Ketika dunia kita menjadi lebih kompleks dan plural secara budaya, topik tentang komunikasi antar budaya menjadi semakin penting. Kemampuan komunikasi antar budaya mempengaruhi kemampuan kita untuk berfungsi dengan baik tidak hanya di tempat kerja dan sekolah, namun juga di rumah, bersama keluarga, dan pada saat kita bermain. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk melakukan komunikasi antar budaya, kita tampaknya juga harus memperbaiki kemampuan komunikasi kita sendiri.
Banyak penelitian yang telah dilakukan dalam bidang komunikasi antar budaya dan lintas budaya. Dalam bab ini penulis memberikan semua informasi untuk membangun model komunikasi. Penulis juga akan membandingkan antara komunikasi intracultural dengan komunikasi intercultural/antar budaya, dan membahas aspek-aspek unik di dalamnya. Penulis juga akan membahas bagaimana dan mengapa komunikasi bisa gagal, dan apa yang bisa kita lakukan agar komunikasi antar budaya bisa berhasil.
I. DEFINISI KOMUNIKASI
Porter dan Samovar (1985) mendefinisikan komunikasi sebagai sesuatu yang terjadi setiap kali seseorang merespon tingkah laku, atau bekas dari tingkah laku orang lain. Pada tahun 1995 mereka kembali membuat definisi tentang komunikasi, yaitu sesuatu yang terjadi ketika makna dihubungkan tingkah laku. Dalam bab ini, penulis mendefinisikan komunikasi sebagai pertukaran pengetahuan, ide, pikiran, konsep, dan emosi yang terjadi antar individu.
Komunikasi dapat terjadi secara disengaja atau tidak disengaja. Komunikasi terjadi ketika 2 orang atau lebih dengan sengaja mencoba untuk saling menyampaikan makna. Percakapan, menulis surat, dan bahkan buku ini merupakan bentuk-bentuk komunikasi yang disengaja. Namun komunikasi juga bisa terjadi secara tidak sengaja, kita bisa menyampaikan pesan kepada orang lain bahkan ketika kita tidak bermaksud untuk melakukannya. Dengan demikian komunikasi mengacu pada fakta bahwa orang-orang memberikan makna terhadap tingkah laku, tanpa memperhatikan apakah makna tersebut disengaja atau tidak.
Dalam bidang psikologi sosial dan komunikasi, istilah komunikasi interpersonal biasanya mengacu pada komunikasi yang terjadi antara orang-orang dari latar belakang budaya yang sama, definisi ini identik dengan komunikasi intracultural. Sedangkan komunikasi intercultural/antar budaya mengacu pada pertukaran pengetahuan, ide, pikiran, konsep, dan emosi antara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
II. KOMPONEN-KOMPONEN DALAM KOMUNIKASI
A. Dua Cara Melakukan Komunikasi
Komponen-komponen dari proses komunikasi terbagi menjadi beberapa cara, salah satunya yaitu dengan mengidentifikasi bagaimana cara sebuah komunikasi dapat terjadi. Dalam berkomunikasi orang-orang menggunakan 2 cara yaitu verbal dan non verbal. Cara verbal melibatkan penggunaan bahasa, dengan segala fonem, morfem, dan kosakata; sintaks dan tata bahasa, fonologi, semantik, dan pragmatiknya. Bahasa verbal melambangkan dunia, dan dipakai untuk saling bertukar ide, pikiran, dan perasaan. Cara non verbal meliputi semua tingkah laku non-bahasa, termasuk ekspresi wajah, tatapan dan kontak mata, suara dan petunjuk paralinguistik, ruang interpersonal, gerak, postur tubuh, dan keheningan.
