Thursday, June 23, 2011

Budaya Dan Emosi



I   Pentingnya Emosi dalam Kehidupan Kita
Sangat sulit dibayangkan jika kehidupan kita tanpa emosi, tanpa perasaan. Kita sangat menghargai perasaan kita – perasaan senang saat menonton pertandingan, rasa senang akan kasih sayang dari kekasih, kegembiraan saat berkumpul bersama kawan-kawan, menonton film, atau jalan-jalan ke sebuah club malam. Bahkan perasaan negatif atau sedih juga penting bagi kita: sedih ketika kita harus berjauhan dengan kekasih, kematian anggota keluarga, rasa marah ketika kita disakiti, rasa takut, dan rasa bersalah atau malu saat aib kita diketahui publik. Emosi memberi warna pada pengalaman hidup kita. Emosi memberi makna pada peristiwa. Tanpa emosi, peristiwa yang kita alami hanya sekedar fakta kehidupan saja.
            Emosi inilah yang membedakan kita dengan komputer dan jenis mesin lainnya. Teknologi yang ada saat ini telah mampu menciptakan mesin yang bisa melampaui daya pikir kita. Bahkan komputer telah mampu menangani pekerjaan secara lebih efektif dibandingkan manusia. Namun sebagus apapun teknologi yang ada, mereka tidak memiliki perasaan seperti yang dimiliki manusia (bisa jadi belum bisa).
Perasaan dan emosi kemungkinan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan kita. Semua orang dari beragam budaya memilikinya, dan semua orang harus belajar untuk menguasainya, agar meningkat ke suatu derajat tertentu dan memberikan manfaat bagi mereka. Memang kehidupan kita saat ini sedang difokuskan pada pengembangan teknologi kecerdasan buatan dan pemikiran kritis serta kemampuan penalaran. Namun tanpa emosi, semua itu tidak akan terjadi.
Emosi melandasi keberagaman yang ada di antara manusia. Bagaimana kita membungkus emosi, bagaimana kita menyebutnya, seberapa penting emosi tersebut, bagaimana kita mengekspresikan dan mengartikannya, dan bagaimana kita merasakannya, semua ini merupakan pertanyaan yang dijawab secara berbeda-beda oleh semua orang dan budaya-budaya yang ada. Perbedaan di antara individu dan budaya ini memberikan kontribusi yang penting terhadap keberagaman yang ada saat ini, dan yang terpenting, memberikan perasaan pada orang-orang dari berbagai bangsa dan daerah.
  Bab ini akan menelaah tentang bentuk dari perbedaan-perbedaan serta persamaan emosi manusia dari berbagai budaya. Kami akan mengawali pembahasan pada bagaimana beberapa emosi bisa bersifat universal dan lintas budaya, sedangkan emosi yang lain berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lain. Integrasi antara universalitas dan perbedaan budaya ini merupakan tantangan yang dihadapi oleh penelitian lintas budaya terhadap emosi manusia.
II  Budaya dan Ekspresi Emosi
Pengkajian pengaruh budaya terhadap emosi manusia kami awali dengan topik ekspresi emosi, hal ini kami lakukan karena beberapa alasan. Pertama, penelitan lintas budaya pada ekspresi emosi, khususnya ekspresi wajah, dilandasi oleh penelitian kontemporer tentang emosi, baik lintas budaya maupun aliran utama. Oleh karena itu, penelitian lintas budaya pada ekspresi emosi wajah memiliki kesignifikanan historis yang sangat penting pada area penelitian psikologi ini. Kedua, penelitian lintas budaya pada ekspresi emosi wajah telah membuktikan secara meyakinkan bahwa terdapat suatu rangkaian ekspresi wajah yang bersifat universal dan berlaku di semua budaya manusia, dan mereka memberikan dasar-dasar persamaan pada semua aspek emosi – ekspresi, persepsi, pengalaman, anteseden, penilaian, dan konsep. Atas dasar ini, budaya memberikan pengaruhnya dalam membentuk dunia emosional kita, sehingga menghasilkan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan budaya. Oleh karena itu, kita akan mengawalinya dengan universalitas ekspresi emosi wajah.
