Tuesday, January 11, 2011

# REVIEW BUKU - Groups In Schools: Preparing, Leading, and Responding


A.  MEMPERSIAPAN KELOMPOK

1.             MEMULAI SUATU KELOMPOK.
Saat memulai suatu kelompok, pemimpin kelompok harus mempersiapkan dan merencanakan tujuan kelompok serta berupaya untuk memfasilitasi perkembangan anggota (siswa) baik melalui kelompok konseling atau kelompok kelas. Langkah awal perencanaan kelompok adalah memutuskan siapa saja yang terlibat dalam kelompok yang akan bentuk, dengan cara mendiskusikan tentang perbedaan dari keanggotaan pada kelompok konseling dan kelompok kelas.
Kelompok kelas. Kelompok kelas secara khusus dirancang untuk memenuhi  komponen kurikulum sekolah yang komprehensif dan yang sifatnya pengembangan (Stone & Dahir, 2006) atau berupa kurikulum yang telah ditentukan oleh sekolah (Schmidt, 2007; Sink, 2005). Kelompok kelas terdiri dari seluruh siswa yang berada dalam kelas tersebut, yang difokuskan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan perilaku mereka.  Kelompok kelas cenderung berjumlah 25 siswa atau lebih yang berada dalam suatu kelas. Untuk menciptakan dinamika kelompok antar sesama anggot, maka guru / konselor sekolah dapat menggunakan name-tag, icebreaker, atau hal-hal lain yang dapat digunakan untuk dapat mengenal sesama anggota kelompok satu sama lain.
Pada dasarnya kelompok kelas tidak berdasarkan pada penyaringan atau kebutuhan siswa tertentu, hal ini membuat kelompok ini lebih bervariasi. Perencanaa yang dibuat oleh kelompok dapat berubah dari waktu ke waktu untuk dapat mengakomodasi bermacam-macam kemampuan dan ketertarikan dari anggota kelompok yang dilibatkan. Yang menjadi pertanyaan pokok adalah “bagaimana saya (guru/konselor sekolah) dapat menciptakan kelompok yang relevan dan melibatkan seluruh siswa ke dalam suatu kelompok ?” (Lihat Standar Etis Konselor Sekolah [ASCA, 2004], Mukadimah, dan A.1.b ). Untuk itu perlu dipertimbangkan hal-hal apa yang dapat membuat siswa tertarik, dapat berupa: konten-konten yang menarik dan materi-materi yang unik.
Kelompok konseling. Kelompok konseling dirancang untuk mengembangkan ketrampilan sosial, emosional, perilaku dan akademik. Namun demikian, kelompok konseling dikhususkan untuk membahas masalah/isu/kebutuhan yang lebih spesifik yang dimiliki oleh siswa di sekolah (Schmidt, 2007; Sciarra, 2004; Stone & Dahir, 2006). Karena konten dari kelompok konseling cenderung untuk dirancang untuk anggota yang memiliki kebutuhan yang spesifik, sehingga hal ini yang membedakannya dengan kelompok kelas. Pada kelompok konseling, anggota kelompok didorong untuk membagikan pengalaman dan masalah yang mereka hadapi satu sama lain (Sink, 2005). Keanggota dalam kelompok konseling didasarkan pada penyaringan yang melibatkan pengumpulan data siswa serta menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh kelompok tersebut. Kelompok konseling dapat jauh lebih berguna jika terdiri dari 6 anggota, dengan 8 kali sesi konseling dengan komposisi kelompok yang ditentukan dengan sangat berhati-hati. Ada pepatah mengatakan “lebih sedikit itu baik” dan “lebih banyak lebih baik” dalam menggunakan pendekatan yang bersahabat dengan siswa kit dapat menawarkan kelompok yang tepat kepada siswa yang tepat dan pada waktu yang tepat pula.
Akhirnya, anggota yang homogen lebih baik diterapkan pada kelompok ini. Walaupun siswa dipilih untuk berpartisipasi dalam kelompok kerena mereka mempunyai keterkaitan isu/masalah yang menjadi fokus kelompok, siswa-siswa ini tetap memiliki perbedaan antar satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, perencanaan untuk kelompok konseling haruslah memperhitungkan perbedaan antar anggota kelompok, serta dapat mengatasi perbedaan yang dibawa anggota ke dalam kelompok.
Keragaman Dalam Keanggotaan.
Isu-isu ras, suku, kelas, status sosial-ekonomi dan juga perbedaan karakter selalu hadir pada setiap kelompok. Oleh karena itu, Konselor harus berhati-hati dalam membentuk suatu kelompok supaya setiap anggota mendapatkan kesempatan untuk mengenal dan mengembangkan dirinya – seperti kiasan jendela, dimana siswa dapat mengenal orang lain (teman-temannya) yang berasal dari berbagai latar budaya dan keragaman perspektif yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga perlu ditumbuhkan rasa saling menghormati diantara anggota supaya dapat membantu temannya, dan juga seperti cermin dimana siswa dapat mengenal dirinya, mengetahui kekuatan dan kelemahannya, serta menjadi bagian dari kelompok yang memberikan kontribusi yang berarti.
Sekarang profesi konselor sudah semakin nampak jelas pada program sekolah, baik dari tingkat SD, SMP, dan SMA. Oleh karena itu, konselor perlu memperhatikan perkembangan mental dari masing siswa tersebut, yaitu: (1) menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh siswa, (2) memberikan contoh dan penyampaian yang miliki sifat lintas usia (perkembangan), (3) membagi kelompok dalam kelompok kecil seperti kelompok membaca, kelompok yang menyukai pelajaran matematika,dll.
Etika dalam berpartisipasi. Etika dalam berpartisipasi dalam suatu kelompok Standar Etis Konselor Sekolah (ASCA, 2004). Di beberapa sekolah menyarankan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua siswa, apakah anaknya dapat dilibatkan dalam kelompok yang dibentuk. Konselor bertanggung jawab sepenuhnya kepada orang tua siswa, guru, kepala sekolah, dan seluruh staf yang terlibah dalam kelompok tersebut.
Relevansi program. Penyusunan program konseling pun harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa, baik itu pencegahan timbulnya masalah, mengembangkan potensi siswa untuk menjadi maksimal atau pun pengentasan masalah siswa yang merupakan penjabaran dari visi dan misi sekolah. Oleh karena itu, komunikasi antara konselor dan seluruh staf di sekolah (guru, tenaga administrasi,dll) harus digunakan secara efektif dan efisien untuk membantu siswa.

