Manusia adalah makhluk sosial, dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berinteraksi dengan orang lain. Budaya memberikan pengaruh yang cukup besar pada lingkungan sosial. Bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, memandang orang lain, dan bekerja dengan orang lain, semua dipengaruhi oleh budaya. Kita belajar cara bersikap, mengamati dan bekerja berdasarkan hasil didikan budaya kita. Tetapi apa yang benar menurut kita seringkali tidak berlaku untuk orang lain dari budaya yang berbeda.
Bab ini akan meninjau beberapa perbedaan budaya dalam perilaku sosial, termasuk hubungan ingroup dan outgroup; daya tarik interpersonal, cinta, dan pernikahan antarbudaya, atribusi, agresi, dan penyesuaian, kepatuhan terhadap aturan, dan kerjasama. Tujuan dari bab ini adalah untuk menyoroti bagaimana cara orang-orang dari budaya yang berbeda berperilaku dalam konteks sosial dan kita akan melihat kesamaan lintas-budaya.
A. Budaya dan Hubungan lngroup / outgroup
Budaya mempengaruhi perilaku sosial dalam berbagai cara. Kita hidup dengan orang lain, membentuk kedekatan, ikatan, dan hubungan. Beberapa orang yang kita lihat setiap hari, kita kenal baik, kadang kita tidak mengetahui tentang dia sama sekali. Anggota keluarga, teman, rekan kerja, kenalan baru adalah orang-orang yang kita temui dalam keseharian kita. Sehingga penting untuk memahami hubungan diri dengan orang lain dan memahami perbedaan budaya dalam perilaku sosial.
1. lngroup dan Outgroup
Ingroup relationship adalah karakteristik hubungan dengan beberapa tingkat keakraban, persahabatan dan kepercayaan. Kita merasa dekat dengan orang-orang sekitar kita yang kita pertimbangkan dalam ingroup kita. Hubungan self-ingroup berkembang melalui ikatan yang mengikat dalam kelompok melalui persahabatan, sebuah hubungan, dan sama-sama mempunyai tujuan.
Outgroup relationship adalah sebaliknya, kurangnya keakraban, keintiman, dan kepercayaan hubungan dengan ingroup lain. Ingroup relationship terkait dengan kedekatan perasaan, tetapi outgroup relationship kurang mementingkan kedekatan perasaan dan bahkan mungkin melibatkan perasaan yang negatif , seperti: kebencian, permusuhan, menyendiri, atau rasa unggul. Ada sebuah ikatan yang mengikat hubungan ingroup, tetapi tidak ada ikatan hubungan dengan orang-orang di luar.
Perbedaan ingroup-outgroup adalah dikotomi, memungkinkan kita untuk mengklasifikasikan setiap orang di dunia ini menjadi salah satu dari dua kategori tersebut. Tetapi para ilmuwan sosial mengenal dunia ini tidak sesederhana itu. Hubungan sosial tidak bisa diklasifikasikan kedalam dua kategori saja. Ada perbedaan tingkat keintiman, keakraban dan kedekatan dalam satu kategori. Bentuk klasifikasi ingroup-outgroup sebagai alat bantu untuk memahami perilaku kita dengan orang lain dan kompleksitas pada hubungan tersebut.
Sosialisasi dan enkulturasi yaitu mengembangkan dan belajar tentang aturan dan standar masyarakat dan budaya kita dengan orang-orang yang termasuk dalam ingroup dan outgroup kita. Kita membangun hubungan dengan orang-orang disekitar kita. Kita pergi ke sekolah, mencari teman, mencari pekerjaan, jatuh cinta, dan melalui kehidupan kita mengembangkan hubungan dengan berbagai tipe orang. Perbedaan ingroup-outgroup berlaku untuk semua budaya dan masyarakat di dunia, sehingga setiap orang harus belajar untuk membedakan orang-orang yang mempunyai hubungan dengan mereka.
2. Perbedaan Budaya dalam Hubungan Ingroup/outgroup
a. Perbedaan budaya dalam struktur dan format hubungan ingroup/outgroup
Hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa orang yang berasal dari budaya yang berbeda tidak bisa menebak tipe orang dan hubungan yang sama ketika mendefinisikan ingroup dan outgroup. Kita mempertimbangkan jenis orang tertentu (teman di sekolah, rekan kerja, dsb) sebagai anggota ingroup atau outgroup, kita tidak bisa berasumsi bahwa orang-orang dari budaya lain akan menafsirkan dan bertindak atas hubungan mereka dengan cara yang sama.
Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa orang dari budaya yang berbeda memandang hubungan yang berbeda. Forgas dan Bond (1985), bertanya pada orang Hongkong dan Australia terkait dengan kehidupan mahasiswa. Empat dimensi terbaik menggambarkan bagaimana orang Hong Kong Cina secara kognitif mewakili: (l) jarak kekuasaan, (2) tugas dan orientasi sosial, (3) evaluasi, dan (4) keterlibatan. Sedangkan orang Australia adalah: (1) daya saing, (2) sosial dan orientasi tugas, (3) keterlibatan, dan (4) keyakinan diri. Perbedaan ini jelas berkaitan dengan perbedaan nilai budaya dari kedua masyarakat tersebut. Masyarakat Hong Kong China mempunyai nilai-nilai budaya rasa kebersamaan yang kuat, kolektif, dan kegunaan dalam kehidupan sosial, bersama menerima otoritas/kekuasaan, pengaruh persepsi mereka terhadap kegiatan sosial. Sedangkan orang-orang Australia mempunyai budaya daya saing, kepercayaan diri, kebebasan, dan hedonis, yang mendasari dominasi evaluasi persepsi mereka.
