Thursday, June 23, 2011

REVIEW BUKU - Multiculturalisme and Diversity: A Social Psychological Perspective Bernice Lott


1. PENGANTAR: ORANG YANG MULTIBUDAYA

Psikologi Multibudaya and Psikologi Lintas Budaya
Masing-masing kita adalah manusia yang multikultural. Dalam mempelajari budaya, kita mengenal dua istilah yaitu yang secara tradisional kita kenal dengan “konseling lintas budaya” dan yang sekarang sedang berkembang adalah “konseling multikultural”. Mio, Barker-Hackett dan Tumambing (2006) mendefinisikan konseling lintas budaya sebagai studi sistematis terhadap semua aspek perilaku manusia, dimana orang yang memiliki latarbelakang budaya yang satu bertemu dengan orang yang  berlatarbelakang budaya berbeda/lain. Terdapat dua penekanan dalam konseling lintas budaya: pertama, untuk memahami dan menghargai hubungan antar faktor-faktor budaya dan keberfungsian manusia (Wallace, 2006). Dan kedua, untuk membandingkan budaya-budaya dunia sebagai sub-kultur dalam masyarakat tunggal. Budaya dapat dikomparasikan dengan nilai-nilai, cara pandang, keyakinan, dan struktur untuk mengenali dan mengakui adanya perbedaan dan persamaan yang signifikan.
Lensa-lensa Interpretasi
Terdapat asumsi yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan manusia dalam situasi tertentu – semua perilaku manusia (di luar respon fisiologis molekuler dan bawaan mekanisme refleks) merupakan hasil belajar. Perilaku (behavior) dapat diinterpretasikan secara luas, yaitu semua yang manusia lakukan, dan apa yang mereka katakana tentang tujuan mereka, perasaan, persepsi dan kenangan, dan relasi tingkah laku sosial yang merupakan antecedent dan consequance. Manusia dan lingkungan dipandang memiliki ketergantungan dan interaksi secara mutual. Hal ini mengasumsikan bahwa manusia tidak akan berhenti belajar tingkah laku yang relevan kultur budaya mereka.
Komunitas dan Individu
Pendekatan untuk komunikasi dari individu-individu adalah bagian dari mengidentifikasi budaya mereka. Kita dapat menggunakan pendekatan yang lebih otientik seberapa besar signifikansi anggota kelompok berdampak pada pemahaman diri individu, pengalaman, tingkah laku, dan interaksi sosial. Terdapat indikator-indikator bahwa konsep-konsep multi-kultural telah diredefinisi dan diperluas serta berupaya untuk mereduksi “konflik dan kebingungan dalam pergerakan multibudaya (Moodlcy & Curling). Seperti contoh, negara kita memiliki banyak sekali hal-hal yang berbeda satu dengan yang lain, meliputi: etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, dan kelas sosial. Keanekaragaman budaya, adalah bagian dari lingkungan manusia. Sue dan Sue (2003), mendefinikan multikulturalisme dan melintasi keragaman dengan kategori yang banyak. Markus (2008), sebagai contoh, setuju dengan budaya merujuk pada pola dari ide-ide asosiasi-asosiasi praktis dengan memerapa kelompok yang signifikan, meliputi jenis kelamin, agama, kelas sosial, negara asal, negara kelahiran, dan pekerjaan.
Multikulturalisme telah banyak mempengaruhi psikologi sekarang ini, dimana masih terdapat kesepakatan yang kurang dalam pemaknaannya. Hal ini pertama kali muncul sebagai teori, politik dan perspektif pendidikan oleh pergerakan warga negara.
Perkiraan sekarang ini adalah, bahwa setiap kita merupakan manusia yang multikultural, meliputi pengakuan fakta-fakta vital yang berada di luar, dimana tidak semua kelompok dan komuniti, merupakan suatu keunikan multibudaya adalah sama dalam kelompok budaya tertentu.
Pra-asumsi menemukan bahwa seluruh wilayah geografis dan institusi-institusi utama, merefleksikan kurikulum ke dalam semua bidang psikologi (Flowers & Richardson, 1996). Keanekaragaman yang sangat besar dalam mengidentifikasi seseorang harus juga berkaitan dengan perkembangan globalisasi. Gejala dengan signifikan luas dan konsekuensi-konsekuensi tidak hanya pada ekonomi negara. Tanpa memperhitungkan pengaruh lingkungan dengan mengedepankan sejarah dan perubahan sosial dan jumlah keanekaragaman budaya yang mempengaruhi kita. Tingkah laku sangat baik jika dipahami sebagai produk yang kompleks dari budaya-budaya dimana kita menjadi bagiannya.
Sebuah Usulan Perspektif Psikologi Sosial
Perbedaan dari kebudayaan telah diterima secara baik. Terdapat banyak budaya-budaya yang menarik yang mendefinisikan kita sebagai individu yang memiliki keunikan masing-masing. Beberapa yang besar – seperti budaya etnis tertentu, jenis kelamin, kelas sosial, agama, orientasi seksual, usia, ketidakmampuan, dan letak geografi. Beberapa yang agak kecil – seperti pekerjaan, afiliasi politik, bakat khusus, institusi pendidikan, persekutuan atua kelompok-kelompok. Budaya dibedakan dalam seberapa besar ukurannya dan bagaimana saling berkaitan satu sama lain (yang dikonstruksi) melalui hirakri kekuatan, dominasi dan akses terhadap sumberdaya (dana).
Situasi setiap individu berada dalam keunikan dan kekompleksan multibudaya telah memberikan konsekuensi yang positif secara signifikan. Seperti yang disampaikan oleh Pederson (1997), mengapresiasi dan menekankan bahwa “semua tindakan adalah hasil belajar, dan ditampilkan dalam konteks budaya. Perspektif-perspektif yang baru lebih dan lebih secara frekuensi termasuk pengakuan yang signifikan terhadap identitas multikultural yang banyak. Menurut McDowell & Fang menyatakan bahwa terdapat ketergantungan antara budaya dan konteks kultural mereka dan variasi-variasi dalam kelompok budaya yang unik melintasi individu dan situasi-situasi. Perderson (1999) menyatakan bahwa setiap dari kita memiliki begitu banyak budaya-budaya yang berbeda, pada waktu yang berbeda, dalam lingkungan yang berbeda, dalam dalam peran yang berbeda.

