Thursday, June 23, 2011

Komparasi Sembilan Pendekatan Konseling



NAMA
TERAPI
PERKEMBANGAN
PENDEKATAN
HAKIKAT
MANUSIA
PERKEMBANGAN
PERILAKU
HAKIKAT
KONSELING
PSYCHOANALYTIC THERAPY
Pemikiran tentang psikoanalisis dikembangkan di Vienna pada tahun 1890an oleh Sigmund Freud, seorang dokter saraf yang tertarik untuk menemukan penanganan yang efektif untuk pasien yang mengalami gangguan saraf atau gejala-gejala histeris. Teori pertama Freud (1895) dalam bukunya Studies in Hysteria, menjelaskan bahwa akar dari gejala-gejala histeria (gangguan saraf) adalah “repressed memories” dari kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan.
Pada tahun 1905, Freud mengemukakan teori seksualitas dalam beberapa fase. Setelah kematian Freud muncullah kelompok baru psikoanalisis (Neo Freudian) yang mulai mengeksplorasi fungsi ego.
Mereka berlandaskan atas pemahaman tentang fungsi sintetis dari ego sebagai mediator dalam fungsi psikis.
Freud memandang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik,  mekanistik, dan reduksionistik. Dimana manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tidak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naluriah. Freud menekankan peran naluri-naluri yang bersifat bawaan dan biologis, ia juga menekankan pada naluri seksual dan impuls-impuls agresif. Dengan kata lain manusia perlu “kekang” oleh aturan dan norma yang dibuat agar supaya manusia tidak bertindak sesuka hatinya. Hal ini sangatlah berbeda dengan pandangan humanistik yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, serta bertentangan pula dengan pandangan behavioristik yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah seperti “kertas putih” (netral) yang membuat manusia baik atau jahat adalah lingkungan.
Menurut pandangan Psikoanalisa, struktur kepribadian manusia tersusun secara struktural, dimana terdapat subsistem yang berinteraksi secara dinamis, yaitu id, ego, dan superego.
Sehingga menurut Freud,  struktur kepribadian merupakan sistem yang kompleks, karena adanya interaksi antara tuntutan Id, dunia realitas yang dimiliki Ego dan harapan moral Superego.
Oleh karena Ego berada pada posisi yang harus mengimbangi Id dan Superego sehingga menimbulkan mekanisme pertahanan ego yang kita kenal dengan “self defence mechanism”.
Hal ini berbeda dengan aliran humanistik yang menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh kecocokan antara diri ideal dan diri riil serta tidak diperlukan mekanisme pertahanan karena tidak ada yang saling mendominasi antar riil self dan ideal self, melainkan dilihat dari cogruence atau tidaknya.
Dalam pendekatan psikonanalisa hakikat konseling merupakan proses dimana individu mengetahui ego serta mencapai ego yang kuat, yaitu menempatkan ego pada tempat yang benar, sebagai pihak yang mampu memilih secara rasional dan menjadi mediator antara Id dan Superego yang mendominasi struktur kepribadian manusia.
Konseling dalam pandangan psikoanalisis adalah sebagai proses re-edukasi terhadap ego sehingga menjadi lebih realistik dan rasional.
“Self defence mechanism”, merupakan hal yang pokok dalam menganalisis perilaku individu dalam proses konseling. Supaya antara Id, Ego dan Super ego memiliki keharmonisan dan keseimbangan dalam diri individu tidak boleh salah satu mendominasi yang lain.
Analisis tranferensi, interpretasi, analisis mimpi, dan asosiasi bebas, dibutuhkan untuk mengetahui masa lalu klien dalam proses konseling ini.
PERSON-CENTERED THERAPY
Pendekatan Person-centered yang dikembangkan Rogers pada tahun 1930, dibagi menjadi empat tahapan atau fase. Pertama, tahap perkembangan, termasuk tahun-tahun awal profesional roger. Kedua,  tahap non-directive nya menandai awal pengembangan teoritis dan penekanannya pada pemahaman klien dan mengkomunikasikan pemahaman itu.  Tahap ketiga, client-centered, melibatkan pengembangan lebih teoritis kepribadian dan perubahan paikoterapi, serta terus memfokuskan pada orang bukan pada teknik. Tahap keempat, person-centered, melalui psikoterapi individu yang meliputi konseling Mariage, terapi kelompok, dan aktivisme politik dan perubahan. pembentukan bertahap dari tahap ini dan kontribusi roger untuk psikoterapi dibahas berikutnya.
Perkembangan pendekatan person-centered therapy berbeda dengan psikoanalisis yang tokoh utamanya berasal dari dunia kedokteran sehingga menginternalisasi ilmu kedokteran.
