1) Penilaian efisiensi internal dan efisiensi eksternal dalam penyelenggaraan program S-1 Bimbingan dan Konseling menuju daya saing lulusan minimum di tingkat nasional, melalui evaluasi diri yang digunakan untuk menenukan dan mengenali akar permasalahan yang dapat menjadi kendala dalam mewujudkan kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling yang bermutu, serta merancang dan mengimplementasikan program perbaikan bertolak dari akar permasalahan yang diungkapkan.
2) Mensupervisi penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan yang, selain difokuskan kepada penumbuhan kiat merespons yang memandirikan (mind competece) dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, juga sekaligus dimanfaatkan untuk menyemaikan kemampuan dan kebiasaan untuk menjadi reflective practitioner dengan alur pikir pembelajaran orang dewasa (adult working learners).
3) Memecahkan permasalahan Bimbingan dan Konseling di lapangan yang merupakan arena pengabdian lulusan program S-1 Bimbingan dan Konseling melalui penelitian dan pengembangan.
4) Menerapkan hasil penilaian, penelitian dan pengembangan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
e. Mengembangkan Profesionalitas Secara Berkelanjutan
Sebagai pekerja profesional yang mengedepankan kemaslahatan peserta didik dalam pelaksanaan layanannya, Pendidik Konselor perlu membiasakan diri menggunakan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas. Upaya peningkatan diri itu dapat dilakukan sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam mengelola pembelajaran (reflective practitioner), lihat kembali Schone, 1983), melalui alur pikir pebelajar dewasa yang memetik pelajaran dari keseharian pelaksanaan tugasnya dengan memanfaatkan model pembelajaran eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (the Cyclical Experiential Learning Model (Kolb, 1984), dengan melakukan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia maya, serta melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut.
Kompetensi akademik sebagaimana dipaparkan di atas dapat dikuasai melaui pendidikan akademik yang mencakup kajian mendalam tentang program bimbingan dan konseling khususnya dalam sistem pendidikan formal sekolah, pendekatan, teori, serta teknik dan prosedur pelayanan bimbingan dan konseling, asesmen, pengelolaan termasuk supervisi pendidikan profesional konselor yang berupa Program Pengalaman Lapangan, dan Penilaian Program Pendidikan Profesional Konselor Pra-jabatan, serta beberapa bidang penunjang seperti Filsafat Pendidikan, Sosiologi, Antropologi budaya, Dinamika Kelompok, Budaya Organisasi Kelas dan Sekolah, disamping kajian tentang Kurikulum sekolah, dan sebagainya, dengan jumlah beban studi tertentu yang apabila berhasil dikuasai dengan baik, merupakan dasar bagi pengnugerahan ijasah S-2 berupa Magister Pendidikan dengan kekhususan Bimbingan dan Konseling.
Penilian atas penguasaan kompetensi akademik Bimbingan dan Konseling sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya ditagih melalui ujian tertulis baik yang berupa tes pilihan (multiple choice) yang sangat efektif untuk melakukan survai kemampuan terhadap kelompok peserta didik yang besar maupun melalui tes esai serta contoh karya seperti rancangan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling (product samples) untuk mengases kemampuan dalam memecahkan masalah. Demi tranparansi, sarana uji kompetensi akademik ini dapat dikembangkan secara terpusat dan dimutakhirkan serta divalidasi secara berkala dengan memanfaatkan teknologi yang relevan di bidang asesmen. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi akademik yang dipersyaratkan bagi calon pendidik konselor, dianugerahi ijasah Magister Pendidikan dengan kekhususan Bimbingan dan Konseling yang mencerminkan kemampuan akademik yang utuh yang setara dengan ijasah S-2 yang dipersyaratkan bagi dosen untuk program S-1 Bimbingan dan Konseling . Ijasah Magister Pendidikan dengan kekhususan bidang bimbingan dan konseling ini merupakan pra-syarat untuk diperkenankan mengikuti Pendidikan Profesi bagi calon Pendidik Konselor.
2. Kompetensi Profesional Pendidik Konselor
Penguasaan kompetensi profesional pendidik konselor terbentuk melalui latihan penerapan kompetensi akademik dalam bidang Bimbingan dan Konseling yang telah dikemukakan itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena latihan lain melalui program pendidikan profesi pendidik konselor yang berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous), yang terentang mulai dari observasi dalam rangka pengenalan lapangan, latihan keterampilan dasar konseling, latihan terbimbing (supervised practice) yang kemudian terus meningkat menjadi latihan melalui penugasan terstruktur (self-managed practice) sampai dengan latihan mandiri (self-initiated practice). Hasil yang paling mantap dapat diharapkan melalui proses pemagangan dalam waktu yang relatif panjang, hanya saja di Indonesia prosedur ini belum lazim dilakukan, kecuali di bidang kedokteran, itupun hanya dalam pendidikan spesialisasi.