2.1  Universalitas Ekspresi Emosi Wajah
Meskipun para filsuf telah memperdebatkan dan membahas tentang dasar universalitas dari ekspresi wajah selama berabad-abad,  namun kajian ekpresi wajah lintas budaya ini sebenarnya berpangkal pada tulisan Charles Darwin. Tentunya kita semua sudah mengenal Charles Darwin dari teori evolusinya yang terdapat dalam tulisan yang berjudul On the Origin of Species (1859). Darwin menyatakan bahwa manusia itu mengalami evolusi dari hewan yang primitif, seperti kera atau simpanse, dan prilaku yang kita miliki saat ini merupakan hasil dari seleksi evolusi yang terjadi melalui proses adaptasi evolusi. Pada tulisan berikutnya yang berjudul The Expression of Emotion in Man and Animals (1872), Darwin menyatakan bahwa ekspresi emosi pada wajah, seperti halnya prilaku yang lain, merupakan bawaan biologis dan hasil dari adaptasi evolusi. Darwin menyatakan bahwa manusia mengekspresikan emosi di wajah mereka dengan cara yang sama persis dengan manusia lain di seluruh dunia, tak peduli apapun ras dan budayanya. Lebih lanjut, ekspresi yang sama juga ditemukan pada spesies hewan, misalnya gorila. Menurut Darwin, ekspresi emosi wajah memiliki nilai komunikatif dan adaptif, dan menjamin kelanggengan suatu spesies dengan cara memberikan informasi intrafisik dan informasi sosial tentang anggota komunitas yang lain.
                      Selama awal dan pertengahan tahun 1900-an, telah dilakukan beberapa penelitian untuk menguji gagasan Darwin tersebut yang berkaitan dengan universalitas ekpresi emosi. Namun sayangnya, sebagian besar dari penelitian tersebut terbentur pada permasalahan metodologis, sehingga sangat sulit untuk membuat kesimpulan di akhir penelitian. Pada saat yang sama, para ahli antropologi yang terkenal seperti Margaret Mead dan Ray Birdwhistell menyatakan bahwa ekspresi emosi wajah merupakan sesuatu yang harus dipelajari, hampir mirip dengan bahasa. Sehingga, orang dengan bahasa yang berbeda akan memiliki ekpresi emosi wajah yang berbeda pula.
     Perdebatan ini tidak muncul ke permukaan lagi, sampai pada tahun 1960-an di mana pakar psikologi Paul Ekman dan Wallace Friesen (1972) serta peneliti independen Carroll Izard (1971), dan Sylvain Tomkins mengadakan penelitian yang benar-benar metodologis. Para peneliti tersebut melakukan penelitian yang saat ini disebut sebagai penelitian universalitas. Diterapkan empat jenis penelitian yang berbeda dalam penelitian tersebut. Sejak saat itu, telah banyak peneliti yang melanjutkan atau memperdalam penelitian tersebut sehingga semakin menegaskan keutuhan dari penelitian tersebut.
Pada bagian pertama penelitian tersebut, mereka (Ekman, Friesen, dan Tomkins) memilih beberapa foto ekspresi emosi wajah yang dianggap memiliki kesamaan ekspresi emosi secara universal. Kemudian mereka menunjukkan foto-foto tersebut kepada para pengamat dari lima negara yang berbeda (AS, Argentina, Brazil, Chili, dan Jepang) dan meminta para pengamat tersebut untuk memberi label pada masing-masing ekspresi. Data yang didapat menunjukkan tingkat kesamaan yang sangat tinggi dari keseluruh pengamat dalam mengintepretasikan enam emosi yang diberikan – marah, jijik, takut, gembira, sedih, dan terkejut. Izard (1971) melakukan penelitian yang sama di lokasi kebudayaan yang lain, dan membuahkan hasil yang sama.