Penelitian lain baru-baru ini menunjukkan perbedaan psikologis yang menarik bagaimana orang memandang ingroup mereka. Dalam studi ini (Harrison, Stewart, Myambo, & Teveraishe, 1995), remaja di Zimbabwe dan Amerika Serikat menyelesaikan tes berjumlah 33 item yang mengukur enam aspek hubungan sosial: (1) kelompok yang dapat dipercaya, (2) peningkatan atau nilai, (3) kasih sayang, (4) instrumental bantuan dan bimbingan, (5) persahabatan dan integrasi sosial, dan (6) keintiman. Para peneliti menambahkan tiga dimensi lain: (7) konflik, (8) kepuasan, dan (9) disiplin. Tes ini tentang hubungan mereka dengan enam orang yaitu: ibu, ayah, keluarga dekat, guru, sahabat, dan saudara dekat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang Zimbabwe menganggap dukungan sosial disediakan oleh berbagai orang dijaringan sosial mereka, menyadari hubungan dukungan sosial mereka dengan keintiman. Orang-orang Amerika menyadari bahwa dukungan sosial disediakan oleh orang tua dan teman-teman terbaik, menyadari hubungan dukungan sosial mereka sebagai dasar yang mencukupi mereka dengan kasih sayang.
Kesimpulannya, perbedaan-perbedaan ini menyoroti berbagai cara dimana orang yang berbeda budaya dapat melihat ingroup dan outgroup dan perbedaan psikologis. Perbedaan ini berkaitan dengan perbedaan nilai budaya: budaya orang Zimbabwe menempatkan nilai yang lebih tinggi pada hubungan, sedangkan budaya orang Amerika menempatkan nilai lebih tinggi pada individualitas dan keunikan.
b. Perbedaan budaya dalam arti hubungan ingroup/outgroup
Triandis dkk (1988) telah melakukan penelitian tentang hubungan self-ingroup dan self-outgroup yang berbeda diseluruh budaya dengan menggunakan dimensi budaya individualisme dengan kolektivisme untuk memahami perbedaan budaya dalam perilaku sosial. Individualis-kolektif adalah salah satu dimensi psikologis sosial budaya yang paling penting. Banyak penulis dari disiplin ilmu sosial telah menggunakan dimensi ini untuk memahami perbedaan perilaku sosial diseluruh budaya yang mereka telah pelajari. Individualis-kolektif mengacu pada sejauh mana budaya mendorong kebutuhan individu, harapan, keinginan, dan nilai-nilai kelompok dan yang kolektif. Budaya individualis mendorong anggota untuk menjadi individu yang unik; kekuasaan hirarki dan perbedaan status diminimalkan, sedangkan kesetaraan ditekankan. Budaya kolektif menekankan kebutuhan kelompok; individu diidentifikasi melalui afiliasi kelompok daripada posisi individu atau atribut.
Hubungan self-ingroup dan self-outgroup berbeda dalam budaya individualis dan kolektif. Perbedaan hubungan ingroup dan outgroup menimbulkan perbedaan pola tingkah laku orang yang terlibat ketika berinteraksi dengan orang lain. Dalam budaya individualis, seperti Amerika Serikat sering memiliki beberapa ingroup. Mereka memiliki kelompok musik, beberapa kelompok olahraga, kelompok gereja, kelompok sosial, dan sebagainya. Mereka memiliki tim sepak bola selama musim football, tim basket selama musim bola basket, dan tim baseball selama musim baseball. Mereka mengambil les renang, piano atau biola, pramuka, dsb. Tapi sebaliknya, anggota budaya kolektif, termasuk Asia dan Amerika Selatan, memiliki ingroup lebih sedikit. Mereka tidak memiliki olahraga yang berbeda, musik dan kelompok-kelompok sosial yang orang-orang dalam budaya individualis lakukan.
Perbedaan antara budaya individualis dan kolektif dalam keanggotaan kelompok memiliki konsekuensi penting untuk tingkat komitmen seseorang dalam kelompok yang berbeda. Secara umum, kepemilikan kelompok bagi orang-orang dalam budaya kolektif memiliki komitmen yang lebih besar pada kelompok yang mereka miliki, kelompok menjadi bagian integral dari konsep diri dan identitas individu. Budaya kolektif tergantung kelompok pada tingkat yang jauh lebih besar dan tujuan pribadi yang mendukung tujuan bersama. Anggota budaya individualis memiliki komitmen yang rendah pada kelompok mereka dan lebih mudah berpindah-pindah dari ingroup ke ingroup. Budaya individualis kurang bergantung pada kelompok dan lebih condong pada keunikan individu, kurang menekankan kohesivitas kelompok dan kurang mementingkan penyesuaian individu dengan norma kelompok.
c. Penelitian lintas-budaya terbaru tentang hubungan ingroup dan outgroup
Goodwin dan Lee (1994) meminta mahasiswa Inggris dan Singapura China melengkapi kuisioner yang dirancang untuk menilai perilaku yang biasanya dianggap tabu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Inggris lebih bisa membahas hal-hal tabu dengan teman dekat mereka daripada peserta China.