Keseluruhan dari pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan/atau Konselor Pamong. Sesuai dengan misinya menumbuhkan kemampuan profesional, maka kriteria utama keberhasilan belajar dalam program Pendidikan Profesi Pendidik Konselor yang berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuhan kemampuan calon pendidik konselor yang bersangkutan dalam menggunakan rentetan panjang keputusan-keputusan kecil (minute if-then decisions atau tacit knowledge) yang dibingkai kearifan dalam mengorkestrasikan optimasi pemanfaatan informasi balikan (feedback information) yang terekam sepanjang rentang proses bimbingan dan konseling, sehingga mencerminkan lintasan dalam pertumbuhan penguasaan kiat profesional dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan (Kolb, 1984; lihat juga kembali, Sternberg, 2003; Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004).
Namun di pihak lain, meskipun tergambarkan dengan sangat indah secara teoretik, juga perlu diakui kelemahan-kelemahan implementasi Program Pengalaman Lapangan calon konselor selama ini, dan bertolak dari kenyataan itu, perlu diupayakan berbagai inovasi untuk mengatasi permasalah tersebut di masa yang akan datang, sehingga amanat penyelenggaraan pendidikan pra-jabatan profesional pendidik konselor yang berujung kepada penganugerahan Sertifikat Magister Konseling itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Ini juga berarti bahwa penyelenggaraan program Pendidikan Profesi Pendidik Konselor yang berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) itu memerlukan perhatian serius di masa yang akan datang, karena juga sangat diperlukan dukungan dari pihak pengelola sekolah dan arena latihan lainnya sebab. Sebagai perbandingan, berbeda dari pendidikan medik yang didukung penuh oleh rumah sakit setempat, pelaksanaan PPL Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) terkadang kurang mendapat sambutan dari pihak sekolah, meskipun agaknya kesalahan juga terdapat di pihak LPTK, yakni mungkin dapat berdampak “mengacau” karena kekurangsiapan praktikan, juga sering dikeluhkan kurangnya waktu untuk berlatih konseling agaknya karena banyaknya jenis pendekatan yang hendak dilatihkan. Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan pengemasan ulang yang lebih cerdas untuk melatihkan apa yang mungkin dapat dinamakan model induk, dan menyisakan sub-sub model untuk didalami pasca pendidikan formal.
Diberlakukannya Kebijakan Sertifikasi Pendidik Konselor, tanggung jawab yang pada awalnya hanya dibebankan dan dituntutkan hanya dari LPTK, setidaknya juga secara proporsional dipikul oleh pihak sekolah, sebab peluang bagi terhasilkannya pendidik konselor yang handal itu akan tertutup tanpa kerja sama baik di antara LPTK dengan sekolah sebagai dua pihak yang paling berkepentingan (stakeholders), juga tidak mungkin dihasilkan pendidik konselor yang handal tanpa dukungan pihak pengelola sekolah dan arena latihan lainnya, dengan kata lain, hubungan yang bersifat simbiosis-mutualistis perlu ditumbuhkan dalam rangka pendidikan profesional pendidik konselor.
Penilaian terhadap penguasaan kompetensi profesional pendidik konselor yang dilakukan berbeda dengan penilaian penguasaan akademik, penguasaan kemampuan profesional termasuk penguasaan kemampuan profesional pendidik konselor hanya dapat ditagih dan atau dinilai melalui pengamatan ahli yang, dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakan high-inference assessment instrument, yang telah beredar di lingkungan LPTK sejak awal dekade 1980-an. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa sebagaimana halnya asesmen kemampuan profesional guru itu tidak cukup apabila hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot atau moment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang dalam rentang waktu yang memadai, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional pendidik konselor itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan, dan yang paling penting, adalah kualitas keseharian (typical behavior) kinerja pendidik konselor. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional pendidik konselor itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan layanan pembelajaran kepada mahasiswa S-1 Bimbingan dan Konseling, dan kinerja dalam supervisi penyelenggaraan Program Pendidikan Profesi Konselor dalam kurun waktu tertentu.
