A. PENDAHULUAN
Sebelum membahas self-management lebih lanjut, marilah kita perhatikan pertanyaan-pertanyaan berikut:
· Siapakah seseorang yang akan selalu bersama siswa sepanjang periode belajarnya, di dalam dan di luar sekolah?
· Siapakah seseorang yang selalu tune-in pada tingkah laku dan belajar siswa dari hari ke hari?
· Siapakah orang yang benar-benar tahu mengenai reinforcement apa yang diinginkan oleh siswa?
· Sehingga dengan begitu, ia harus bertanggungjawab untuk memantau, memberikan reinforcement, dan memelihara tingkah laku siswa tersebut?
Jawaban atas keempat pertanyaan tersebut di atas adalah “siswa”. Orang yang paling tepat untuk mengendalikan tingkah laku siswa tersebut adalah siswa itu sendiri. Intervensi tingkah laku yang dilakukan sendiri oleh siswa ini disebut self-management (manajemen diri), self-control (kontrol diri), atau self-discipline (disiplin diri). Siapapun yang ingin memiliki kemandirian dalam hal apapun harus belajar memanajemen tingkah lakunya sendiri. Para ahli memberikan banyak perhatian pada perkembangan self-control (kontrol diri) dan self-discipline (disiplin diri) pada individu-individu secara umum (Lloyd & Hughes, 1993), serta pada proses dan mekanisme yang dapat membuat seseorang menjadi lebih bertanggungjawab dan lebih produktif dari orang lain. Concern teoretis tersebut bukanlah pembahasan dalam bab ini; bab ini hanya akan membatasi diri pada pembahasan mengenai prosedur-prosedur yang relatif simpel dan dapat digunakan oleh guru untuk membantu perkembangan kemandirian siswa.
Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya telah didiskusikan berbagai metode meningkatkan kemampuan menggeneralisasi perubahan tingkah laku, yang dengannya, keterlibatan guru secara terus menerus akan diminimalisasi. Lebih lanjut, pada bab ini akan dibahas teknik-teknik yang dapat membuat siswa mengurangi ketergantungan pada manipulasi lingkungan dari guru. Prosedur-prosedur yang akan kita bahas ini akan menempatkan tanggung jawab perubahan di tangan siswa. Fokus semua prosedur tersebut adalah untuk mengajarkan agar siswa dapat menjadi pengubah tingkah lakunya sendiri secara efektif. John Dewey (1939) beberapa tahun yang lampau telah mengatakan “tujuan ideal pendidikan adalah untuk menciptakan self-control (kontrol diri)” (hal. 75). Siswa yang memiliki self-control dapat belajar dan bertingkahlaku dengan tepat walaupun tanpa pendampingan orang dewasa.
Dalam penelitiannya, Lovitt (1973) menemukan bahwa “self-management ternyata tidak terprogram secara sitematis (di sekolah-sekolah), padahal tujuan utama sistem pendidikan adalah untuk menciptakan individu-individu yang self-reliant (percaya diri) dan mandiri” (hal. 139). Jika kita, sebagai guru, menyepakati bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah kemandirian peserta didik, maka kita harus mengajarkan kepada para siswa agar mereka dapat menjadi mandiri. Meskipun kemandirian total tidaklah mungkin terjadi pada semua siswa, namun sebagian besar mereka dapat diajarkan untuk menjadi lebih self-reliant (percaya diri). Kazdin (2001, hal. 302-303) menawarkan beberapa alasan mengapa kita perlu melatihkan self-management pada siswa:
· Penggunaan agen perubahan eksternal memerlukan konsistensi, padahal guru-guru ataupun agen perubahan eksternal lainnya dapat saja “lalai” dari beberapa tingkah laku tertentu.
· Masalah-masalah yang berhubungan dengan komunikasi antara para agen di seting yang berbeda (misalnya guru dan orang tua) dapat menghambat kesuksesan sebuah program pengubahan tingkah laku.
· Para agen perubahan itu sendiri juga dapat menjadi lingkungan yang menyebabkan munculnya tingkah laku yang tidak diharapkan (selain juga menjadi penyebab munculnya tingkah laku yang diharapkan).
· Kontribusi mandiri individu pada program pengubahan tingkah laku dapat meningkatkan performansinya.
· Agen eksternal tidak selalu sedia setiap saat di lingkungan di mana tingkah laku target mungkin terjadi atau harus terjadi.