Tabel 16.1 Perbedaan hubungan self-lngroup dan self-outgroup sebagai
fungsi lndividualis dan kolektif
Jenis Budaya | Karakteristik |
Budaya individual | 1. Mempunyai ingroup banyak 2. Tidak hanya condong pada ingroup tunggal, karena ada banyak ingroup 3. Kelangsungan hidup individu dan masyarakat lebih tergantung pada keberhasilan individu-individu daripada kelompok 4. Orang membuat perbedaan ingroup dan outgroup relatif lebih sedikit |
Budaya kolektif | 1. Mempunyai ingroup sedikit 2. Sangat dekat dengan ingroup dimana mereka berasal 3. Kelangsungan hidup individu dan masyarakat lebih tergantung pada kesuksesan dan efektivitas kelompok bukan individu 4. Orang membuat perbedaan besar antara ingroup dan outgroup lainnya |
Sumber: Diadaptasi dari Triandis dkk, 1988.
B. Budaya, Persepsi Seseorang, dan Daya Tarik
Persepsi seseorang mempengaruhi proses pembentukan kesan kepada orang lain. Para ilmuwan sosial menyadari adanya pengaruh kesan dan persepsi orang lain dalam berinteraksi, mereka juga tertarik meneliti apakah kesan pertama yang buruk dapat diatasi. Penelitian tentang persepsi seseorang telah menunjukkan beberapa faktor utama yang berkonstribusi dalam membentuk kesan kita terhadap orang lain, termasuk penampilan, stereotip, dan selektif dalam persepsi seseorang.
1. Pengetahuan yang Berdasarkan pada Penelitian di Amerika Serikat
Penampilan/daya tarik fisik bisa mempengaruhi penilaian seseorang. Penelitian yang dilakukan dengan subjek orang Amerika menunjukkan bahwa orang cenderung menganggap karakteristik kepribadian yang diinginkan mereka adalah orang yang tampan, baik hati, ramah, dan menyenangkan. Orang yang menarik juga dinilai lebih kompeten dan cerdas.
Beberapa tahun terakhir, dua studi metaanalisis tentang korelasi daya tarik yang menggabungkan data dari Amerika Serikat dan Kanada. Daya tarik terbukti sangat berhubungan dengan kompetensi sosial, penyesuaian diri, potensi, dan kompetensi intelektual. Menurut Feingold (1992), daya tarik berhubungan dengan keterampilan sosial, keramahan, kesehatan mental, dominasi, kecerdasan, dan kehangatan seksual. Penampilan juga mempengaruhi persepsi kita terhadap orang lain, misalnya badan yang tinggi besar umumnya dianggap menarik, dan juga dikaitkan dengan kemampuan kepemimpinan, kompetensi, dan gaji tinggi. Orang dewasa dengan ciri baby face cenderung dinilai sebagai orang yang hangat, baik hati, polos, dan patuh. Orang dewasa dengan ciri wajah yang lebih dewasa cenderung dinilai sebagai orang yang kuat, duniawi, dominan. Orang yang rapi dianggap teliti. Orang yang jarang melakukan kontak mata sering dinilai sebagai orang yang tidak jujur.
2. Study Tentang Cross-Cultural tentang Ketertarikan
Kecantikan adalah penilaian yang relatif dan orang dari budaya yang lain bisa memiliki konsep yang berbeda tentang kecantikan/keindahan. Daibo, Murasawa, dan Chou (1994) membandingkan penilaian daya tarik fisik yang dilakukan oleh orang Jepang dan Korea. Di Jepang, tingkat daya tarik berhubungan dengan mata lebar, mulut yang kecil, dagu yang lancip, sedangkan di Korea, daya tarik berhubungan dengan mata lebar, hidung mancung, kurus dan wajah yang imut. Orang Korea cenderung menunjukkan penilaian afektif dan psikologis, seperti kematangan dan kemenarikan untuk penilaian daya tarik. Sedangkan orang Jepang tidak. Temuan ini menunjukkan tidak hanya dua budaya ini yang memiliki perbedaan standar kecantikan, tetapi kecantikan memiliki arti psikologis yang spesifik secara budaya.
Sebuah studi oleh Wheeler dan Kim (1997) menemukan bahwa siswa Korea yang dinilai memiliki wajah yang menarik itu lebih sosialis dan berkompeten secara intelektual, lebih mudah menyesuaikan dengan lingkungan, lebih menarik secara seksual, dan kurang sederhana. Wheeler dan Kim menyimpulkan bahwa, semua budaya tampaknya stereotip berdasarkan daya tarik fisik, isi stereotip tergantung pada nilai-nilai budaya.
3. Penelitian Cross-Cultural Lainnya
Banyak penelitian cross-cultural menantang gagasan tradisional tentang persepsi orang dalam psikologi Amerika Utara. Misalnya, penelitian cross-cultural tentang perilaku non-verbal (kedekatan, perilaku menyentuh, ucapan lisan, ekspresi wajah) mempunyai dampak pada budaya pada komunikasi. Perbedaan tingkah laku muncul dari perbedaan asuhan budaya yang mempengaruhi persepsi kita tentang orang-orang dari budaya yang berbeda. Kita sering tidak menyadari atau tidak siap menghadapi perbedaan budaya, dan mudah untuk membentuk persepsi negatif pada orang lain karena perbedaan budaya dalam tingkah laku non-verbal.
C. Kebudayaan dan Daya Tarik Interpersonal: Cinta, Keakraban, dan Pernikahan Intercultural
Ketika dunia ini semakin padat dengan penduduk maka frekuensi berinteraksi dengan orang lain dari latar belakang etnis dan budaya yang berbeda akan semakin meningkat. Meningkatnya interaksi antar budaya memungkinkan seseorang tertarik pada yang lainnya, jatuh cinta, menikah, dan memiliki keluarga. Hubungan antar budaya dan antar-ras sekarang lebih sering terjadi, hal itu bisa meningkatkan ketegangan, frustrasi, kekhawatiran, dan sukacita.