Di masa yang akan datang, perlu dikembangkan sarana asesmen yang bersifat high-inference seperti yang misalnya menyerupai APKG, yang dpat digunakan untuk memverifikasi penguasaan Kompetensi Profesional Pendidik Konselor. Demi transparansi, asesmen penguasaan kompetensi profesional pendidik konselor itu dilakukan dengan menggunakan penguji luar baik dosen yang berasal dari LPTK lain maupun konselor pamong anggota ABKIN yang berasal dari sekolah lain. Mahasiwa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional Calon Pendidik Konselor melalui program Pendidikan Profesi Pendidik Konselor yang berupa Progam Pengalaman Lapangan.
Selanjutnya, dalam Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Pendidik Konselor tercakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
a. Alur Pikir Pengembangan Kurikulum
Kurikulum Program S-2 Bimbingan dan Konseling dikembangkan berdasarkan konteks tugas dan ekspektasi kinerja pendidikan konselor profesional yang merujuk kepada standar kompetensi profesional dan pendidik konselor sebagaimana telah dikemukakan. Sesuai dengan sosoknya sebagai pengalaman belajar di jenjang S-2 Bimbingan dan Konseling, maka terdapat kekhasan dalam spesifikasi pengalaman belajar yang disajikan dalam kurikulum, yaitu:
1) Lebih luas jangkauan kajian akademiknya.
2) Lebih banyak menuntut refleksi bertolak dari pengalaman kerjanya sebagai konselor.
3) Lebih jauh tagihan dan penilaiannya mengenai dampak jangka panjang kinerjanya sebagai pendidik konselor, pemelihara mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling, serta tanggung jawabnya sebagai penyelia dalam penyelenggaraan Pendidikan Profesi Konselor.
Agar benar-benar memberikan dampak yang mendidik sehingga bermuara pada penguasaan perangkat kompetensi profesional pendidik konselor yang telah ditetapkan, maka proses pembentukan penguasaan setiap kompetensi dijabarkan menjadi pengalaman belajar yang memungkinkan tercapainya kompetensi yang telah ditetapkan sebagai sasaran pembentukan. Pengalaman belajar tersebut harus memfasilitasi hal-hal sebagai berikut.
1) Perolehan pengetahuan dan pemahaman (acquiring and integrating knowledge, perluasan dan penajaman pemahaman (expanding and refining knowledge) dan penerapan pengetahuan secara bermakna (applying knowledge meaningfully), melalui pengkajian dengan berbagai modus dalam berbagai konteks.
2) Penguasaan keterampilan baik kognitif dan personal-sosial maupun psikomotorik, melalui berbagai bentuk latihan disertai balikan (feedback).
3) Penumbuhan sikap dan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter, dilakukan melalui penghayatan secara pasif berbagai peristiwa sarat-nilai (vicarious learning) dan keterlibatan secara aktif dalam berbagai kegiatan sarat-nilai (gut learning).
Pengembangan materi kurikuler dari setiap pengalaman belajar, dilakukan dengan mengaitkan rincian kompetensi/sub-kompetensi dengan bentuk kegiatan belajar yang harus diacarakan serta materi pembelajaran yang dimuatkan ke dalam tiap kegiatan belajar untuk mencapai penguasaan kompetensi atau sub-kompetensi yang telah ditetapkan sebagai sasaran pembentukan, beserta asesmen tagihan penguasaannya.
1) Berdasarkan bentuk kegiatan belajar serta muatan substantif dan tingkatan serta cakupan kompetensi atau sub-kompetensi yang telah ditetapkan sebagai sasaran pembentukan yang meliputi sikap dan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter, dapat diperkirakan jumlah waktu yang diperlukan untuk penguasaan setiap sub kompetensi yang bersangkutan yaitu dengan menggunakan kerangka pikir dua dimensi Sistem Kredit Semester yang telah akrab dikenal di lingkungan pendidikan tinggi.
2) Berdasarkan kandungan isinya dilakukan pemilihan menjadi pengalaman belajar yang bermuatan (i) teoretik, (ii) praktik, dan (iii) penghayatan lapangan.
3) Berdasarkan keterawasannya dilakukan pemilihan menjadi kegiatan (i) terjadwal, (ii) terstruktur, dan (iii) mandiri, masing-masing dengan perbandingan alokasi waktu yang berbeda.