2. BUDAYA

Definisi dan Tema umum dari Kebudayaan
Pada definisi awal, tahun 1891, kebudayaan digambarkan sebagai penggabungan dari segala hal yang berhubungan atau berorientasi sosial yang diperoleda dari kebiasaan-kebiasaan dan pengetahuan (lihat Mio, Trimblr, Arredondo, Cheatham & Sue, 1999). Baldwin, Faulkner, Hecht, dan Lindlesy (2006) mengarahkan definisi dari kebudayaan sebagai sebuah “moving target” (target pergerakan) dan mencurahkannya dalam buku untuk hal tersebut didiskusikan, dan memperlengkapinya dengan 300 lampiran yang bervariasi. Meskipun demikian, untuk tujuan teks saat ini, penulis berfokus pada apa yang terasa penting dari kesepakatan umum.
Dalam ilmu sosial, kebudayaan dipahami sebagai hal yang menggambarkan “secara sosial memancarkan keyakinan, nilai-nilai, dan perbuatan-perbuatan…(dan) membagikan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan.” (Latane, 1996, p. 13). Ray (2001, p.3) mencatat bahwa kebudayaan mungkin menunjukkan suatu hal yang tidak dapat digambarkan dengan mudah secara verbal, “pola pokir yang tidak disadari dan refleks-refleks sosial yang anggota komunitas tersebut bagikan.” Lehman, Chiu & Schaller (2004) menyimpulkan elemen-elemen dasar yang terkandung dalam definisi kebudayaan adalah membagikan norma-norma perilaku yang jelas yang hadir/ada dimana-mana dan mungkin nampak secara natural, dan dipancarkan kepada anggota baru dalam suatu kebudayaan. Norma-norma ini menyediakan perspektif-perspektif yang dapat diterjemahkan untuk membimbing dalam persepsi dan pola pikir dari beberapa kejadian.
Kebudayaan merupakan bagian dari Biologis manusia
Kebudayaan merupakan bagian dari biologis manusia (“sifat alami” manusia) dan hal ini dapat dimungkinkan dari perlengkapan secara biologi . hal ini merupakan struktur dan fungsi  bagian khusus dari perlengakapan biologi manusia yang memperlengkapi kita dengan neural (syaraf), skeletal (kerangka), dan kapasitas fisik untuk belajar, berlatih, dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi pada level yang tidak dapat dicapai oleh hewan lainnya. Seperti yang dicatat oleh Rogoff (2003, p. 63), manusia merupakan “Kebudayaan biologi”. Ini merupakan sifat dasar dan secara empiris dipahami dengan tepat yaitu luput dan nyata dari perbincangan kebudayaan bahwa sifat alami mengadu melawan pembawaan dengan berbagai argument berakhir pada kesalahan dasar pemikiran dari pemisahan keduanya.
Lonner dan Hayes (2004) menekankan penyebaran dari kebudayaan dan rentang berbagai aktivitas, peristiwa, dan berbagai pengalaman merupakan hal yang terbentuk dari kehidupan sehari-hari dari kelahiran sampai dengan kematian. Cara membagikan apa yang menjadi perilaku dan apa yang diyakini yaitu dengan “menciptakan hal tersebut tiap hari melalui interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya” (Segall, Lonner, & Berry, 1998, p. 104). Hal ini dapat melalui interaksi sosial dimana kebudayaan dijaga dan manusia sebagai individu membantu dengan cara  berperilaku yang sesuai dengan standar penjelasan dan dilakukan secara bersama-sama, nilai-nilai, ide-ide, dan keyakinan (Cohen, 1998; Swartz, 2001).
Keragaman Budaya
Pedersen (1999) mendefinisikan budaya secara luas sebagai semua jenis identitas etnografi, demografi, status, atau afiliasi yang tampak. Hal ini meliputi setiap konteks budaya di mana kita berpartisipasi atau berperilaku, akan memberikan kontribusi terhadap siapa diri kita, keyakinan terhadap diri kita dan orang lain, bagaimana kita menafsirkan peristiwa, bagaimana kita berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain, dan apa yang kita lakukan dalam mengatasi perubahan yang terjadi dalam hidup kita dan masyarakat. Masing-masing kita akan membawa budaya diri kita yang kompleks dan unik  ke dalam interaksi sosial kita dengan orang lain, dan ke dalam penafsiran kita terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Hong dan rekan-rekannya (2000, 2003) memperkenalkan konsep "frame switching" yang merujuk pada perubahan yang dilakukan oleh individu dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa atau isu-isu dari dengan frame yang berbeda, yaitu identitas multikultural. Sebuah pendekatan konstruktivis yang dinamis, yang menunjukkan bahwa individu bisa saja mempunyai pendapat yang berbeda dalam menyikapi sebuah peristiwa yang sama. Namun, jika pada akhirnya hanya akan ada satu makna yang dominan, hal itu akan ditentukan oleh stimulus lain dalam sebuah situasi tertentu atau peristiwa yang sebelumnya terjadi dan memiliki sebuah "priming effect".
Sebuah kebudayaan tidak sama dengan reference group. Reference group didefinisikan sebagai sebuah kelompok dimana anggotanya bebas memilih untuk ikut berpartisipasi atau tidak, sebuah kelompok yang mempunyai pendapat atau tujuan yang sama (Smith, 1991). Sedangkan budaya secara otomatis akan membentuk diri kita terlepas dari diri kita sendiri, menginternalisasi cara berpikir, nilai, dan bentuk-bentuk perilaku dari komunitas di sekitar kita (Ray, 2001). Rogoff (2003) memandang budaya sebagai komunitas atau kelompok orang yang memiliki beberapa organisasi, nilai, pemahaman, pemahaman, sejarah, dan praktek-praktek yang sama dan berkelanjutan.
Empirisme dan Konstruksi Sosial
Masing-masing komunitas budaya memiliki definisi dan konteks perilaku tertentu. Hubungan antara komunitas-komunitas dengan perilaku dapat dipelajari dengan beberapa metode, dan kesimpulan dari penelitian tersebut dapat direplikasi dan diverifikasi. Konsekuensi perilaku dari keanggotaan budaya bisa dapat terjadi secara langsung atau melalui hubungan antara variabel lain. Dengan kata lain budaya dapat dilihat baik sebagai variabel anteseden maupun dependen.  Menurut Rogoff (2003), individu berkontribusi pada proses penciptaan budaya, sebaliknya proses budaya berkontribusi terhadap penciptaan individu. Dengan demikian, proses individu dan budaya saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan dari satu sama lain.
Sebagai sebuah konstruksi sosial, budaya bukanlah penghalang untuk mendapatkan informasi empiris. Kita dapat mengidentifikasi budaya dan mengetahui anteseden, consequence, serta peran antar variabelnya. Dan hal ini perlu kita lakukan dalam usaha untuk memahami individu dengan segala perilakunya.

