Tuesday, January 11, 2011

# Pengembangan Kurikulum Sebagai Tindak Lanjut Perencanaan Kurikulum & Tentang Ujian Nasional: Masukan Untuk Pemerintah


A. THEORITICAL VIEW

1.             Pengembangan Kurikulum Sebagai Tindak Lanjut Perencanaan Kurikulum
1.1.       Pendahuluan
Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin, curere, yaitu track yang digunakan dalam balap kereta kuda. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh John Franklin Bobbit dalam bukunya The Curriculum yang diterbitkan pada tahun 1918. Menurut Bobbit, kurikulum merupakan suatu naskah panduan mengenai pengalaman yang harus didapatkan anak-anak agar menjadi orang dewasa yang seharusnya. Oleh karena itu kurikulum merupakan kondisi ideal dibandingkan kondisi real. Kurikulum diibaratkan sebagai “jalur pacu” atau “kendaraan” untuk mencapai tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan.
Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (outcomes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran. Materi di dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives) pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Sedangkan menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam praktik. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidika Nasional Pasal 1 ayat 19, menyebutkan bahwa, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum hakikatnya adalah jalan yang harus ditempuh peserta didik/mahasiswa/peserta diklat untuk mencapai tujuan suatu program pendidikan/latihan.  Dalam proses menghasilkan kurikulum masalah pertama yang harus diselesaikan adalah teridentifikasinya tujuan pendidikan yang harus dicapai oleh para peserta didik, yang selanjutnya dirancang struktur program kurikulum yang memuat jenis-jenis mata pelajaran/kuliah/ program latihan beserta dengan perbandingan bobot dalam bentuk alokasi jam pelajaran atau sistem kredit semester (SKS). Setelah kurikulum suatu satuan pendidikan selesai disusun, barulah kita memasuki tahap pengembangan kurikulum yang meliputi penyusunan baris besar program belajar mengajar, dan pengembangan program pembelajaran.

1.2.       Pengembangan Kurikulum Suatu Mata Pelajaran
Pada tahap menerjemahkan program kurikulum menjadi program pembelajarn suatu mata pelajaran, kita dituntut untuk dapat memilih materi ajar yang paling relevan. Berkaitan dengan istilah relevansi, perlu dijelaskan bahwa terdapat tiga jenis relevansi, yaitu: relevansi epistemologi, relevansi psikologis, dan relevansi sosial dan moral. Relevansi epistemologi terkait dengan kesesuaian suatu proses pembelajaran yang memungkinkan berkembangnya kemampuan melakukan penelitian atau kajian, menguasai cara untuk mengetahui. Secara etimologikal, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani: episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistemik. Epistemologi diartikan sebagai kajian sistematik mengenai pengetahuan. (Epstemologi Dasar, AM.W Pranarka, 1987). Sedangkan relevansi psikologis terkati dengan kesesuaian suatu proses pembelajaran yang memungkinakn berkembangnya kemampuan memecahkan masalah. Sementara relevansi moral dan sosial terkait dengan proses dan suasana pembelajaran yang dapat mengembangakn dan menanamkan sikap dan nilai yang sesuai dengan harapan masyarakat di mana suatu lembaga pendidikan berada.
Setiap bidang studi, yang menjadi sumber bahan ajar suatu mata pelajaran/latihan, mengandung banyak topik, baik yang berupa konsep, paradigm, teori, maupun metode yang dapat satukan dalam tahap penyusunan Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), yang meliputi:
1.             Penyusunan pokok-pokok bahasan suatu bidang studi yang secara potensial dapat dijadikan objek belajar yang relevan untuk mencapai tujuan.
2.             Memilih pokok bahasan bidang studi yang paling relevan sebagai objek belajar guna mencapai tujuan kurikulum yang telah ditetapkan
3.             Menyusun deskripsi setiap pokok bahasan yang telah dipilih sehingga luas dan dalamnya isi suatu pokok bahasan jelas
4.             Menataurutkan pokok-pokok bahasan dalam urutan yang secara logis dan psikologis dapat dipertanggungjawabkan
Suatu mata pelajaran, yang memuat tujuan-tujuan kurikulum dan pokok-pokok bahasan yang ditentukan sebagai obyek belajar serta urutan penyajiannya, belum bermakna bagi proses pendidikan yang bermuara pada tercapainya tujuan pendidikan secara efisien dan efektif, sebelum dikembangkan lebih lanjut menjadi program pembelajaran yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara paedagogik, sosio psikologis, dan sosio kultural. Karena itu, para pengajar/dosen/widyaiswara selanjutnya perlu merancang program pembelajaran yang relevan, efisien, dan efektif.

