Friday, June 24, 2011

Arranging Consequences That Increase Behavior



A.    Definisi Reinforcement
Reinforcement adalah proses pemberian reinforcer atau konsekuensi yang menyenangkan untuk memperkuat kemunculan tingkah laku. Reinforcement melibatkan hubungan antara 2 peristiwa, yaitu tingkah laku (sebagai respon), dan peristiwa atau consequence yang mengikuti respon. Sebuah hubungan, baru bisa disebut sebagai reinforcement hanya apabila respon yang diharapkan bisa meningkat atau dipertahankan. Terdapat 2 jenis reinforcement,
1.      Reinforcement Positif (SR+), yaitu stimulus yang diberikan segera setelah munculnya respon yang dikehendaki, yang bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan diulangnnya kembali respon tersebut di masa yang akan datang
2.      Reinforcement Negatif (SR-), yaitu proses menghindari suatu stimulus yang tidak menyenangkan untuk meningkatkan tingkah laku
Dalam reinforcement positif dikenal istilah Positive Reinforcer (SR), yaitu sebuah stimulus yang :
a)      Meningkatkan atau mempertahankan kemungkinan munculnya atau diulangnya sebuah tingkah laku di masa datang
b)      Dirancang untuk memunculkan tingkah laku yang diinginkan
c)      Dirancang untuk segera diberikan setelah tingkah laku yang diharapkan muncul

Positive Reinforcers ( SR)
No
Stimulus
Respon
SR+
Effect
1
Penyataan kemungkinan dan ketersediaan materi yang tepat
Marcus mengerjakan soal matematika
Boleh bermain pesawat
Meningkatkan kemungkinan Marcus untuk mengerjakan soal berikutnya dengan tepat waktu
2
John mau duduk manis
Guru tersenyum dan memberikan pujian
Meningkatkan kemungkinan John akan mau duduk manis di kursinya
3
Sara mengerjakan PR setiap hari
Dipilih menjadi board monitor untuk minggu depan
Meningkatkan kemungkinan bahwa Sara akan terus mengerjakan PR-nya setiap hari

B.     Memilih reinforcer yang efektif
Sebuah stimulus dikategorikan sebagai reinforcer yang positif ketika terjadi perubahan tingkah laku, karenanya seorang guru tidak bisa menentukan keefektifan sebuah reinforcer sebelum siswa menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Sebuah reinforcer bisa saja berhasil diterapkan pada siswa tertentu namun tidak dapat digeneralisasikan kepada siswa lainnya, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya :
a)      Riwayat pemberian reinforcement
b)      Deprivation state
c)      Persepsi terhadap nilai reinforcer
d)     Konsistensi
e)      Usia
Kesalahan yang sering dilakukan guru di sekolah adalah melakukan dugaan-dugaan terhadap jenis reinforcer yang paling tepat diberikan kepada siswa, dan ketika perubahan tingkah laku yang diharapkan tidak muncul guru cenderung menganggap bahwa prosedur reinforcement-nya yang gagal, padahal bisa jadi guru telah mengabaikan prinsip individualization of reinforcers. Sebuah cara yang lebih reliabel dari hanya sekedar melakukan prediksi-prediksi dalam mengidentifikasi item yang akan dipergunakan sebagai reinforcer adalah dengan menerapkan reinforcer sampling. Beberapa metode yang digunakan dalam reinforcer sampling, di antaranya yaitu dengan menanyakan kepada siswa tentang apa yang mereka inginkan sebagai hadiah, bisa juga dengan mengadakan survey seperti the School Reinforcement Survey Schedule, yang dilakukan kepada siswa kelas 4-12 (Holmes, Cautela, Simpson, Motes, & Gold, 1998).
Metode lainnya yaitu dengan menggunakan menu reinforcer  yang berisi daftar nama atau gambar. Siswa diminta untuk membuat ranking mulai dari hal yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai. Sebuah menu reinforcer harus berisi item-item yang masuk akal dan bisa disediakan oleh guru, pilihannya harus beragam karena sesuatu yang menarik seorang siswa belum tentu diinginkan juga oleh siswa lainnya, namun pilihan item yang diberikan juga harus dibatasi agar siswa tidak mengharapkan hal-hal yang tidak realistis. Di samping pilihan terbuka, guru juga bisa memberikan pilihan yang hanya terdiri dari 2 item atau kategori.
Menu Reinforcer


 






















Ketika berhadapan dengan siswa berkebutuhan khusus, guru harus memberikan reinforcer yang nyata, meskipun  pemberian stimulus melalui visual seperti menunjukkan foto atau gambar bisa dilakukan, namun tangible stimuli (stimulus yang nyata/berupa benda) lebih menunjukkan hasil yang bagus dalam memberikan reinforcement bagi siswa berkebutuhan khusus.


C.    Membuat Reinforcement Menjadi Efektif
            Agar efektif, siswa harus benar-benar mendapatkan reinforcer setelah terjadinya perubahan tingkah laku, kalimat “Jika kamu ...... maka kamu akan .....” harus benar-benar dilaksanakan. Kalimat ini menyatakan hubungan yang jelas dan ekplisit antara perubahan tingkah laku yang terjadi dengan mendapatkan reinforcer. Selain harus bersyarat, sebuah reinforcer juga harus segera diberikan setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Kondisi ini menanamkan kepercayaan pada diri siswa, sekaligus menegaskan adanya hubungan antara tingkah laku yang tertentu dengan consequence-nya. Memberikan reinforcement dengan segera juga diperlukan untuk menghindari resiko munculnya tingkah laku lain, karena semakin lama jeda antara munculnya tingkah laku yang diharapkan dengan pemberian reinforcement, siswa mungkin akan memunculkan tingkah laku lain yang tidak diharapkan.