Baik peserta didik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus, keduanya dapat diajarkan untuk memonitor dan mengubah tingkah laku mereka sendiri. Hal ini menjadi sangat penting, terutama bagi siswa berkebutuhan khusus yang berada di sekolah atau komunitas umum (bukan di sekolah atau komunitas yang memang diperuntukkan untuk siswa berkebutuhan khusus). Pada bab ini akan dijelaskan sejumlah aspek-aspek self-management, yang di antaranya adalah: merancang tujuan (goal setting), rekam diri (self-recording), evaluasi diri (self-evaluation), reinforcement diri (self-reinforcement), dan instruksi diri (self-instruction). Para siswa dapat menggunakan berbagai teknik (yang biasanya digunakan oleh guru untuk mengubah tingkah laku siswa) untuk mengubah tingkah laku mereka sendiri. Mereka dapat diajarkan untuk merancang sendiri tujuan pribadi mereka, merekam data tingkah lakunya sendiri, mengevaluasi tingkah lakunya sendiri, serta memberikan konsekuensinya secara mandiri dengan self-reinforcement atau bahkan self-punishment. Para siswa juga dapat belajar memanipulasi anteseden tingkah laku dengan menggunakan instruksi diri (self-instruction). Meskipun masing-masing teknik self-management tadi dijelaskan secara terpisah, namun dalam praktiknya, teknik-teknik itu seringkali diterapkan dalam satu paket. Dengan kata lain, teknik-teknik itu digunakan secara berkombinasi, misalnya: self recording dengan self-reinforcement atau self-instruction dengan self-reinforcement. Kelihatannya memang tidak mungkin mengidentifikasi komponen manakah dari semua teknik-teknik itu yang sebenarnya berpengaruh pada tingkah laku. Namun beberapa usaha penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek-efek dari masing-masing prosedur tersebut (Haisten, 1996). Di bagian berikut akan dijelaskan penggunaan sejumlah teknik self-management dengan detail.
B. SELF-MANAGEMENT: SEBUAH PENGALAMAN BIASA
Prosedur-prosedur self-management sebenarnya sudah banyak dan biasa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali orang yang biasa menggunakan goal setting, self-recording, self-reinforcement, self-punishment, dan self-instruction untuk mengatur tingkah laku mereka sehari-hari. Sejumlah program self-help (tolong diri) dan self-improvement (peningkatan diri) yang biasanya dikomersialkan, juga banyak menerapkan prosedur-prosedur self-management. Hampir semua program tersebut selalu dimulai dengan merancang tujuan secara tertulis, dan kemudian menggunakannya untuk mengubah tingkah laku.
Beberapa wiraswastawan atau pekerja freelance biasanya juga menggunakan self-recording untuk menjaga produktivitas pribadinya. Irvin Wallace (1977), seorang penulis, menceritakan bagaimana ia dan penulis lainnya, termasuk Anthony Trollope dan Ernest Hemingway, mempraktikkan teknik-teknik self-recording. Trollope, seorang novelis Victoria, menceritakan reaktivitas self-recording tersebut dengan cukup nyata: “seminggu yang lewat tanpa halaman-halaman yang cukup akan membuat mataku begitu panas, dan sebulan akan membuat hatiku begitu menderita” (hal.518).
Self-reinforcement juga biasa digunakan oleh banyak orang. Perhatikan wicara diri guru berikut setibanya ia di depan rumah setelah mengajar di sekolah:
“Oh, sungguh hari yang melelahkan. Tiba di sekolah jam 7, Jenny Lind terjatuh, pergelangan kakinya keseleo, menangis meraung-raung, dan ibunya berkata ia akan menuntut..
“Clifford tidak percaya kalau 6 x 4 sama dengan 24, hanya karena itu sudah dijelaskan kemarin...”
“Dua siswa berkelahi karena berebut menggunakan cat biru di kelas kesenian...”
“Kenapa Velma Johnson selalu duduk di dekatku saat makan siang dan membicarakan hal-hal yang tidak jelas...”
“Huh, aku menahan emosi seharian ini. Pantas kiranya kalau aku memanjakan diri di Baskin Robbins!”
Beberapa dari kita juga sering mempraktikkan self-instruction dengan memberikan perintah-perintah verbal pada diri sendiri. Kita berbicara pada diri sendiri, bahkan kadang-kadang dengan suara keras, saat kita mengerjakan tugas-tugas yang kompleks dan sulit. Anak-anak juga menggunakan self-instruction secara natural. Seperti yang pernah dibuktikan oleh Kohlberg, Yaeger, dan Hjertholm (1968), yang mencatat proses instruksi diri anak berumur 2 tahun saat bermain sendiri dengan alat permainan Tinker Toys.
“Rodanya diletakkan di sini, rodanya di sini. Duh... kita harus mulai dari awal lagi. Kita harus menutupnya. Lihat, sudah tertutup. Jadi kita harus mulai dari awal lagi. Kamu tahu kenapa kita ingin melakukannya? Karena aku ingin sesuatu yang berbeda. Bukankah itu sesuatu yang cerdas, ya kan? Tapi kita harus menutupi motor ini seperti mobil sungguhan” (hal. 695).
B. F. Skinner, sang penemu behaviorisme, adalah seorang jago self-management (Epstein, 1997). Dengan menggunakan goal-setting, environmental management, self-recording, self assessment, dan reinforcement, ia dapat menjadi seorang yang sangat produktif serta dapat menjaga produktivitas tersebut hingga kematiannya di umur 84 tahun. Ia bahkan menulis sebuah buku tentang menggunakan teknik-teknik self-management untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh orang lanjut usia (Skinner & Vaughan, 1983).