2.             MEMBUAT DAN MENGEMBANGKAN RENCANA KELOMPOK.
Banyak konselor yang memimpin kelompok di sekolah dituntut oleh petugas administrasi sekolah untuk membuat rencana pembelajaran untuk kelompok mereka. Rencana Pembelajaran adalah komponen instruksional dari proses belajar (Price & Nelson, 1999). Dalam hal ini, rencana pembelajaran kelompok yang dimaksud berbeda dengan rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru untuk mengajarkan suatu mata pelajaran. Dalam rencana pembelajaran yang dibuat konselor terdapat tujuan dari kelompok tersebut dan juga format kelompok baik dalam bentuk kelas atau kelompok kecil, di dalam atau di luar sekolah, dengan anak-anak, orang remaja dan bahkan dengan orang dewasa!
Sasaran Dan Tujuan Kelompok.
Dalam rencana kelompok cenderung terdapat pernyataan tentang sasaran dan tujuan kelompok, serta bagaimana seorang pemimpin kelompok akan memfasilitasi kelompok sehingga dapat mencapai sasaran dan tujuan tersebut. Sasaran kelompok pada umumnya merupakan apa yang menjadi harapan pemimpin kelompok kepada anggotanya untuk dapat memperoleh pengalaman dalam kelompok, yang merupakan ekspektasi dari kelompok tersebut. Sasaran  kelompok dapat digunakan untuk mengukur tingkat efektivitas suatu kelompok. Tujuan kelompok cenderung terdiri dari pencapaian yang spesifik berupa hasil dari ekspektasi kelompok (Price & Nelson, 1999).
Kelompok kelas. Dalam kelompok kelas, sasaran kelompok cenderung berdasar pada konten kurikulum dari pada kebutuhan anggota kelompok secara individual. Kurikulum yang digunakan oleh konselor pun ditetapkan oleh distrik atau sekolah.
Konseling kelompok. Dalam konseling kelompok, sasaran dan tujuan kelompok secara khas dikembangkan untuk merespon kebutuhan siswa atau hal yang lebih individual. Dengan kata lain, fokus dari kelompok dirancang berdasarkan kebutuhan dari anggota kelompok dari pada berdasarkan kurikulum.
Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom tentang tujuan pendidikan telah lama dipakai oleh guru dalam proses pembelajaran. Dalam taksonomi ini terdapat enam tahapan pembelajaran, yaitu:
1.      Pengetahuan. Hal ini mengacu pada proses penemuan, penyelidikan, pemanggilan kembali informasi.
2.      Pemahaman. Mengacu pada pengembangan pemahaman, menangkap ide pokok dan menginterpretasikan informasi yang ada.
3.      Penerapan. Mengacu pada penggunaan informasi, seperti penggunaan informasi atau langkah-langkah untuk sebuah masalah.
4.      Analisis. Mengacu pada pengambilan informasi dan pengujian suatu hubungan dan tema yang tidak sesuai secara kritis.
5.      Sintesis. Mengacu pada penerapan kreatif dari informasi atau mengambil informasi secara bersama dengan cara yang baru, serta membandingkan informasi yang satu dengan yang lainnya.
6.      Evaluasi. Mengacu pada mengajak siswa untuk mengkritisi informasi berdasarkan hasil dan dukungan dari ide-ide mereka tentang pembelajaran, dimana menguji validitas dari informasi yang ada.
Interdependen yang positif dan tanggung jawab individual. Johnson and Johnson`s (2004), model pembelajaran kooperatif mengorong siswa untuk membuat kelompok belajar yang memiliki komponen interdependen yang positif dan tanggung jawab individual. Positif interdependen mengacu pada tugas pembelajaran dalam kinerja kelompok dan penyesuaian individu selama proses kelompok. Tanggung jawab individual difokuskan pada kinerja atau pencapaian individu dari pada tujuan atau kinerja kelompok.
Tipe-tipe pengamalan belajar. Cohen dan Smith mengidentifikasi tiga tipe intervensi yang secara khusus digunakan dalam kelompok, yaitu: konseptual, ekperiensial, dan struktural. Intervensi konseptual difokuskan pada informasi, konsep ide-ide dalam berpikir yang menginspirasikan siswa untuk berpikir, mempertimbangkan dan mengeksplorasi ide-ide baru. Intervensi eksperiensial difokuskan pada pengalaman (merasa, berpikir atau bertingkahlaku) yang anggota kelompok munculkan ketika mereka berada di dalam kelompok. Intervensi struktural yaitu membuat perencanaan aktivitas, latihan dan tugas-tugas terstruktur atau intervensi yang merubah pergerakan fisik dari anggota dalam kelompok.
Membuat Pengertian.
Piaget (1972) menggunakan istilah asimilasi dan akomodasi untuk memahami bagaimana individu membuat arti/maksud atau belajar dari hal-hal yang baru. Asimilasi melibatkan penggabungan ide-ide baru ke dalam struktur kognitif yang telah ada, dan akomodasi merupakan perubahan struktur kognitif sebagai hasil dari informasi baru. Bagaimana pemimpin dapat memfasilitasi pembangun pengertian melalui model-model mental dan berpikir secara spiral
Model-model mental. Sebuah model mental merupakan representasi kognitif yang yang dibentuk dari informasi yang telah ada dan pengalaman dan menjadi acuan dalam berpikir dan membuat alasan.
Pembelajaran spiral. Pembelajaran spiral mensimulasikan dan menuntun siswa dengan cara yang sedikit berbeda yaitu mengajak siswa dengan berbagai peluang untuk mengartikan dan belajar tentang materi yang ada.
Menulis Rencana
Bingkai untuk menyusun rencana kelompok. Format rencana kelompok terdiri atas dua bagian, yaitu: rencana satuan dan rencana keseluruhan. Pada rencana keseluruhan terdapat: jumlah pertemuan, kelas/topik yang akan dibahas, waktu pelaksanaan, dan materi-materi yang akan dibahas. Untuk rencana satuan terdiri dari: topik, kelas, perkiraan jumlah siswa, dasar pemikiran, sasaran satuan, banyak pertemuan dalam satuan, perencaan penilaian satuan.
Dasar pemikiran. Dalam konseling kelompok dasar pemikiran dapat berupa pernyataan yang menindikasikan masalah-masalah yang memerlukan suatu kelompok dan bagaimana kelompok tersebut mengatasi masalah yang muncul.
Menulis sasaran dan tujuan kelompok. Untuk menulis sasaran dan tujuan kelompok, dapat menggunakan siswa sebagai subjek (misal. Siswa akan,….) dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang positif yang disusun dalam kalimat yang lengkap (misal. Siswa akan belajar ketrampilan manajemen konflik).