D.    Jenis-jenis Reinforcer
Tingkat
Kategori
Contoh
Reinforcer Primer
1.        Edible reinforcers/bisa dimakan
Makanan, minuman, misalnya snack, puding, jus, dll
2.        Sensory reinforcers
Pengalaman visual, audio, tactile, wangi-wangian, atau kinestetik: seperti bermain boneka, mendengarkan musik melalui headphones
Reinforcer Sekunder
3.        Tangible reinforcers/benda-benda yang nyata
Sertifikat, lencana, stiker, poster artis, balon
4.        (a) Privilege reinforcers/Hak istimewa
Monitoring, menjadi ketua/kapten, tidak mendapatkan PR, mengatur waktu belajar di kelas
      (b) Activity reinforcers/Kegiatan
Bermain, proyek/kegiatan khusus, akses menggunakan komputer atau media lainnya
5.        Generalized reinforcers
Tanda/kupon, poin, credits/nilai
6.        Social reinforcers
Ekspresi, kontak, kata-kata/kalimat, feedback, pengaturan tempat duduk



1)      Reinforcer Primer
Yaitu stimulus yang memiliki manfaat biologis bagi individu. Jenis reinforcer primer yang paling sering digunakan di sekolah adalah edible reinforcer, yaitu makanan dan minuman, kedua reinforcer ini sering dimanfaatkan guru dalam mengajarkan tingkah laku baru kepada siswa yang masih kecil dan siswa berkebutuhan khusus. Agar reinforcer yang diberikan efektif, siswa yang tingkah lakunya hendak ditingkatkan harus berada dalam kondisi yang sedang membutuhkan reinforcer tersebut, kondisi ini disebut dengan deprivation state. Memberikan makanan/minuman pada siswa yang baru saja sarapan atau makan siang tidak akan menunjukkan hasil yang efektif, karena mereka sudah kenyang. Namun keefektifan pemberian makanan/minuman juga tidak selalu ketika siswa sedang lapar, memberikan snack favorit juga bisa merupakan sebuah reinforcer yang efektif.
Kebalikan dari deprivation state yaitu satiation, artinya kejenuhan/kebosanan, terjadi ketika deprivation state sudah tidak muncul lagi sehingga siswa sudah tidak lagi memberikan perhatian. Sedikitnya terdapat 7 cara yang bisa dilakukan oleh guru untuk mencegah atau menunda kebosanan,
a.       Guru menunjukkan kepada siswa 3-4 jenis makanan/minuman yang bisa mereka pilih apabila mereka berhasil mengerjakan sebuah tugas, karena reinforcer yang dipilih sendiri oleh siswa terbukti lebih efektif dari pada reinforcer yang dipilihkan oleh guru
b.      Tentukan bahwa sebuah reinforcer tertentu hanya diberikan untuk tugas/tingkah laku tertentu
c.       Segera lakukan pergantian reinforcer ketika siswa menjadi kurang kooperatif dan mulai membuat kesalahan, waspadailah hal ini sebagai awal dari kebosanan
d.      Kurangilah jam pelajaran yang digunakan untuk memberikan edible reinforcer
e.       Mengurangi jumlah makanan/minuman yang diberikan
f.       Jangan selalu memberikan reinforcer kepada setiap jawaban yang benar
g.      Gunakan reinforcer yang bervariasi
Selain makanan dan minuman, stimulus sensoris juga termasuk dalam kategori reinforcer primer, yang termasuk dalam reinforcer sensoris antara lain,
ü  Audio : nada, suara, musik, lingkungan (mendengarkan musik melalui headphones)
ü  Visual : gambar, buku, majalah, slide, video, mainan yang bergerak (robot, boneka), dll
ü  Rasa : merasakan benda padat atau cair ( manis, asam, asin, pahit, tajam)
ü  Tactile/perabaan : halus/kasar, lembut/keras, panas/dingin, basah/kering, kipas angin, dll
ü  Proprioceptive/gerakan : melompat, berayun (menggunakan trampolin, bermain ayunan, kursi goyang, bermain kuda-kudaan)
Kegiatan sensori dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok dengan mempertimbangkan kesesuaian usia siswa dengan jenis reinforcer. Reinforcer sensori ini paling tepat diberikan bagi siswa yang berusia muda dan siswa berkebutuhan khusus.
2)      Reinforcer Sekunder
Meski efektif diterapkan bagi siswa yang usianya muda dan siswa berkebutuhan khusus, guru tidak disarankan untuk mengandalkan pemberian reinforcer primer, karena reinforcer primer hanya merupakan tindakan sementara yang dilakukan untuk mempercepat munculnya tingkah laku yang diharapkan, dan seharusnya segera digantikan dengan reinforcer sekunder. Reinforcer sekunder berisi stimulus sosial seperti kata-kata pujian atau kesempatan untuk melakukan kegiatan yang disenangi, bisa juga berupa simbol pengganti seperti tanda/kupon yang bisa ditukarkan dengan reinforcer lain. Tidak seperti dalam reinforcer primer, reinforcer sekunder tidak memberikan manfaat biologis bagi siswa, namun lebih kepada nilai yang diajarkan atau dikondisikan, karenanya biasa juga disebut dengan conditioned reinforcement.
Beberapa siswa mungkin belum mengerti bagaimana caranya menghargai sebuah reinforcer sekunder, bahkan beberapa masih membutuhkan reinforcer primer. Untuk menghindari ketergantungan pada reinforcer primer maka bisa digunakan teknik pairing, yaitu mengkombinasikan penggunaan keduanya secara bersamaan. Melalui pairing guru mengajarkan kepada siswa untuk lebih termotivasi dengan reinforcer sekunder. Ketika siswa telah mampu melakukan asosiasi terhadap keduanya, dan reinforcer sekunder telah mampu bekerja seefektif reinforcer primer, maka guru bisa menarik reinforcer primer secara bertahap hingga siswa mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan.
a.      Tangibel Reinforcers
Salah satu bentuk dari reinforcer sekunder yaitu tangibel reinforcers; benda-benda yang konkret/nyata dan dapat segera diberikan. Banyak benda yang termasuk dalam kategori ini di antaranya,
ü  Mainan
ü  Buku mewarnai
ü  Stiker
ü  Play Doh/lilin bentuk/plastisin
ü  Mobil-mobilan
ü  Poster artis terkenal
ü  Buku
ü  Majalah
ü  DVD, dll