4) Berdasarkan substansi dari perangkat pengalaman belajar yang telah dikembangkan, kemudian dilakukan pemilihan yang menghasilkan cikal bakal mata kuliah, masing-masing disertai dengan taksiran besaran waktu yang diidentifikasi berdasarkan keterawasannya, sehingga merupakan langkah awal dalam penetapan mata kuliah, lengkap dengan taksiran bobot SKS-nya, yang secara keseluruhan membangun kurikulum Program Pendidikan Profesional Pendidikan Konselor dengan beban studi sebesar antara 36 – 50 SKS. Keberhasilan menguasai perangkat kompetensi akademik melalui pengalaman belajar yang setara dengan beban studi antara 36 – 50 SKS itu, digunakan sebagai dasar untuk penganugerahan ijasah S-2 Magister Pendidikan (M.Pd) dalam bidang Bimbingan dan Konseling. Sedangkan sertifikat Magister Bimbingan dan Konseling (M.Kons) dianugerahkan kepada calon pendidik konselor yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik yang direpresentasikan dengan ijasah S-2 bimbingan dan Konseling itu, setelah mereka berhasil dengan baik menempuh Pendidikan Profesi Pendidik Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan dengan masa studi sekitar 1 (satu) semester.
b. Rambu-Rambu Proses Pembelajaran
Agar standar kompetensi profesional Konselor yang telah ditetapkan itu dapat dicapai dengan baik, maka sebagaimana telah dikemukakan secara garis besar, proses pembelajaran yang diterapkan pada program S-2 Pendidikan Profesional Pendidik Konselor Pra-jabatan itu diselenggarakan dengan mengupayakan hal-hal sebagai berikut.
1) Sesuai dengan kebutuhan belajar dari pebelajar dewasa yang menjadi mahasiswa Program S-2 Bimbingan dan Konseling, proses pembelajaran didasarkan atas asas-asas experiential learning, yang terbangun secara siklikal sebagai suatu siklus yang terus berulang, yang mulai dari pengalaman konkret (concrete experience) dari pekerja dewasa, berlanjut kepada pemaknaan terhadap pengalaman konkret tersebut melalui perenungan yang sistematis (reflective observation), diteruskan dengan penyarian makna dari pengalaman tersebut menjadi konsep-konsep abstrak (abstract conceptualization) sehingga menghasilkan semacam personal theory, yang kemudian dicobakan dalam praktek (active experimentation), kesemuanya dalam konteks kehidupan pekerja dewasa (working adult learners, Kolb, 1984).
2) Berpegang kepada pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (learner-centered instruction) yang berkualitas tinggi baik dari segi relevansi psikologik (meaningfulness) dalam arti emosional serta kognitif, maupun dari segi relevansi sosial (utility), pembelajaran digelar dengan memanfaatkan berbagai bentuk kegiatan belajar yang menumbuhkan:
a) Kemampuan pemecahan masalah serta kemampuan bekerja sama, dengan dukungan berbagai fasilitas termasuk teknologi informasi dan komunikasi.
b) Kemampuan reflektif baik yang bertolak dari pengamatan serta pemaknaan terhadap keseharian pengalaman maupun dari bentuk-bentuk telaah yang lebih sistematis mulai dari penelitian tindakan kelas sampai dengan penelitian formal.
c) Kemampuan empati yang mengedepankan kemaslahatan peserta didik, yang bertumpu kepada kepedulian ekstra-personal di samping kepedulian intra-personal dan inter-personal (Sternberg, 2003).
3) Kemampuan menskenariokan pengalaman belajar yang mengoptimalisasikan pemanfaatan dampak langsung pembelajaran (instructional effects) dan dampak pengiring dari akumulasi pengalaman belajar (nurturant effects), dalam rangka pembentukan penguasaan hard skills secara bersamaan dengan penumbuhan penguasaan soft skills termasuk sikap dan nilai yang mempribadi sebagai karakter yang kuat, menuju kepada pembentukan masyarakat masa depan Indonesia yang dikehendaki.
4) Mengembangkan kemampuan untuk memelihara mutu kinerja Prgram S-1 Bimbingan dan Konseling melalui Evaluasi Diri untuk menemukandan mengenali akar permasalahan yang menjadi kendala terhadap penyelenggaraan program S-1 Bimbingan dan Konseling serta merancang dan mengimplementasikan program perbaikan dalam rangka menghasilkan Konselor yang memiliki daya saing minimum di tingkat nasional.
5) Mengembangkan kemampuan untuk melakukan penyeliaan dan penilaian terhadap program Pendidikan Profesional Konselor, serta pemanfaatan peluang-peluang untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang diprogramkan demi ketercapaian tujuan utuh pendidikan; baik tujuan program di bidang Bimbingan dan Konseling maupun tujuan pendidikan nasional.