B. Encoding dan Decoding
Cara lain untuk melihat proses komunikasi adalah melalui encoding dan decoding. Encoding adalah proses di mana orang memilih suatu cara dan metode tertentu yang digunakan untuk membuat dan mengirim pesan kepada orang lain, secara sadar atau tidak sadar. Orang yang melakukan encoding dan mengirimkan pesan dan makna dalam literatur penelitian sering disebut dengan encoder atau sender/pengirim. Decoding adalah proses di mana seseorang menerima sinyal dari sebuah encoder dan menerjemahkan sinyal tersebut menjadi pesan-pesan yang bermakna. Dalam literatur ilmiah, orang yang menerjemahkan pesan sering disebut decoder atau receiver/penerima.
Komunikasi bukanlah sebuah proses yang terjadi satu arah, di mana seseorang melakukan encoding dan orang lain melakukan decoding, namun komunikasi adalah proses yang sangat kompleks di mana encoding dan decoding terjadi dalam rangkaian yang cepat, dan saling tumpang tindih dalam waktu yang hampir bersamaan. Proses saling memberi dan menerima dalam encoding dan decoding inilah yang membuat studi tentang komunikasi menjadi menarik. Dalam proses ini, individu berganti-ganti peran dari waktu ke waktu, dari encoder ke decoder dan sebaliknya.
C. Channel, Sinyal, dan Pesan
Sinyal adalah kata-kata dan tingkah laku khusus yang dikirimkan dalam proses komunikasi, berupa bahasa verbal dan tingkah laku non verbal tertentu yang dikodekan ketika sebuah pesan dikirimkan. Misalnya ekspresi wajah, yang dapat menjadi sinyal yang dikodekan dengan sebuah pesan tertentu. Bentuk sinyal yang lain misalnya kata-kata atau frase, postur tubuh, atau nada suara.
Pesan adalah makna yang terkandung atau makna yang diterima bersama dengan sinyal. Pesan bisa berisi pengetahuan, ide, konsep, pikiran, atau emosi yang sengaja disampaikan oleh encoder dan diinterpretasikan oleh decoder. Sinyal adalah tingkah laku yang dapat diamati yang tidak harus memiliki makna yang melekat, sedangkan pesan merupakan makna yang kita sertakan bersama sinyal tingkah laku.
Channel adalah proses sensorik tertentu tentang bagaimana cara sinyal dan pesan dikirimkan, seperti penglihatan atau suara. Channel yang paling banyak digunakan dalam komunikasi adalah visual, yaitu dengan melihat ekspresi wajah, postur tubuh, dan gesture, sedangkan yang audio seperti mendengarkan kata-kata, nada suara, dan lain-lain. Namun, dalam berkomunikasi semua indera yang lain juga digunakan, termasuk sentuhan, penciuman, dan indera perasa.
III. PERAN KEBUDAYAAN DALAM PROSES KOMUNIKASI
A. Pengaruh Budaya pada Encoding Bahasa Verbal dan Tingkah laku nonverbal
Budaya memiliki pengaruh yang besar pada bahasa verbal. Setiap bahasa merupakan sebuah sistem simbol unik yang menunjukkan apa dianggap penting oleh budayanya. Kata-kata tertentu mungkin ada dalam beberapa bahasa dan tidak terdapat dalam bahasa lain, hal ini mencerminkan cara kebudayaan tersebut melambangkan dunia mereka. Beberapa kebudayaan dan bahasa sering menggunakan self referent dengan cara yang berbeda, misalnya dalam bahasa Inggris kata I dan you bisa digunakan untuk berbagai jenis peran, posisi, atau status.
Budaya tidak hanya mempengaruhi kosakata bahasa, tetapi juga fungsi atau pragmatiknya. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa dalam bahasa budaya individualistis, kata ganti dapat dihilangkan dari kalimat. Studi-studi lain juga menunjukkan perbedaan budaya dalam beberapa aspek lain dari komunikasi, termasuk komunikasi ingroup dan outgroup, penggunaan permintaan maaf, pengungkapan diri, pujian, dan kritik interpersonal.