3. ETNISITAS

Ras dan Rasisme
Diskriminasi terhadap kelompok dan individu yang didasarkan pada warna kulit diasumsikan sebagai karakteristik (phenotypic dan genotypic) adalah ciri khas rasisme. Rasisme adalah fenomena kelompok dan interpersonal yang mencakup sikap negatif (prasangka), kepercayaan (stereotip) dan tindakan penghindaran dan menjauhkan (diskriminasi) untuk dapat terbuka atau rahasia (Maluso, 1995). Rasisme dapat berupa penghindaran, kecurigaan, layanan yang buruk, pelecehan, dan julukan verbal. Ini adalah "kenyataan kehidupan sehari-hari " (Nasional Dewan Penasehat Mental Healtn, 1996, hal 102) di semua wilayah dan mempengaruhi akses ke pendidikan, pekerjaan, kesehatan, lingkungan, pemerintah, dan semua sumber daya sosial lainnya.
Perbedaan Ras
Perbedaan kelompok yang paling sering dipanggil ras adalah warna kulit. warna kulit bervariasi dengan wilayah geografis dan iklim (kemerosotan), secara bertahap mulai gelap dari utara ke Eropa selatan dan dari Afrika utara ke pusat Afrika (Ikan, 1998). Perbedaan adalah karena seberapa banyak pigmen telah didistribusikan pada kulit. Yang dianggap "ras," ada variasi dalam warna kulit, golongan darah, enzim, dan protein serum (Betancourt & Lopez, 1993).
Etnisitas
Etnis merupkan representasi dari apa yang kita pelajari di dalam keluarga kita tentang tradisi, praktek-praktek dan cara berpakaian dari komunitasnya yang asli. Suatu kelompok etnis diasosiasikan dengan pengalaman-pengalaman khusus dalam bahasa, musik, sejarah, literatur, makan, upacara-upacara yang sama pada latar belakang budaya yang sama. Ada kesepakatan luas bahwa lokasi interdisipliner etnis kita sangat penting untuk identitas pribadi (American Anthropological Association, 1997; Fenton, 1999; Giroux, 1999; Markus, 2008).  Ada beberapa etnis di Amerika, seperti:
1.             Amerika Afrika
2.             Amerika Latin
3.             Amerika Indian
4.             Amerika Asia
5.             Amerika Yahudi
6.             Amerika Eropa
Masalah Etnisitas
Satu kelalaian mencolok dan serius adalah etnis Muslim. Diharapkan dan berpikir kemungkinan bahwa kita akan mulai belajar lebih banyak dan lebih banyak tentang kehidupan Muslim di Amerika Serikat. Phinney (1996) menunjukkan bahwa ada tiga aspek etnisitas untuk kepentingan psikologis: nilai-nilai yang khas dan sikap, rasa memiliki terhadap kelompok; dan pengalaman ketidakberdayaan dan prasangka yang terkait dengan status minoritas (atau sebaliknya). Kepercayaan yang terkait dengan etnis kita, melibatkan perilaku kita di daerah yang luas dan kehidupan sehari-hari. Belajar tentang kelompok etnis tertentu mengarah ke pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman, sementara juga terkadang menunjukkan area kesamaan dalam nilai dasar dan atau cara berperilaku. Studi kelompok etnis tertentu sering berfokus pada sikap negatif (prasangka) dan diskriminasi yang ditujukan kepada kelompok minoritas, dan pada deskripsi dan konsekuensi dari stereotip yang dimiliki dan ditransmisikan, terutama sekali oleh mereka yang lebih dominan dan kuat. Mereka dalam berbagi budaya etnis mengevaluasi pengalaman ketimpangan sosial dan kekurangan, serta tantangan pribadi yang dihasilkan dari sikap terbuka dan prasangka yang dirahasiakan, stereotip, dan diskriminasi.
Sebuah fenomena menarik ialah bahwa stereotip etnik dapat berubah dengan konteks lokasi dari sebuah kelompok etnis. Gilman (1996) menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi, misalnya, dianggap lebih pintar dari orang-orang dari etnis lain dalam masyarakat yang lebih luas tempat dimana mereka tinggal menuntut mereka untuk terlihat seperti itu. Kondisi pra-Holocaus di Eropa, orang-orang Yahudi dipandang sebagai orang pintar tapi tidak “original” dan parasit. Sebaliknya, stereotip kontemporer menunjukkan dominansi bahwa Yahudi memiliki intelektual yang tinggi/pintar tetapi secara fisik lemah, kecuali mereka Israel. Demikian pula, Krech (1999) berpendapat, bahwa gambaran naif tentang Indian Amerika sebagai ekologi yang melestarikan lingkungan hidup merupakan alasan untuk melakukan pemeriksaan kedekatan dengan realitas kehidupan Indian Amerika, dimana mereka menggunakan hewan dan tumbuhan.