Mengajarkan siswa untuk memanajemen tingkah lakunya sendiri merupakan mekanisme untuk mensistematisasi dan membuat fenomena yang terjadi secara natural ini menjadi lebih powerful. Beberapa siswa mungkin bisa memanajemen tingkah lakunya dengan efektif tanpa dilatih, sementara beberapa siswa lainnya mungkin belum demikian. Rendahnya kemampuan regulasi diri telah ditemukan pada siswa-siswa yang mengalami retardasi mental (mental retardation) (Whitman, 1990), learning disability (Baker, 1982; Short & Weissberg-Benchell, 1989), dan gangguan emosional (emotional disturbance) (Kern-Dunlap et al., 1992). Guru yang bijaksana akan memberikan tanda bahwa siswa telah siap untuk mulai memanajemen tingkah lakunya sendiri dan akan mengambil manfaat dari kesiapan ini. Strategi-strategi yang dibahas dalam bab ini kadangkala disebut juga dengan strategi pelatihan kognitif (cognitive training strategies) (Hallahan, Kneedler, & Lloyd, 1983) atau strategi metakognitif (metacognitive strategies) (Borkowski, 1992). Bersama dengan strategi-strategi lain yang kurang dekat dengan analisis pengubahan tingkah laku, seluruh strategi itu merupakan metode untuk membantu para siswa agar dapat berpikir dan memecahkan masalah secara lebih produktif.
C. MENYIAPKAN SISWA UNTUK MEMANAJEMEN TINGKAH LAKUNYA SENDIRI
Guru yang menggunakan program manajemen tingkah laku sistematis tertentu dapat mencoba sejumlah teknik berikut ini untuk meningkatkan potensi siswa dalam mengambil tanggung jawab memanajemen tingkah lakunya sendiri:
· Guru dapat meminta siswa merancang tujuan: “Sammy, kamu telah mengerjakan 7 soal dengan benar selama 10 menit kemarin; menurumu berapa banyak lagi yang akan dapat kamu kerjakan hari ini?”
· Guru dapat meminta siswa untuk mengevaluasi performansinya: “Sammy, coba bandingkan soal-soal yang telah kamu kerjakan dengan kunci jawabannya. Berapa banyak yang telah kamu selesaikan dengan benar?”
· Ketika memberikan reinforcer, guru dapat menjelaskan pada siswa mengenai tingkah laku apa yang menghasilkan reinforcement tersebut: “Sammy, kamu telah mengerjakan 10 soal Matematika dengan benar. Kamu mendapatkan 10 poin -1 poin untuk setiap soal”.
· Guru dapat meminta siswa untuk menghubungkan bagian-bagian contingency: “Sammy, kamu mendapatkan 10 poin. Mengapa kamu mendapatkan 10 poin?” atau “Sammy, kamu telah mengerjakan 10 soal dengan baik. Jadi, berapa poinkah yang kamu dapat?
· Guru dapat meminta siswa untuk menyatakan seluruh contingency: “Sammy, berapa poin? Kenapa demikian?”
· Guru dapat melibatkan siswa dalam memilih reinforcer dan dalam menentukan “biaya” tingkah laku yang harus diperformansikannya supaya mendapatkan reinforcement.
Siswa yang telah diberikan teknik-teknik di atas tadi akan seringkali tanpa diminta mengemukakan tingkah lakunya sekaligus konsekuensi tingkah laku tersebut. Langkah-langkah ini dimulai dengan sekedar menanyakan siswa mengenai berapa banyak poin yang diperolehnya dan mengapa ia dapat memperoleh poin tersebut. Puncaknya, Sammy akan diperbolehkan untuk memeriksa jawabannya sendiri, menghitung jumlah soal yang dikerjakannya dengan benar, dan menuliskan poin yang didapatnya di kartu nilainya sendiri.
D. MERANCANG TUJUAN (GOAL SETTING)
Pembahasan mengenai negosiasi tujuan antara guru dan siswa telah diangkat di bab 7 dalam menjelaskan mengenai penggunaan kontrak. Dalam proses pendidikan, biasanya gurulah yang merancang tujuan pembelajaran untuk siswa. Hal demikian memang tepat dalam beberapa kasus. Namun dalam self-management ini, siswa perlu diajarkan untuk dapat merancang tujuannya secara mandiri. Terdapat beberapa bukti penelitian yang menunjukkan bahwa siswa yang merancang tujuannya sendiri ternyata dapat menunjukkan performansi yang lebih baik daripada siswa yang tujuannya dirancang oleh orang lain (Johnson & Graham, 1990; Olympia, Sheridan, & Andrews, 1994). Barry & Messer (2003) menggunakan kombinasi goal setting, reinforcement yang dipilih sendiri (self-chosen reinforcement), dan self reinforcement untuk meningkatkan tingkah laku on-task dan performansi akademik serta menurunkan tingkah laku disruptive pada siswa-siswa ADHD. Lee & Tindal (1994) mengajarkan siswa-siswa Korea yang low-achivement untuk merancang tujuan secara mandiri dalam menyelesaikan soal-soal Matematika. Pertama kali mereka ditunjukkan grafik yang menggambarkan performansi mereka pada sesi sebelumnya. Mereka kemudian diminta untuk menuliskan jumlah soal tambahan yang ingin mereka selesaikan beserta target jumlah soal yang ingin dikerjakan dengan benar pada sesi berikutnya. Goal setting tersebut ternyata menghasilkan peningkatan produktivitas dan ketepatan menyelesaikan soal. Masih banyak lagi bukti-bukti hasil penelitian yang menunjukkan efektivitas goal setting untuk meningkatkan performansi, baik pada individu normal maupun individu yang mengalami gangguan perkembangan.