Budaya juga mempengaruhi struktur dari proses pemikiran melalui hipotesis Sapir-Whorf. Meskipun beberapa penelitian telah menentang hipotesis ini selama bertahun-tahun, namun mereka mendapat dukungan yang cukup besar dalam kaitannya dengan pengaruh tata bahasa dan aspek sintaksis bahasa terhadap pemikiran. Penelitian tentang bilingual juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara budaya dengan bahasa, mereka menemukan bahwa individu yang berbicara dalam 2 bahasa bisa mengakses kedua sistem budaya dari bahasa yang mereka gunakan tersebut.
Budaya juga bisa mempengaruhi beberapa tingkah laku non verbal. Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa ekspresi wajah marah, jijik, takut, bahagia, sedih, dan terkejut itu secara budaya dimiliki oleh semua orang, dan disampaikan dengan berbagai macam cara yang berbeda sesuai dengan kebudayaannya masing-masing. Terdapat banyak perbedaan budaya dalam gesture, tatapan dan perhatian visual, ruang interpersonal, postur tubuh, suara, dan karakteristik vokal.
Budaya mempengaruhi semua aspek encoding pesan dalam komunikasi. Proses encoding bisa terjadi secara verbal melalui bahasa, atau non verbal melalui ekspresi wajah, gesture, postur tubuh, ruang, atau parameter non verbal lainnya, semua proses encoding itu dipengaruhi oleh budaya. Itu berarti bahwa cara sebuah pesan yang dikodekan menjadi sinyal-sinyal dan bagaimana sinyal dikirim oleh encoder dalam proses komunikasi sangat dipengaruhi oleh budaya. Keakuratan komunikasi bergantung pada kemampuan decoder untuk menguraikan sinyal yang membawa pesan. Pada gilirannya, kemampuan ini tergantung pada keberadaan decoder memahami nilai budaya yang terjadi dalam proses encoding.
B. Pengaruh Budaya pada Proses Decoding
1) Filter budaya, etnosentrisme, emosi, dan pertimbangan nilai
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia melalui filter budaya sendiri. Filter etnosentris merupakan salah satu mekanisme bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi.
Saat tumbuh dewasa, kita mempelajari aturan-aturan budaya tentang encoding komunikatif yang tepat pada tingkah laku verbal dan non verbal. Ketika masih kecil, aturan-aturan tersebut secara konstan terus diperkuat oleh orang tua, teman, guru, dan agen enkulturasi lainnya. Beberapa peraturan juga ditransmisikan dan diperkuat oleh organisasi dan lembaga. Seiring dengan bertambahnya usia, kita butuh untuk kembali diingatkan tentang aturan-aturan ini, dan untuk menggunakannya dibutuhkan sedikit usaha secara sadar. Usaha-usaha ini menghasilkan sesuatu yang unik, yaitu terciptanya cara-cara yang khas secara budaya dalam melakukan komunikasi verbal dan non verbal.
Kita juga belajar bagaimana caranya melihat sinyal dan menginterpretasikan pesan, yaitu dengan mempelajari aturan-aturan budaya tentang decoding yang tepat. Karena kita mempunyai sebuah aturan encoding dan decoding yang sama dengan orang-orang dari budaya kita, maka kita dapat mengembangkan harapan yang sama dalam berkomunikasi. Aturan-aturan dan harapan ini membentuk sebuah dasar pemahaman yang tidak harus selalu diucapkan ketika kita berkomunikasi dengan orang dewasa lain yang berasal dari budaya yang sama.
Selain harapan dalam melakukan komunikasi, kita juga mempelajari reaksi emosional yang berhubungan dengan harapan-harapan tersebut. Reaksi ini dapat berupa penerimaan dan kesenangan, bisa juga berupa kemarahan, permusuhan, dan frustrasi. Emosi kita juga sangat terkait dengan pertimbangan nilai yang sering kita buat tanpa berpikir panjang. Pertimbangan ini bersifat alami karena berasal dari pola asuh kita. Emosi dan nilai-nilai berfungsi sebagai pedoman yang membantu kita dalam membentuk pendapat tentang orang lain dan diri kita sendiri.