3.             PERENCANAAN UNTUK PELAKSANAAN
Dalam Menulis rencana pelaksanaan disarankan untuk menggunakan pendekatan yang runtun, dimulai dengan pengatar dari sebuah topik. Kita dapat menggunakan kata-kata yang spesifik dalam mengantar pertemuan atau hanya berupa catatan yang berisi tema atau menggunakan kata-kata yang relevan. Di dalam rencana yang disusun alangka baiknya terdapat peta pembelajaran dan strategi-strategi untuk dapat menginspirasi ketertarikan dan partisipasi siswa secara seketika.
Menggunakan aktivitas dalam kelompok
Aktifitas yang dipilih dengan baik dapat meningkatkan pembelajarn dalam suasana yang menyenangkan dan siswa dapat mensimulasikan aktifitas belajar dan memotivasi siswa (Gladding, 2003).
Memilih aktivitas. Banyak variasi yang dapat digunakan dalam kelompok kelas dan konseling kelompok, sebagai contoh: Gladding (2003), menggunakan boneka, musik, aktivitas yang artistik untuk meningkatkan pemahaman diri dan membantu anak-anak memahami teman-teman yang lain. Kees dan Jacobs (1990) dan Smead (1995) merekomendasikan untuk menggunakan latihan menulis (melengkapi kalimat, jurnal, daftar), latihan gerakan (latihan relaksasi, menari), kegiatan seni dan keahlian (mengambar, menyusun, mamahat), musik, latihan fantasi dan latihan perumpamaan yang dibimbing, pengambilan keputusan kelompok, latihan mufakat atau tantangan. Untuk menentukan aktifitas kelompok, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1.      Apa tujuan dari pertemuan kelompok ?
2.      Apa tingkat pembelajaran yang anda ingin siswa mencapainya ?
3.      Apa jenis pembelajaran yang telah saya lakukan sebelumnya ? apakah siswa merespon aktifitas tersebut ? bagaimana supaya aktif ini patut digunakan pada masa yang akan datang ?
4.      Apa jenis diskusi yang dapat meningkatkan motivasi siswa pada umur tersebut ?  apa aktifitas yang memalukan, yang terlalu beresiko atau terlalu membosankan untuk siswa?
5.      Berapa banyak waktu yang saya butuhkan untuk diskusi atau aktifitas ini dan berapa banyak waktu yang saya punya dalam kelompok tersebut ?