Saat membantu para siswa untuk merancang tujuan secara mandiri, sangatlah penting untuk membantu mereka merancang tujuan yang spesifik, menantang, namun juga dapat dilaksanakan, serta yang pencapaiannya dapat terwujud dengan segera (tidak menunggu tenggang waktu yang lama). Sangat penting pula untuk memberikan feedback mengenai kesuksesan atau kegagalan mereka dalam pencapaian tujuan (Johnson & Graham, 1990).
E. PEREKAMAN DATA MANDIRI (SELF-RECORDING OF DATA)
Siswa lebih baik diminta untuk merekam tingkah lakunya sendiri daripada direkam oleh observer. Meminta siswa merekam data secara mandiri tersebut dikenal dengan nama self-monitoring (monitor diri). Namun istilah ini biasanya tidak hanya digunakan dengan makna “meminta siswa membuat rekaman diri”, tapi juga digunakan dengan makna “meminta siswa untuk mengevaluasi performansinya sendiri”. Karena itu, dalam hal ini lebih baik digunakan istilah self-recording (siswa membuat rekaman) agar istilahnya tidak rancu. Kami juga membedakan antara cued self-recording, yaitu siswa diberi isyarat (biasanya berupa rekaman nada) dan diminta untuk menunjukkan apakah ia memperformansikan tingkah laku tertentu saat mendengar nada tersebut, dengan noncued self-recording, yaitu jika siswa diminta untuk merekam (membuat catatan) setiap kali ia memperformansikan tingkah laku yang diinginkan. Perhatikan contoh lembar rekam data pada Gambar 11-1. Siswa dapat menggunakan lembar tersebut untuk merekam tingkah lakunya secara mandiri.
Gambar 11-1 Format Self Monitoring Siswa
Catatan: dikutip dari “Self-Monitoring for Elementary School Children with Serious Emotional Disturbances: Classroom Aplication for Increased Academic Responding” karya L. Levendoski & G. Cartledge, 2000, Behavioral Disorders, 25, hal. 214. Copyright 200 by Council for Children with Behavioral Disorders. Dicetak ulang dengan izin.
| | | | | | | |
| Nama : .................................................................... | | |||||
| Tanggal : ................................................................... | | |||||
| | | Ya J | Tidak L | | ||
| | Hari | Bel Ke-1 | Bel Ke-2 | Bel Ke-1 | Bel Ke-2 | |
| | | | | | | |
| * Apakah pada waktu ini | | | | | | |
| aku melakukan tugasku? | | | | | | |
| | | | | | | |
| | | | | | | |
| | | | | | | |
| | | | | | | |
| | | | | | | |
| | | | | | | |
Data hasil rekam mandiri akan memberikan feedback kongkrit pada siswa dan guru mengenai tingkah laku tertentu. Informasi tersebut kemudian dapat digunakan untuk menentukan reinforcer apa yang perlu diberikan. Dalam beberapa kasus, merekam data sebuah tingkah laku tertentu dapat menyebabkan efek reaktif pada tingkah laku yang direkam tersebut. Dalam artian, tingkah laku dimaksud dapat berubah ke arah yang diinginkan sebagai akibat dari proses perekaman mandiri tersebut. Dalam kapasitas ini, rekam mandiri berfungsi sebagai teknik pengubahan tingkah laku (Rosenbaum & Drabman, 1979). Jika kita pernah mengatur anggaran pengeluaran dengan menuliskan setiap rupiah yang kita belanjakan di sebuah buku catatan kecil, kita mungkin akan merasakan reaktivitas ini. Jika, sambil membaca bab Self-Management ini, kita merekam setiap hal yang kita lamunkan dengan menuliskan tally di sebuah kartu berukuran 3 x 5, kemungkinan tingkah laku melamun tersebut akan berkurang (jika tidak memiliki kartu 3 x 5, kita bisa menggantinya dengan sekedar coretan-coretan di pinggir buku).