Reinforcer sekunder yang paling sering digunakan oleh para guru yaitu activity reinforcers, dengan menggunakan sistematika yang dikembangkan oleh Premack (1959), dan dikenal dengan Premack Principle. Isinya yaitu bahwa apabila sebuah tingkah laku tertentu jarang dilakukan, maka kemungkinannya untuk diulang juga rendah, sebaliknya ketika sebuah tingkah laku itu sering dilakukan, maka kemungkinannya untuk terjadi lagi juga tinggi. Ketika sebuah tingkah laku yang jarang dilakukan diikuti oleh tingkah laku yang berfrekuensi tinggi, maka akan meningkatkan kemungkinan diulangnya tingkah laku yang berfrekuensi rendah tadi. Dengan kata lain, segala aktivitas yang sering dilakukan dengan senang hati oleh siswa dapat digunakan sebagai reinforcer bagi kegiatan lain yang jarang dilakukannya.  
b.      Generalized Reinforcer
Salah satu bentuk reinforcer sekunder Generalized reinforcer adalah sebuah reinforcer yang dihubungkan dengan sejumlah reinforcer primer atau sekunder lainnya, jadi Generalized reinforcer baru bernilai ketika dihubungkan dengan reinforcer lain. Salah satu jenisnya yaitu reinforcer sosial seperti perhatian atau pujian, misalnya seorang guru yang memberikan pujian kepada siswa setelah menyelesaikan sebuah tugas yang sulit, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa tersebut untuk menggunakan komputer. Jenis lain dari generalized reinforcer yaitu segala sesuatu yang bisa tukarkan dengan benda yang bernilai, misalnya uang, yang bisa diasosiasikan dengan akses kepada reinforcer lain, misalnya makanan, mainan, tiket, dan lain-lain. Daya efektifitas generalized reinforcer ini tidak tergantung pada kebutuhan, dan tidak mudah menimbulkan kebosanan.
Karena penggunaan uang sebagai reinforcer di sekolah dipandang kurang realistis, maka sebagai pengganti biasanya digunakan token. Token reinforcer adalah representasi simbolis yang dapat ditukarkan dengan reinforcer yang bernilai bagi siswa. Penggunaan token dapat disamakan dengan penggunaan uang dalam kehidupan, jadi token dapat ditukarkan dengan segala macam reinforcer primer maupun sekunder, seperti halnya uang. Token dapat diterapkan bagi satu siswa dengan satu tingkah laku, satu siswa dengan beberapa tingkah laku, sejumlah siswa dengan satu jenis tingkah laku, bahkan untuk sejumlah siswa dengan beberapa tingkah laku yang sama, atau sejumlah siswa dengan tingkah laku yang sama.
Sistem reinforcement dengan menggunakan token membutuhkan 2 komponen, yaitu token itu sendiri dan backup reinforcers. Token tidak mempunyai nilai yang nyata, sementara backup-nya harus merupakan sesuatu yang berharga bagi siswa. Guru harus menjelaskan bahwa token berfungsi untuk mendapatkan backup reinforcer, dengan kata lain untuk mendapatkan backup reinforcer siswa harus mengumpulkan sejumlah token. Banyak benda yang bisa dijadikan sebagai token, misalnya kartu, stiker, atau kupon. Bisa juga berupa simbol seperti tanda cek, lubang di kertas, atau gambar smile/happy face. Secara umum bentuk token itu harus portable, tahan lama, dan mudah diakses.
Guru dan siswa harus mempunyai catatan yang akurat tentang jumlah token yang telah dikumpulkan. Jika token-nya berupa benda seperti kartu, sebaiknya dibuatkan sebuah tempat untuk menyimpannya dan diletakkan di tempat yang diketahui, atau ditempatkan di atas meja masing-masing siswa. Bagi siswa yang lebih muda, membuat rangkaian token atau menyusun token menjadi sebuah menara mungkin akan lebih mudah dalam mengontrolnya agar tidak hilang.
Menghubungkan titik-titik dari gambar backup reinforcer juga bisa memudahkan siswa untuk mengetahui pencapaian token mereka. Mengumpulkan potongan puzzle, menggambar happy face pada lingkaran yang kosong, dan melubangi kertas, merupakan variasi cara yang bisa digunakan untuk melakukan pencatatan hasil token. Jika penilaian token-nya menggunakan poin, maka stempel, tanda cek, atau daftar yang ditulis di depan kelas bisa digunakan untuk mencatat.
Harus diingat bahwa token sebenarnya tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan reinforcement, dia baru bernilai ketika sudah ditukarkan dengan benda-benda yang menjadi reinforcer. Jadi siswa juga harus benar-benar mengerti bahwa mereka berusaha mendapatkan token untuk ditukarkan dengan backup reinforcer. Memilih backup reinforcer yang tepat merupakan aspek yang sulit dalam sistem token, apalagi kalau diterapkan pada sejumlah siswa atau seluruh kelas, seorang guru harus memilih backup reinforcer yang cukup variatif untuk memotivasi tiap siswa dalam kelas. Karenanya guru harus mencoba memberikan bermacam-macam barang, misalnya yg edible (biskuit, wafer, jus, susu), activity (pergi ke perpustakaan, mendengarkan musik), obyek (game, buku cerita, pensil warna), dan privilege/hak (memimpin barisan, memimpin doa, menjadi kapten/ketua), dan lain-lain.
Yang harus diketahui oleh siswa seputar sistem token, yaitu :
1)      Siswa harus mengetahui tugas/tingkah laku apa yang diharapkan. Pernyataan “Jika.... maka....” harus disampaikan dengan jelas oleh guru dan dimengerti oleh siswa. Deskripsi tingkah laku yang diharapkan dan parameter keberhasilan harus benar-benar disampaikan dengan jelas
2)      Siswa biasanya ingin tahu jenis backup reinforcer yang bisa mereka tukar dengan token. Disarankan untuk memajang benda yang menjadi backup reinforcer atau representasinya di depan kelas agar siswa termotivasi
3)      Siswa akan mempertanyakan nilai dari backup reinforcer, apakah sepadan dengan token yang mereka kumpulkan
4)      Siswa akan bertanya tentang kapan waktunya mereka bisa menukarkan token dengan backup reinforcer. Siswa akan selalu ingin mengetahui kapan proses penukaran akan dilakukan dan apakah guru benar-benar menepati janjinya. Stainback (1973) menyarankan agar pada awal kegiatan token segera ditukarkan, misalnya 1-2 kali sehari selama 3-4 hari pertama, kemudian diturunkan frekuensinya hingga menjadi 1 kali seminggu pada minggu ketiga.