Salah satu dari permasalahan penelitian tersebut adalah bahwa semua budaya yang dikenai penelitian merupakan kebudayaan yang terpelajar, mengenal industri, dan relatif modern. Maka bisa dimungkinkan bahwa para pengamat yang diambil dari kebudayaan tersebut telah mempelajari sebelumnya bagaimana mengintepretasikan ekspresi wajah pada sebuah foto. Bahkan faktanya, masyarakat tersebut telah mengenal media massa – televisi, film, majalah, dan sebagainya, sehingga hal ini memperkuat kemungkinan tersebut.
Untuk menghadapi kritikan ini, Ekman, Sorensen, dan Friesen (1969) melakukan penelitian yang sama di dua suku tertinggal di New Guinea. Karena sifat dari partisipan dalam penelitian ini, maka para peneliti tidak lagi menggunakan kata untuk mewakili suatu ekspresi wajah, namun menggantinya dengan menggunakan sebuah cerita pendek yang paling mencerminkan ekspresi wajah yang ditunjukkan. Jadi para partisipan diminta untuk menceritakan tentang gambar yang diberikan. Dan menakjubkannya, hasil data yang didapat dari suku terbelakang ini sama dengan data yang didapat dari masyarakat yang telah maju. Oleh karena itu, hal ini dijadikan sumber kedua sebagai bukti pendukung tentang universalitas.
Penelitian terhadap suku terbelakang ini kemudian dilanjutkan lebih jauh, di mana Ekman meminta semua anggota suku untuk menunjukkan ekspresi wajah masing-masing terhadap beberapa emosi yang diberikan. Para anggota suku tersebut kemudian difoto, dan foto tersebut dibawa ke Amerika Serikat. Di AS, foto tersebut ditunjukkan kepada para pengamat, dan mereka diminta memberikan label pada tiap-tiap foto ekspresi wajah tersebut. Dan lagi-lagi, hasil yang didapat menunjukkan hasil yang sama.
Kemudian penelitian selanjutnya dilakukan terhadap bayi yang buta, di mana penelitian ini juga menunjukkan hasil yang sama. Sehingga menunjukkan bahwa indera visual bukanlah sarana/media untuk mempelajarai suatu ekspresi wajah. Dengan demikian semakin menegaskan bahwa ekspresi emosi wajah adalah bersifat universal dan merupakan bawaan lahir. Dengan kata lain, penelitian ini berpendapat bahwa semua orang lahir dengan kapasitas untuk mengalami, mengekspresikan, dan merasakan emosi dasar yang sama.
Tentu saja, emosi yang kita alami tidak hanya emosi dasar saja, namun lebih luas seperti cinta, benci, cemburu, bangga, dan sebagainya. Namun demikian, keberadaan emosi dasar menegaskan bahwa emosi-emosi tersebut bercampur dengan atmosfer pengalaman, kepribadian, dan sosiokultural kita yang kemudian membentuk dan mewarnai kehidupan kita. Hal ini seperti halnya warna, di mana warna dasar merupakan warna asal untuk melahirkan warna-warna lainnya, yaitu melalui percampuran di antara warna-warna dasar.
2.2  Perbedaan Kultural pada Ekspresi Wajah: Aturan Tampilan
Meskipun fakta menunjukkan bahwa ekspresi emosi wajah bersifat universal, namun sebagain besar dari kita seringkali kesulitan dalam mengintepretasikan ekspresi wajah seseorang dari budaya yang berbeda. Pada saat yang sama, kita juga bertanya-tanya apakah ekspresi yang kita tampilkan sudah diintepretasikan oleh orang lain secara benar seperti yang kita inginkan. Meskipun kita melihat beberapa ekspresi emosi orang lain dengan budaya berbeda yang sangat mirip dengan miliki kita, namun kita lebih sering melihat perbedaan-perbedaan yang ada. Jadi, bagaimana kita bisa mempercayai hasil temuan penelitian yang menyatakan bahwa ekspresi wajah bersifat universal, sedangkan pengalaman kita sehari-hari lebih sering menemukan perbedaan antara budaya yang satu dengan yang lain?