4. JENIS KELAMIN

Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminim) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan khutbah-khutbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan para tetua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak khutbah-khutbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!’.
 Perkembangan Feminisme di Amerika Serikat
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan,kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. 
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
Top of Form
5. KELAS SOSIAL

Kelas sosial merupakan serangkaian pengalaman hidup dimana seseorang harus bisa beradaptasi dan memanfaatkannya semaksimal mungkin. Ryan dan Sackrey (1996) menyatakan bahwa perbedaan pada manusia berasal dari perbedaan struktur kelas sosial dan bentuk-bentuk perilakunya.
Melakukan Kelas Sosial
Seperti halnya gender, kelas sosial merupakan sebuah konstruksi sosial, yaitu apa yang dilakukan oleh seseorang, dalam hal kinerja/prestasi. Menurut Langston (1988) kelas sosial adalah cara berpikir, merasa, bertindak, melihat, berpakaian, berbicara, bergerak, mata pelajaran/kuliah yang kita pilih, pekerjaan yang kita lakukan, kapan kita menikah, siapa teman kita, dimana kita tinggal dan bekerja, bahkan jenis mobil yang kita kendarai, serta jenis pelayanan kesehatan yang kita terima.
Ketidakadilan akses pada Sumber Daya
Ketimpangan dalam akses terhadap sumber daya terlihat jelas pada data para pekerja yang merupakan bagian dari invisible economy (Bernhardt 2007). Mereka adalah para penjaga toko kelontong, pekerja laundry, pelayan restoran, pelayan hotel, pekerja cuci piring, perawat kesehatan, pekerja binatu, dan pekerja rendahan lainnya, yang tidak tecantum dalam undang-undang perlindungan pekerja, bukan merupakan anggota serikat pekerja, dan sebagian besar dianggap tidak penting oleh perusahaan tempat mereka bekerja.
Keluarga-keluarga Pekerja dan Berpenghasilan Rendah
Para orang tua berpenghasilan rendah sering terjebak dalam konflik antara perlunya melakukan 2-3 pekerjaan, memenuhi tuntutan pekerjaan, dan harus menyelesaikan masalah-masalah keluarga, dengan minimnya sumber daya yang mereka miliki. Ibu rumah tangga berpenghasilan rendah harus  menghadapi masalah-masalah diskriminasi, ketidakstabilan, serta upah yang rendah dan tidak pasti (Mullings, 2004). Keluarga berpenghasilan rendah menghadapi masalah bagaimana memberi makan keluarga dengan cukup, dan dengan makanan yang berkualitas baik.
Kondisi kehidupan kelas pekerja dan berpenghasilan rendah telah membentuk pengalaman hidup sehari-hari dengan berbagai cara, mereka kerap berada di persimpangan karena etnis, usia, dan dalam berbagai bidang, seperti sekolah, sistem pelayanan kesehatan, hukum, dan sebagainya. Aspek yang paling penting adalah bahwa kita harus keluar dari anggapan umum yang memandang para kelas pekerja dan orang miskin adalah orang luar yang harus menghadapi kesulitan memperoleh sumber daya penting, menghadapi diskriminasi, stigmatisasi, dan stereotip (Lott & Bullock, 2007).
Perumahan
Keluarga berpenghasilan rendah tidak dapat mampu membeli rumah dengan mudah. Pada tahun 2005 di Rhode Island harga rumah terendah hanya bisa dijangkau oleh keluarga dengan pendapatan pertahun $63.441. Krisis yang terjadi di awal abad 21 telah merugikan masyarakat miskin dan menurunkan kesempatan mereka untuk memiliki rumah sendiri. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pengusaha properti dengan menawarkan kontrak yang kompleks, rumit, tidak jelas, dan kontrak hipotek tidak jujur ​​kepada keluarga miskin dan minoritas. Antara tahun 2000 dan 2007, suku bunga pinjaman tertinggi bagi warga kulit hitam sebesar 55%, sedangkan bagi warga kulit putih 17% (Singletary, 2008).
Pendidikan
Pendidikan adalah satu jalan untuk kehidupan yang baik, dari awal anak-anak kurang mampu dan yang cacat, lalu terbalaskan di sekolah (Bullcck & Lott, 2009; Fine & Burns, 2003; Fine & Weiss, 2003; Lott, 2001). Sekolah-sekolah negeri di Amerika Serikat kurang menyumbang dalam pengembangan potensi bakat dan keterampilan semua mahasiswa dan lebih menentukan tempat yang diinginkan di masa mendatang. Di masyarakat kita sudah istimewa dan mendapatkan pecundang untuk menyalahkan diri sendiri daripada ketidakadilan kelas sosial" (Raines & McAdams , 2006, hal 47). Kontribusi hasil ini adalah struktural kualitas sekolah serta kegagalan sekolah untuk menghadapi keberadaan kelas sosial. Mata kuliah ini jarang dibahas di sekolah atau pendidikan guru, dan pendidik biasanya mengabaikan hubungan antara sekolah dan sisanya masyarakat (Kincheloe & Steinberg, 2007).
Health
Ada ketimpangan kelas sosial yang ekstrim dalam cakupan asuransi, akses kesehatan, dan hasil kesehatan. Sebuah laporan Pemerintah Kantor Akuntan (2007, hal 9) membuat titik jelas: Kesehatan hasil buruk bagi individu dengan pendapatan rendah daripada rekan-rekan mereka lebih kaya. Pendapatan individu mengalami tingkat lebih tinggi dari penyakit kronis, penyakit, dan cacat, dan juga mati muda daripada mereka yang memiliki pendapatan lebih tinggi. Sebagai salah satu konsekuensi, Amerika Serikat peringkat sebagai 29 terburuk di dunia pada kematian bayi, salah satu indikator yang paling penting atau kesehatan suatu bangsa (lih. Harris, 2008).