Pertukaran token dengan backup reinforcer bisa dilakukan dengan berbagai format, yang paling sering dilakukan yaitu dengan classroom store/toko kelas. Di sini benda-benda yang menjadi backup reinforcers diletakkan di rak dan diberi label harga, dalam sesi penukaran siswa bisa masuk ke toko dan melakukan transaksi dengan menggunakan token yang mereka kumpulkan. Cara lainnya yaitu dengan melakukan class auction/pelelangan, pada format ini siswa bisa melakukan penawaran terhadap backup reinforcer yang mereka inginkan, mereka boleh menawar dengan harga sesuai dengan token yang mereka punyai.
Hambatan utama yang paling sering muncul dalam sistem token adalah akumulasi token yang dilakukan oleh siswa, untuk menghindari hal ini ada beberapa strategi yang ditawarkan,
a.        Penukaran token segera dilakukan setelah siswa telah mengumpulkan token yang cukup untuk ditukar dengan item tertentu, ini akan memotivasi siswa untuk segera menukarkannya, bukan malah menyimpannya
b.      Kombinasi antara penukaran yang segera dan penukaran yang ditunda
c.       Warna/jenis token diubah secara periodik
d.      Sistem token yang terorganisir dengan baik, yang membatasi jumlah token yang bisa dimiliki oleh setiap siswa, cara ini membutuhkan pencatatan yang akurat dan hati-hati
Salah satu jenis backup reinforcer yang bisa diberikan kepada siswa adalah waktu, siswa bisa menukarkan token yang mereka kumpulkan dengan tambahan waktu untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Misalnya seorang siswa yang telah mengumpulkan 5 token berhak untuk mendapatkan tambahan waktu 5 menit dalam menggunakan komputer.
Kelebihan token reinforcer dibandingkan dengan social reinforcer,
ü  Jumlah token lebih mudah dihitung 
ü  Bentuk token yang portable, sehingga bisa dibawa oleh siswa meskipun tidak sedang berada di sekolah
ü  Token tidak terpengaruh oleh deprivation state atau satiation
ü  Token akan selalu ada selama rentang waktu antara pengumpulan dan penukaran
ü  Bentuk fisik dari token bisa di standar-kan
ü  Tahan lama dan tidak akan rusak sebelum ditukarkan
ü  Token bersifat unik dan tidak mudah ditiru
ü  Memudahkan kontrol guru terhadap administrasi reinforcement
ü  Token bisa disesuaikan dengan tingkat percapaian tingkah laku siswa
ü  Membiasakan siswa untuk dapat menunda keinginan
ü  Mudah digeneralisasikan, bisa diterapkan dalam berbagai setting, dengan berbagai tingkah laku yang berbeda, serta bisa dilakukan oleh orangtua di rumah
c.       Social Reinforcers
Bentuk lain reinforcer sekunder yaitu Reinforcer sosial yang sering dilakukan oleh guru secara tidak sadar dan biasanya tidak sistematis, termasuk di dalamnya ketika menunjukkan persetujuan atau perhatian. Perhatian merupakan reinforcer yang paling kuat dan sering diberikan oleh guru di kelas. Jika seorang guru tidak berhati-hati dalam memberikan perhatian, mereka akan mendapatkan bahwa ternyata mereka telah memberikan reinforcement yang tidak tepat dengan perhatian tersebut.
Reinforcer sosial telah terbukti efektif, tidak hanya bagi guru dalam merubah dan mempertahankan tingkah laku siswanya, namun juga terbukti efektif bagi siswa dalam merubah dan mempertahankan tingkah laku guru. Di bawah ini terdapat beberapa reinforcer sosial yang potensial, termasuk di antaranya beberapa ekspresi non verbal, yaitu :
1)      Ekspresi; tersenyum, mengedipkan mata, tertawa, menganggung, bertepuk tangan, kelihatan tertarik
2)      Kedekatan; duduk bersama siswa saat makan siang, duduk di samping siswa dalam bis, menempatkan meja siswa dekat dengan meja guru, duduk di samping guru ketika sedang bercerita, menjadi partner guru dalam sebuah permainan
3)      Kontak; berjabat tangan, memegang tangan, tepukan di punggung
4)      Hak istimewa; tugasnya dipajang, menjadi pemimpin sebuah kegiatan, menjadi pengawas kelas, menjadi kapten tim
5)      Kata-kata dan ungkapan; “Saya suka caramu duduk”, “Tugasnya bagus lho”, “Kamu harus bangga dengan apa yang telah kamu kerjakan”, “Seperti itulah yang saya minta”, “Kamu harus menunjukkan ini kepada orangtuamu”.
Dari semua hal di atas, kata-kata dan ungkapanlah yang paling sering digunakan oleh guru dengan sengaja. Kata-kata dan kalimat persetujuan yang digunakan oleh guru merupakan bentuk dari pujian. O’Leary & O’Leary (1977) menyatakan bahwa supaya efektif, pujian guru harus mengandung hal-hal berikut ini,
4  Diberikan sesudah tingkah laku yang diharapkan muncul. Pujian yang tidak sesuai akan menghilangkan hubungan fungsional antara pencapaian siswa dengan perhatian guru, dan hal ini akan menghambat peningkatan kemungkinan diulangnya tingkah laku tersebut di masa datang
4  Pujian guru harus spesifik terhadap tingkah laku khusus yang di-reinforcement, agar siswa tidak bingung mengapa dia mendapatkan perhatian khusus dari guru
4  Pujian harus tulus.
Pujian bagi siswa dapat berupa pujian yang tidak spesifik dan pujian yang spesifik. Pujian yang tidak spesifik, maksudnya yaitu pujian yang diberikan tidak dikhususkan hanya pada tingkah laku tertentu yang sedang di-reinforcement, misalnya “Pekerjaanmu bagus”, “Tugasmu sempurna”. Sedangkan pujian yang spesifik, ditujukan hanya pada tingkah laku yang di-reinforcement. Pujian ini bisa diberikan untuk hal-hal akademis atau tingkah laku sosial, misalnya dengan kalimat, “Kamu benar! Sekarang jam 1:15 karena jarum yang kecil di angka 1 dan jarum yang besar di angka 3”, atau “Kalian hebat, semuanya bisa duduk manis ketika Ron sedang membacakan cerita untuk kita”. Pujian verbal/feedback juga bisa digunakan untuk memberikan reinforcement pada usaha atau perkiraan, misalnya “Usaha yang bagus, 2 dari 3 jawaban kamu sudah benar. Sekarang kerjakan soal berikut ini dengan cara yang sama”.
Feedback verbal yang konstruktif
Pujian
Feedback
Bagus!
Kamu mengerjakannya tepat waktu (mendeskripsikan respon yang tepat)
Usaha yang bagus!
Kamu hampir menyelesaikannya tepat waktu (reinforcement perkiraan)
Lebih bagus!
Jika kamu terus mencoba untuk tidak membuat kesalahan, lain kali kamu akan menyelesaikannya tepat waktu (saran untuk perbaikan)