Pada  dasarnya  manusia  itu  kooperatif, konstruktif, dapat  dipercaya,  memiliki  tendensi dan  usaha mengaktualisasikan dirinya,   dapat  mempertahankan dirinya  sendiri,  mampu  memilih  tujuan  yang  benar.  Pada  sisi  lain  Rogers  memandang  manusia  adalah  sebagai makhluk sosial,  berkembang, rasional dan realistis. Manusia adalah subjek  yang  utuh,  aktif,  dan  unik. Pola perilaku manusia ditentukan oleh kemampuan untuk  membedakan antara respon yang efektif (menghasilkan rasa senang)  dan  respon  yang  tidak  efektif (menghasilkan  rasa  tidak senang). Hal ini bertentangan dengan aliran psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya itu jahat, oleh karena itu perlu dikekang dengan norma dan aturan, serta aliran behavioristik yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya bersifat “netral”, manusia menjadi baik oleh karena lingkungan bukan karena manusia itu sendiri sehingga lingkungan perlu dimanipulasi dan dimodifikasi.
Perkembangan perilaku mengacu pada dua konstruk pokok, yaitu: organisme dan self.
a)      Organisme
Merupakan locus (tempat semua pengalaman). Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme. Totalitas pengalaman, baik disadari maupun tidak disadari membangun medan fenomenal (phenomenal field), medan fenomenal adalah “frame of reference” yang digunakan sebagai pedoman dalam bertingkahlaku.
b)      Self
Merupakan “persepsi tentang hubungan riil self dan ideal self. Riil self adalah self sebagaimana adanya (struktur diri yang nyata/sekarang), terdapat suatu diri ideal, yakni apa yang diinginkan orang atau lingkungan tentang dirinya.
Hal ini berbeda dengan aliran psikoanlitik yang menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh faktor ketidak sadaran yang dibentuk oleh ego, bukannya oleh idel self dan riil self
Pendekatan Person-Centered pada dasarnya berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan yang ditujukan oleh konselor/terapis terhadap klien, yang bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan klien, penyesuaian diri klien dan aktualisasikan diri klien, dimana masing-masing saling mengungkapkan atau memperlihatkan kemanusiaannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan. Titik tolak dalam konseling Person-Centered adalah keadaan individu saat ini (here and now) bukan pengalaman masa lalu. Fokus utama dalam konseling adalah penyesuaian antara ideal-self dan actual self. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan bukan segi intelektualnya. Peranan aktif dipegang oleh klien, sedangkan konselor adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diam dan pasif akan tetapi berusaha membantu agar klien aktif memecahkan masalahnya. Hal ini sangat berbeda dengan psikoanalisis dimana konselor yang mengatur proses konseling.
BEHAVIOR THERAPY
Perkembangan Behavior therapy telah dimulai tahun 1900-an dan digunakan menjadi suatu pendekatan psikologis pada 1950-an dan 1960-an.
Kontribusi Pavlov untuk behavior therapy adalah pengkondisian klasik. Watson telah digambarkan sebagai "bapak" dari behaviorisme (McLeod). Dia menekankan bahwa perilaku semua dapat dipahami sebagai hasil belajar. Skinner mengembangkan teori-teori penguat instrumental (pengkondisian operan). Bandura menerapkan prinsip pengkondisian klasik dan operan untuk belajar sosial. Pada dasarnya, orang belajar perilaku melalui pengamatan perilaku lain, juga dikenal sebagai pemodelan.
Behavior memiliki sejarah perkembangan yang dalam dan terdiri dari beberapa ahli, namun semua ahli tersebut hanya berfokus pada prinsip-prinsip belajar yang dapat teramati dan terukur sehingga tidak melibatkan aspek-aspek yang lain dalam penelitian mereka seperti aspek kognitif dan afektif (emosi)
Hakikat manusia dalam pandangan para behaviorisme adalah pasif dan mekanistik, manusia dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan diprogram sesuai dengan keinginan lingkungan yang membentuknya.
Tingkah laku manusia diperoleh dari belajar. Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya dengan lingkungan. Manusia lahir dengan membawa kebutuhan bawaan, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari dari interaksi dengan lingkungan. Serta Manusia tidak lahir dalam keadaan baik atau jahat, melainkan netral. Bagaimana kepribadian seseorang dikembangakan tergantung interaksi dengan lingkungan.
Hal ini bertentangan dengan aliran Humanistik yang menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik, bukan karena pengaruh lingkungan melainkan manusia itu sendiri. Serta bertentangan pula dengan aliran psikoanalitik yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan memiliki sifat yang jahat.
Kepribadian manusia adalah perilaku organisme itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kerpribadian manusia dapat di ketahui melalui tingkahlaku yang tampak dan diamati (observable behavior).
Lingkungan dan pengalaman menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang dibentuk. Efek dari lingkungan dan stimulus dari dalam memiliki pengaruh yang dominan terhadap individu.