Sebagai sebuah teknik self-management dan pengubahan tingkah laku, self-recording telah digunakan dengan sukses dalam berbagai seting, dengan bermacam tingkah laku, dan dengan siswa yang memiliki atau yang tidak memiliki kebutuhan khusus (disabilities). Namun demikian, teknik ini ternyata kurang sukses untuk mengubah tingkah laku siswa-siswa yang mengalami gangguan emosional dan tingkah laku (emotional and behavioral disorders) (Hughes, Ruhl, & Misra, 1989). Meskipun self-recording akan mengubah tingkah laku sejak pertama kali digunakan, namun perubahan tersebut akan menghilang seiring waktu jika tidak didukung dengan prosedur self-management lainnya, seperti self-reinforcement misalnya (Kanfer, 1975; McLaughlin, 1976). Walaupun self-recording digunakan untuk mengawali program pengubahan tingkah laku, tampaknya teknik inilah yang paling efektif dalam memelihara perubahan tingkah laku yang dihasilkan dari strategi-strategi tradisional, yang dimanajemen oleh guru. Beberapa penelitian telah menyelidiki dampak aktivitas mengajarkan siswa untuk memonitor perhatiannya pada tugas terhadap tingkat penyelesaian, akurasi, dan produktivitas dalam mengerjakan tugas (Harris, Graham, Reid, McElroy, & Hamby, 1994; Maag, Reid, & DiGangi, 1993; McCarl, Svobodny, & Beare, 1991). Dalam hal ini, pertanyaan yang layak diajukan adalah mengenai manakah yang lebih efektif antara siswa merekam data bahwa mereka “memperhatikan”, atau merekam data bahwa mereka “mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh”, atau merekam berapa banyak tugas akademik yang dikerjakan dengan benar. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semuanya efektif, namun sebagian besar siswa lebih memilih untuk merekam seberapa banyak tugas yang telah mereka selesaikan.
Mengajarkan siswa untuk melakukan perekaman mandiri hendaknya mengikuti langkah berikut:
· memilih tingkah laku target
· mendefinisikan tingkah laku secara operasional
· memilih sistem pengumpulan data yang tepat (sistem pengumpulan data yang tepat terdiri dari rekam kejadian, time sampling, dan perekaman produk permanen; metode-metode pencatatan seperti lembar tally, wrist counter, grafik, dan bagan. Contoh bagan dapat dilihat pada gambar 11-2 dan 11-3).
· memberikan instruksi kepada siswa untuk menggunakan sistem pengumpul data yang dipilih.
· memantau setidaknya satu sesi praktik pengumpulan data.
· mempersilahkan siswa untuk merekam data secara mandiri sambil memantau hasilnya.
Gambar 11-2 Daftar Cek Mandiri untuk Aktivitas di Kelas Bahasa dan Kesenian
Nama: .............................................. Tanggal: ........................ | |
| Ceklah dirimu |
Sudahkah saya menulis huruf kapital pada posisi yang seharusnya? | .......... |
Sudahkah saya meletakkan periode di akhir kalimat? | .......... |
Sudahkah saya memberi spasi di antara kata? | .......... |
Sudahkah saya menuliskan nama saya sendiri di lembar kerja sebelum menyerahkannya pada guru? | .......... |
Sudahkah saya menjawab semua pertanyaan? | .......... |
Sudahkah saya memeriksa jawaban-jawaban saya dalam paragraf yang sudah saya baca? | .......... |
Gambar 11-2 Daftar Cek Mandiri untuk Aktivitas di Rumah
Sudahkah saya | Terry | Todd |
1. Membasuh muka dan tangan? | ...... | ...... |
2. Menyikat gigi? | ...... | ...... |
3. Menyisir rambut? | ...... | ...... |
4. Meletakkan baju kotor di tempatnya? | ...... | ...... |
5. Merapikan kasur? | ...... | ...... |
6. Meletakkan uang jajan di dompet? | ...... | ...... |
7. Mengerjakan PR dan menyiapkan buku-buku pelajaran? | ...... | ...... |
Ilustrasi berikut akan menggambarkan bagaimana seorang guru menggunakan cued self-recording untuk membantu siswa-siswanya mempelajari self-management.
Siswa-Siswa Ibu Dietrich Belajar Secara Mandiri
Ibu Dietrich adalah seorang guru SD yang mengajar siswa-siswa berkebutuhan khusus. Ia merancang kelas sedemikian rupa sehingga setiap kelompok siswa menerima pelajaran langsung darinya (direct instruction) selama 20 menit. Selanjutnya, kelompok yang telah menerima pelajaran tersebut kemudian belajar secara mandiri sementara Ibu Dietrich mengajar kelompok lainnya. Dengan keadaan seperti ini, Ibu Dietrich berpikir bahwa dirinya tidak akan dapat memberikan token pada kelompok yang belajar secara mandiri tersebut karena ia sedang mengajar kelompok lain. Beliau kemudian memutuskan untuk mengajarkan self-recording. Beliau memutuskan untuk menggunakan sebuah tanda, yaitu suara “jangkrik”. Pertama kali, beliau mengamati siswa-siswa yang belajar secara mandiri dan menekan tombol untuk membunyikan suara “jangkrik” ketika para siswa tersebut terlihat belajar sesuai harapan (on-task). Begitu “jangkrik” berbunyi, siswa-siswa itu diminta untuk memberikan poin untuk dirinya sendiri. Beberapa waktu kemudian, selama memberikan pelajaran di kelompok lain, Ibu Dietrich hanya menekan tombol secara acak dan meminta kelompok siswa yang belajar mandiri untuk menuliskan satu poin jika mereka belajar dengan sunggung-sungguh. Ibu Dietrich menyimpulkan bahwa prosedur ini sangat efektif. Beliau merasa bahwa hasilnya seperti beliau berada di dua tempat sekaligus.