Jadi, aturan decoding dan pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan emosi dan nilai, membentuk dasar dari filter yang kita gunakan untuk melihat dunia. Ketika kita semakin ter-enkulturasi, berarti kita menambahkan lapisan filter tersebut. Filter ini seperti lensa yang memungkinkan kita untuk melihat dunia dengan cara tertentu. Setelah beranjak dewasa, kita telah mempunyai filter yang sama dengan orang lain dalam kelompok budaya kita. Filter-filter itu kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dan tak terlihat dari diri kita, dan merupakan bagian dari komposisi psikologis kita sebagai hasil dari proses enkulturasi yang kita lakukan.
2) Budaya dan Stereotip
Stereotip adalah generalisasi tentang orang, terutama tentang karakteristik psikologis atau sifat kepribadian yang mendasarinya. Stereotip merupakan sebuah produk dari proses psikologis, yang termasuk dalam stereotip adalah perhatian selektif, pertimbangan, pembentukan konsep dan kategorisasi, atribusi, emosi, dan memori. Stereotip merupakan alat bantu mental yang sangat penting, yang membantu kita mengorganisasikan informasi. Stereotip membantu kita berinteraksi dengan orang lain, dan mempunyai peran yang sangat penting dalam komunikasi.
Proses-proses psikologis merupakan bagian dari konsep diri kita. Proses ini memperkuat pengetahuan budaya yang telah kita pelajari dari proses enkulturasi, dan kemudian memperkuat rasa diri kita. Ketika kita mengkonfirmasi stereotip kita, maka kita juga memperkuat konsep diri kita. Stereotip merupakan bagian integral dari proses psikologis, dan terkait erat dengan emosi, nilai-nilai, dan inti diri kita.
3) Budaya dan Sosial Kognisi
Budaya mempengaruhi interpretasi kita terhadap tindakan orang lain, yaitu, atribusi kita tentang orang lain. Misalnya orang Amerika, mereka cenderung untuk menarik kesimpulan tentang keadaan internal orang lain menurut dugaan yang mendasari atau menyebabkan sebuah tingkah laku. Bias ini dikenal sebagai fundamental attribution error/kesalahan atribusi yang fundamental (Ross, 1977). Penelitian lintas budaya telah menunjukkan bahwa bias ini tidak ditemukan dalam budaya lain. Miller (1984) membandingkan penjelasan yang diberikan oleh orang Amerika dengan orang Hindu India tentang tindakan orang lain. Miller menemukan bahwa memberikan penjelasan disposisional merupakan hal yang biasa bagi untuk orang Amerika tapi tidak bagi orang Hindu. Orang Hindu biasa memberikan penjelasan tentang tugas-tugas, peran sosial, dan karakteristik situasi khusus lainnya.
Sebagai kesimpulan dari penjelasan tentang peran budaya dalam proses decoding, yang pertama yaitu terdapat hubungan erat antara aturan-aturan budaya yang mengatur encoding dan decoding, dan kedua yaitu adanya pengaruh budaya dalam perkembangan etnosentrisme, stereotip, dan kognisi sosial. Aturan decoding budaya sangat berkaitan dengan emosi dan pertimbangan nilai, yang secara kolektif membentuk konsep diri kita. Karena komunikasi melibatkan proses peralihan dari encoder ke decoder, maka kita perlu memahami peran budaya dalam proses ini, baik dalam komunikasi intracultural maupun intercultural/antar budaya.