1.3.       Pengembangan Program Pembelajaran
Agar kurikulum yang telah dirancang dan dikembangkan dapat menjadi serangkaian pengalaman pembelajaran yang relevan, masih perlu dikembangkan lebih lanjut program pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan oleh penanggung jawab bidang studi, baik guru, dosen, atau widyaiswara. Untuk itu guru, dosen, dan wiayaiswara perlu menjadi tenaga pendidik yang benar-benar menguasai: (1) bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya; (2) karakteristik peserta didik/mahasiswa/peserta latihan; (3) berbagi model pembelajaran; (4) teknologi pendidikan; dan (5) sistem evaluasi. Kelima jenis pengetahuan tersebut perlu dikuasai oleh penanggung jawab suatu bidang studi agar dapat mengembangkan program pembelajaran yang relevan dengan tujuan yang pencapaiannya dibebankan pada bidang studi tersebut.
Program pembelajaran yang memenuhi syarat, antara lain, harus: (1) memungkinkan peserta didik/mahasiswa/peserta latihan mengalami proses pembelajaran yang relevan dengan tujuan yang harus dicapai. Misalnya, kalau yang harus dicapai adalah dapat menganalisis SWOT (strength, weakness, oportunity, dan threat), peserta latihan/mahasiswa harus memahami konsep tentung analisis SWOT . Di samping melakukan kegiatan analisis SWOT (2) dapat memilih bahan dan sumber belajar, baik buku atau jurnal yang dapat memperluas wawasan; (3) harus dapat memilih dan mengembangkan media belajar yang dapat mendukung makin dipahaminya suatu konsep; (4) harus merancang model interaksi belajar yang menantang  peserta didik untuk berpikir dan berkontemplasi; dan (5) merancang program evaluasi yang terus-menerus, baik berupa pemberian tugas membaca, menulis makalah, menyajikan laporan hasil pengamatan secara terstruktur, yang kesemuanya diberi nilai secara proporsional.
Dari uraian tentang program pembelajaran yang memenuhi syarat tersebut jelaslah bahwa dalam mengembangkan program pembelajaran, penanggung jawab suatu mata pelajaran/latihan harus: (l) merancang model pembelajaran yang relevan dengan topik dan tujuank urikulum;  (2) memilih bahan belajar, baik buku, jurnal, atau laporan yang relevan; (3) memiIih media belajar yaag sesuai; (4) merancang bentuk interkasi belajar antarpeserta dengan peserta dan peserta dengan widyaiswara, (5) merancang program evaluasi yang terus-menerus yang dapat meliputi penugasan melakukan observasi dan menyusun laporan hasil observasi, penugasan membaca buku dan hasilnya didiskusikan, dan berbagai penugasan lainnya yang relevan, yang kemampuannya dinilai secara proprosional untuk mendapatkan nilai akhir.
Dari uraian di atas dapatlah ditarik catatan bahwa betapapun kurikulum berulang kali diubah, kalau hanya sampai pada tahap tersusunnya struktur program dan garis besar program pengajaran, dan, tanpa ditindaklanjuti dengan upaya mengembangkan kurikulum yang telah ditetapkan menjadi program pembelajaran yang relevan, tujuan pendidikan akan sukar dicapai.