Dalam membentuk tingkah laku individu, prediksi dan control perilaku merupakan hal terpenting. Tidak ada yang lebih penting selain kebebasan dalam penentuan respon. Perkembangan dari perilaku individu dapat dipisah menjadi operant respondent yaitu individual respon yang berbeda dalam pengaruh control dari stimulus lingkungan.
Hal ini berbeda dengan psikoanalisis dan humanis yang menyatakan bahwa perkembangan tingkah laku dipengaruhi oleh ego dan self, bukan oleh operant respont yang dilakukan individu.
Hakikat konseling menurut Behavioral adalah proses membantu individu dalam situasi belajar, tentang menyelesaikan masalah-masalah interpersonal, emosional, dan pengambilan keputusan dalam mengontrol kehidupan mereka sendiri untuk mempelajari tingkah laku baru yang sesuai.
Proses Konseling dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar yang sistematis untuk mengubah perilaku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama konselor dan konseli. Prosedur konseling dalam pendekatan behavior adalah; penyusunan kontrak, asesmen, penyusunan tujuan, implementasi strategi, dan eveluasi perilaku. Dengan prosedur tersebut konseling/terapi behavior berorientasi pada pengubahan tingkah laku yang maladaptif menjadi adaptif. Hal ini sangat berbeda dengan aliran humanistik yang menyatakan bahwa konseling sejatinya merupakan proses aktualisasi diri klien karena klien yang paling tau dirinya bukan konselor.
RASIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY
(REBT)
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT) sebelumnya disebut rational therapy dan rational emotive therapy, REBT diciptakan dan dikembangkan oleh Albert Ellis (1950an), pada mulanya Ellis menggunakan psikoanalisis dan person-centered therapy dalam proses terapi, namun ia meras kurang puas dengan pendekatan dan hipotesis tingkah laku klien yang dipengaruhi oleh sikap dan persepsi mereka. Hal inilah yang memotivasi Ellis mengembangkan pendekatan rational emotive dalam psikoterapi yang ia percaya dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek terapeutik.
Ellis mengembangkan teori A-B-C, dan kemudian dimodifikasi menjadi pendekatan A-B-C-D-E-F yang digunakan untuk memahami kepribadian dan untuk mengubah kepribadian secara efektif. Sampai saat ini REBT masuk pada pendekatan konseling yang berorientasi CBT atau yang dikenal dengan Cognitive Behavior Therapy.
Manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan behaviorisme menyatakan bahwa tingkah manusia sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) bukan oleh keyakinan/belief yang rasional atau irasional manusia. Aliran psikoanalisis menyatakan bahwa manusia bersifat jahat  bukan karena cara berpikirnya dan persepsi manusia terhadap lingkungan (antecedent/consequenses) melainkan karena faktor bawaan.
Terdapat tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Antecedent event yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Belief yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Emotional consequence merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event. Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable “antara” dalam bentuk keyakinan baik yang rasional maupun yang irasional. Aliran behavioral radikal menyatakan bahwa lingkungan (Antecedent event) memberikan efek langsung terhadap perubahan tingkahlaku individu bukannya keyakinan individu, serta consequence, bukan hanya berdampak emosi tetapi juga pada lingkungan individu.
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah. Emotif-ekspreriensial, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
REALITY THERAPY
Konseling realita dicetuskan oleh William Glasser pada tahun 1961. Kemudian pada 1970-an, Glesser memasukkan konsep control theory ke dalam konseling realita. Selama bertahun-tahun, sistem pengobatan dikenal sebagai realitas / teori kontrol. Namun, pada tahun 1996, Glesser menetapkan bahwa yang mendasari konseling realita adalah choice theory bukan control theory. Choice theory mendalilkan bahwa pilihan pikiran, perasaan, dan tindakan sangat menentukan kualitas hidup mereka. Xavier di Cincinnati. Wubbolding telah memainkan peran penting dalam pengembangan dan mengenalkan konseling realita. Dia adalah penulis yang produktif dan buku-buku yang pernah ditulis antara lain: Reality Therapy For The 21 st Centure (2000), Understanding Reality Therapy (1991), dan Expanding Reality Therapy: Group Counseling and Multicultural Dimensions (1990). Tulisannya memfasilitasi implimentasi
Pada dasarnya manusia bertanggung- jawab atas perilakunya. Kitalah yang memilih untuk melakukan sesuatu (baik ataupun buruk). Karenanya, kita dapat memilih untuk membuat pilihan yang lebih baik.
Kita mungkin saja dibentuk oleh masa lalu, namun kita bukan korban masa lalu. Karenanya kita memilih untuk melakukan sesuatu sekarang (here and now). Semua perilaku kita pada dasarnya merupakan usaha terbaik kita untuk memenuhi 5 kebutuhan dasar yaitu yaitu untuk memenuhi 5 kebutuhan dasar: survival, love and belonging, power, freedom, dan  fun.