4.             MENDESAIN ASSESSMENT
Melakukan assessment terhadap tujuan atau sasaran sebuah kelompok merupakan sebuah komponen yang penting dalam proses perencanaan kelompok. Hal ini sejalan dengan praktek konseling masa kini, yang menekankan pada pentingnya penggunaan pengukuran assessment data untuk mengevaluasi pembelajaran atau perubahan yang terjadi pada klien, dan juga untuk meyakinkan akuntabilitas program konseling sekolah. Data hasil kelompok konseling dapat digunakan untuk memberikan informasi klinis siswa, mengidentifikasi keefektifan intervensi yang diberikan, dan menentukan bagian-bagian yang membutuhkan perubahan. Lebih luas lagi dalam hubungannya akuntabilitas, pengukuran assessment kelompok dapat digunakan untuk menentukan arah tujuan dan sasaran program konseling, membantu partisipasi pengurus sekolah dalam pengambilan keputusan, membuka akses dan masalah-masalah keadilan, serta dapat membantu memberikan masukan untuk keputusan-keputusan yang berhubungan dengan bagaimana memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam kelompok konseling, pernyataan tentang ekspektasi terhadap hasil yang berhubungan dengan pengukuran assessment memberikan feedback yang berharga bagi kelompok. Feedback dari assessment membantu pemimpin menentukan tujuan dan sasaran yang tepat dan bisa tercapai, intervensi yang tepat, dan langkah-langkah yang efektif dalam pencapaian tujuan dan sasaran pembelajaran.
Jenis Hasil Pengukuran Assessment
Pengukuran assessment sebaiknya dihubungkan dengan tujuan kelompok, bukan hanya pada sasaran saja, karena tujuan kelompok lebih jelas dinyatakan dari pada sasaran yang biasanya lebih mengarah ke langkah-langkah spesifik. Menghubungkan assessment dengan tujuan kelompok juga membantu kita untuk tetap fokus pada tujuan dan mempermudah proses assessment. Apabila alat yang kita gunakan untuk assessment tidak sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, data yang dihasilkan bisa tidak valid atau tidak bisa dipakai.
Pendekatan Proximal-Distal-nya Brenner, Curbow, dan Legro (1995) yang banyak digunakan untuk melakukan assessment hasil kesehatan, merupakan salah satu metode yang juga bisa digunakan oleh konselor sekolah dalam rangka menentukan pengukuran yang tepat dalam kegiatan kelompok. Hasil proximal yaitu tanda dan gejala sasaran yang berhubungan erat dengan intervensi tertentu, dalam hal ini tujuan kelompok. Sebaliknya Hasil Distal yaitu hasil yang lebih luas hubungannya dengan intervensi.
Pengukuran Self-Report. Self-report yang dibuat siswa dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai cara. Siswa bisa memberikan respon secara verbal terhadap masalah-masalah baik secara pribadi, dalam diskusi kelompok, atau dengan berpartisipasi dalam wawancara singkat mengenai apa yang telah mereka pelajari. Siswa juga dapat menunjukkannya dalam bentuk tulisan, misalnya menugaskan mereka secara berkelompok untuk menulis essay, laporan, atau dengan melaksanakan assessment obyektif, misalnya kuesioner, checklist, tes, atau kuis.
Assessment Yang Dilakukan Oleh Orang Lain. Guru dan konselor seringkali diminta untuk membuat data mengenai hasil belajar siswa. Misalnya, seorang guru bisa ditanya ketika siswa menggunakan keterampilan khusus dalam sebuah diskusi pada konseling kelompok, dan seorang konselor mengobservasi partisipasi siswa dalam sebuah kegiatan kelompok atau role playing. Kegiatan assessment seperti ini lebih berfokus pada indikator perilaku sukses, yaitu menunjukkan keterampilan tertentu, karena perilaku yang lebih bisa diamati oleh orang lain seperti guru, orang tua atau wali siswa.
Pengukuran Distal. Pengukuran hasil distal, yaitu bahwa informasi yang dihasilkan tidak bisa begitu saja dihubungkan dengan intervensi yang anda berikan, karena biasanya informasi yang didapat berhubungan dengan banyak variabel. Karena itu metode-metode di atas bukanlah alat yang tepat untuk digunakan dalam melaksanakan assessmen terhadap hasil kegiatan kelompok, disarankan untuk menggunakannya secara bersamaan dengan pengukuran proximal.
Memilih Pengukuran Yang Tepat
Assessment Kognitif. Untuk mengukur hasil belajar di ranah kognitif pada level rendah, yang fokusnya pada fakta dan mengembangkan pengertian konseptual (pengetahuan dan pemahaman), digunakan alat assessment self-report baik verbal maupun tertulis. Sedangkan untuk tugas-tugas pembelajaran kognitif tingkat berikutnya seperti berpikir kritis dan penerapan tugas (penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi), biasanya dilakukan dengan melakukan monitoring terhadap partisipasi siswa dalam diskusi kelompok, observasi, serta melakukan atau berpartisipasi dalam sebuah proyek atau laporan.  Masukan yang diberikan oleh guru, konselor, orangtua, dan staf sekolah juga dapat digunakan untuk menilai tujuan pembelajaran kognitif tingkat yang lebih tinggi. Tes, referral, kehadiran, dan laporan kemajuan juga bisa memperkaya data yang memperkuat bukti dari pencapaian tujuan yang lebih tinggi, tergantung pada tujuan penilaian.
Assessment Tujuan Afektif. Self-report dan observasi adalah sumber informasi terbaik berkaitan dengan perasaan, motivasi, dan sikap siswa. Serangkaian pertanyaan yang terdapat pada unit kelompok body image pada siswa SMP, dirancang untuk memunculkan respon emosional dari para siswa yang berkaitan dengan body image mereka, dan dapat digunakan untuk menilai pembelajaran afektif.
Assessment Tujuan Behavioral / Perilaku. Melibatkan siswa dalam kegiatan role playing atau mengobservasi kegiatan siswa di kelas, di tempat bermain, atau di aula adalah cara-cara yang bisa ditempuh dalam melakukan assessment. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik hendaknya observasi dilakukan di sekolah dalam waktu yang tidak terjadwal, sehingga didapat hasil yang lebih natural tentang apakah siswa benar-benar menerapkan keterampilan yang diajarkan. Namun assessment ini sulit dilakukan dengan sistematis karena membutuhkan guru dan konselor dalam jumlah besar. Karenanya beberapa konselor hanya mengandalkan pada catatan anekdot yang diambil di luar jam pelajaran.
Ragam Kebijaksanaan Dalam Assessment
Dalam rangka merencanakan tujuan kelompok dan memilih alat assessment yang tepat, kita harus memperhatikan nilai-nilai khas yang dimiliki oleh setiap sekolah. Sternberg juga mengingatkan bahwa siswa yang berasal dari latar kebudayaan yang berbeda mungkin juga mempunyai konsep dan masalah yang berbeda dengan yang dimaksudkan dalam instruksi dan instrumen assessment. Karena itu, akan sangat membantu apabila anda mengundang siswa dengan tujuan untuk menjelaskan tentang instrumen atau untuk mendeskripsikan pemahaman mereka. Sternberg (2007) mengingatkan bahwa siswa akan memberikan prestasi yang lebih baik apabila materi assessmentnya familiar dan mempunyai arti bagi mereka, beberapa siswa mempelajari keterampilan-keterampilan yang penting dan praktis dengan mengorbankan kemampuan akademis. Pada pengukuran assessment yang tidak terstandar, harus diperhatikan sejauhmana siswa bisa merasa nyaman dalam kelompok dan bersama konselor, serta hubungannya dengan assessment. Konselor yang bias, yaitu kecenderungan untuk mengistimewakan salah satu anggota, atau memaksakan perspektif tertentu juga bisa mempengaruhi hasil assessment. Jika konselor tidak menghiraukan atau menolak hasil assessment dari beberapa siswa. Kesimpulannya, hasil assessment bisa akurat jika instrumennya valid dan reliable, yaitu bahwa prosesnya dapat memberikan observasi dan feedback yang akurat dan obyektif, serta menghasilkan data yang bernilai. Kedua variabel tersebut saling berkaitan dan mengingatkan kita bahwa assessment harus dilaksanakan dengan aman dan transparan, yaitu semua siswa mempunyai kesempatan yang sama (meskipun mungkin ada yang tidak sama), untuk belajar dan menunjukkan hasil belajarnya.
Etika Dalam Assessment
Konselor sekolah profesional mematuhi semua standar profesional tentang seleksi, pelaksanaan, dan interpretasi pengukuran assessment (dikutip dari A.9.a, lihat lampiran E) dan rekomendasi kita adalah untuk berkonsultasi dengan rekan profesional lain apabila diperlukan dalam rangka memilih dan menggunakan alat assessment yang tepat. Dalam kode etik dan standar praktek ACA (2005) bagian E, Evaluasi, Assessment, dan Interpretasi, lebih lanjut dipaparkan bahwa konselor harus “Mempertimbangkan konteks pribadi dan budaya klien (dan) ... meningkatkan keberadaan klien individu atau kelompok dengan mengembangkan dan menggunakan instrumen penilaian pendidikan, psikologi, dan karir, yang tepat” (bagian E. Pengantar). Tegasnya, perhatian kita terhadap pemilihan instrumen pengukuran yang tepat sesuai dengan tujuan dan kondisi siswa, adalah menjadi hal yang sangat penting. Assessment data harus dilakukan dengan metode-metode yang melindungi privacy keluarga dan siswa. Meskipun kita tahu bahwa catatan anekdot merupakan pengakuan yang kuat terhadap pekerjaan konselor sekolah, namun kita tidak mempunyai kebebasan untuk membagi sebuah cerita yang mungkin saja bisa diidentifikasi. Menjaga anonimitas adalah hal yang melandasi reputasi konselor di sekolah. Kita harus berhati-hati untuk tidak menyebarluaskan cerita orang lain seperti kita menjaga layanan konseling kita
Menggunakan Hasil Assessment Secara Bertanggung Jawab
Feedback dari assessment merupakan indikasi bahwa siswa telah melakukan pembelajaran Cobia & Henderson (2007) menyatakan bahwa, “Tujuan dari evaluasi adalah untuk menentukan sejauh mana tujuan program telah tercapai, dan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk pengembangan program”. Hal ini mengingatkan kita untuk menghitung kekuatan dan kelemahan program kita, apabila ada yang tidak efektif, maka kita wajib meningkatkannya. Sebuah perencanaan penilaian yang disusun sejak awal, dan dikembangkan dengan baik sebelum kegiatan dimulai, akan memberikan arah perkembangan. Proses assessment yang berkualitas bisa membantu kita menentukan aspek-aspek tujuan yang telah dicapai, dan usaha atau instruksi tambahan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan


B. MEMIMPIN KELOMPOK

5.             PENGAMBILAN KEPUTUSAN OLEH PEMIMPIN DARI KEDUDUKAN FILOSOFIS  YANG JELAS
Mengembangkan pemikiran Filosofis
Pembelajaran dan pertumbuhan personal tidak terjadi hanya karena siswa secara bersama di dalam suatu ruangan dengan memiliki tujuan; pembelajaran terjadi sebagai hasil dari pemberian kemudahan yng disengaja, yang merupakan bagian dari pemimpin kelompok.
1.                  Kepemimpinan yang Autoritatif
Larrievee (2005) mengusulkan bahwa pemimpin group yang autoritatif sebaiknya memiliki rasa bertanggung jawab dan peduli kepada siswa dengan penuh perhatian; memberikan menawarkan dan memberikan masukan, alternatif-alternatif, keterangan, dan umpan balik secara langsung; dan menjadi model. Pemimpin kelompok yang autoritatif mampu menjelaskan alasan-alasan harapan yang jelas pada kelompok, mendukung secara verbal perubahan yang terjadi diantara anggota kelompok, mendukung siswa untuk mengatur dirinya sendiri, dan fleksibel dalam bagaimana dia memimpin kelompoknya (Hughes, 2002; Ingersol, 1996).
2.             Filosofi Disiplin
Bicara soal disiplin, banyak pembahasan yang mengarahkan pada pemikiran atau pertanyaan tentang posisi seorang konselor sekolah dalam melakukan disiplin. Beberapa sekolah ragu dalam melakukan pendisiplinan pada anak, karena mereka percaya dengan melakukan hal itu berarti mereka setuju membangun hubungan konseling dengan pola lama. Atau mereka berkeyakinan bahwa dengan bersikap seperti itu akan membingungkan siswa  dan menimbulkan pemikiran bahwa apa bedanya guru dan konselor.
3.             Menanggapi perbedaan Isu yang muncul
Ketika kita melangkah lebih dalam lagi dalam pemahaman ini, kita akan memulai mencari tahu identitas anggota kelompok seperti kondisi sosial ekonomi, ras, ketidakmampuan, orientasi seksual, indentitas gender, akan nampak sebagai tanda sosial. Dampak dari tanda sosial ini adalah bagaimana cara pandang atau cara bertindak dari perspektif yang berbeda terhadap satu orang atau satu kelompok terhdap yang lain, yang menghasilkan diskrimanasi.