Psikolog menggunakan istilah interpersonal attraction yang mencakup berbagai pengalaman, termasuk keinginan, persahabatan, kekaguman, nafsu, dan cinta. Penelitian di AS tentang daya tarik interpersonal dan cinta telah menghasilkan sejumlah temuan menarik, terutama faktor-faktor yang berkontribusi terhadap daya tarik. Penelitian lintas-budaya memberi kita petunjuk tentang perbedaan budaya dalam ketertarikan dan cinta.
1. Daya Tarik lnterpersonal dan Cinta di Amerika Serikat
Studi pada awal tahun 1950-an (misalnya: Festinger, Schachter, & Back, 1950) menunjukkan bahwa kedekatan mempengaruhi ketertarikan seseorang, orang yang sering bertemu lebih cenderung menyukai satu sama lain. Di akhir 1970-an, Ineichen (1979) menunjukkan bahwa orang yang tinggal berdekatan lebih mungkin untuk menikah.
Di Amerika Serikat, daya tarik fisik adalah unsur penting dalam hubungan interpersonal (Patzer, 1985). Daya tarik itu lebih penting bagi laki-laki daripada perempuan (Buss, 1988). Orang-orang yang disurvei di AS tertarik kepada pasangan yang mempunyai daya tarik fisik. Tapi ada hipotesis yang menunjukkan bahwa orang yang secara fisik kurang menarik cenderung memilih yang sama sebagai pasangannya. Sebuah hipotesis jua menunjukkan bahwa orang-orang serupa dari segi usia, ras, agama, kelas sosial, pendidikan, kecerdasan, sikap, dan daya tarik fisik cenderung membentuk hubungan intim dengan sesama, artinya orang cenderung menyukai orang lain yang seperti mereka (Brehm, 1985; Hendrick & Hendrick, 1983).
Hanya sedikit orang di AS yang mengesampingkan pentingnya cinta dalam mengembangkan dan memelihara hubungan jangka panjang seperti persahabatan dan pernikahan, dan cinta menjadi pembahasan yang sangat penting. Teori Hatfield dan Berscheid (Berscheid, 1988, Hatfield, 1988), cinta dan keterikatan membuat hubungan romantis yang dicirikan dengan dua jenis cinta, yaitu passionate love dan companionate love. Passionate love melibatkan perasaan seksual dan emosi yang intens, sedangkan companionate love melibatkan kehangatan, kepercayaan, toleransi, dan kasih sayang kepada orang lain yang hidupnya sangat terkait dengan individu.
Teori Sternberg (1988), membagi companionate love menjadi dua komponen yang terpisah yaitu keintiman dan komitmen. Keintiman mengacu pada kehangatan, kedekatan, dan berbagi dalam hubungan. Komitmen mengacu pada niat untuk menjaga hubungan meskipun ada kesulitan-kesulitan. Dalam Teori Sternberg, ada perbedaan bentuk cinta tergantung pada kehadiran atau tidak adanya masing-masing dari tiga faktor yaitu cinta penuh gairah, keintiman, dan komitmen. Ketika semua faktor ini ada, Sternberg menyebut hubungan ini adalah cinta sempurna.
Penelitian yang dilakukan di AS menyatakan bahwa keintiman sangat erat kaitannya dengan pengungkapan diri, sejauh mana orang bisa mengungkapkan informasi tentang dirinya kepada orang lain (Adamopoulos, 1991; Altman & Taylor, 1973; Helgeson, Shaver, & Dyer 1987). Di Amerika Serikat, tingginya tingkat keterbukaan diri mencirikan hubungan keintiman.
2. Daya Tarik lnterpersonal, Cinta, dan Keintiman Lintas Budaya
Penelitian lintas-budaya telah menunjukkan perbedaan budaya dalam cinta dan asmara diseluruh dunia. Ting-Toomey (1991) membandingkan tingkat komitemen cinta, pemeliharaan pengungkapan, ambivalensi, dan ekspresi konflik oleh 781 subjek dari Perancis, Jepang, dan Amerika Serikat. Komitmen cinta diukur dengan tingkat keterikatan perasaan, kepemilikan, dan komitmen terhadap pasangan dan hubungan. Ambivalensi diukur dengan tingkat rasa kebingungan atau ketidakpastian kepada pasangan atau hubungan, dan ekspresi konflik diukur dengan tingkat frekuensi argumen yang jelas dan keseriusan masalah.
Simmons, Vom Kolke, dan Shimizu (1986) meneliti sikap mahasiswa terhadap cinta dan asmara di Amerika, Jerman, dan Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cinta yang romantis lebih dimiliki orang Amerika Serikat dan Jerman daripada Jepang. Menurut Furnham (1984), orang-orang Eropa menempatkan nilai lebih tinggi pada cinta daripada orang-orang Afrika Selatan dan India. Afrika Selatan menempatkan nilai lebih tinggi pada kesetaraan dan perdamaian. Murstein, Merighi, dan Vyse (1991) menemukan bahwa orang Amerika cenderung lebih memilih persahabatan yang perlahan-lahan berkembang menjadi cinta, serta hubungan dimana pecinta terperangkap dalam kegelisahan, kepanikann. Orang Prancis menilai lebih tinggi pada cinta yang ditandai dengan kedermawanan altruistik.