Budaya Sebagai Kehidupan Sehari-hari
Di lingkungan yang berpendapatan rendah, anak-anak perkotaan atau pedesaan, dan orang dewasa dikelilingi tentang diri mereka sendiri dan keluarga mereka yang memperkuat kurangnya relatif nilai mereka dalam masyarakat AS dan memberikan sedikit harapan untuk perubahan atau transformasi.
Untuk beberapa kalangan miskin perkotaan, ada rasa takut yang hampir konstan kekerasan di masyarakat (Lou, 2003). Jika anak-anak dibunuh oleh komunitas,  ini dari latar belakang kaya, Herbes (2007c) berpendapat, peristiwa akan membuat berita nasional dan di situ akan dilihat sebagai krisis nasional. Tumbuh di beberapa daerah miskin perkotaan seperti hidup di zona perang di mana beberapa rutin terluka dan tewas dan banyak lainnya menghadapi trauma harian.
Ancaman kehilangan pekerjaan atau PHK adalah stressor hampir konstan untuk kedua keluarga miskin perkotaan dan pedesaan. Mungkin sering bergerak dengan gangguan akibat di sekolah anak-anak dan di lingkungan / koneksi masyarakat. Stres berkaitan dengan menjaga anak-anak makan yang sehat, untuk menjaga mereka tetap aman di lingkungan miskin berkualitas dan berbahaya, memiliki utilitas mematikan sebagai tagihan yang belum dibayar, mengenakan pakaian yang tidak pas, dan tidak dapat memenuhi permintaan anak-anak untuk "tambahan." Kondisi seperti itu didokumentasikan di bagian beragam Amerika tersebut (bdk. Bullock, 8c Wychc Lott, 2010; Bullock 8c Lott, 2007).
Cooney (2006) mendengarkan kelompok perempuan dalam program kerja bagi ibu yang menerima bantuan dan menemukan bahwa persepsi mereka tentang situasi berbeda tajam dari orang-orang yang melihat penerima bantuan sebagai kurang tanggung jawab pribadi.
Kelas Menengah
Liu, Pickett, dan Ivey (2007) telah mengeksplorasi (Kulit Putih) hak istimewa kelas menengah, esensi yang mereka sarankan, adalah harapan bahwa Anda akan mendapatkan apa yang Anda butuhkan dan ingin anda miliki. "hak istimewa Individual berharap untuk diperlakukan adil dalam bank, toko, dan situasi kerja ... [dan memiliki] hasil positif''
Beberapa hak istimewa (privileges) tersebut dialami awalnya oleh anak-anak kelas menengah. Dalam membandingkan dua pusat penitipan anak sebagian besar di white kota-kota pedesaan, Nelson & Schutz (2007) menemukan perbedaan signifikan dalam gaya perawatan yang ditawarkan oleh pusat-pusat masyarakat kelas pekerja dan kelas menengah. Kedua pusat memiliki rasio yang baik anak-untuk-guru, ruang untuk bermain, peralatan yang cukup, dan berbagai bahan dan kegiatan. Namun, pusat untuk anak-anak kelas menengah kurang memanfaatkan televisi, memiliki fokus lebih besar pada kemampuan bahasa, dan menyediakan serta mendorong lebih banyak kebebasan bagi anak-anak untuk terlibat dalam perhatian dan berinteraksi dengan teman-teman dan guru mereka.
The Rich
Kita tahu relatif sedikit tentang orang kaya - mereka yang hidup dalam budaya hak yang luas dengan akses termudah dan paling dekat terhadap sumber daya. Beyond statistik terhadap pendapatan, akumulasi kekayaan, dan pajak dibayar (dan tidak dibayar), pengetahuan kita mengherankan jarang kecuali untuk laporan media tentang kehidupan subkultur penghasilan yang paling terlihat – tinggi dan  tinggi-belanja, serta selebriti yang hidup -tinggi. Howard (2000, hal 379) mencatat bahwa hampir tidak ada penelitian tentang identitas kelas mereka dalam keadaan sosial ekonomi istimewa "Dan, seperti Lee dan Marlay (2007) permasalahan, warga lingkungan kaya memiliki sarana untuk guira privasi mereka dan sangat ingin melakukannya, menghasilkan sangat terbatas literatur ilmu sosial.
Tidak mengherankan, orang kaya di AS yang didukung oleh sebuah ideologi umum yang menyamakan keberhasilan dengan kerja keras dan jasa. Kami diajarkan bahwa kecerdasan dan ambisi akan meningkatkan posisi kelas kita dan bahwa hak istimewa kelas layak dan berdasarkan prestasi individu (Langston, 1988).
Moving On
Narasi bersama oleh working-class orang yang telah pindah dari rendah ke pendapatan sedang atau kaya, biasanya melalui pencapaian pendidikan, adalah instruktif. Beberapa cerita mengungkapkan perasaan campur aduk yang terkait dengan harapan berubah; hal lain menggambarkan upaya-untuk menyembunyikan status kelas terakhir atau untuk "lulus" bagi seseorang yang lebih tinggi dalam hirarki kelas: Brodkey (2000, hal 20), misalnya, menggambarkan bagaimana, dalam tingginya kelas sekolah persiapan kuliah, dia merasa " pengungsi radikal " dan sebagai anugerah kepada dia "hak istimewa kehormatan kelas menengah ", saat dia mulai mengalami sebagian dari apa yang ia temui sebelumnya hanya melalui membaca nya. Dalam menggambarkan sarjana tahun di perguruan tinggi di wfancy dimana uang dan status didefinisikan tempat seseorang dalam skema hal, "Hooks (2000, hal 42) recals menemukan dirinya" objek keingintahuan, mengejek, atau bahkan penghinaan dari teman sekelas saya karena latar belakang kelas saya ". Dia merasa malu tentang makanan, tak tahu apa yang membuat orang lain yang akrab. Hahn (2008)., juga berbicara tentang kecemasan serta rasa malu yang tersirat dan dirasakan di lulus sebagai kelas menengah.