Choice theory menjelaskan bahwa semua yang pernah kita lakukan dari lahir sampai mati adalah bertingkah laku dan segala sesuatu yang kita lakukan adalah dipilih/berdasarkan pilihan kita.
Perilaku itu bertujuan karena dirancang untuk menutup kesenjangan antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita rasakan/kita dapatkan. Perilaku khusus selalu dihasilakn dari perbedaan ini, perilaku kita berasal dari dalam, dan kita memilih takdir kita.
Perilaku manusia adalah bahasa dan bahwa kita mengirim pesan menurut apa yang kita lakukan. Tujuan perilaku adalah mempengaruhi dunia untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Dengan mempertimbangkan pesan bahwa konseli memgirimkan kepada orang lain, konselor dapat membantu konseli secara langsung untuk mendapatkan penghargaan yang lebih besar dari pesan yang mereka sengaja kirim ke orang lain.
Konseling realita merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah dalam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan.
Konseling realita lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang dimana penekanan pada pilihan dan tangung jawab, penolakan terhadap transferensi, penekanan konseling pada saat sekarang, penghindaran dari pemusatan perilaku bermasalah dan menentangan pandangan tradisional tentang penyakit mental.
SOLUTION FOCUSED BRIEF THERAPY
(SFBT)
SFBT sejatinya semuanya merupakan pendekatan yang didasari oleh filosofi postmodern sebagai landasan konseptual pendekatan-pendekatan tersebut.
Pertama kali tulisan tentang brief therapy ada pada tahun 1970an dan awal 1980an.
Banyak pendekatan-pendekatan konseling lain juga memberikan konstribusi penting terhadap SFBT seperti Brief psychodynamic psychotherapy, Behavioral dan terapi cognitive-behavioral, Single Session Therapy serta Family therapy.
Solution Focused Brief Therapy (SFBT) pertama kali dipelopori oleh Insoo Kim Berg dan Steve De Shazer. Keduanya adalah direktur eksekutif dan peneliti senior di lembaga nirlaba yang disebut Brief Family Therapy Center (BFTC) di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat pada akhir tahun 1982.
Pemikiran postmodern memberikan dampak terhadap perkembangan teori konseling dan psikoterapi serta mempengaruhi praktik konseling dan psikoterapi kontemporer.
SFBT berasumsi bahwa manusia itu sehat, mampu (kompeten), memiliki kapasitas untuk membangun, merancang ataupun mengkonstruksikan solusi-solusi, sehingga individu tersebut tidak terus menerus berkutat dalam problem-problem yang sedang ia hadapi. Manusia tidak perlu terpaku pada masalah, namun ia lebih berfokus pada solusi, bertindak dan mewujudkan solusi yang ia inginkan. Dengan kata lain manusia tidak perlu memperdulikan masa lampau (mengkonstruk permasalahan yang terjadi) melainkan mencari solusi yang tepat dengan cara mengkonstruknya. Manusia dapat mengkonstruk solusi oleh dirinya sendiri karena dianggap mampu dan kompeten. Faktor lingkungan dan faktor bawaan khususnya alam bawah sadar individu tidak berpengaruh terhadap tingkahlaku individu. Hal ini bertentangan dengan pendekatan psikoanalisis yang masih berorientasi pada alam bawah sadar (masa lalu) individu dan mencari penyebab masalah itu muncul.
Perkembangan perilaku individu ditentukan oleh pribadi yang mampu (kompeten), memiliki kapasitas untuk membangun, merancang ataupun mengkonstruksikan solusi-solusi, sehingga individu tersebut tidak terus menerus berkutat dalam problem-problem yang sedang ia hadapi. Sehingga individu tidak terpaku pada masalah, namun lebih berfokus pada solusi, bertindak dan mewujudkan solusi yang ia inginkan.
Tingkahlaku menjadi bermasalah karena ketidak efektifannya dalam mencari dan melakukan atau menggunakan solusi yang dibuatnya serta individu meyakini bahwa ketidakbahagiaan atau ketidak sejahteraan ini berpangkal pada dirinya.
Hal ini berbeda dengan aliran behaviorisme yang menyatakan bahwa tingkah laku individu dikatakan bermasalah jika tidak sesuai dengan tujuan/goal yang telah ditentukan bagi tingkahlaku individu serta pengaruh lingkungan terhadap individu.
Hakikat konseling SFBT adalah untuk menemukan apa yang klien inginkan dari pada mencari sesuatu yang tidak mereka inginkan.
Jangan mencari masalah dan jangan berusaha untuk melemahkan klien dengan memberi mereka label diagnosa
Jika apa yang dilakukan klien tidak mengalami kemajuan, konselor menyemangati mereka untuk bereksperimen dengan melakukan suatu yang berbeda.