E.     KONTRAK
Untuk menghindari kesalahpahaman, kontrak harus berisi pernyataan tertulis yang menggambarkan secara tepat tingkah laku yang diharapkan. Di dalamnya berisi tingkah laku yang harus dilakukan dan tingkat kriteria yang harus dicapai. Setelah berdiskusi tentang kriteria, siswa harus memahami metode atau instrumen yang akan digunakan untuk mengevaluasi. Kontrak tersebut juga harus mencakup jenis, jumlah, dan metode reinforcement.
Selain hal diatas, tanggal sementara dan review akhir harus dicantumkan dalam kontrak. Tanggal sementara digunakan guru untuk memantau kemajuan dan kemungkinan dilakukannya  negosiasi ulang jika tingkah laku yang diharapkan tidak realistis ,atau jika ada komponen instruksional yang akan ditambahkan. Mencantumkan tanggal review akhir berfungsi untuk menetapkan batas waktu bagi siswa dalam memenuhi syarat-syarat kontrak. Setelah syarat-syarat kontrak telah dibahas dan dituliskan, guru harus menjawab semua pertanyaan siswa. Untuk memastikan bahwa mereka memahami persyaratan kontrak, siswa harus membacanya kembali dan kemudian menyatakannya kembali dengan kalimat yang berbeda. Jika dalam proses ini dihasilkan pernyataan yang sangat berbeda, maka kontrak harus ditulis ulang dalam bahasa lebih mudah. Setelah kontrak selesai, guru dan siswa harus menandatanganinya, dan masing-masing harus memiliki salinan.
Homme, Csanyi, Gonzales, dan Rechs (1970) menyarankan aturan dasar untuk penggunaan reinforcer dalam kontrak, yaitu :
1.      Reward harus segera diberikan. Hal ini merupakan salah satu unsur penting dari reinforcer yang efektif, yaitu harus diberikan segera setelah munculnya tingkah laku yang diinginkan
2.      Kontrak awal harus berisi hal-hal yang ringan, dan berikan reward pada hal-hal tersebut. Terutama  bagi tingkah laku baru yang belum pernah dilakukan siswa, kriterianya jangan terlalu tinggi atau terlalu luas
3.      Reward diberikan sering dan dalam jumlah yang kecil. Homme menyatakan bahwa lebih efektif memberikan reinforcement dalam jumlah sedikit tapi sering, karena akan mempermudah dalam mengawasi perubahan tingkah laku
4.      Lebih menekankan pada penyelesaian tugas, bukan sekedar melakukannya saja. Homme menyarankan bahwa kontrak berfokus pada pencapaian menyebabkan kemandirian. Oleh karena itu, kata-kata yang tepat seharusnya, "Jika kalian menyelesaikan tugas ini, maka kalian akan mendapatkan......”, bukannya  "Jika kalian melakukan apa yang saya katakan Anda lakukan, saya akan memberi kalian ......."
5.      Reward diberikan setelah perubahan terjadi
Karakteristik dari kontrak bagus di antaranya yaitu,
a)      Kontrak harus adil.  Bobot sebuah reinforcement harus sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan
b)      Kontrak harus jelas. Kerancuan dalam kontrak dapat mengakibatkan perbedaan pendapat, jika pemahaman yang sama tidak dapat tercapai, siswa bisa tidak mempercayai sistem reinforcement atau bahkan tidak mempercayai gurunya
c)      Kontrak harus jujur. Menurut Homme, kontrak yang jujur  adalah kontrak yang segera dilakukan dan sesuai dengan isi perjanjiannya
d)     Kalimat dalam kontrak harus positif. Misalnya “Saya akan melakukan.... jika kamu melakukan.....”, sedangkan contoh yang salah misalnya “Saya tidak akan melakukan.... jika kamu melakukan......”, atau “Jika kamu tidak melakukan.... maka saya akan.....”
e)      Kontrak harus digunakan secara sistematis. Apabila tidak diterapkan dengan sistematis dan konsisten, sistem reinforcement hanya akan menjadi seperti sebuah permainan tebak-tebakan bagi siswa
Keuntungan dari kontrak dalam sistem reinforcement, antara lain :
1)      Merupakan dokumen permanen yang mencatat variable-variabel yang bisa digunakan sebagai bahan konsultasi oleh guru dan siswa
2)      Proses negosiasi yang terjadi dalam kontrak dapat memungkinkan siswa untuk melibatkan diri mereka sebagai partisipan aktif dalam proses pembelajaran, karena mereka dapat ikut serta dalam menetapkan tujuan-tujuan
3)       Penulisan kontrak menekankan individualisasi instruksi
4)      Kontrak bisa menjadi dokumen sementara yang berisi pernyataan tujuan-tujuan yang hendak dicapai siswa saat ini, dan dapat dimanfaatkan bersama dengan orangtua