6. IDENTITAS SEKSUAL

Orientasi seksual merupakan bagian dari keragaman budaya individu. Sejauh mana kontribusinya terhadap keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang ditentukan oleh situasi dan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing individu, dan bersifat sangat spesifik. Selama ini yang diterima secara umum adalah heteroseksualitas, dan namun kita bisa menutup mata terhadap orientasi minoritas lain yang tumbuh di masyarakat.
Budaya Heteroseksual
Budaya heteroseksual sangat dominan, menyeluruh, dan ada di semua aspek kehidupan sehingga jarang menjadi subjek analisis. Heteroseksualitas bukan hanya dianggap normal, namun menjadi satu-satunya orientasi seksual yang diterima dan dianggap sah oleh masyarakat jenis kelamin minoritas.
Lesbian dan Gay
Herdt (1997) tidak mendefinisikan istilah homoseksual dalam konteks perilaku seksual saja, namun sebagai sebuah kategori budaya yang melibatkan praktek-praktek sosial, politik, dan ekonomi, serta institusi sosial sang pelaku. Menurut Haldeman & Buhrke (2003) budaya atau masyarakat lesbian dan gay, seringkali berfungsi sebagai pengganti keluarga. Meskipun berbeda jenis kelamin, warna kulit, politik, negara, dan latar belakang keluarga, anggota budaya ini mempunyai pengalaman penindasan oleh budaya mayoritas, kepentingan, bahasa, dan perasaan yang sama. Terjadi komunikasi dalam budaya mereka sehingga transmisi nilai-nilai dan praktik dapat berlangsung.
Stigma
Banyak literatur yang membahas tentang stigma yang melekat pada kaum minoritas seksual, dimana mereka harus berjuang melawan stereotipe, prasangka, diskriminasi, bahkan kekerasan. Tahun 1973 American Psychiatric Association dan American Psychological Association memutuskan untuk berhenti melihat homoseksualitas sebagai jenis penyakit, dan berhenti menganggap kaum minoritas seksual sebagai orang sakit (Silverstein, 2007).
Agar dapat diterima oleh masyarakat, kaum gay/lesbian  harus menemukan cara untuk mengidentifikasi diri mereka secara terbuka dalam sebuah proses coming out.  Proses ini dimulai dengan realisasi diri dan sharing dengan orang lain, dan membuka diri terhadap setiap situasi yang melibatkan interaksi. Coming out merupakan sebuah proses seumur hidup di mana pilihan tentang keterbukaan harus dihadapi terus-menerus.
Biseksual, Transgender, dan Queer
Biseksual merupakan salah satu klasifikasi minoritas seksual, meskipun telah lama diabaikan dalam ilmu sosial, sekarang terjadi peningkatan pengakuan atas keberadaannya. Diamond (2008) mendefinisikan biseksual sebagai daya tarik terhadap kedua jenis kelamin, di mana tingkat daya tariknya tergantung pada konteks, situasi, dan berbagai faktor lainnya. Herdt (1997) menggolongkan biseksual dan orientasi seksual minoritas lainnya dalam satu kategori Queer . Jadi Queer adalah semua kaum yang menolak marginalisasi dan klasifikasi komunitas lesbian dan gay, dan gerakan yang mengekspos heterosexualitas sebagai satu-satunya orientasi seksual yang dianggap normal.
Dalam literatur ilmu sosial, wacana tentang identitas seksual memberikan dukungan bahwa kondisi kaum minoritas ini hanya bersifat sementara dan tidak stabil. Identitas seksual dapat berubah dalam berbagai interaksi sosial dan pribadi. Golden (2009) mendefinisikan transgender hampir sama dengan Queer, yaitu lintas gender atau di luar gender. Haldeman dan Buhrke (2003) menggunakan transgender sebagai istilah mencakup berbagai perilaku, sikap, dan keyakinan yang melanggar norma-norma gender dan stereotip. Lev (2007) mengingatkan kita bahwa transgender telah lama muncul dalam sejarah manusia, bahkan di semua bangsa dan etnis.  Yang baru, dalam 2 atau 3 dekade terakhir ini adalah pertumbuhan identitas budaya atau masyarakat yang difokuskan pada aktivisme, dan advokasi untuk pengakuan mereka secara sosial, politik, dan hukum. Dan semua itu semakin didukung dengan berkembangnya teknologi internet.