Meringkas proses terapi pada setiap sesi agar terlihat satu-satunya sesi atau sesi terakhir.
Proses kolaborasi klien dengan konselor dalam membangun solusi tidak hanya membutuhkan sedikit teknik. Model SFBT menghendaki setiap orang bisa menerima dan menolong diri mereka sendiri dalam menciptakan sebuah solusi permasalahan.
NARRATIVE THERAPY
Naratif terapi  dikembangkan oleh Michel White dan David Epson (1990).
Dari semua konstruksionis sosial, yang paling dikenal untuk penggunaan dalam terapi narasi adalah Michael White dan David Epston (1990). Menurut hite (1992), individu membangun makna kehidupan dalam kisah-kisah interpretatif, yang kemudian dianggap sebagai "kebenaran." Karena kekuatan budaya narasi dominan, individu cenderung menginternalisasi pesan dari wacana dominan dan membentuk identitas mereka di seluruh posisi untuk hidup dari pesan-pesan yang ditawarkan ini - bahkan jika posisi tersebut tidak berguna bagi individu.
Perspektif Naratif lebih berfokus pada kemampuan manusia untuk berpikir kreatif dan imajinatif. Praktisi Naratif tidak pernah menganggap bahwa ia tahu lebih banyak tentang kehidupan klien daripada yang mereka atau individu itu sendiri. Dimana individu merupakan penafsir utama pengalaman mereka.
Praktisi Naratif dilihat  sebagai agen aktif yang mampu memperoleh makna yang keluar dari dunia pengalaman individu. Dengan demikian, proses perubahan dapat difasilitasi, tetapi tidak diarahkan oleh terapis.
Kemampuan manusia yang mampu berpikir kreatif dan imajinatif bertentangan dengan pandangan REBT yang menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat absolute, yang dapat menyelesaikan masalah bukan melalui pikiran yang kreatif melainkan pikiran yang rasional. Hal serupa juga bertentangan dengan behavioral dimana kreatifitas berpikir bukan ditentukan oleh potensi yang dimiliki, namun lebih dipengaruhi oleh lingkungan (eksternal)
Dalam narrative therapy, perkembangan perilaku individu dipengaruhi oleh cerita yang dikonstruk oleh dirinya sendiri. Cerita dapat membentuk realitas yang dalam, bahwa dapat mengkonstruk dan membentuk apa yang individu lihat, rasakan dan lakukan.
Dengan cerita, individu dapat mengalami perubahan perilaku saat mengatakan ceritanya, tetapi juga dapat mengubah orang yang mendengarnya atau siapa saja yang menjadi bagian dari proses cerita tersebut.
Dengan demikian perkembangan perilaku individu ditentukan oleh kisah atau cerita-cerita individu terhadap dirinya.
Hal ini berbeda pada aliran psikoanalisis, behavior dan REBT, yang menyatakan bahwa perkembangan perilaku lebih cenderung terdapat pada alam bawah sadar individu, faktor manipulasi dan modifikasi lingkungan serta keyakinan-keyakinan individu terhadap hal-hal yang terjadi pada dirinya.
Pendekatan narasi meliputi adopsi perubahan fokus dari teori paling tradisional. Terapis dianjurkan untuk mendirikan pendekatan kolaboratif dengan minat khusus dalam mendengarkan cerita-cerita klien; mencari waktu untuk kehidupan klien ketika mereka banyak akal; menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan memfasilitasi eksplorasi mereka; untuk menghindari diagnosis dan menamai klien atau menerima deskripsi total masalah; untuk membantu klien dalam memetakan pengaruh masalah dalam kehidupan mereka, dan untuk membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita dominan yang diinternalisasi mereka sehingga ruangan dapat dibuka untuk menciptakan kisah kehidupan alternatif.
FEMINIST THERAPY
Feminis therapy dikembangkan untuk menanggapi tantangan dan kebutuhan yang muncul dari perempuan. Feminis terapi dapat ditelurusi melalui gerakan perempuan pada tahun 1960an, saat perempuan mulai menyatukan suara mereka untuk mengekspresikan ketidak puasan mereka dengan adanya pembatasan peran wanita tradisional.
Penelitian tentang bias gender muncul pada tahun 1970an, yang melahirkan ide-ide feminis, dan organisasi-organisasi mulai untuk membantu perkembangan feminist therapy seperti:Association for Women in Psychology (AWP). Pada tahun 1980an, adanya upaya untuk mendefinisikan feminist therapy sebagai suatu entitas dalam dirinya sendiri dan terapi individu adalah bentuk yang paling sering dipraktekan dalam feminist therapy. Feminist therapy berubah secara dramatis dan menjadi lebih beragam karena semakin terfokus pada masalah-masalah khusus dan isu-isu seperti body image, hubungan antar individu, inses serta pelecehan seksual.