F.     Variasi Dalam Administrasi Reinforcer
Sistem reinforcement dasar meliputi :
ü  Guru memberikan stimulus awal
ü  Siswa melakukan respon yang diminta
ü  Guru memberikan reinforcer yang tepat kepada siswa
Skema dasar berfokus pada administrasi suatu reinforcer yang dipilih sendiri dan dirancang untuk siswa tertentu. Reinforcement adalah  suatu strategi yang fleksibel yang dapat disesuaikan dengan sejumlah situasi yang timbul dalam pengelolaan kelas. Berdasarkan jenis contingency dan cara konsekuensi administrasi, Kazdin (2001) menyusun matriks untuk mewakili variasi.
Pemberian reinforcer

Contingency diberikan kepada :
Individu
Semua siswa
Sekelompok siswa
Individu
1
3
3
Kelompok
4
5
6

Dalam gambar, ada 2 pilihan administrasi dalam memberikan reinforcer, yang pertama yaitu secara individu, siswa yang telah melakukan respon yang diminta diberi sereal, waktu luang, atau token. Yang kedua diberikan kepada siswa sebagai suatu kelompok, misalnya  semua siswa memperoleh waktu tambahan untuk kegiatan extra.
Sedangkan untuk jenis penerimanya ada 3 macam, yang digambarkan pada bagian atas tabel. Yang pertama disebut individualized contingencies, tingkah laku yang diminta dan kriteria kinerjanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan instruksional siswa tertentu. Yang kedua, standardized contingencies, guru menetapkan persyaratan yang sama untuk semua siswa dalam kelas. Sedangkan alternatif ketiga, group contingencies, beberapa tingkah laku yang dibutuhkan oleh sekelompok siswa dan reinforcementnya berdasarkan kinerja kelompok secara keseluruhan.
      I.            Kotak 1 menunjukkan bahwa sebuah sistem di mana contingency dan pemberiannya adalah secara individu, hanya diperuntukkan bagi siswa tertentu
   II.            Kotak 2 menunjukkan sistem contingency yang sama untuk reinforcement bagi seluruh anggota kelas, tapi reinforcernya diberikan secara individu
III.            Kotak 3 menunjukkan suatu sistem contingency reinforcement yang ditujukan bagi sekelompok siswa tertentu, namun pemberian reinforcernya secara individu
IV.            Kotak 4 menunjukkan suatu sistem yang mewajibkan setiap anggota kelompok untuk melakukan tingkah laku spesifik, dan akan mendapatkan reinforcement secara berkelompok
   V.            Kotak 5 menunjukkan sistem contingency yang sama untuk semua anggota kelas dan memungkinkan setiap individu yang telah memenuhi standar kriteria tertentu, untuk menjadi anggota kelompok yang akan mendapatkan reinforcer secara bersama-sama
VI.            Kotak  6 menunjukkan sistem yang sama untuk menentukan contingency dan cara pemberian reinforcement.

G.    Contingency Kelompok dan Mediasi Teman Sebaya
Contingency kelompok dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk mengatur tingkah laku beberapa siswa, terutama bagi siswa usia remaja. Beberapa fakta tentang keefektifan contingency kelompok, di antaranya :
1.      Mampu meningkatkan prestasi akademis, baik pada siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus
2.      Meningkatkan interdependensi dan kemampuan bekerja sama antar siswa
3.      Meningkatkan kemampuan support, seperti sharing dan saling membantu, antara siswa normal dengan siswa penyandang cacat
Contingency kelompok dapat dilaksanakan melalui mediasi teman sebaya. Pigot, Fantuzzo, dan Clement (1986) berhasil melakukan peer tutoring dan contingency kelompok untuk meningkatkan prestasi akademik bagi siswa kelas 5. Mereka dibagi menjadi beberapa tim aritmatika. Setiap anggota kelompok mendapatkan tugas masing-masing, pelatih bertugas mengingatkan kelompok tentang jumlah soal yang harus dijawab dengan benar, strategi belajarnya, dan backup reinforcer yang dipilih dari reinforcer menu. Pencatat skor bertugas mencatat jumlah jawaban benar yang didapatkan oleh masing-masing anggota. Wasit bertugas melakukan pengecekan, dan manager tim membandingkan hasil yang telah didapat dengan target yang harus dikumpulkan, serta memutuskan kapan tujuannya tercapai. Dari 3 kelas yang menerapkan sistem ini, nilai matematika semua siswa meningkat dan bisa dipertahankan selama 12 minggu, dengan tanpa memberikan reinforcement apapun.
Guru harus mewaspadai peer pressure/tekanan dari teman sebaya yang terjadi dalam kelompok, karena hal ini dapat memberikan efek negatif berupa tekanan yang tidak seharusnya muncul dari sesama anggota kelompok. Guru sebaiknya mempertimbangkan terlebih dahulu apakah setiap anggota kelompok mempunyai kapabilitas dalam mencapai tingkah laku yang diharapkan, dengan kata lain apakah tujuan perubahan itu realistis bagi siswa.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam contingency kelompok yaitu sabotase yang dilakukan oleh beberapa anggota kelompok, apabila hal ini terjadi maka siswa yang melakukan sabotase tersebut harus dikeluarkan dari kelompok dan sistem ini terlebih dahulu dan mendapatkan “treatment” pribadi, sampai dia bisa mengendalikan diri dan siap untuk bergabung kembali bersama kelompok. Hal terakhir yang juga perlu diperhatikan yaitu siswa yang membantu temannya dengan melakukan bagian tugas temannya agar tujuan perubahan segera tercapai. Apabila hal ini bisa diantisipasi maka kegiatan contingency kelompok bisa menjadi kegiatan yang sangat bermanfaat.


H.    Penjadwalan Reinforcement
Penjadwalan reinforcement yaitu pola waktu dalam pemberian  reinforcer.
1)      Continuous schedule of reinforcement (CRF)
Continuous schedule of reinforcement (CRF )yaitu pemberian reinforcement secara terus menerus. Artinya, setiap kali siswa menunjukkan  respon yang diinginkan, dia segera menerima sebuah reinforcement. Jadwal ini memiliki rasio satu : satu. CRF memiliki rasio yang tinggi dalam reinforcement, karena menyebabkan tingginya respon yang diperoleh. Tingginya respon yang diberikan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan peningkatan tingkah laku, serta untuk menerima umpan balik serta reinforcement dari guru. Oleh karena itu CRF sangat berguna ketika siswa belajar tingkah laku baru. Seorang siswa yang belajar tingkah laku baru akan menerima reinforcement untuk setiap respon yang benar atau yang mendekati benar. CRF juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan tingkah laku yang memiliki frekuensi yang sangat rendah, sangat efektif diterapkan pada tahap-tahap awal sistem reinforcement.
Namun demikian, terdapat beberapa masalah dalam penggunaan CRF, yaitu :
1)      Kebosanan. Apabila reinforcement sering diberikan, siswa akan mengalami kebosanan dan bisa mengakibatkan menurunnya motivasi
2)      Pemberian reinforcement yang berkelanjutan dapat membuat siswa beranggapan bahwa mereka akan selalu mendapatkan reinforcement setiap kali mereka lakukan sesuatu yang diminta oleh guru
3)      CRF bukanlah cara yang paling efisien, karena :
a.       Biasanya setelah tercapai tujuan perubahan tingkah laku guru akan mengakhiri program intervensi, dan ini bisa mengakibatkan extinction atau penghilangan tingkah laku baru karena dihilangkannya reinforcement
b.      CRF bisa mengganggu kegiatan kelas
Terdapat beberapa jenis penjadwalan reinforcement alternatif untuk mengatasi masalah yang disebabkan penggunaan CRF