PENDEKATAN KEPEMIMPINAN KONSELING DAN KEPEMIMPINAN KELAS
Persamaannya dalam memimpin konseling dan kelompok kelas
ü   Teori yang melandasi kerja dalam kelompok. Teori yang menjadi landasan dalam menjalankan kelompok baik dalam konseling maupun kelas antara lain tahapan dalam proses kelompok.
ü   Hasil dari proses kelompok. Proses kelompok konseling dan kelas memiliki tujuan yang sama yaitu pengembangan individu secara personal dalam hal pertumbuhan dan pengembangan kemampuan sosial.
Perbedaan memimpin konseling dan kelompok kelas
ü   Structure dan Directiveness.
Structure berhubungan dengan tersusun rapih dan dapat diramalkan; yaitu dimana pemimpin dapat memutuskan, bagaimana selanjutnya, apa yang akan terjadi, bagaimana dan kapan terjadi di dalam kelompok. Directiveness  berhubungan dengan cara-cara pemimpin kelompok secara aktif terlibat dalam menyusun proses kelompok dalam tujuan untuk mencapai sasaran dan tujuan dalam kelompok.
Mengendalikan isu-isu sosial dan budaya sekolah
1.             Perkembangan kemampuan sosial di sekolah
Brophy (1999) menghubungkan antara kemampuan sosial siswa dengan pembelajaran komunitas. Proses sosialisasi terdapat dalam tingat sekolah dasar dimana anak-anak mengembangkan kemampuan mereka seperti diam dalam kelompok, menunggu giliran, sharing, mengajukan pertanyaan kepada anggota kelompok lainnya, menggunakan suara yang pelan/sopan (Jones & Jones, 2001),
2.             Keberadaan isu-isu dalam kelompok sekolah
Meier (2002) menegaskan bahwa sekolah memilki sikap dalam memberitahu anak-anak tentang siapa mereka dan mereka dapat menjadi apa. Saat ini kita fokus selengkapnya pada persepsi status sosialyang dikembangkan disekolah dan yang mana memberikan petunjuk untuk bagaimana siswa terikat dengan siswa lainnya secara sosial dan diseputar tugas-tugas pembelajarannya. Pada awal karir mereka disekolah, ide-ide perkembangan anak muda mengenai kompetensi, popularitas, dan karakter-karakter siswa lain; masyarakat dibawa memperhatikan keberadaan variable-variabel tersebut yang terpendam dalam kebanyakan komuitas sekolah yang ada.

6.             DASAR-DASAR DALAM MEMIMPIN KELOMPOK
Ketrampilan-ketrampilan dasar konseling untuk kerja kelompok
Ketrampilan dasar konseling, kadangkala disebut “microskills” (Ivey, Pedersen, & Evey, 2001), merupakan perlengkapan yang digunakan oleh pemimpin kelompok untuk melibatkan anggota kelompok antar anggota yang satu dengan yang lainnya dan meningkatkan produktivitas, untuk membantu individu dalam mengkonstruk rasa percaya diri dan rasa saling menghargai dengan orang lain, untuk memfasilitasi proses pembelajaran ketrampilan-ketrampilan baru, serta mendapatkan pemahaman baru (Ivey, Pedersen, & Evey, 2001).
Iklim kelompok
Iklim kelompok merupakan kondisi kelompok yang sangat fasilitatif dalam pertumbuhan dan perkembangannyannya, melalui pembelajaran dan menghasilkan perubahan. Banyak variabel atau faktor yang mempengaruhi, misalnya: tipe kelompok, cara membantuk kelompok, tahapan kelompok, kompetensi dari pemimpin kelompok. Dan hal-hal unik yang mempengaruhi iklim kelompok juga dapat berupa: rasa aman, tantangan, resiko yang diambil kelompok, kohesivitas kelompok, empati dan perhatian atau kepedulian anggota kelompok.
Zona pertumbuhan/ perkembangan
Hal terpenting untuk menciptakan iklim kelompok yang kondusif dengan memunculkan karaktersitik seperti: adanya rasa percaya satu sama lain, saling mendukung, adanya rasa aman (Corey & Corey, 2006). Respon dari pemimpin kelompok adalah mengambil keputusan yang tepat, serta adanya rasa tanggung jawab penuh dari pemimpin untuk memonitor anggota kelompok.
Kohesivitas
Kohesivitas kelompok merupakan salah satu faktor terapeutik yang diidentifikasi oleh Yalom (2005) sebagai salah satu tanda produktifitas kelompok. Kohesifitas kelompok merupakan rasa saling memiliki diantara seluruh anggota kelompok (Corey & Corey, 2006; Gladding, 2008; Kline, 2003). Kohesivitas kelompok berkembang atau tumbuh dari hubungan interpersonal yang sehat di antara anggota kelompok dan ketika anggota kelompok memiliki rasa satu kesatuan (commonality) dalam suatu hubungan untuk mencapai tujuan kelompok. Pemimpin kelompok dapat menciptakan kohesivitas kelompok dengan menggunakan ketrampilan-ketrampilan dasar konseling, seperti: paraphrasing, reflecting, dan probing questions dapat digunakan untuk membantu siswa dalam mengidentifikasi perasaan, ekspresi empati dan membagi pengalaman mereka dalam kelompok.
Perhatian
Noddings (1992) menyatakan bahwa perhatian/kepedulian merupakan hal yang sangat penting bagi anak-anak untuk dapat belajar dari pendidik tentang bagaimana cara berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar (hal. 163). Kepedulian juga membawa rasa memiliki dalam kelompok atau ke dalam komunitas sekolah (Lindwall & Coleman, 2008).
Norma dan aturan kelompok
Norma-norma kelompok merupakan aturan-aturan yang tidak ditulis berupa harapan perilaku/tingkahlaku yang diatur dalam kelompok. Hal ini cenderung tidak dibicarakan atau dinegosiasi secara langsung antara anggota dan pemimpin namun perlu dikembangkan kesadaran yang merupakan tujuan dari pemimpin kelompok. (Kline, 2003).