                         Ekman dan Friesen (1969) telah mengantisipasi pertanyaan tersebut bertahun-tahun yang lalu, dan mereka mengeluarkan konsep yang disebut aturan tampilan budaya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mereka berpendapat bahwa budaya memang berbeda dalam mengatur bagaimana suatu emosi universal itu diekspresikan. Aturan ini berlandaskan pada kelayakan dalam menampilkan tiap-tiap emosi dalam suatu kondisi sosial tertentu. Aturan ini telah dipelajari sejak dini, dan aturan inilah yang memandu bagaimana suatu ekspresi emosi universal dimodifikasi sesuai dengan situasi sosial yang ada. Saat seseorang telah dewasa, aturan ini akan dapat diterapkan dengan baik secara otomatis.
                         Untuk membuktikan aturan tersebut, Ekman dan Friesen (1972) melakukan penelitian terhadap beberapa orang Amerika dan Jepang. Baik orang Amerika maupun Jepang diperlihatkan sebuah film yang penuh adegan menegangkan. Pada saat itu, ekspresi mereka direkam video tanpa mereka ketahui, dan hasilnya, baik orang Amerika maupun Jepang menunjukkan ekspresi emosi yang sama. Hal ini dikarenakan stimulus ekspresi yang mereka tampilkan murni dari dalam diri mereka sendiri.
                         Kemudian setelah film selesai, ada beberapa orang peneliti yang masuk dan menjelaskan bahwa mereka sedang diteliti, dan mereka diminta untuk melihat film itu sekali lagi. Saat peneliti masuk dan menjelaskan inilah di mana aturan tampilan diterapkan. Sehingga nampak jelas perbedaan ekspresi di antara mereka. Orang Amerika tetap mau menonton film dan menunjukkan ekspresi takut, sedih dan marah, sedangkan orang Jepang, meskipun memiliki perasaan negatif, mereka kadang tersenyum atau tanpa ekspresi karena mereka takut menyinggung pihak peneliti. Temuan ini tentu saja sangat menarik, sebab mereka adalah orang-orang yang sama ketika di awal menunjukkan ekspresi emosi yang sama, namun di kondisi yang kedua mereka menunjukkan hal yang berbeda.
                         Dengan demikian, ekspresi emosi wajah berada pada dua pengaruh universal, yaitu faktor bawaan sejak lahir dan faktor budaya tertentu atau aturan tampilan yang dipelajari. Ketika suatu emosi terpicu, maka sebuah pesan akan dikirimkan melalui program ekspresi wajah, di mana program ini akan menyimpan semua jenis informasi ekspresi emosi wajah yang pernah dialami. Dan pada saat yang sama, pesan tersebut juga dikirimkan ke penyimpanan otak yang berkaitan dengan aturan tampilan yang dipelajari. Sehingga, ketika aturan tampilan tidak memodifikasi ekspresi, maka yang muncul di wajah adalah ekspresi emosi universal. Namun demikian, hal ini sangat bergantung pada kondisi sosial yang ada, di mana aturan tampilan ini bisa bertindak menetralisir, memperkuat, memperlemah, atau menutupi ekspresi universal yang sebenarnya. Mekanisme ini menjelaskan bagaimana dan mengapa orang-orang bisa memiliki ekspresi emosi yang berbeda-beda meskipun sesungguhnya kita semua memiliki dasar ekspresi yang sama.