MOSAIK BUDAYA

Setiap dari kita, sebagai individu multikultural yang unik, memiliki beberapa identitas sosial sebagai konsekuensi dari keanggotaan beberapa budaya kita. Kelompok-kelompok merupakan bagian bervariasi dalam ukuran dan lokasi, dan arti-penting mereka dan pengaruh bervariasi dengan waktu dan tempat. Jika kita gunakan sebagai kriteria untuk kelompok budaya orang yang memiliki sejarah, masalah saat ini, pengalaman umum,  bahasa nilai, adaptasi atau perilaku, keyakinan, dan sikap serta menyampaikan ini kesamaan dengan generasi yang akan datang, maka kita harus mengakui budaya yang tidak dibatasi oleh kedekatan fisik atau dengan ukuran.
Beragam Budaya Masyarakat
Bagi seseorang yang merupakan anggota dari sebuah "budaya lain," Namun, keanggotaan di dalamnya mungkin signifikansi fundamental dan utama dengan tingkat kepentingannya berbeda-beda dengan waktu, konteks, dan situasi langsung, dari menjulang besar dan dominan untuk ngawur.
Tempat Budaya
Ada budaya busur "tempat" yang memiliki konsekuensi pergeseran untuk perilaku individu. Dimulai dengan penelitian awal Newcomb klasik tentang pembangunan norma politik antara siswa di Bennington College (Newomb, Kocnig, Flacks & Warwick, 1967), penelitian telah mendokumentasikan kesamaan tumbuh sikap dan kepercayaan pada orang yang hidup di dekat satu sama lain. Dalam penelitian terbaru (Cullum & Harton, 2007), meningkatkan kesamaan lebih bersajak dalam sikap pada berbagai isu, dan terutama pada isu-isu yang dinilai penting, ditemukan di antara teman serumah di asrama di universitas Midwestern.
Budaya Politik
Anggota budaya politik dapat beragam dalam banyak hal tapi yang diselenggarakan bersama oleh satu set khusus nilai-nilai, keyakinan, sikap, bahasa, dan perilaku. Sebagai contoh, Napier dan Iost (2008) menemukan perbedaan penting antara konservatif dan liberal dalam sampel perwakilan nasional besar dalam kepercayaan mereka tentang (atau rasionalisasi dari) ketimpangan. budaya politik, dipahami secara luas, bisa dikatakan untuk memasukkan, selain liberalisme dan konservatisme, pasifisme, sosialisme, dan feminisme (Huddy, 2001). Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa feminis, misalnya, terikat bersama oleh sikap umum, keyakinan, dan identifikasi diri (misalnya, Eiscle 8c Stake, 2008). Seperti dengan identitas budaya lainnya, yang didasarkan pada pandangan politik yang sama akan bervariasi pentingnya tergantung pada, konteks situasi waktu,, dan tempat.
Identitas Budaya: Bagaimana saya mendeskripsikan diri saya?
Shelton dan Seller (2000, hal 27) diketahui bahwa jika Anda diminta untuk menggambarkan siapa diri Anda. Anda dapat memberi tanggapan dengan cara yang berbeda, tergantung pada situasi "Pada keanggotaan salah satu saat tertentu dalam budaya beberapa akan relevan terhadap kinerja dari setiap perilaku sosial. Tetapi sementara". Semua orang sekaligus gender, berlari, diklasifikasikan, seksual. " berorientasi '", relevansi dari masing-masing identitas terhadap perilaku akan tergantung pada hal dimaksud dengan perilaku tersebut, yang langsung konteks, orang dengan siapa interaksi yang diantisipasi, dan keadaan dari interaksi (Phan, 200S), menurut Frablc (, 1997 hal 155), adalah bahwa "makna pribadi keanggotaan kelompok sosial berubah dari waktu ke waktu, dan makna yang paling baik dipahami dalam konteks peristiwa sosio-historis."
Konflik Identitas
Masalah timbul bagi orang-orang dalam budaya dengan keyakinan yang saling bertentangan dan nilai-nilai, dan menentang resep perilaku dan larangan. Banyak yang telah ditulis dari bentrokan antara identitas etnis dan identitas minoritas seksual (misalnya, Greene, 2007; Harper, 2007).