Terapi feminis memandang bahwa perempuan dan laki-laki bersosialisasi dengan cara yang berbeda. Ekspektasi peran gender berpengaruh sangat besar pada laki-laki dan perempuan. Sosialisasi peran gender (gender-role socialization) merupakan proses multifase, terjadi selama rentang kehidupan, serta menguatkan keyakinan-keyakinan dan perilaku-perilaku tertentu yang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang tepat berdasar jenis kelamin biologis. Proses tersebut berdampak membatasi kepada perempuan dan laki-laki. Para feminis menantang asumsi-asumsi yang berdasar sosialisasi peran gender dan stereotip peran jenis kelamin.
Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan tidak dapat disamakan dalam konsteks objektif sekalipun. Faktor biologis (jenis kelamin) sangat mempengaruhi persepsi dan perilaku individu. Faktor internal seperti: pikiran, belief, kreatifitas, serta faktor lingkungan tidak memiliki andil yang signifikan terhadap perilaku individu.
Perkembangan perilaku menurut terapi feminis dipengaruhi oleh konteks gender dan sosial budaya yang terdapat pada masyarakat, seperti:
Pria cenderung bersikap dan bertindak cerdas, berprestasi, asertif, dan mengejar cita-cita. Sebaliknya, wanita diupayakan untuk memiliki kebijaksanaan yang dikenal dengan “intuisi wanita”, namun dicegah untuk maju secara intelektual, kompetitif, atau agresif.
Laki-laki cenderung bersikap dan bertindak rasional, logis dan pandai. Wanita, walaupun diharapkan emosional, akan dicap “histeris” jika ia terlalu ekspresif dalam mengungkapkan emosinya. Untuk lak-laki, kemarahan merupakan ekspresi emosi yang dapat diterima, sebaliknya luapan emosi yang dapat diterima untuk wanita adalah menangis.
Hal ini berbeda dengan aliran humanistik yang menyatakan bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) dipengaruhi oleh tuntutan (ideal self) yang tidak cogruence dengan kondisi nyata (riil self)
Masalah individu bersumber dari konteks politis. Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa masalah-masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling bersumber dari konteks politik dan sosial.
Konselor feminis memahami bahwa ketimpangan sosial dan politik berdampak negatif pada semua orang. Konselor feminis berusaha untuk membantu individu membuat perubahan dalam hidupnya serta perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotyping, marginalisasi, dan opresi. Tujuan kuncinya adalah untuk melakukan intervensi dengan cara yang dapat menghasilkan perubahan dalam lingkungan sosiopolitik yang disfungsional. Sumber-sumber opresi, tidak hanya gender, diidentifikasi dan dieksplorasi secara interaktif sebagai basis untuk memahami concern konseli. Membingkai masalah dalam konteks kultural akan membawa pada pemberdayaan konseli, yang hanya dapat dicapai melalui perubahan sosial.
FAMILY THERAPY
Dalam perkembangannya, Family Systems Therapy mengalami beberapa inovasi: Adlerian Family Therapy , pendekatan sistemis yang telah lama digunakannya sebelum teori-teori tersebut diaplikasikan dalam dunia psikoterapi. Multigenerasional Family Therapy merupakan model teoritis dan klinis yang terlibat dari prinsip-prinsip dan praktek psikoanalitis, disebut juga terapi keluarga multi generasional. Human Validation Process Model menekankan pada hubungan keluarga. Experiential Family Therapy menekankan pada pilihan, kebebasan, penentuan diri, pertumbuhan, dan aktualisasi.
Structural-Strategic Family Therapy menekankan perubahan struktural harus terjadi dalam keluarga sebelum gejela individual tersebut dikurangi atau dieliminasi. Recent Innovations, model ini lebih kolaboratif, memperlakukan klien–individual, pasangan atau keluarga- sebagai ahli dalam kehidupan mereka sendiri.
Manusia dalam perkembangan kehidupannya akan selalu berhubungan dengan sistem. Usaha untuk berubah akan difasilitasi dengan sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan hubungan atau sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendekatan penanganan secara komprehensif ditujukan pada keluarga yang merupakan sistem sosial terkecil. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa keluarga merupakan unit interaksional, yang memiliki sejumlah ciri unik sendiri. Meneliti dinamika internal individu tidak hanya cukup memperhatikan hubungan interpersonal, karena akan memberikan gambaran yang tidak lengkap.