Terdapat beberapa alasan mengapa self-recording dapat mengubah tingkah laku (Hayes & Nelson, 1983; Kanfer, 1975; Rachlin, 1974). Semua ahli setuju bahwa self-recording memaksa siswa untuk memonitor tingkah lakunya sendiri. Kanfer juga menambahkan bahwa self-reward dan self-punishment mau tidak mau akan mengiringi self-monitoring. Karena itu, siswa yang menjumpai bahwa dalam catatan rekam pribadinya ia telah menyelesaikan tugas-tugas, ia akan berkata pada dirinya “saya anak yang baik” (Cautela, 1971). Rachlin, Hayes & Nelson, dan Baer (1984) menyatakan bahwa self-monitoring memberikan isyarat (environmental cues) yang akan meningkatkan kesadaran siswa mengenai konsekuensi yang akan didapatkannya. Karena itulah mengapa banyak program penurunan berat badan dan berhenti merokok akan meminta para pesertanya untuk menuliskan setiap butir makanan dan setiap batang rokok yang dikonsumsinya. Sebagaimana tampak pada contoh di depan, self-recording sendiri memiliki kekuatan me-reinforce ketika tingkah laku mulai tampak berubah ke arah yang diinginkan.
Hal yang sering dipermasalahkan ketika menerapkan teknik self-recording adalah mengenai keakuratan rekaman siswa. Usaha untuk meningkatkan keakuratan pengumpulan data siswa tidak pernah benar-benar berhasil (Marshall, Lloyd, & Hallahan, 1993). Namun demikian, beberapa penelitian menemukan bahwa rekam mandiri siswa termasuk sangat akurat jika dibandingkan dengan rekaman-rekaman oleh guru atau orang lain. Apapun itu, dalam kenyataannya, ketepatan rekam diri siswa hanya memiliki efek yang kecil terhadap perubahan tingkah laku; bahkan ternyata rekam mandiri yang tidak akurat masih dapat menghasilkan perubahan positif pada tingkah laku (Marshall er al., 1993; Reinecke et al., 1999; Rosenbaum & Drabman, 1979).
F. EVALUASI DIRI (SELF-EVALUATION)
Terdapat beberapa cara untuk meminta siswa melakukan self-evaluation. Salah satunya adalah dengan meminta siswa untuk membandingkan jawaban pekerjaannya dengan kunci jawaban yang telah disiapkan oleh guru atau memang tersedia dalam buku teks guru (kebanyakan siswa biasanya menganggap wewenang membaca buku guru sebagai reinforcement). Shimabukuro et al. (1999) mengajarkan para siswa ADD/ADHD untuk mengoreksi sendiri pekerjaan mereka di pelajaran membaca, Matematika, dan written expression. Para siswa mencatat akurasi dan produktivitas mereka (membandingkan jumlah item yang selesai dikerjakan dengan jumlah item yang ditugaskan). Para siswa itu menuliskan sendiri skor mereka dan menggambarkannya dalam grafik. Koreksi diri terhadap ejaan (Morton, Heward, & Alber, 1998) dan soal-soal perkalian (Bennett & Cavanaugh, 1998) akan memberikan feedback pada para siswa dengan lebih segera (segera setelah setiap kata atau soal matematika) daripada menunggu feedback dari guru. Feedback yang segera diberikan akan semakin meningkatkan performansi. Prosedur lainnya yang lebih kompleks adalah dengan meminta siswa untuk merata-ratakan produk yang kurang mudah dievaluasi dibandingkan dengan standar. Sweeney, Salva, Cooper, dan Talber-Johnson (1993), misalnya, mengajarkan siswa sekolah menengah untuk mengevaluasi keterbacaan tulisan tangannya berdasarkan bentuk, spasi, kemiringan, ukuran, dan penampang umumnya. Keterbacaan tulisan tangan mereka semakin meningkat dengan signifikan sebagai hasil dari evaluasi diri ini dan treatment lain yang menjadi satu paket.