Meskipun ada perbedaan definisi dan pentingnya daya tarik, cinta, dan asmara, namun beberapa penelitian menunjukkan kesamaan lintas-budaya pada perbedaan jenis kelamin mengenai pemilihan pasangan. Salah satu penelitian yang paling terkenal tentang topik ini yaitu lebih dari 10.000 responden di 37 budaya yang berbeda tentang faktor-faktor memilih pasangan dan preferensi calon pasangan. 36 budaya: perempuan menilai prospek keuangan lebih penting daripada laki-laki, 29 budaya: perempuan lebih berambisi dan rajin daripada laki-laki, 37 budaya: pria lebih suka pasangan muda, sementara perempuan lebih suka yang lebih tua, 34 budaya: laki-laki lebih mudah menampakkan kebaikan daripada perempuan, 23 budaya: kemurnian laki-laki penting daripada perempuan (Buss, 1989).
Penelitian yang lebih baru oleh Hatfield dan Sprecher (1995) tentang pilihan terhadap pasangan hidup dengan sifat-sifat positif, diantaranya: fisik menarik, cerdas, atletis, ambisi, pembicara yang baik, ramah, status atau uang, keterampilan sebagai kekasih, baik dan pengertian, potensi untuk sukses, ekspresif dan terbuka, dan rasa humor.
Data menunjukkan bahwa pria lebih mementingkan daya tarik fisik daripada perempuan. Perempuan memilih semua aspek kecuali komunikasi yang baik. Ada juga beberapa perbedaan budaya yang menarik, misalnya, orang Amerika lebih ekspresif, terbuka, dan rasa humor. Orang Rusia menginginkan keterampilan sebagai seorang kekasih yang hebat, sementara orang Jepang tidak. Orang Jepang tingkat pengertian, pembicara yang baik, daya tarik fisik, dan status lebih rendah. Jadi, walaupun ada perbedaan lintas-budaya tentang cinta dan keintiman, tetapi ada sesuatu yang universal yaitu bagaimana kita mengekspresikan diri yang dapat membantu menyelesaikan konflik pada jenis hubungan mereka.
3. Pernikahan Antar Budaya
Penting untuk mempertimbangkan terlebih dahulu bagaimana berbagai budaya memandang cinta. Di Amerika, umunya orang merasa bahwa cinta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan kadang-kadang sebagai ramuan hubungan romantis jangka panjang dan pernikahan, seperti kata pepatah "cinta mengalahkan segalanya".
Studi terbaru Levine, Sato, Hashimoto, dan Verma (1995) meneliti siswa di 11 negara yang berbeda untuk menilai pentingnya cinta untuk pemantapan dan pemeliharaan pernikahan. Negara-negara yang termasuk adalah India, Pakistan, Thailand, Meksiko, Brasil, Jepang, Hongkong, Filipina, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Responnya berhubungan dengan tingkat individualis dan kolektif, biaya hidup, tingkat pernikahan, tingkat kesuburan, dan tingkat perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara yang individualis, mencintai itu lebih penting untuk membangun pernikahan , dan hilangnya cinta adalah alasan yang cukup untuk mengakhiri pernikahan.
Pernikahan diatur secara umum dalam budaya yang ada, misalnya di Jepang, Cina, dan India. Tetapi terkadang pernikahan diatur oleh orang tua jauh sebelum usia pasangan dapat mempertimbangkan pernikahan. Dilain kasus, pernikahan diadakan pertemuan antara calon pasangan, yang kemudian tanggal diputuskan dalam beberapa saat untuk memutuskan apakah akan menikah atau tidak.
Ketika ada dua orang menikah, konflik tidak bisa dihindari karena setiap dua orang-orang datang dari dua pandangan dunia dan perspektif yang berbeda. Situasi ini diperburuk dalam pernikahan antar budaya, karena dua orang tidak hanya membawa perbedaan individu tapi juga perbedaan budaya dan nilai-nilai (Kiev, 1973). Studi tentang pernikahan antarbudaya (Franklin, 1992) umumnya menunjukkan konflik dalam pernikahan antarbudaya yang muncul di beberapa daerah, termasuk ekspresi cinta dan keintiman, sifat komitmen dan sikap terhadap pernikahan itu sendiri, dan pendekatan untuk membesarkan anak ketika pasangan memiliki anak. Potensi sumber konflik termasuk perbedaan persepsi tentang peran laki-laki dan perempuan, perbedaan dalam pengelolaan uang, perbedaan persepsi hubungan dengan keluarga besar, dan perbedaan dalam definisi pernikahan itu sendiri.
Ada perbedaan budaya pada tingkat emosi seperti cinta dan keintiman yang dipandang sebagai hal yang penting dari pernikahan yang sukses. Perbedaan-perbedaan ini timbul dari perbedaan dasar sikap terhadap pernikahan. Orang Amerika cenderung melihat pernikahan sebagai persahabatan seumur hidup dua individu dalam cinta. Tokoh kebudayaan melihat pernikahan sebagai suatu hubungan yang dibentuk untuk untuk membuat keturunan, ikatan ekonomi dan sosial.
Anak-anak cenderung mengembangkan identitas etnis yang kuat atau lemah bukan berdasarkan kesamaan atau perbedaan orangtua mereka, tetapi siapa yang membesarkan mereka, khususnya mengenai sikap, nilai, dan perilaku mengenai budaya mereka. Anak-anak dengan identitas etnis kuat, cenderung ingin menikah dalam kelompok etnis mereka sendiri.