2)      Intermittent Schedules
Dalam intermittent schedules, reinforcement tidak diberikan kepada setiap respon tepat yang muncul, dibutuhkan jumlah respon yang lebih banyak untuk mendapatkan reinforcement (Skinner, 1953). Karena reinforcement tidak lagi diberikan kepada setiap kejadian tingkah laku yang diharapkan, di sini siswa belajar untuk menunda dan mempertahankan tingkah laku yang sesuai dalam waktu yang cukup lama. Penjadwalan ini juga lebih tahan terhadap extinction.
Terdapat 2 kategori jadwal intermiten sederhana yang paling sering digunakan untuk meningkatkan frekuensi respon, yaitu ratio schedules dan interval schedules (Ferster & Skinner 1957; Skinner, 1953). Sedangkan untuk meningkatkan durasi respon, guru dapat menggunakan response-duration schedules (Dixon et al, 1998;  Gresham, Van, & Cook, 2006; Stevenson & Clayton, 1970).
a.       Ratio Schedules. Dalam ratio schedules jumlah munculnya tingkah laku yang diharapkan menentukan waktu pemberian reinforcernya. Dengan menggunakan fixed-ratio schedule (FR) siswa diminta untuk menyelesaikan beberapa tugas sebelum mendapatkan reinforcement. Jadi apabila sebuah tingkah laku dijadwal dengan FR3, maka siswa akan mendapatkan reinforcer-nya setelah munculnya tingkah laku yang ketiga
b.      Interval Schedules. Dalam interval schedules, reinforcement akan diberikan setelah munculnya tingkah laku yang diharapkan minimal satu kali ditambah dengan sejumlah waktu tertentu. Dengan menggunakan fixed-interval schedule (FI) siswa akan mendapatkan reinforcement setelah melakukan tingkah laku yang diinginkan untuk pertama kalinya, ditambah dengan sejumlah waktu yang telah ditentukan, misalnya sebuah tingkah laku yang dijadwalkan dengan FI5 menit, maka respon benar pertama yang terjadi dalam waktu 5 menit itulah yang akan mendapatkan reinforcement. Reinforcer berikutnya akan diberikan pada tingkah laku benar yang terjadi pada 5 menit berikutnya. Tingkah laku benar lainnya yang mungkin muncul setelah tingkah laku pertama dalam interval 5 menit, tidak akan mendapatkan reinforcement.
Response-duration schedules. Dalam response-duration schedules, pemberian reinforcement dilakukan setelah tingkah laku yang diharapkan muncul secara berkelanjutan dalam rentang waktu tertentu. Dengan menggunakan fixed-response-duration schedule (FRD) siswa baru akan mendapatkan reinforcement setelah melakukan tingkah laku yang benar selama rentang waktu tertentu, misalnya dalam penjadwalan FRD 10 menit maka siswa akan mendapatkan reinforcer-nya setelah melakukan tingkah laku yang diminta selama 10 menit berturut-turut. Penghitungan waktu akan diulang kembali apabila siswa menghentikan tingkah laku tersebut sebelum waktu 10 menit berlalu.

3)      Pengurangan Penjadwalan Reinforcement
Sebuah sistem reinforcement tetap harus dipandang sebagai suatu struktur sementara yang digunakan untuk menghasilkan perubahan tingkah laku dengan cepat, pada akhirnya guru tetap harus memberikan reinforcer alami untuk siswa. Pengurangan Penjadwalan membantu mengurangi ketergantungan pada reinforcer buatan dan membantu siswa belajar untuk menunda kepuasan/kesenangan. Dalam pengurangan penjadwalan, reinforcement dikurangi secara bertahap, atau dengan kata lain menjadi bergantung pada tingginya frekuensi tingkah laku yang diharapkan.
Dalam pengurangan penjadwalan reinforcement, guru mengurangi frekuensi pemberian reinforcement kepada siswa sehingga rasio antara munculnya tingkah laku yang diharapkan dengan pemberian reinforcement secara sistematis meningkat. Misalnya,  sistem FRD5 diterapkan kepada seorang siswa agar bisa duduk manis pada jam pelajaran. Setelah siswa mampu memenuhi kriteria ini, guru dapat bergerak ke penjadwalan  FRD10, FRD20, dan FRD30. Dengan pergeseran jadwal tersebut, guru mengajarkan kepada siswa bahwa untuk mendapatkan reinforcement dia harus melaksanakan tingkah laku yang diharapkan dalam waktu yang lebih lama.
Di bawah ini adalah gambar model pengurangan penjadwalan. Pergeseran jadwalnya bergerak mulai dari continous schedule, kemudian fixed schedule, sampai variable schedule, sebuah titik akhir dimana penjadwalan pemberian reinforcement tidak lagi diperlukan. Pada kondisi ini tingkah laku sudah berada dalam kontrol reinforcer alami, artinya sudah tidak memerlukan reinforcement lagi.
Pengurangan penjadwalan reinforcement seharusnya memberikan hasil berupa,
1.      Peningkatan kualitas tingkah laku yang lebih menetap
2.      Berkurangnya harapan terhadap pemberian reinforcement
3.      Siswa terbiasa untuk menunda kepuasan /kesenangan
4.      Guru tidak perlu lagi berperan memonitor tingkah laku siswa
5.      Peralihan menuju metode yang lebih tradisional, seperti pujian dan perhatian guru
6.      Peningkatan kesungguhan siswa dalam mencapai tujuan (reinforcer) dengan cara meningkatkan munculnya tingkah laku yang diharapkan
7.      Kemampuan guru dalam memberikan reinforcement yang tepat dan sesuai tingkat kemampuan siswa dalam mempertahankan tingkah laku yang diharapkan