Sebelum mengajarkan evaluasi diri, guru perlu mengajarkan siswa untuk membedakan antara tingkah laku yang berterima dan tidak berterima. Dalton et al. (1999) menggunakan direct instruction untuk mengajarkan identifikasi tingkahlaku on-task dan off-task pada dua remaja yang mengalami learning disability. Sang guru menyebutkan contoh tingkah laku secara acak dan meminta kedua siswa untuk memberikan label on atau off-task pada tingkah laku tersebut. Pelatihan juga dapat berupa pemberian contoh tingkah laku yang tepat dan tidak tepat oleh guru atau siswa lain, dan kemudian mengajarkan siswa untuk membedakan antara keduanya. Rekaman video contoh tingkah laku tepat dan tidak tepat juga sangat berguna untuk membantu siswa memahami perbedaan keduanya. Embregts (2000) menggunakan rekaman video untuk meningkatkan tingkah laku sosial siswa yang mengalami retardasi ringan (mild retardation). Rekaman dibuat selama makan siang, makan malam, dan pertemuan kelompok. Seminggu kemudian, para siswa diajak menonton rekaman tersebut bersama sang instruktur. Rekaman dihentikan setiap 30 menit dan siswa diminta untuk mencatat apakah tingkah laku mereka tepat atau tidak tepat. Siswa yang mengidentifikasi dengan benar akan mendapatkan token. Ternyata para siswa tersebut dapat mengidentifikasi dengan benar sebanyak 80 %. Kern et al. (1995) menemukan bahwa self-evaluation dengan menggunakan rekaman video seperti di atas dapat diterapkan pada populasi yang menolak untuk melaksanakan prosedur-prosedur self-management (individu-individu yang mengalami gangguan emosional berat).
G. REINFORCEMENT MANDIRI (SELF-REINFORCEMENT)
Beberapa guru biasanya mengatur contingency di kelas masing-masing. Mereka menetapkan tingkah laku-tingkah laku apa yang diharapkan beserta konsekuensi-konsekuensi yang akan didapatkan jika menampakkan tingkah laku tersebut. Contingency biasanya dinyatakan dalam kalimat “jika..., maka...”, seperti: jika kamu menyelesaikan karanganmu, kamu akan mendapatkan waktu bebas selama 5 menit”, “untuk setiap jawaban yang benar dalam pelajaran membaca, kamu akan memperoleh satu token”. Para siswa dapat dilibatkan dalam mengatur contingency dengan berbagai bentuk keterlibatan. Para siswa bisa diperkenankan memilih reinforcer, menentukan “biaya” tingkah laku yang harus diperformansikan untuk mendapatkan reinforcer, atau bahkan menentukan tingkah laku yang akan diubah. Tujuan utama mempersilahkan siswa untuk ikut mengatur contingency adalah untuk mendorong siswa agar menggunakan prosedur self-management yang telah diajarkan padanya. Dimulai dengan merekam tingkah laku secara mandiri (self-recording), transisi dari “program disusun oleh guru” menjadi “disusun secara mandiri oleh siswa” haruslah berlangsung secara bertahap, dan secara eksplisit siswa juga harus diajarkan untuk menggunakan self-reinforcement dan self-punishment.
Telah berulangkali dibahas bahwa contingency yang disusun sendiri oleh siswa dan contingency yang disusun oleh guru sama-sama efektif untuk mengubah tingkah laku. Namun beberapa fakta menunjukkan bahwa standar dan reinforcer yang ditetapkan sendiri oleh siswa ternyata lebih efektif daripada yang ditetapkan oleh orang lain (Hayes et al. 1985). Lovitt dan Curtiss (1969) membandingkan rata-rata respon akademik siswa berumur 12 tahun antara yang contingency-nya ditentukan oleh guru dengan yang contingency-nya ditentukan secara mandiri oleh siswa-siswa tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang memilih sendiri contingency-nya mengalami peningkatan rata-rata respon akademik sebesar 44%.
Rhode, Morgan, dan Young (1983) menggunakan sistem self-reward agar siswa dapat menggeneralisasi tingkah laku yang tepat dari ruang sumber (resource room) ke ruang kelas reguler (regular classroom). Pertama kali, siswa diajarkan untuk mengevaluasi tingkah lakunya sendiri di ruang sumber dan kemudian diminta untuk tetap melakukannya di ruang kelas reguler. O’Brien, Riner, dan Budd (1983) berhasil mengajarkan orang tua yang memiliki anak yang disruptive untuk mengimplementasikan prosedur self-reward dan kemudian mengajarkan anaknya untuk mengevaluasi tingkah lakunya sendiri.
Jika kita mempersilahkan para siswa untuk memilih sendiri contingency untuk tugas-tugas yang harus mereka selesaikan, kita harus memberikan instruksi yang spesifik. Sejumlah instruksi berikut (Felixbrod & O’leary, 1974, hal. 846) biasanya digunakan dalam banyak penelitian mengenai self-reinforcement:
1. Para pekerja mendapatkan bayaran atas pekerjaan mereka. Bapak/Ibu Guru juga akan membayar kalian dengan poin, yang poin-poin itu nanti dapat ditukar dengan hadiah-hadiah ini (menunjuk pada hadiah dan nilai pertukaran poinnya). Nah, pekerjaan kalian adalah menjawab soal-soal aritmatika ini. Supaya mendapatkan poin, kalian harus menjawab soal dengan benar (kata ini diulang-ulang). Kalian memiliki waktu selama 20 menit untuk mengerjakan soal-soal ini. Tapi kalian boleh selesai kurang dari 20 menit kalau kalian mau.