6) Membentuk kemampuan untuk melakukan pendampingan dan pembimbingan termasuk yang menggunakan pendekatan supervisi klinis.
c. Mahasiswa
Mengingat misi Program S-2 Bimbingan dan Konseling adalah menyelenggarakan Pendidikan Akademik Bimbingan dan Konseling yang bermuara pada penganugerahan ijasah Magister Pendidikan dengan kekhususan Bimbingan dan Konseling, yang dilanjutkan dengan Pendidikan Profesional Pendidik Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan selama sekitar 1 (satu) semester, maka proses penerimaan mahasiswa baru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1) Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru
Sistem penerimaan calon mahasiswa dilakukan melalui seleksi sesuai dengan persyaratan akademik dan persyaratan administratif yang berlaku pada program Pascasarjana di masing-masing universitas, dengan memperhatikan mutu akademik calon mahasiswa yang bersangkutan melalui prosedur seleksi yang kredibel. Calon mahasiswa berasal dari lulusan S-1 Bimbingan dan Konseling. Apabila hendak diterima mahasiswa yang merupakan lulusan program S-1 kependidikan lain, maka perlu diadakan matrikulasi termasuk penambahan sejumlah mata kuliah program S-1 Bimbingan dan Konseling (anvullen), apabila terdeteksi defisiensi kompetensi akademik yang cukup serius pada tahap seleksi.
2) Proses seleksi.
Penyelenggaraan seleksi masuk dilakukan secara terbuka, sehingga dapat diketahui oleh calon baik melalui surat selebaran (pamflet, leaflet, brosur), iklan dalam surat kabar maupun media elektronik. Cara penyampaian hasil seleksi mengikuti mekanisme yang berlaku pada masing-masing PPs.
d. Ketenagaan
1) Dosen
a) Untuk menyelenggarakan program S-2 Bimbingan dan Konseling, lembaga dipersyaratkan memiliki tenaga dosen yang merujuk kepada jumlah dan kualifikasi sebagaimana tercantum dalam keputusan Dirjen Dikti No. 108/Dikti/Kep/ 2001 tanggal 30 April 2001.
b) Dalam keadaan tertentu dapat digunakan tenaga dosen dari luar universitas, melalui pengaturan yang melembaga dengan mencantumkan bidang keahlian dan jenjang pendidikan untuk masing-masing bidang keahlian. Namun perlu juga program kaderisasi baik untuk menggantikan dosen pinjaman, maupun untuk memperkuat jajaran dosen tetap milik lembaga.
c) Setiap dosen program S-2 Bimbingan dan Konseling wajib akrab dengan budaya bimbingan dan konseling dalam sistem Pendidikan formal, baik yang diperoleh melalui pendidikan formal baik di jenjang dasar dan menengah maupun perguruan tinggi baik melalui pelatihan-pelatihan, maupun dengan cara lain seperti penugasan khusus yang intensif dalam waktu minimal dua tahun, melakukan penelitian tindakan baik dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran di LPTK maupun peningkatan kualitas layanan bimbingan dan konseling khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk jenjang sekolah dasar, kehadiran pelayanan bimbingan dan konseling perlu dicermati dari konteks tugas konselor di tanah air yang tidak mempekerjakan konselor di jenjang sekolah dasar. Namun di pihak lain, konselor juga dapat berperan serta secara produktif di jenjang sekolah dasar sebagai Konselor Kunjung yang membantu guru Sekolah Dasar (misalnya satu orang konselor untuk satu gugus SD) mengatasi perilaku mengganggu (disruptive behavior), antara lain dengan pendekatan Direct Behavioral Consultation.
2) Tenaga Penunjang Akademik
Lembaga mempunyai tenaga penunjang akademik untuk melayani laboratorium/workshop, perpustakaan, laboratorium komputer, dsb.
a) Tenaga Teknisi
Lembaga mempunyai tenaga teknisi yang diperlukan untuk mengurus peralatan laboratorium Bimbingan dan Konseling.
b) Tenaga Administrasi
Lembaga mempunyai tenaga administrasi yang mengurus keuangan, akademik, kemahasiswa-an, perlengkapan, kebersihan, dan sebagainya.
e. Sarana dan Prasarana
Selain dukungan tenaga dengan jenis keahlian dan rambu-rambu jumlah seperti diuraikan detail pada bagian ketenagaan, penyelenggaraan Program S-2 Bimbingan dan Konseling perlu didukung tersedianya sarana dan prasarana sebagai berikut.
1) Selain ruangan kelas yang memadai, sarana utama lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan S-2 Bimbingan dan Konseling adalah ruang yang disediakan dan/atau didesain khusus sebagai ruang demonstrasi-observasi dan yang berada di kampus, sekolah latihan, perpustakaan, serta laboratorium Bimbingan dan Konseling.