1.4.       Deskripsi Singkat Tentang Pengembangan Kurikulum Nasional
1.4.1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
1.4.2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
1.4.3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
1.4.4. Kurikulum 1975 
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
1.4.5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
1.4.6. Kurikulum 1994 Dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
1.4.7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
1.4.8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
1.5.       Kerangka Pengembangan Kurikulum Sebagai Tindak Lanjut Perencanaan Kurikulum
Dari serangkaian uraian dan ulasan di atas dapat dibuat kerangka pengembangan kurikulum sebagai tindak lanjut perencanaan kurikulum yang terdapat dalam bagan berikut ini:

 


























2.             Tentang ujian nasional: Masukan untuk pemerintah
Salah satu fungsi penyelengaraan pemerintahan Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada Negara-negara maju sekolah dijadikan sebagai wahana untuk membangun suatu bangsa melalui transformasi budaya. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh UN dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan dan etos kerja rakyat Indonesia?
2.1.       Sejarah ujian nasional (UN)
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah UN telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan. Perkembangan ujian nasional tersebut, diantaranya:
1.             Periode 1965 – 1971
Pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk hampir semua mata pelajaran. Bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.
2.             Periode 1972 - 1979
Pada tahun 1972 diterapkan sistem Ujian Sekolah. Dengan penerapan ini, setiap atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan pemprosesan hasil ujian semuanya ditentukan oleh masing-masing sekolah/kelompok sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat khusus.
3.             Periode1980 – 2000
Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang "sama" dan dapat dibandingkan antar-sekolah, maka sejak tahun 1980 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dalam Ebtanas dikembangkan sejumlah perangkat soal yang "parallel" untuk setiap mata pelajaran dan penggandaan soal dilakukan di daerah.
4.             Periode 2001 – 2004
Sejak tahun 2001, Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan Ebtanas adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Dalam Ebtanas, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q), dan nilai Ebtanas murni (R), sedangkan pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
5.             Periode 2005 – sekarang
Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan  MA/SMK/MA/SMALB/SMKLB.
6.             Periode 2008 – sekarang
Untuk mendorong tercapai target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.

Perubahan dan penyempurnaan terus dilakukan pada tatanan ujian nasional, yang pada intinya adalah untuk mengevaluasi pencapaian peserta didik yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan di negera kita. Suatu pendidikan dikatakan bermutu, diukur dari perannya dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional, adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral, dan berkepribadian. UNESCO (1996) menyebutnya sebagai “moulding the character and mind of young generation”.  Kebijakan yang diutamakan di negara-negara maju adalah membantu peserta didik untuk dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan (1) menyediakan guru professional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik terus-menerus belajar dengan membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan, yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif, dan objektif.

2.2.       Pembelajaran Tuntas (mastery learning) untuk Peningkatan Mutu Pendidikan
Di Indonesia pernah dikembangkan prinsip belajar tuntas (learning for mastery) dan belajar berkelanjutan (continuous progress) dengan nama Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada beberapa tempat, seperti: Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar yang dikelolah oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) setempat. Namun, saat terjadi resesi ekonomi global, proyek tersebut tidak dilanjutkan karena keterbatasan anggaran.
Pembelajaran tuntas adalah pola pembelajaran yang menggunakan prinsip ketuntasan secara individual. Dalam hal pemberian kebebasan belajar, serta untuk mengurangi kegagalan peserta didik dalam belajar, strategi belajar tuntas menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi mengakui dan melayani perbedaan-perbedaan perorangan peserta didik sedemikian rupa, sehingga dengan penerapan pembelajaran tuntas memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal. Dasar pemikiran dari belajar tuntas dengan pendekatan individual ialah adanya pengakuan terhadap perbedaan individual masing-masing peserta didik
Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan  peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta didik tersebut belum optimal. Block (1971) menyatakan tingkat penguasaan kompetensi peserta didik sebagai berikut :
 tingkat penguasaan kompetensi peserta didik
Model ini menggambarkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi (degree of learning) ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar digunakan(time actually spent) untuk belajar dibagi dengan waktu yang diperlukan (time needed) untuk menguasai kompetensi tertentu.
Dalam pembelajaran konvensional, bakat (aptitude) peserta didik tersebar secara normal. Jika kepada mereka diberikan pembelajaran yang sama dalam jumlah pembelajaran dan waktu yang tersedia untuk belajar, maka hasil belajar yang dicapai akan tersebar secara normal pula. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara bakat dan tingkat penguasaan adalah tinggi. Secara skematis konsep tentang prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan konvensional dapat digambarkan sebagai berikut :
konsep tentang prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan konvensional
Sebaliknya, apabila bakat peserta didik tersebar secara normal, dan kepada mereka diberi kesempatan belajar yang sama untuk setiap peserta didik, tetapi diberikan perlakuan yang berbeda dalam kualitas pembelajarannya, maka besar kemungkinan bahwa peserta didik yang dapat mencapai penguasaan akan bertambah banyak. Dalam hal ini hubungan antara bakat dengan keberhasilan akan menjadi semakin kecil.
Secara skematis konsep prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran tuntas, dapat digambarkan sebagai berikut:
dampak pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran tuntas
Dari konsep-konsep di atas, kiranya cukup jelas bahwa harapan dari proses pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas adalah untuk mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi peserta didik yang lambat agar menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di AS oleh Benjamin Bloom, ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peseta didik tentang apa yang akan dinilai (diujikan).