Pasangan antarbudaya mengatasi hambatan dalam hubungan mereka untuk membangun pernikahan yang sukses dengan komunikasi yang baik (Atkeson, 1970). Pasangan yang terlibat dalam hubungan antarbudaya perlu mengembangkan kepekaan antarbudaya dan metode konstruktif dalam menangani konflik agar hubungan mereka sukses. Ho (1984) telah menyarankan bahwa tiga jenis penyesuaian dapat membantu untuk menyelesaikan perbedaan: capitulation, compromise, dan coexsistence. Capitulation yaitu kemampuan dan kemauan untuk mengorbankan kebudayaan sendiri dan menerima kebudayaan orang lain sesekali. Compromise untuk menemukan titik bersama oleh kedua pasangan, sebagian berkorban dan masing-masing menerima yang lain. Coexsistence mengacu pada proses dimana kedua pasangan tinggal bersama, masing-masing menerima satu sama lain dalam pernikahan mereka.
D. Budaya dan Atribusi
Atribusi adalah penarikan kesimpulan atau inferensi yang diambil orang tentang apa yang menjadi penyebab suatu kejadian dan perilaku diri maupun orang lain. Atribusi juga didefinisikan sebagai penjelasan mental yang menunjukkan penyebab perilaku seseorang, termasuk juga perilaku seseorang dalam membuat atribusi tersebut. Atribusi mewakili cara kita memahami dunia sekitar kita dan perilaku orang lain. Seseorang mungkin mengatribusi kegagalan teman untuk menunjukkan ketidakbertanggungjawaban, terlalu banyak halangan, atau lupa. Seseorang mungkin mengatribusi keberhasilan pada ujian sebagai usaha atau keberuntungan. Atribusi memungkinkan kita untuk memeriksa bias orang ketika menjelaskan perilaku lain, yang bisa mempengaruhi perilaku mereka sendiri.
Para peneliti telah mempelajari jenis atribusi seseorang, terutama kaitannya dengan lokus kausalitas. Konsep penting dalam penelitian atribusi adalah perbedaan antara atribusi internal dan eksternal. Atribusi internal menentukan penyebab perilaku seseorang, sedangkan atribusi eksternal mencari penyebab perilaku di luar seseorang. Penelitian tentang bias atribusi telah menyebabkan beberapa konsep populer dalam psikologi sosial Amerika, termasuk kesalahan atribusi yang mendasar, atribusi defensif, dan bias self-serving.
1. Pola Atribusi Tradisional Amerika
Salah satu model atribusi yang paling populer dalam psikologi Amerika adalah model covariation Kelly (1967, 1973). Menurut teori ini, orang menganggap tiga jenis informasi ketika membuat atribusi: consistency, distinctiveness dan consensus. Consistency mengacu pada apakah perilaku seseorang dalam suatu situasi sama dari waktu ke waktu. Distinctiveness mengacu pada apakah perilaku seseorang unik dengan target perilaku yang spesifik. Consensus mengacu pada apakah orang lain dalam situasi yang sama cenderung merespon perilaku yang sama. Perilaku yang memiliki konsistensi tinggi tetapi kekhasan/konsensus rendah menghasilkan atribusi internal. Perilaku yang memiliki konsistensi yang tinggi, perbedaan yang tinggi, dan konsensus tinggi menghasilkan atribusi eksternal.
Teori atribusi utama yang lain dalam psikologi Amerika adalah teori Weiner (1974; Weiner dkk, 1972.) Teori yang berfokus pada konsep stabilitas. Menurut Weiner, stabilitas melintasi dimensi internal-eksternal, menciptakan empat jenis atribusi untuk keberhasilan dan kegagalan (stabil dan tidak stabil, internal dan eksternal). Misalnya, jika seseorang gagal mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, seseorang mungkin mengatribusi kegagalan pada faktor internal yang kuat (kurangnya kemampuan atau inisiatif), faktor eksternal yang stabil (terlalu banyak saingan), faktor internal yang tidak kuat (kurangnya usaha), atau faktor eksternal (tidak beruntung).
2. Model Atribusi Lintas Budaya
Matsumuto (2008) menyebutkan bahwa tak seorang pun menggunakan keseluruhan faktor yang harusnya menyertai dalam pembuatan atribusi sehingga terjadi bias. Bias yang mempengaruhi seseorang dalam pembuatan atribusi sebab-akibat adalah:
a. The fundamental attribution error (kesalahan atribusi mendasar) adalah kecenderungan untuk menjelaskan perilaku orang lain dengan atribusi internal, namun menjelaskan perilaku diri sendiri dengan atribusi eksternal.
b. Self-serving biases (bias menguntungkan diri) adalah kecenderungan untuk mengatribusi kesuksesan diri pada faktor-faktor personal dan kegagalan diri pada faktor-faktor situasional.
c. Defensive attribution (atribusi defensif) menjelaskan bahwa hal ini mengacu pada kecenderungan untuk menyalahkan korban untuk nasib buruk mereka, sehingga kita merasa lebih kecil kemungkinannya menjadi korban dengan cara yang sama.
Banyak perbedaan jenis atribusi tentang keberhasilan akademik lintas budaya. Hau and Salili (1991) meneliti siswa SMA dan mahasiswa perguruan tinggi di Hong Kong untuk menilai pentingnya dari 13 penyebab spesifik kegiatan akademik. Usaha, minat, dan kemampuan sebagai atribusi internal dinilai penyebab paling penting, terlepas dari keberhasilan atau kegagalan. Penelitian di Amerika Serikat meramalkan bahwa dimensi-dimensi ini penting untuk membuat atribusi kesuksesan tetapi tidak gagal, karena bias mementingkan diri sendiri.