2) Ruang demonstrasi-observasi merupakan ruang untuk berlatih menguasai keterampilan dasar wawancara konseling dan latihan penyelenggaraan konseling. Ruang ini minimal dilengkapi dengan video-kamera, monitor televisi, dan ruang pengamat yang dibatasi dengan kaca satu arah yang hanya tembus pandang dari tempat pengamat yang diperlengkapi dengan mikrofon omni-directional yang bisa disembunyikan, sehingga yang sedang berlatih tidak merasa terganggu.
3) Sekolah latihan adalah sekolah menengah yang berada di dalam dan/atau di luar kampus, dengan jumlah yang memadai, minimal satu Sekolah Menengah Latihan untuk 20 mahasiswa.
4) Perpustakaan yang memuat buku/sumber-sumber yang berkaitan dengan sistem Pendidikan formal, seperti kurikulum sekolah yang relevan, Buku Panduan berbagai perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri, CD yang berisi berbagai aspek pelaksanaan pelayanan Bimbingan dan Konseling; di samping jurnal dan buku-buku lain yang relevan yang harus disediakan di perpustakaan fakultas/universitas. Selain itu untuk kebutuhan komunikasi high-tech jurusan/program studi S-2 Bimbingan dan Konseling perlu sinergi dengan lembaga induk.
5) Kerja sama dengan pengguna lulusan
Untuk meningkatkan jaminan bagi keberhasilan penyelenggaraan Program S-2 Bimbingan dan Konseling yang direncanakan, maka perlu dilakukan kerja sama dengan sekolah bukan saja sebagai mitra dalam penyelenggaraan Program Pengalaman Lapangan, melainkan juga sebagai arena untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk kemanfaatan bersama. Selain itu, juga perlu dijalin kerja sama saling menguntungkan dengan LPTK lain, khususnya yang mengirimkan mahasiswa S-2 Bimbingan dan Konseling.
6) Lembaga penyelenggara program S-2 Bimbingan dan Konseling
a) Lembaga penyelenggara program S-2 Bimbingan dan Konseling mengutamakan pemanfaatan secara optimal sarana dan prasarana yang dimiliki, seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, pusat sumber belajar berbagai media dalam teknologi informasi dan komunikasi dan fasilitas micro skills dalam konseling. Sarana dan prasarana tersebut digunakan untuk pengembangan keilmuan dan pembelajaran dalam bidang bimbingan dan konseling, termasuk penelitian, latihan dan praktik pembelajaran dalam bidang bimbingan dan konseling. Pembiayaan program S-2 Bimbingan dan Konseling merupakan bagian integral dari pengelolaan PPs setempat dengan alokasi yang jelas.
b) Untuk menyelenggarakan program S-2 Bimbingan dan Konseling, perguruan tinggi yang berminat untuk berperan serta perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
(1) Memiliki Program S-1 Bimbingan dan Konseling yang masih aktif menyelenggarakan Program S-1 Bimbingan dan Konseling.
(2) Memiliki PPs yang menyelenggarakan sekurang-kurangnya 2 Program Studi S-1 Kependidikan lain yang telah diizinkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
(3) Memiliki komitmen tinggi, yang ditunjukkan dengan adanya kesadaran pemahaman yang lengkap dan mendalam tentang Rambu-rambu Penyelenggaraan Program S-2 Bimbingan dan Konseling dalam bingkai Naskah Akademik Konsolidasi Pendidikan Profesional Konselor.
(4) Memiliki perencanaan yang matang dan komprehensif yang dituangkan dalam rencana strategis lembaga yang disertai usulan program yang menjanjikan dan kredibel dengan memperbaiki tata-pamong dan program kaderisasi yang diwadahi tatanan organisasi yang mengayomi bidang kependidikan.
(5) Memiliki rencana operasional yang mencerminkan komitmen berupa dukungan dana, tenaga khususnya tenaga akademik dan teknisi, sarana dan prasarana, dan dukungan masyarakat serta ketaatan terhadap berbagai kebijakan penyelenggaraan Pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, serta akan dimonitor serta dievaluasi secara berkala.
c) Pengelolaan
Pengelolaan program S-2 Bimbingan dan Konseling, harus merupakan bagian integral dari pengelolaan PPs setempat dengan struktur organisasi dan alokasi dana yang jelas.
d) Mekanisme Perizinan
Pengusulan Pembukaan Program S-2 Bimbingan dan Konseling dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagai berikut.
(1) Usulan penyelenggaraan program S-2 Bimbingan dan Konseling diajukan oleh pimpinan perguruan tinggi kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas dengan didahului oleh pemenuhan persyaratan administratif sesuai ketentuan.