2.3.       Tentang Ujian Nasional (UN)
Kita memiliki sebuah sistem pendidikan yang berstandar nasional. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional tersebut mencakup: Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian Pendidikan. Oleh karena itu kita memerlukan suatu ujian yang berstandar nasional.
Sebenarnya, tujuan UN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik serta untuk mengukur mutu pendidikan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.
UN pada umumnya menanyakan dimensi kognitif mata pelajaran, sehingga menjadikan peserta didik tidak merasa perlu melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu melakukan secara terus-menerus dan berdisiplin dalam berbagai kegiatan belajar yang hakikatnya diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap, karena semua itu tidak diujikan. Dampak lebih lanjut adalah munculnya lembaga bimbingan tes, hal ini membuat sekolah tidak lagi menjadi pusat pembudayaan. Kelulusan siswa ditentukan oleh sekolah berdasarkan prestasi mereka, yang diamati secara terus-menerus oleh para pendidik. Secara ringkas kiranya dapat disimpulkan bahwa, UN tidak dapat menjadi penentu meningkatnya mutu pendidikan. Banyak elemen sistem persekolah yang perlu ditata sebagai “minimum quality assurance” bagi peningkatan mutu pendidikan.


















2.4.       Kerangka Berpikir Ujian Nasional dari Perspektif Pendidikan Makro
Secara Makro, Pendidikan di Indonesia tidak hanya berfokus pada aspek ujian semata, yang menjadi “evaluator” pendidikan. Ada banyak faktor yang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan nasional kita seperti pada bagain berikut ini.














FEED BACK (UMPAN BALIK)
 
 




                                                                                                                   Evaluasi (UN)