Bekerja dalam zona perkembangan dan menciptakan iklim kelompok dengan kohesifitas dan rasa kepedulian menuntut pengaturan (structuring) and pengawasan terhadap norma kelompok dan peran dari anggota.
Strategi-strategi dalam memimpin kelompok
Terdapat beberapa strategi untuk memulai suatu kelompok, yaitu:
1.             Membangkitkan perhatian dan keingintahuan
Saat memulai suatu kelompok hal yang sangat penting adalah menangkap perhatian dari anggota kelompok. Hal ini sangat penting untuk anak muda yang masih kurang termotivasi untuk mengikuti kelompok serta belum menjadi partisipan. Membangkitkan perhatian kelompok merupakan awal yang baik dari suatu kelompok.
2.      Membuat peta pembelajaran
Setelah memperoleh perhatian siswa/anggota, kita dapat menyampaikan garis besar (overview) dari program yang akan dikejakan dalam kelompok tersebut. Hal ini sering disebut sebagai “pete pembelajaran” dimana merupakan gambaran topik-topik yang dibahas dalam kelompok.
3.      Menawarkan pembelajaran
Hal yang penting lainnya adalah pemimpin kelompok mengkomunikasikan program kerja kepada siswa (Brophy, 1999). Kadangkala hal ini sangat berpengaruh dan membawa dampak yang besar dalam proses kelompok, bilamana ketika siswa tidak jelas tentang ketentuan yang ada, siswa mungkin akan menjadi tidak berminat dan menjadi figur tidak teratur (kacau). Pemimpin kelompok dapat bertanya kepada siswa tentang hal-hal yang mereka belum pahami.
Scaffolding
Scaffold merupakan platform sementara yang dibangun untuk membantu individu yang bekerja dalam suatu proyek. Terdapat dua kata yang operatif untuk menjelaskan istilah scaffolding yaitu sementara dan mendukung. Kata sementara dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa pemimpin hanya merupakan asisten dari anggota ketika dibutuhkan namun tidak untuk, selamanya. Dukungan merujuk pada bagaimana guru atau konselor membantu siswa dalam proses pembelajaran dengan tidak mengurangi rasa tertantang siswa dalam proses pembelajaran dengan cara membimbing siswa untuk dapat belajar secara mandiri. Dukungan memiliki arti melatih, mendorong, menjadi batu loncatan, pengingat, dan pengajar sehingga siswa menjadi sukses dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran.
Memanajemen proses dan konten
Proses kelompok merujuk pada bagaimana interaksi kelompok, bagaimana perkembangan kelompok, dan hal-hal apa saja yang terjadi dalam kelompok. Dengan merujuk pada hubungan antara anggota kelompok dan bagaimana cara mereka belajar hal ini disebut sebagai dinamika kelompok (Geroski & Kraus, 2002). Isi atau konten dari kelompok merupakan hal-hal yang direfleksikan tentang tujuan kelompok, topik kelompok, perencanaan kelompok atau tema yang diusung oelh kelompok tersebut (Geroski & Kraus, 2002).


C. MERESPON KELOMPOK

7.             MERESPON ATAU MENANGGAPI PERMASALAHAN DALAM KELOMPOK
Berpikir Mengenai Masalah
Kami telah bertukar pendapat mengenai istilah “masalah” saat menulis bab ini. Dengan menawarkan masukan atau pendapat bagaimana menanggapi masalah dalam kelompok kami tidak ingin melihat pada saat individu dalam kelompok sebagai sebuah masalah, walaupun perilakunya menimbulkan masalah. Memberikan label pada seorang anak sebagai pembuat masalah,secara langsung atau tidak langsung dapat menciptakan kesimpulan identitas ini dimensional yang tidak diinginkan pada anak tersebut, pada saat anak diidentifikasikan sebagai masalah mereka akan melihat diri mereka sendiri sebagai yang bermasalah dan orang lain juga akan melihat demikian pula.Hasil dari permasalahan identitasdapat diprediksi : permasalahan perilaku berlanjut dan direspon atau ditanggapi oleh permasalahan identitas yang lain,anak muda ini kemudiandikenal sebagai “masalah” dan cenderung diisolasi, dari anak-anak yang tidak dalam kategori bermasalah itu, kesempatan untuk melihat dirimereka dan sudut pandang lain (tidak bermasalah) dikurangidan potensi mereka untuk mengambil sisi positif dan instruksi menjadi tidak ada. Jelasnya, hal ini bukanlah resep dari pengembangan yang sehat.
Berpikir Mengenai Tanggapan
Salah satu keahlian yang penting untuk pemimpin kelompok yang ebkerja dengan anak muda adalah kemampuan untuk menentukan perilaku manakah yang dapat ditoleransi pada kelompok dan mana yang membutuhkan intervensi pemimpin. Posisi kami adalah pada tanggung jawab dari pemimpin kelompok untuk mengintervensi dalam menanggapi perilaku bermasalah pada saat sudah jelas bahwa perilaku tersebut berkaitan dengan kemampuan anggota kelompok untuk mengambil keuntungan dari kelompok. Seperti yang didapat Charles & Senter (2002), “Guru (pemimpin kelompok) bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan lingkungan psikologis yang diinginkan,memulai pengkondisiannya, dan memelihara lingkungan yang baik setelah tercapai” (hal 56). Saat siswa mengintervensi pada saat pembelajaran tersebut terjadi pada kelompok, dan saat mereka tidak hormat dan membahayakan satu sama lain, intervensi sangat dibutuhkan.
Kembali ke Peraturan
Respons ini adalah sebuah pendekatan sederhana dalam menghadapi berbagai masalah dalam kelompok. Tetapi, seperti yang diutarakan oleh Kline (2003), itu tidak mengizinkan penjelasan apapun dari masalah utama yang kemudian dapat menyebabkan perilaku yang salah atau pelanggaran peraturan. Dalam beberapa kasus, terutama saat pelanggaran peraturan sering terjadi dalam kelompok, maka perlu melakukan diskusi dalam kelompok mengenai situasi tersebut agar terjadi pemahaman lebih dalam akan mengapa sebuah perilaku tertentu bermasalah. Saat perilaku bermasalah berkaitan dengan ketidaktoleranan (intoleransi) atau perilaku mengganggu, sebuah pendekatan sederhana “pengulangan peraturan dan kembali meneruskan” dapat mendiamkan masalah yang penting dan memberi pesan yang salah kepada anggota kelompok. Karena itu, kapan dan bagaimana merespons pengulangan peraturan harus dipertimbangkan agar dapat memenuhi kebutuhan keamanan dalam belajar pada murid dan kelompok.
Opsi-pilihan
Merespons kelakuan buruk murid dengan menawarkan opsi-pilihan mengomunikasikan tanggung jawab murid terhadap perilakunya sendiri, terutama sat pilihan dan konsekuensinya disampaikan dengan jelas kepada murid (Emmer & Evertson, 2009), dan dapat membantu murid merasa tidak terkontrol oleh yang lain (Jones & Jones, 2001). Menawarkan opsi-pilihan terbatas (hanya beberapa pilihan) akan memberikan struktur lebih banyak daripada menawarkan opsi-pilihan terbuka (mengundang murid untuk mengidentifikasi pilihan), dan dengan begitu akan dapat memperlancar proses pembuatan keputusan. Struktur pilihan terbatas sangat membantu terutama saat bekerja dengan murid yang tak dapat menempatkan pilihan perilaku yang sesuai pada saat konfrontasi atau dalam situasi Anda harus merespons perilaku buruk tersebut dengan cepat dan segera kembali ke tugas sebelumnya. Dalam situasi di mana hanya ada beberapa pilihan atau pembimbing ingin memberi kesempatan bagi para murid untuk memilih tapi juga ingin mendorong aksi tertentu, opsi-pilihan berbobot juga dapat diberikan. Intervensi pilihan berbobot menawarkan serangkaian pilihan,tapi dalam penawaran ini, beberapa diantaranya lebih menarik dibandingkan yang lainnya. Contohnya dalam kelas adalah saat guru menawarkan kepada murid untuk menyelesaikan tugas hingga kelas berakhir atau meneruskannya sepulang sekolah. Saat tur campur dalam kelas dan kelompok bimbingan, maka perlu untuk membentuk opsi-pilihan sehingga pilihan yang paling sesuai atau konstruktif dapat terpilih.