Crittenden (1991) menemukan bahwa perempuan Taiwan lebih eksternal dan atribusi merendahkan diri tentang diri mereka sendiri daripada perempuan Amerika. Crittenden menyarankan bahwa perempuan Taiwan melakukan ini untuk meningkatkan citra publik dan harga diri mereka dengan menggunakan pendekatan atribusi yang sesuai dengan peran gender feminin.
E. Budaya dan Agresi
Agresi dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku menyakiti orang lain, baik secara fisik atau psikologis. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan agresif secara biologis bahkan genetik, sebagian besar psikolog setuju bahwa ada proses belajar dan keterlibatan lingkungan untuk perilaku agresi, artinya, kecenderungan untuk menjadi agresi tampaknya dipelajari sebagai salah satu yang disosialisasikan dan dienkulturasi kedalam masyarakat dan budaya. Model yang paling umum dari agresi menunjukkan agresi yang terjadi ketika provokasi dari beberapa macam yang menyebabkan beberapa jenis emosi negatif yang utama bagi seseorang untuk melawan. Respon individu yang memilih tergantung pada genetika dan kecenderungan biologis, pola respon yang dipelajari sebelumnya, dan karakteristik spesifik terhadap konteks dan situasi.
Bond dan associates (1985) mempelajari tentang agresi dan kritik di Hong Kong dan Amerika Serikat. Mereka menghipotesiskan bahwa sikap anak buah yang agresi dan mengkritik bos dianggap sebagai perilaku yang kurang baik di Hong Kong, karena ada budaya yang berkaitan dengan dimensi jarak kekuasaan antara bos dan bawahan. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat, bawahan boleh saja mengkritik kinerja bos. Oleh karena itu, perilaku agresif akan lebih diterima dalam hubungan dimana status dan kekuasaan yang tidak setara. Data juga menunjukkan bahwa sikap agresi dan mengkritk di Cina seperti dianggap kurang pantas, dan hanya ada sedikit alasan bagi anak buah untuk tidak menyukai atasan/bos.
Tidak semua cross cultural mempelajari perbedaan kecenderungan sikap terhadap agresi. Beberapa penelitian telah menunjukkan kesamaan budaya. Toniada dan Schneider (1997), meneliti anak-anak sekolah dasar di Italia, dan membandingkan hasil mereka dengan temuan sebelumnya di Amerika Serikat. Studi di Amerika menunjukkan bahwa agresi terbuka secara fisik dan verbal yang lebih umum yaitu antara anak laki-laki, sedangkan agresi rahasia dalam hubungan interpersonal yang lebih umum yaitu antara perempuan. Meskipun data tidak sempurna mendukung perbedaan dalam sampel Italia, para penulis menyimpulkan perbedaan antara agresi terbuka dan rahasia dalam menggambarkan perbedaan jenis kelamin dalam agresi diseluruh budaya. Ramirez (1993) meneliti tingkat penerimaan berbagai bentuk perilaku agresi diempat daerah di Spanyol. Sikap mereka sama dalam penerimaan agresi, namun data ini berkaitan dengan data yang sama dikumpulkan di Firlandia dan Polandia. Temuan ini menunjukkan aspek lintas-budaya atau universal untuk sikap mengenai agresi.
Penelitian lintas-budaya tehadap kecenderungan agresi, sikap, dan norma lintas budaya itu berbeda, perbedaan ini ada pada usia yang relatif dini. Bukti yang ada juga menunjukkan aspek dalam membesarkan anak, nilai-nilai dan sikap ibu sebagai sumber kemungkinan perbedaan budaya dalam agresi. Pada saat yang sama, beberapa studi menunjukkan beberapa aspek agresi, seperti perbedaan seks dan ketinggian kepedulian dalam merima agresi, bagaimana proses belajar anak, pandangan agresi orang tua, kontribusi perilaku agresi, kontribusi secara psikologis dibandingkan dengan faktor biologis atau genetik.
F. Kebudayaan dan Kesesuaian, Kepatuhan, Ketaatan, dan Kerjasama
Conformity adalah proses dimana seseorang mengubah perilakunya untuk menyesuaikan dengan aturan kelompok. Dapat juga diartikan sebagai perubahan pendapat atau perilaku seseorang sebagai hasil dari tekanan nyata atau imajinasi dari orang atau kelompok lain. Konformitas mengacu pada sikap mengalah seseorang pada tekanan sosial, baik nyata maupun yang dibayangkan. Kiesler & Kiesler mendefinisikan sebagai perubahan perilaku keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja.
Compliance adalah proses dimana seseorang mengikuti permintaan orang lain. Dapat juga diartikan menunjukkan perbuatan dan perilaku dari keyakinan yang diubah untuk mengikuti tujuan orang lain (Sternberg, 2001). Compliance secara umum didefinisikan sebagai sikap mengalah orang pada tekanan sosial dalam kaitannya dengan perilaku sosial mereka, meski mungkin keyakinan pribadi mereka tidak berubah. Compliance adalah konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju.
Obedience adalah proses dimana seseorang mengikuti perintah dari seseorang yang dirasa sebagai figur yang lebih berkuasa (Sternberg, 2001). Obedience merupakan salah satu bentuk ketundukan yang muncul ketika orang mengikuti suatu perintah langsung, biasanya dari seseorang dengan suatu posisi otoritas. Untuk membandingkan bagaimana conformity, compliance, dan obedience secara lintas budaya, maka telaah itu harus memusatkan perhatian pada nilai konformitas dan kepatuhan itu sebagai konstruk sosial yang berakar pada budaya. Misalnya budaya Amerika menekankan individualitas dan menghindari pengelompokan dan konformitas. Menjadi konformis dalam budaya ini dianggap sesuatu yang buruk. Tetapi budaya-budaya lain mungkin memiliki pandangan positif tentang hal itu. Beberapa studi dengan menggunakan latar budaya Asia menilai positif mengenai nilai konformitas dan kepatuhan, bahkan mereka akan berusaha agar perilakunya seperti itu.