I.       REINFORCEMENT NEGATIF
Reinforcement negatif (SR-) adalah contingent removal of an aversive stimulus immediately following a response that increases the future rate or probability of the response, yaitu penghilangan dengan segera stimulus tidak menyenangkan yang mengikuti sebuah respon, yang bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan diulangnya respon tersebut di masa datang. Kata kunci pertama dalam definisi ini yaitu increases/meningkatkan, yang menunjukkan bahwa bentuk reinforcement yang sedang terjadi. Kata kedua adalah removal/penghapusan. Pada reinforcement positif stimulus diberikan kepada siswa, namun dalam reinforcement negatif stimulus justru akan dihapus dari lingkungan siswa. Kata ketiga adalah contingent/tergantung, maksudnya yaitu guru tidak akan menghapus reinforcement negatif kecuali respon yang diminta dilakukan oleh siswa. Misalnya jika guru menyatakan bahwa, "Marcus, kamu harus tinggal di ruangan dan menyelesaikan semua soal matematika sebelum boleh bergabung dengan teman-teman di lapangan”, di sini guru menggunakan reinforcement negatif. Tetap tinggal di dalam kelas sedangkan teman-temannya pergi ke lapangan, akan dihapus bergantung pada penyelesaian soal matematika yang harus diselesaikan Marcus. Kepatuhannya menyelesaikan soal matematika hari ini mungkin akan meningkat sehingga ia bisa ke lapangan, dan mungkin juga besok akan meningkat lagi sehingga ia tidak perlu lagi ditinggalkan di dalam kelas.
Terkadang reinforcement negatif dilakukan dengan cara yang tidak tepat oleh guru. Apabila seorang siswa bertingkah laku negatif, misalnya tidak mau mengerjakan tugas, kemudian dia merengek/merayu guru supaya menghentikan tugas, dan guru menurutinya dengan maksud agar siswa berhenti merengek, siswa tersebut telah belajar bahwa tingkah laku negatifnya, yaitu merengek telah membuat guru menghentikan pemberian tugas (yang merupakan stimulus aversif). Berikutnya siswa akan kembali merengek apabila diberikan tugas, pengulangan tingkah laku merengek ini menunjukkan bahwa sebuah tingkah laku telah diberi reinforcement negatif dengan tidak tepat. Berikut ini disampaikan sebuah siklus Reinforcement negatif,

1.      Siswa dihadapkan pada sebuah stimulus tidak menyenangkan
2.      Siswa melakukan sebuah tingkah laku yang tidak tepat
3.      Guru menghilangkan stimulus tidak menyenangkan
4.      Siswa diberi reinforcement negatif
5.      Apabila di kemudian hari siswa kembali dihadapkan dengan stimulus yang tidak menyenangkan, maka siklusnya kembali diulang.
Untuk meminimalkan siswa yang menghindari tugas, guru dapat mengajarkan cara-cara yang tepat, misalnya dengan mengajarkan siswa untuk mengkomunikasikan bahwa mereka membutuhkan break, cara ini dikenal dengan functional communication training (Carr & Durand, 1985). Perlu diperhatikan oleh guru bahwa siswa juga dapat merasakan tingkah laku guru sebagai stimulus yang tidak menyenangkan, misalnya mengomel, nada suara yang tidak menyenangkan, ekspresi yang tidak ramah, menyindir, atau bahkan permusuhan langsung, dapat mengakibatkan penolakan dari siswa.
Reinforcement negatif dapat digunakan sebagai strategi mengajar. Alberto, Troutman, dan Briggs (1983) menggunakan reinforcement negatif untuk pengkondisian respons awal bagi seorang siswa yang cacat yang parah. Iwata (1987) menyatakan bahwa terkadang sulit untuk membedakan antara reinforcement negatif dengan reinforcement positif. Untuk membedakannya, guru harus mempertimbangkan urutan peristiwa dan kondisi lingkungan yang ada. Dalam beberapa kasus hubungan fungsional yang nyata menjadi sangat sulit ditentukan. Reinforcement negatif sering digunakan dalam hubungannya dengan program tingkah laku berdasarkan hasil penilaian fungsional. Hal-hal yang mungkin dilakukan siswa antara lain yaitu usaha-usaha untuk melarikan diri dari tugas, interaksi sosial dengan orang dewasa atau teman sebaya, perhatian yang tidak diinginkan, atau berbagai kegiatan kelas lainnya. Penggunaan rangsangan tidak menyenangkan di dalam kelas harus diminimalkan. Seperti yang kita akan membahas secara lebih rinci dalam Bab 8, rangsangan tersebut dapat menyebabkan reaksi agresif.



J.      NATURAL REINFORCEMENT
Reinforcement adalah proses alami. Sistem reinforcement terstruktur di dalam kelas setidaknya memiliki 4 tujuan,
1.      Mengelola tingkah laku
2.      Siswa belajar tentang hubungan sebab akibat. Dengan adanya stimulus reinforcer, siswa menghubungkannya dengan tingkah laku mereka
3.      Sistem reinforcement kelas merupakan laboratorium pembelajaran mikrokosmos tentang bagaimana penerapan reinforcement dalam kehidupan sehari-hari
4.      Mengajari siswa untuk lebih menghargai reinforcer yang terjadi secara alami dalam sebuah situasi
Sebuah reinforcement disebut alami tergantung pada situasi, setting, dan usia dari individu. Hampir semua reinforcement dapat menjadi alami. Banyak siswa yang mendapatkan hak-hak istimewa bagi prestasi akademis dan sosial mereka, mulai dari menjadi lunch monitor di TK sampai diperbolehkan tidak mengikuti ujian. Orang dewasa juga bisa mendapatkan hak-hak istimewa, mulai dari mendapatkan tempat parkir istimewa, sampai diperbolehkan untuk menggunakan toilet eksekutif. Beberapa activity reinforcer juga banyak diberikan, mulai dari mendapat istirahat 5 menit setelah mengerjakan tugas (bagi siswa TK) sampai kesempatan berlibur di Bermuda bagi pegawai terbaik tahun ini. Setiap orang bekerja untuk mendapatkan token, mulai dari bintang emas untuk anak TK sampai uang yang banyak bagi para profesional, termasuk angka kredit bagi guru.
Apabila kita mau melihat di sekeliling kita, banyak sekali reinforcer sosial yang terjadi dalam lingkungan kita. Reinforcer yang secara alami dihasilkan oleh tingkah laku tertentu lebih efektif daripada reinforcer yang tidak mempunyai hubungan/artificial dengan sebuah tingkah laku. Di samping itu, tingkah laku yang diperkuat secara alami memiliki probabilitas yang tinggi untuk dipertahankan dan digeneralisasikan (Haring, Roger, Lee, Breen,  & Gaylord -Ross, 1986; Stokes & Baer, 1977). Setelah siswa belajar untuk mengantisipasi dan menerima reinforcer, secara alami mereka juga akan belajar untuk melakukan penjadwalan reinforcement. Mereka belajar bahwa tingkah laku dalam beberapa situasi menghasilkan reinforcement yang dan banyak, namun ada juga yang menghasilkan reinforcement yang ditunda dan sedikit.






























DAFTAR PUSTAKA

Alberto, P.A. & Troutman, A.C. 2009. Applied Behavior Analysis for Teachers (8th ed.). Columbus, OH: Merril

No comments:

Post a Comment