Keluarga dipandang sebagai unit fungsional lebih dari kumpulan peranan anggota. Tindakan anggota keluarga secara individual akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga lainnya, dan interaksi mereka memiliki pengaruh timbal balik untuk setiap individu dalam keluarga tersebut yang terjadi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Perkembangan perilaku individu dapat dipengaruhi oleh Birth order and family constellation. Family systems therapy memiliki anggapan bahwa perkembangan individu juga dipengaruhi konteks sosial yang terjadi, termasuk orangtua, saudara, dan individu penting lainnya yang menciptakan hubungan dengan seorang anak, bukan sebagai penerima pasif, melainkan anak-anak mempengaruhi bagaimana orang tua dan saudara menanggapi mereka.
Dengan kata lain, perilaku individu dipengaruhi oleh sistem yang dimana individu itu terlibat, jika sistem itu mengalami perubahan maka individu juga akan ikut berubah.
Hal ini bertentangan dengan pendekatan REBT yang menyatakan bahwa tingkah laku individu di tentukan oleh dirinya sendiri, melalui pemikiran yang rasional dan irrasional bukan oleh sistem tertentu. Sistem dapat berubah tetapi menurut REBT individu tersebutlah yang menentukan apakah dia akan ikut berubah atau tidak bukan karena sistem.
Konseling Keluarga merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada individu sebagai bagaian dari anggota keluarga melalui sistem keluarga (pembenahan komunikasi keluarga) agar potensinya berkembang seoptimal mungkin dan masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga.
Setiap anggota adalah sejajar, tidak ada satu yang lebih penting dari yang lain.
Situasi saat ini merupakan penyebab dari masalah keluarga dan prosesnyalah yang harus diubah.
Selama intervensi berlangsung, konselor/terapist merupakan bagian penting dalam dinamika keluarga, jadi melibatkan dirinya sendiri.
Konselor/terapist memberanikan anggota keluarga untuk mengutarakan dan berinteraksi dengan setiap anggota keluarga dan menjadi “intra family involved”.
Relasi antara konselor/terapist merupakan hal yang sementara.
KESIMPULAN
Sejarah perkembangan psikoanalisis, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Freud yang merupakan dokter jiwa. Saat menangani orang yang mengalmai gangguan jiwa (histeria), Freud menemukan adanya Id, Ego dan Super ego dalam diri manusia. Kemudian ia mengembangkan mekanisme pertahanan diri/ego dari dominasi Id dan Super ego. Berbeda dengan Rogers yang pada mulanya menggunakan psikoanalisis namun kemudian memprotesnya karena, merasa bahwa ada sesuatu yang “kurang” dari pendekatan tersebut, yaitu pengakuan terhadap konseli, bahwa konseli merupakan orang yang baik, kompeten dan mampu untuk mengaktualisasikan dirinya serta mampu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Behaviorisme yang lahir dari prinsip-prinsip belajar dalam proses eksperimen kemudian diterapkan pada manusia memberikan dampak yang cukup signifikan karena manusia dalam hidupnya belajar dan memperoleh informasi baru untuk terus dikembangkan.
Selanjutnya REBT yang dikembangkan oleh Ellis, pun merupakan bentuk protes dari pendekatan Psikoanalisis pula, dimana Ellis cenderung lebih menitik beratkan pada keyakinan (belief) yang ada dalam diri individu, karena dengan mengubah belief konseli, proses therapy dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Kemudian Reality Therapy yang dikemukakan oleh William Glasser, yang sekarang dikenal dengan Choice Theory, menyatakan bahwa hidup merupakan pilihan, sehingga kita harus bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang kita buat.
Narrative Therapy, SFBT, Feminist therapy dan Family Therapy yang merupakan terapi dari postmodern, cenderung lebih melihat faktor individu sebagai pusat therapy serta lingkungan (budaya, konteks, keluarga, dll) yang memiliki andil dalam perkembangan perilaku manusia.

Psikoanalisis memandang manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik,  mekanistik, dan reduksionistik. Dengan kata lain bahwa manusia ditentukan oleh faktor-faktor bawaan dan ketidaksadaran. Manusia juga dipandang memiliki sisi “jahat” sehingga perlu dikekang dengan norma dan aturan.
Sebaliknya pandangan Person-Centered Therapy menyatakan bahwa manusia pada dasarnya “baik”, kooperatif, konstruktif, dan dapat  dipercaya. Manusia memiliki kendali atas hidupnya sendiri karena manusialah yang paling tau apa yang terjadi pada dirinya dan apa yang menjadi keinginnnya.
Aliran Behaviorisme (Behavior Therapy), berpendapat lain, yaitu: manusia dilahirkan ke dunia ini dalam kondisi “netral”, yang membuat manusia menjadi baik atau jahat adalah lingkungan yang merupakan stimulus bagi manusia. Oleh karena itu perilaku manusia dapat diubah melalui manipulasi dan modifikasi lingkungan.