8.             MENGATASI MASALAH DI LUAR KELOMPOK
Kontrak
Kontrak adalah kesepakatan verbal dan/atau tertulis mengenai pengharapan perilaku yang dinegosiasikan antara siswa dengan pemimpin kelompok. Kontrak biasanya digunakan ketika terjadi perilaku problematis secara berulang kali yang menghambat berlangsungnya fungsi kelompok atau ketika terjadi masalah yang sangat parah sehingga diperlukan intervensi secara langsung (Emmer dan Evertson, 2009).
Waktu Keluar (Time-Out)
Waktu keluar (time-out) adalah sebuah strategi reduksi perilaku yang dirancang untuk membuat siswa keluar dari sebuah lingkungan tertentu yang bisa menguatkan perilaku negatif tertentu (Zirpoli dan Melloy, 1997).



DE-ESKALASI
Langkah 1: Evaluasi
De-eskalasi diawali dengan melakukan evaluasi secara ringkas dan cepat terhadap individu dan situasi (James dan Gilliland, 2001). Evaluasi ini diawali dengan meninjau kondisi afektif, behavioral dan kognitif dari siswa.

Langkah 2: Membangun Keakraban dan Hubungan
Membangun hubungan dengan siswa yang sedang menjadi lepas kendali adalah langkah yang sangat penting. Dengan menggunakan hubungan yang Anda miliki dengan siswa untuk mendukung siswa maka Anda bisa membantu rasa percaya yang sangat penting agar Anda bisa membantu siswa mendapatkan kembali kendali dirinya.

Langkah 3: Mengidentifikasi Masalah
Ketika Anda memilah-milah rincian dan mendapatkan pemahaman tentang masalah yang terjadi, Anda juga perlu memberikan kontribusi ke dalam diskusi dengan siswa itu dalam bentuk pemahaman dan pengalaman Anda sendiri yang diceritakan kepada siswa.

Langkah 4: Memperhatikan Kebutuhan Afektif
De-eskalasi bukanlah psikoterapi, atau paling tidak bukan merupakan eksplorasi diri dalam jangka panjang seperti dalam terapi. Namun de-eskalasi memerlukan respon terapeutik, yaitu yang dalam sebagian besar kasus biasanya berupa menurunkan kecepatan dan memberikan respon terhadap kebutuhan emosional dari individu. Agar bisa merawat kebutuhan emosional dari siswa, undanglah siswa untuk datang ke tempat yang aman dimana Anda memegang kendali dan tawarkan empati kepada siswa ketika siswa mengekspresikan emosinya.

Langkah 5: Menjalankan Resolusi Bagi Masalah
Langkah berikutnya di dalam de-eskalasi adalah membantu siswa secara perlahan-lahan di dalam menjalani situasi dan semua yang terjadi setelah insiden itu. Ini dilakukan dengan membahas masalah yang terjadi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya.


Langkah 6: Tindak Lanjut
Dalam de-eskalasi, tahap tindak lanjut ini adalah tahap dimana konselor melakukan pemantauan terhadap konsekwensi-konsekwensi yang terjadi sebagai akibat dari insiden dan memantau siswa yang bermasalah itu untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya insiden atau masalah serupa lagi di masa depan, dan ini dilakukan konselor dengan bekerjasama dengan para guru dan administrator untuk menjamin bahwa siswa mendapatkan dukungan yang tepat.
Memberikan Respon Dengan Kesadaran Akan Jendela Dan Cermin
Tatum (1997) telah menunjukkan bahwa banyak orang memiliki kenangan masa lalu tentang hubungan antar ras yang dipenuhi dengan emosi seperti rasa marah, kebingungan, sedih, heran dan malu. Kenangan semacam ini biasanya berasal dari observasi kita terhadap dunia sekitar kita, sejak mulai dari masa kanak-kanak.
 


REFERENSI

Geroski & Kraus. 2010. Groups In Schools: Preparing, Leading, and Responding. Boston: Pearson Education, Inc., New Jersey.