(2) Permohonan untuk menyelenggarakan Program S-2 Bimbingan dan Konseling sesuai dengan Standar Kompetensi Pendidik Konselor dan Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Pendidik Konselor sebagaimana diatur dalam Naskah Akademik Pendidikan Profesional Konselor disertai dengan laporan Evaluasi Diri yang dilakukan dengan memperhadapkan kekuatan dan kelemahan lembaga untuk menemukan akar permasalahan yang perlu diatasi dengan berbagai program pengembangan kapasitas yang relevan, disertai wadah kelembagaan pengelolaan sumberdaya, termasuk SDM yang dimiliki. Pengajuan Usulan harus disertai dengan permohonan izin penyelenggaraan.
(3) Lembaga penyelenggara yang sekarang sedang menyelenggarakan program S-2 Bimbingan dan Konseling wajib mengirimkan laporan semesteran sesuai Keputusan Dirjen Dikti Nomor 034/Dikti/Kep/ 2002 untuk dilakukan evaluasi penyelenggaraannya sebagai dasar penentuan untuk memperoleh perpanjangan izin penyelenggaraan.
(4) Ketentuan dan prosedur pengusulan penyelenggaraan selengkapnya dapat ditemukan dalam Keputusan Dirjen Dikti Nomor 108/DIKTI/Kep/2001 tentang Pedoman Pembukaan Program Studi dan/atau Jurusan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 tentang Pendirian Perguruan Tinggi.
(5) Ketentuan dan prosedur pengusulan penyeleng-garaan selengkapnya dapat ditemukan dalam Keputusan Dirjen Dikti Nomor 108/DIKTI/Kep/2001 tentang Pedoman Pembukaan Program Studi dan/atau Jurusan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 tentang Pendirian Perguruan Tinggi.
B. Rambu-rambu Program Penyetalaan Kemampuan Pendidik Konselor Dalam Jabatan
1. Latar Belakang
Dewasa ini, selain dosen lulusan program S-2 dan S-3 Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan di LPTK-LPTK sebelum diberlakukannya ketentuan-ketentuan dalam Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor ini, di lapangan sudah ada sejumlah lulusan Program Pendidikan Profesi Konselor yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK. Sebagaimana diketahui, Pendidikan Profesi Konselor ini mempersyaratkan kepemilikan ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling, dengan masa belajar antara 2 (dua) sampai 3 (tiga) semester, menganugerahkan kepada lulusannya gelar profesi Konselor, disingkat ”Kons”, yang siap bekerja sebagai konselor dalam jalur pendidikan formal. Dengan kata lain, secara kurikuler, Program Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan DSPK tersebut, tidak menyiapkan lulusannya dengan kemampuan akademik untuk melakukan tugas sebagai Pendidik Konselor (dosen) pada program S-1 Bimbingan dan Konseling, apalagi jika dibandingkan dengan Standar Kompetensi Profesional Pendidik Konselor yang diatur dalam Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Akan tetapi dalam kenyataannya, dengan dukungan dana BPPS yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, cukup banyak peserta Program Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan DSPK tersebut yang telah menyandang gelar akademik S-2 Bimbingan dan Konseling, bahkan ada pula yang telah menyandang gelar akademik S-3 Bimbingan dan Konseling, dan kepada lulusan yang telah menyandang gelar akademik S-2 dan S-3 itupun juga dianugerahi gelar profesi konselor, sebagaimana yang diberikan kepada lulusan yang hanya bermodalkan ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling yang telah dikemukakan sebelumnya.
Oleh karena itu, dengan atau tanpa Pendidikan Profesi Konselor dibawah naungan DSPK, ABKIN tetap saja dihadapkan kepada tanggungjawab keorganisasian untuk memfasilitasi penyelenggaraan program penyetalaan (fine-tuning) kemampuan jajaran pendidikan konselor di tanah air, memalui penyediaan rambu-rambu program penyetalaan Program Pendidikan Konselor dalam jabatan di tanah air. Melalui upaya ini, secara sistematis diharapkan dapat difasilitasi peningkatan kinerja program Studi S-1 Bimbingan dan Konseling yang dilanjutkan dengan Pendidikan Profesi Konselor, sehingga lebih menjajikan bagi dihasilkannya konselor profesional yang dimiliki daya saing minimal di tingkat nasional, dalam penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan khususnya dalam jalur pendidikan formal.