8. BEBERAPA IMPLIKASI BAGI RISET DAN PRAKTEK

Implikasi dalam praktek mungkin tidak terdapat masalah karena, baik dalam konseling, terapi, atau pendidikan, penekanan teoritis telah lama berada dan mencakup "seluruh manusia." And in these areas, there is typically one-on-one interaction between persons - between client and mental health worker, or between student and teacher. Dan di wilayah ini, ada biasanya satu-satu interaksi antara individu - antara klien dan pekerja kesehatan mental, atau antara siswa dengan guru. An individual's unique social identities or cultural memberships will be evident in behavior - overt or subtle. Sebuah identitas sosial individu yang unik atau keanggotaan budaya akan tampak jelas dalam perilaku – baik itu terang-terangan atau halus. Whether they are recognized, acknowledged, respected and used positively in the actual practice of counseling, therapy, or education (beyond statements of theory) is a central concern. Apakah mereka mengetahui, diakui, dihormati dan digunakan secara positif dalam praktek aktual konseling, terapi, atau pendidikan (di luar laporan teori) merupakan pusat perhatian kita. In research, a multicultural perspective presents a different set of interrelated problems pertaining to sampling, study design, methods, data analysis and interpretation. Dalam penelitian, perspektif multikultural menyajikan hal yang berbeda dimana masalah saling berkaitan dengan proses pengambilan sample, desain pembelajaran, metode, analisis data dan interpretasi data.
ResearchPenelitian
Each participant or respondent in an investigation brings to it unique experiences and beliefs, perceptions, and response potentials that reflect far greater individual complexity and far more cultural memberships than most researchers are prepared to identify.Setiap peserta atau responden dalam penelitian ini menghasilkan pengalaman yang unik dan keyakinan, persepsi, dan potensi respon yang mencerminkan kompleksitas individu jauh lebih besar dan keanggotaan dari suatu budaya dapat lebih mudah untuk diteliti serta telah siap untuk mengidentifikasi. We agree with Shields (2008, p. 304) that the facts of our lives reveal that there is no single identity category that satisfactorily describes how we respond to our social environment or arc responded to by others." We also agree with Mann and Kelley (1997, p. 392) that "knowledge is and should be situated in people's diverse social locations and grounded in the social biography of the observed. Kami setuju dengan Shields (2008, hal 304) bahwa fakta-fakta kehidupan dalam kita mengungkapkan bahwa tidak ada kategori identitas tunggal yang memuaskan dalam menjelaskan bagaimana kita menanggapi lingkungan sosial kita atau ditanggapi oleh orang lain." Kami juga setuju dengan Mann dan Kelley (1997, hal 392) bahwa "pengetahuan terdapat keberagaman sosial seseorang dan didasarkan pada biografi sosial yang diamati.
Praktek
Tujuan dari melakukan konseling atau psikoterapi adalah untuk membantu individu di dalam mengatasi (coping) secara konstruktif masalah-masalah kehidupan yang bersifat spesifik bagi situasi mereka sendiri. Ini memerlukan adanya kesadaran tentang keunikan multikultural dari individu dan memerlukan pemahaman tentang bagaimana beberapa identitas sosial tertentu yang saling bertemu (intersect) di dalam konteks masa silam dan masa sekarang bisa menjadi relevan bagi orang yang bersangkutan. Sebuah program pelatihan yang bersifat multikultural secara eksplisit (Dana, Gamst dan Der Karabetian, 2008) berusaha untuk memberikan perhatian yang lebih luas daripada hanya terhadap etnisitas saja. Penelitian itu menyerukan bahwa “perlu ada kesadaran tentang berbagai kemungkinan yang ada di dalam komponen-komponen identitas” (hal. 293) dan menyatakan bahwa komponen-komponen identitas itu dan hubungan antar komponen dapat berfungsi sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan.
Model “konteks budaya” di dalam psikologi klinis, yang dipaparkan oleh Hernandez (2008), menyatakan lebih jauh bahwa kita perlu memperhitungkan juga masalah-masalah struktural di dalam masyarakat, mengidentifikasi “dampak yang ditimbulkan oleh faktor sosial yang menindas, baik yang terjadi di masa sekarang maupun masa silam” (hal. 10) dan bisa mempengaruhi pengalaman dari seorang klien. Upaya untuk menghubungkan proses-proses interpersonal dengan institusi masyarakat yang lebih besar dipandang sebagai tujuan dari praktek terapi.
Bagaimana Sekarang?
Pedersen (1999:13) telah menyebutkan tentang “konsekwensi yang sangat besar” dari “perspektif yang berpusat pada budaya” terhadap disiplin kita ini. Beberapa peneliti lain, yang sudah dikutip dalam bagian-bagian lain dari buku ini, juga sepakat dengan pendapat itu. Kita perlu mengajukan pertanyaan penelitian yang baru, merumuskan hipotesa-hipotesa yang berbeda dari yang sudah digunakan di masa silam dan mungkin kita juga perlu mengambil sampel dari populasi yang lebih kecil, menjadi lebih peka terhadap lingkungan dan waktu dan tempat serta konteks. Di dalam melakukan asesmen, merumuskan generalisasi, dan mengajukan solusi bagi masalah sosial dan masalah individu, kita harus memperhitungkan sebanyak mungkin sifat multikultural dari orang. Flannery, Reise dan Yu (2001), misalnya, menyoroti tentang kemunculan dari berbagai etnis dan menunjukkan bahwa tiap-tiap komunitas memiliki keunikan sendiri, baik itu komunitas Italia Amerika di New York City, komunitas China Amerika di San Fransisco, komunitas Irlandia Amerika di Boston atau Chicanos (Hispanik -pent) yang tinggal di Los Angeles.

REFERENSI

Bernice Lott. 2010. Multiculturalisme and Diversity: A Social Psychological Perspective. New York: A John Wiley & Sons, Ltd,, Publication

No comments:

Post a Comment