Pandangan REBT tentang hakekat manusia berbeda pula, dimana yang menyebabkan manusia menjadi individu yang “baik” atau “jahat” adalah keyakinan (belief) yang rasional maupun irasional dalam mempersepsikan suatu stimulus. Jika keyakinan itu irasional maka manusia menjadi tidak produktif, sebaliknya ketika berkeyakinan rasional, manusia akan menjadi produktif.
Berbeda pula dengan pandangan Reality Therapy yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi untuk melakukan pilihan (choice), sehingga manusia menjadi jahat dan baik disebabkan karena pilihannya sendiri (berorientasi subjektif).
Pendekatan Narative Therapy, lebih menekankan pada faktor kemampuan kreatif dan imajinatif dari manusia. Feminist terapi lebih menekankan faktor gender dan sosial budaya sebagai faktor yang dominan bagi manusia.
Family therapy, menekankan bahwa manusia merupakan kesatuan sistem sehingga antar satu dan lainnya saling berhubungan dan mempengaruhi.
Pandangan Psikoanalisa menyatakan bahwa perkembangan perilaku manusia didominasi oleh Id, Ego dan Super ego. Dimana dari antara ketiga hal ini harus terdapat keharmonisan dan keserasian.
Berbeda dengan pandangan psikoanalisis, pandangan humanis (client-centered therapy) menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh “congruence” antara riil self dan ideal self, bukannya terdapat “gap” antara hal-hal yang menjadi harapan individu dan hal-hal yang kenyataan sekarang. Oleh karena itu individu tidak perlu melakukan self defence mechanism individu hanya perlu berusaha untuk menjadi “congruence”.
Dalam Reality therapy, namun pada reality therapy yang menjadi fokus utama adalah “choice” yang dibuat oleh individu. Pilihan pilihan yang dibuat oleh individu bertujuan untuk menjembatani antara harapan dan kenyataan riil yang terjadi serta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu.
Hal ini berbeda dengan aliran Behaviorisme yang menyatakan bahwa perkembangan dari perilaku individu dapat modifikasi dan dimanipulasi melalui operant respondent yaitu dengan cara mengontrol pengaruh dari stimulus lingkungan. Sehingga perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal bukan dari faktor internal seperti yang Id, Ego, Super ego atau Self. Pandangan REBT menyatakatan bahwa perilaku manusia lebih ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu: Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Dimana (A) bersifat netral, (B) yang menjadi penentu apakah (A) bersifat happy atau unhappy kemudian muncullah (C) bagi diri individu yang disebakan oleh (B). sehingga (B) dalam diri individu yang perlu di”dispute” bukannya (A) atau (C). Perkembangan perilaku menurut terapi feminis dipengaruhi oleh konteks gender dan sosial budaya yang terdapat pada masyarakat (luar/eksternal) hal ini serupa dengan Family therapy, bahwa tingkahlaku dipengaruhi oleh kesatuan sistem.
Konseling dalam pandangan psikoanalisis adalah sebagai proses re-edukasi terhadap ego sehingga menjadi lebih realistik dan rasional.
Hal ini sangat berbeda dengan pendekatan Person-Centered yang berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan yang ditujukan oleh konselor/terapis terhadap klien. Dengan kata lain klien lebih tau tentang apa yang dirasakan dan dialaminya bukan konselor sekalipun, oleh karena itu yang dapat membantu individu adalah individu itu sendiri bukan konselor, bukan seperti dalam pendekatan psikoanalisa dimana konselor seakan-akan menjadi ahli yang mengetahui segala sesuatu tentang individu tersebut.
Pandangan Behavioristik menyatakan bahwa proses konseling dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar yang sistematis untuk mengubah perilaku dalam batas-batas tujuan yang spesifik. Hal ini berbeda dengan aliran humanistik yang menyatakan bahwa konseling bertujuan untuk mengaktualisasikan diri individu, aktualisasi diri inilah yang sulit atau bahkan tidak dapat diukur (measurable), masih sangat abstrak sehingga perlu di”pecah” ke dalam obkjek-objek yang lebih spesifik dan konkrit. Jika pendekatan Behaviorisme memanipulasi dan memodifikasi lingkungan, pendekatan REBT yang di”manipulasi” / di”dispute” oleh konselor adalah diri individu yaitu keyakinan irasional yang dimiliki konseli, karena REBT berasumsi bahwa lingkungan bersifat netral. Dari pedekatan REBT, Behaviorisme, dan Psikoanlisis yang menekankan peran konselor sebagai individu yang ahli dalam menangani masalah konseli secara aktif, maka pada pendekatan Reality therapy, konselor cenderung lebih pasif. Dan orientasinya pun pada masa yang akan datang bukan pada masa lampau seperti pendekatan psikoanalisis. Pada terapi SFBT, hakikat koseling cederung memberikan kebebasan kepada klien untuk memperoleh apa yang mereka inginkan

No comments:

Post a Comment