IV. KOMUNIKASI INTRACULTURAL vs KOMUNIKASI INTERCULTURAL/ANTAR BUDAYA
A. Sebuah Catatan tentang Perbedaan dari Penelitian Lintas Budaya/Cross-Culture dan Antar budaya/Intercultural
Dalam beberapa konteks, istilah komunikasi lintas budaya disamakan dengan istilah komunikasi antar budaya. Dalam konteks komunikasi juga demikian, namun terdapat perbedaan penting antara penelitian lintas budaya dan penelitian antar budaya. Penelitian lintas budaya hanya mengacu pada perbandingan antara 2 kebudayaan atau lebih terhadap beberapa variabel, misalnya, perbedaan antara budaya A dengan B dalam ekspresi emosi. Sedangkan penelitian antar budaya secara khusus mengacu kepada studi yang mempelajari interaksi antar beberapa orang yang berasal dari 2 budaya, misalnya perbedaan tentang bagaimana masyarakat dari budaya A dan B mengekspresikan emosi ketika mereka bersama dengan orang-orang dari budayanya masing-masing.
Kebanyakan penelitian di bidang komunikasi antar budaya bersifat lintas budaya, tidak antar budaya. Penelitian lintas budaya yang dilakukan tidak selalu menghasilkan data yang secara langsung bisa diterapkan dalam situasi antar budaya. Banyak penelitian lintas budaya yang membahas tentang perbedaan budaya dalam gaya komunikasi, tapi tidak meneliti tentang bagaimana orang berkomunikasi dengan orang lain dari budaya yang berbeda. Misalnya, begitu banyak studi lintas budaya yang membandingkan antara orang Amerika dengan orang Jepang, namun hasil-hasil studinya tidak memberikan informasi kepada kita tentang bagaimana orang-orang dari kedua budaya tersebut melakukan komunikasi saat berinteraksi satu sama lain.
Untuk mendapatkan hasil penelitian antar budaya, data antar budaya harus dibandingkan dengan data intracultural, misalnya pada sebuah studi yang membandingkan komunikasi antara orang Amerika dengan orang Jepang, harus juga meneliti bagaimana masing-masing orang Amerika dan orang Jepang berinteraksi dengan orang Amerika dan berinteraksi dengan orang Jepang. Hanya perbedaan antara interaksi intracultural dan antar budaya inilah yang memberikan informasi kepada kita tentang keunikan komunikasi antar budaya.
B. Komunikasi Intracultural
Dalam komunikasi intracultural, interactant mempunyai aturan-aturan dasar yang sama. Ketika melakukan komunikasi, mereka terfokus pada isi pesan. Mereka melakukan encoding dan decoding dengan menggunakan kode budaya yang sama. Ketika kita berkomunikasi dalam batas-batas budaya yang sama, kita mempunyai pertimbangan implisit bahwa orang lain adalah anggota dari budaya kita, atau memiliki tingkah laku sosial yang sesuai. Kita menganggap bahwa seorang individu telah melakukan sosialisasi dengan baik ke dalam budaya kita, dan kita membuat pertimbangan nilai tentang proses dan kemampuan seseorang untuk terlibat dalam proses yang diterima.
Urutan komunikasi intracultural digambarkan secara rinci dalam micromomentary pada gambar di bawah ini. Kedua orang dalam panel mempunyai latar belakang budaya yang sama, dan karenanya mereka menggunakan aturan yang sama dalam melakukan proses encoding dan decoding.
1. Dalam panel 1, A adalah encoder dan B adalah decoder. Isi dari pesan yang ingin sampaikan oleh A dikemas ke dalam sebuah sinyal budaya tertentu melalui bahasa verbal dan tingkah laku non verbal melalui sebuah kode budaya
2. Pada panel 2, sinyal kode budaya dikemas kemudian dikirim melalui berbagai jalur
3. Pada panel 3, sinyal yang dikemas dideteksi oleh B, yang kemudian diinterpretasikan melalui decoder budayanya sendiri dengan menggunakan aturan dan kode yang sama dengan kode si A
sumbernya dari mana ya?
ReplyDelete