Nilai pengasuhan anak menguatkan nilai-nilai konformitas dan kepatuhan ini dalam proses sosialisasi dan sebagai hasil enkulturasi. Tidak hanya orang Asia tetapi juga subjek Puerto Rico menilai konformitas dan kepatuhan sebagai nilai-nilai pengasuhan anak. Dalam budaya kolektif, konformitas dan kepatuhan tidak hanya dipandang “baik” tetapi sangat diperlukan untuk dapat berfungsi secara baik dalam kelompoknya, dan untuk dapat berhasil menjalin hubungan interpersonal bahkan untuk dapat menikmati status yang lebih tinggi dan mendapat penilaian/kesan positif.
1. Penelitian Lintas Budaya Tentang Kesesuaian dan Kepatuhan
Berpikir tentang perbedaan budaya antara conformity, compliance, dan obedience, kita perlu menyadari bias budaya Amerika terhadap istilah itu. Kita perlu memahami bahwa perasaan negatif kita berakar pada budaya individual. Jika kita dapat melihat bahwa perasaan ini berakar dari asuhan budaya kita, kemudian budaya yang berbeda mungkin memiliki rasa yang berbeda. Sedangkan perilaku ini dipandang negatif dalam budaya Amerika, mereka mungkin menjadi positif dinilai dari perilaku sosial dalam budaya lain.
Sejumlah penelitian lintas-budaya memang menunjukkan bahwa budaya orang lain melihat conformity, compliance, dan obedience berbeda dengan Amerika. Beberapa studi menunjukkan bahwa budaya Asia pada khususnya tidak hanya terlibat dalam conformity, compliance, dan obedience ke tingkat yang lebih besar dari Amerika, tetapi mereka juga sesuai nilai pada tingkat yang lebih besar.
2. Budaya dan Ketaatan
Study Milgram (1974) sekitar 65% dari peserta mematuhi petunjuk dari eksperimen yang dikelola terhadap suatu konfederasi (yang dalam kenyataannya tidak menerima shock). Smith dan Bond (1999) meninjau sembilan studi lain menggunakan paradigma Milgram, yang dilakukan di Amerika Serikat dan delapan negara lainnya. Hasil studi ini menunjukkan berbagai persentase peserta mematuhi eksperimen, mulai dari yang rendah 16% diantara siswa perempuan di Australia dan tinggi 92% di Belanda. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan budaya yang nyata dalam kepatuhan, tetapi mereka juga mungkin mencerminkan perbedaan jenis lain, termasuk perbedaan dalam arti tugas-tugas tertentu yang digunakan dalam studi, petunjuk khusus yang diberikan kepada peserta, dan sifat dari konfederasi yang diduga menerima guncangan.
3. Budaya dan Kerjasama
Sejumlah studi lintas budaya menyoroti perbedaan penting antara nilai budaya dan sikap mereka tentang kerjasama dan perilaku kerjasama mereka. Mann, Mitsui, Beswick, dan Harmoni (1994) membandingkan usia 11 dan 12 tahun anak Australia dan Jepang tentang aturan-aturan yang mengatur dalam menghormati orang lain. Anak-anak menyelesaikan dua kuesioner tentang dukungan mereka dari tujuh peraturan dalam hubungannya dengan enam orang target: ayah, ibu, sahabat, guru, tetangga dewasa, dan tetangga yang usianya sama. Hasil menunjukkan bahwa anak-anak Jepang menunjukkan korespodensi lebih besar dengan rasa hormat. Orang Jepang lebih dalam menghormati orang tua dan guru, teman dan tetangga. Temuan ini menunjukkan bahwa aturan-aturan sosial Jepang yang mengatur hal-hal dalam situasi terkait, sesuai dengan perbedaan dalam kelompok dan antar kelompok dalam budaya kolektif, dan konsisten dengan analisis Hall (1976), “Jepang sebagai budaya konteks tinggi".
Perbedaan budaya tampak jelas tidak hanya pada tingkat rasa hormat dan kerjasama, tetapi juga dalam proses melakukan tugas-tugas kerjasama. Filardo (1996), menelit di Eropa, Amerika dan Afrika bahwa siswa kelas delapan Amerika berpartisipasi dalam permainan, kerjasama dalam pemecahan masalah yang melibatkan pengambilan keputusan kelompok. Sedangkan penelitian tampaknya menunjukkan bahwa budaya kolektif lebih sesuai dan patuh, mereka juga tampaknya lebih kooperatif. Tanggung jawab pada penelitian lintas-budaya dimasa depan untuk mengkaji cara-cara yang sesuai dan kepatuhan, kerjasama, hidup berdampingan dalam keseimbangan suatu budaya dan masyarakat, serta konteks spesifik dimana perilaku ini terjadi. Kerjasama terjadi dalam konteks mengakui kemungkinan konsekuensi sesuai dan konsekuensi yang tidak kooperatif, dan studi masa depan harus mempertimbangkan apa itu konsekuensi.
DAFTAR RUJUKAN
Matsumoto, David. 2000. Culture and psychology People Around The World 2nd ed. San Fransisco: Wadsworth Thomson learning
No comments:
Post a Comment