2. Tujuan
Program Penyetalaan kemampuan Pendidikan Konselor yang mengawaki program S-1 Bimbingan dan Konseling pada semua LPTK di tanah air, termasuk yang merupakan alumni Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan DSPK diselenggarakan untuk melakukan standarisasi kemampuan akademik dan kemampuan profesional jajaran dosen Program S-1 Bimbingan dan Konseling dalam rangka Profesionalisasi Konselor Indonesia. Standarisasi kemampuan Pendidik Konselor Profesional tersebut mencakup kemampuan dari segi:
a. Penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik pada program S-1 Bimbingan dan Konseling.
b. Pemeliharaan mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling.
c. Penyeliaan penyelenggaraan pendidikan konselor.
Dalam kaitan ini, kelompok penyetalaan kemampuan pendidik Konselor dalam jabatan ini terdiri atas dua kategori, yaitu:
a. Kelompok pendidik konselor yang belum memperoleh gelar profesi konselor melalui pendidikan konselor yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK.
b. Kelompok pendidik konselor yang telah memperoleh gelar profesi konselor melalui pendidikan konselor yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK.
Dalam hal ini, meskipun beda dari segi kepemilikan gelar profesi konselor, namun secara kurikuler:
a. Kedua jenis kelompok sasaran memiliki definisi kemampuan akademik dari segi kemampuan memlihara mutu kinerja program S-1 Bimbingan dan Konseling, dan hanya terdapat
b. Defisiensi yang bersifat parsial dari segi kesiapan untuk menyelia penyelenggaraan Pendidikan Profesi Konselor, dalam arti Pendidik Konselor yang telah memiliki sertifikat profesi Konselor yang merupakan, alumni Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan DSPK, memiliki kelebihan dalam penguasaan kompetensi profesional sebagai Konselor khususnya dalam jalur pendidikan formal (dengan ketentuan jika alumni Program Pendidikan Profesi Konselor di wabah naungan DSPK yang lulusan program S-1 Bimbingan dan Konseling diproyeksikan untuk memperkuat jajaran dosen Program S-1 Bimbingan dan Konseling, maka ia wajib mengikuti Program S-2 Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan dalam Naskah Penataan Pendidikan Profesional Konselor).
3. Fitur Program
Setelah mempersandingkan kompetensi bawaan jajaran Pendidik Konselor di tanah air dengan Standar Kompetensi Profesional Pendidik Konselor, maka dirancang Program Penyetalaan Kemampuan Profesional Pendidik Konselor, yang diselenggarakan melalui langkah-langkah berikut.
a. Audit Keseluruhan Rekam Jejak Kurikuler Peserta Program
1) Audit rekam jejak kurikuler jajaran dosen program S-1 Bimbingan dan Konseling yang belum mengikuti Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan DSPK.
2) Audit keseluruhan Rekam Jejak Kurikuler Alumni Pendidikan Profesi Konselor di bawah naungan DSPK.
3) Pengungkapan defisiensi kemampuan akademik Pendidik Konselor
a) Defisiensi kemampuan akademik utuh dosen program S-1 Bimbingan dan Konseling yang bergelar akademik S-2 Bimbingan dan Konseling yang
(1) Belum menyandang gelar profesi konselor melalui Program Pendidikan Profesi yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK
(2) Telah menyandang gelar profesi konselor melalui Program Pendidikan Profesi yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK
b) Defisiensi kemampuan akademik dosen program S-1 Bimbingan dan Konseling yang bergelar akademik S-1 Bimbingan dan Konseling yang
(1) Belum menyandang gelar profesi konselor melalui Program Pendidikan Profesi yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK.
(2) Telah menyandang gelar profesi konselor melalui Program Pendidikan Profesi yang diselenggarakan di bawah naungan DSPK.
4) Penutupan defisiensi kemampuan akademik Pendidik Konselor dilakukan melalui lokakarya Evaluasi Diri dan perancangan program perbaikan program S-1 Bimbingan dan Konseling.
5) Penutupan defisiensi kemampuan profesional Pendidik Konselor dilakukan melalui latihan penyeliaan praktek Bimbingan dan Konseling mahasiswa program S-1 Bimbingan dan Konseling;
4. Lembaga Penyelenggara
Program Penyetalaan Kemampuan Pendidik Konselor dan Program Peningkatan Kemampuan Pendidik Konselor diselenggarakan oleh Lembaga Penyeleng-gara Program S-2 Bimbingan dan Konseling, minimum telah menyelenggarakan 3 (tiga) angkatan program S-2 Bimbingan dan Konseling.
DAFTAR RUJUKAN
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: ABKIN.
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor. Bandung: ABKIN.
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Pendidik Konselor. Bandung: ABKIN.
No comments:
Post a Comment