2. Sekarang, Bapak/Ibu Guru mempersilahkan kalian untuk menentukan berapa poin yang kalian inginkan untuk setiap soal yang dijawab dengan benar. Coba lihat nomor-nomor yang terdapat di kertas yang kalian pegang (menunjuk ke halaman berikutnya di mana topiknya adalah “memilih standar performansi”). Bapak/Ibu ingin kalian memutuskan berapa poin yang kalian inginkan untuk setiap jawaban yang benar. (Sambil menunjuk poin yang dapat dipilih dalam sebuah daftar 10 standar performansi. Di situ tertera tulisan: “saya ingin mendapat 1 poin; 2 poin... 10 poin untuk setiap jawaban yang benar”), Setelah Bapak/Ibu meninggalkan kelas ini, lingkari jumlah poin yang ingin kalian dapatkan untuk setiap jawaban yang benar.
Sejumlah penelitian yang dilakukan di kelas-kelas (misalnya yang dilakukan oleh Felixbrod & O’leary, 1974; Fredericksen & Fredericksen, 1975) menunjukkan bahwa para siswa cenderung memilih standar performansi yang lunak (tidak terlalu tinggi) daripada standar yang dipilihkan oleh guru. Karena standar yang tinggi –apakah ditentukan sendiri oleh siswa atau ditentukan oleh guru– akan menghasilkan performansi akademik yang lebih baik daripada standar yang rendah, para siswa harus diajarkan untuk mengatur sendiri standar yang cukup tinggi untuk dirinya. Instruksi untuk memilih standar yang tinggi dapat dilaksanakan dengan sukses oleh siswa jika diikuti dengan reinforcement sosial. Instruksi berikut ini, atau dengan variasi sesuai kebutuhan, sering digunakan untuk mendorong siswa memilih standar yang tinggi:
Jika kalian meminta 10 poin untuk setiap jawaban yang benar dan kalian dapat mengerjakan 2 soal dengan benar, artinya kalian akan mendapatkan nilai 20. Tapi, jika kalian hanya meminta 2 poin untuk setiap jawaban dan ternyata kalian dapat mengerjakan 10 soal dengan benar, kalian juga akan mendapatkan nilai 20 dan sama-sama mendapatkan hadiah yang baik. Jadi, jika kalian meminta poin yang lebih kecil, kalian akan dapat hadiah yang sama-sama bagusnya namun dengan mengerjakan soal yang lebih banyak. Nah, Bapak/Ibu ingin kalian memilih antara 1, 2, atau 3 poin untuk setiap soal. Sekarang mari kita lihat hadiah-hadiah yang sudah Bapak/Ibu sediakan dan Bapak/Ibu akan tunjukkan maksud Bapak/Ibu tadi. (Mulailah dari hadiah yang bernilai paling kecil hingga yang paling besar, jelaskan pada siswa berapa poin harga hadiah-hadiah tersebut). Sekarang, misalnya hadiah ini berharga 250 poin. Jika kalian memilih 1 poin untuk setiap jawaban, maka kalian harus mengerjakan lebih dari 12 halaman soal untuk mendapatkan hadiah ini. Namun jika kalian memilih 2 poin untuk setiap jawaban, maka kalian hanya perlu mengerjakan 6 halaman soal untuk mendapatkan hadiah yang sama. Sudah paham? Setelah ini Bapak/Ibu akan tinggalkan ruangan ini sebentar dan kalian lingkarilah salah satu dari pilihan-pilihan poin tersebut. Ingat, Bapak/Ibu berharap kalian melingkari antara 1, 2, atau 3 poin (Brownell, Coletti, Ersner-Hershfield, Hershfield, & Wilson, 1977, hal. 445).
Sistem pengaturan contingency seringkali dilakukan dalam bentuk guru yang memilihkan dan memberikan reinforcer. Pengaturan contingency yang dikontrol oleh guru seperti ini harus didahului oleh usaha untuk mengajarkan self-reinforcement pada siswa (King-Sears, 1999; O’Brien et al., 1983). Setelah siswa terbiasa dengan mekanisme sistem ini, ia secara mandiri akan dapat memanajemen contingency dengan efektif. Drabman, Spitalnik, dan O’Leary (1973) dan Turkewitz, O’Leary, dan Ironsmith (1975) menggunakan langkah-langkah berikut secara berurutan untuk mentransfer tanggung jawab recording dan reinforcement secara bertahap dari guru ke siswa dalam token economy.
· Pertama kali, guru menentukan poin dan reinforcement yang akan diberikan.
· Siswa mencatat poin yang diberikan oleh guru.
· Siswa kemudian memberikan poin secara mandiri dan mendapatkan bonusnya jika telah mencapai jumlah poin yang ditentukan oleh guru.
sangat bermanfaat kak tulisannya
ReplyDelete