2.3 Penelitian Lintas Budaya Terkini terhadap Ekspresi Emosi dan Aturan Tampilan
Setelah publikasi awal dari penelitian universalitas, bersamaan dengan konsep dan dokumentasi tentang aturan tampilan budaya, muncul suatu fenomena menarik yang terjadi di lapangan. Temuan-temuan ini begitu diterima sehingga mereka membuka pintu penelitian emosi di seluruh area psikologi. Tak lama setelah publikasi penelitian tentang universalitas, para ahli kemudian berusaha mengembangkan suatu metode pengukuran ekspresi wajah sebagai alat ukur emosi yang obyektif. Semenjak lahirnya perangkat pengkuran ekspresi wajah FACS (Facial Action Coding System) yang dikembangkan oleh Ekman dan Friesen (1978), penelitian pada emosi mulai menyebar ke berbagai area psikologi lainnya, termasuk juga psikologi perkembangan, klinis, sosial, kepribadian, dan fisiologis. Penelitian emosi ini sangat cocok diterapkan pada bidang-bidang tersebut, bahkan tahun tersebut merupakan masa kejayaan dari penelitian emosi. Ironisnya, tidak ada penelitian lanjutan yang lain, mereka tetap menggunakan metode penelitian yang ada. Sehingga terdapat jarak yang lebar antara penelitian ekspresi emosi di awal tahun 1970-an sampai akhir 1980-an dan awal 1990-an.
                         Namun demikian, baru-baru ini, sejumlah penelitian lintas budaya pada ekspresi emosi telah memperluas pengetahuan kita tentang pengaruh budaya terhadap ekspresi dan aturan tampilan. Misalnya, Stephan, Stephan dan de Vargas (1996) yang membandingkan ekspresi orang Amerika dan Costa Rica dengan cara meminta kedua partisipan untuk menilai 38 jenis emosi dalam hal seberapa nyaman yang mereka rasakan ketika menampilkan ekspresi tersebut pada keluarga dan pada orang asing. Mereka juga diminta untuk menentukan peringkat berdasarkan skala mereka sendiri apakah suatu emosi itu positif atau negatif, dan mandiri ataukah terikat. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa orang Amerika lebih merasa nyaman dibandingkan orang Costa Rica dalam mengekspresikan emosi mandiri dan terikat. Orang Costa Rica lebih tidak merasa nyaman dalam mengekspresikan emosi negatif.
                         Beberapa penelitian selanjutnya juga menunjukkan hasil yang menarik mengenai keberadaan perbedaan kultural pada stereotip ekspresi emosi. Pada salah satu penelitian (Pittam, Gallois, Iwawaki dan Kroonenberg, 1995), para partisipan yang berasal dari Australia dan Jepang diminta untuk menilai bagaimana mereka mengekspresikan delapan emosi melalui 12 prilaku, dan bagaimana anggapan mereka tentang ekspresi orang dari negara lain dalam mengekspresikan emosi tersebut. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa orang Asutralia lebih ekspresif dibandingkan orang Jepang dalam mengekspresikan emosi positif. Namun kedua kelompok menilai bahwa kelompok yang lain lebih ekspresif dibandingkan kelompok mereka dalam mengekspresikan emosi negatif.
                         Yang terakhir, penelitian yang dilakukan beberapa dekade yang lampau mencoba untuk mengembangkan suatu kerangka teoritis tentang bagaimana dan mengapa budaya-budaya menghasilkan perbedaan ini. Misalnya, Matsumoto (1991), menggunakan konsep ingroup dan outgroup untuk menyatakan bahwa perbedaan budaya dalam artian hubungan antara self-ingroup dan self-outgroup memiliki makna khusus bagi emosi yang diekspresikan dalam interaksi sosial. Secara umum, keakraban dan kedekatan dalam hubungan self-ingroup di semua budaya memberikan keamanan dan kenyamanan untuk mengekspresikan emosi secara bebas, selaras dengan toleransi pada spektrum prilaku emosi yang lebih luas. Salah satu bagian dari sosialisasi emosional adalah melibatkan pembelajaran tentang siapa saja anggota dari ingroup dan outgroup serta tentang prilaku apa saja yang dianggap layak untuk bisa diterapkan.

2 comments:

  1. maaf mengganggu sedikit...!!! btw ada file lengkap'y tentang budaya dan emosi??????

    klo ada boleh gak di krimkan ke email sya (saharpsikologi@ymail.com) atas bantuan dan perhatian'y trima kasih. :-)

    ReplyDelete
  2. Ada... tapi dalam bahasa Inggris.... ^^

    ReplyDelete