Left-Right Arrow: CONTROL SYSTEM
 














B. PROBLEM

Sementara negara lain berpacu meningkatkan teknologi dalam pendidikan, negara kita masih terseok-seok menentukan kurikulum apa yang tepat. Mungkin sudah menjadi tradisi para pemimpin negeri ini untuk menancapkan monumen kepemimpinan mereka, melalui kebijakannya, termasuk dalam bidang pendidikan. Sehingga tak heran, setiap ganti menteri, ganti kebijakan.
Entah sudah berapa kali kurikulum pendidikan di negeri ini berganti, menyebabkan buku kakak tak lagi dimanfaatkan adiknya. Belum selesai kurikulum A, sudah diganti dengan kurikulum B, belum selesai dilaksanakan kurikulum B sudah berganti lagi dengan kurikulum C. Yang terakhir, kurikulum baru yang dinamakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) untuk mengganti sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang diterapkan sebelumnya.
Apa sih KTSP itu? KTSP adalah sebuah kurikulum yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas No. 19 tahun 2007, yang memungkinkan sekolah menentukan sendiri kurikulum yang diajarkan kepada para siswa. Meski dibebaskan, namun kompetensi siswa telah dirumuskan dalam KBK. Dengan kebebasan ini, seorang guru diharapkan bisa memiliki inovasi dan daya kreatifitas yang tinggi untuk menyampaikan materi kepada peserta didiknya dengan baik. Penentuan kurikulum ini bisa berbeda antar satu sekolah dengan lainnya, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan para siswa.
KTSP sebagai kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing
 satuan pendidikan tahun ini akan menjadi content kurikulum yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN) dan diharapkan dapat memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP). KTSP sebagai kurikulum yang dikembangkan sendiri oleh masing-masing sekolah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah namun harus mengacu pada standar isi yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Menurut panduan penyusunan KTSP, standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam standar isi adalah kerangka dasar dan struktur kurikulum, standar kompetensi, dan kompetensi dasar, setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah, seperti yang ditetapkan dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006.
Rumusan itu menegaskan bahwa antara standar isi dan standar kompetensi lulusan memiliki korelasi yang kuat, dalam arti standar isi memberikan arahan bagi pengembangan silabus di tingkat sekolah yang selanjutnya diharapkan dapat mencapai standar kompetensi lulusan. Persoalannya adalah apakah antara pengembangan silabus dan standar kompetensi lulusan juga masih memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi? Sebab, bukankah dengan menyerahkan kewenangan kepada sekolah untuk mengembangkan silabusnya sendiri merupakan mekanisme yang justru meninggalkan lubang ketimpangan.
Persoalan tersebut semakin intens ketika pemerintah masih menggunakan UN sebagai alat satu-satunya untuk mengukur kompetensi lulusan. Padahal, mekanisme ini sendiri masih belum sesuai dengan aturan. Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan PP 19/2005 pasal 72 Ayat (1), "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah, pertama, menyelesaikan seluruh program pembelajaran; kedua, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; ketiga, lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan keempat lulus UN.
Merujuk pada aturan tadi maka dari segi implementasi belum sesuai dengan aturan, yang hanya menggunakan UN sebagai patokan dalam menentukan kelulusan siswa. Masih pasal yang sama ayat (2), "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Di sini tampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggung jawab kepada sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. Pertanyaannya, apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia? Apakah dari segi standar isi telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama?




C. SOLUTION

1.             Jangan menjadikan UN sebagai penentu kelulusan, bila perlu UN dihapuskan.
UN juga melanggar UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 yang berbunyi Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Sangat jelas bahwa UN bukan sebagai alat untuk “meningkatkan” mutu pendidikan tetapi hanya sebagai “evaluator” pendidikan.
Selanjutnya pada Pasal 58 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Berdasarkan Pasal di atas kita dapat menyimpulkan bahwa yang menentukan siswa lulus atau tidaknya adalah pendidik bukan UN. Apalagi UN hanya dapat mengukur aspek “kognitif” semata. UN tidak dapat mengukur kedisiplinan siswa di sekolah, kerapian, kerajinan, dll.
Terakhir berdasarkan pasal 58 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Dengan demikian yang layak melakukan evaluasi pendidikan baik berupa UN atau Ujian yang lain adalah “lembaga mandiri” yang independen dan terlepas dari pemerintah. Sehingga hasil yang didapat benar-benar objektif, dalam hal ini pemerintah hanya melakukan fungsi control (monitoring) dan membuat regulasi yang jelas.
Dari serangkaian pertentangan di atas, maka alangkah baiknya UN tidak digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, bila perlu UN dihapuskan.

2.             Membuat “Standar Evaluasi Pendidikan”
Seperti kita ketahui bersama bahwa pemerintah melalui Kementrian Pendidikan telah menetapkan 8 (delapan) standar pendidikan yaitu:
1.             Standar Kompetensi Lulusan,
2.             Standar Isi,
3.             Standar Proses,
4.             Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
5.             Standar Sarana dan Prasarana,
6.             Standar Pengelolaan,
7.             Standar Pembiayaan Pendidikan,
8.             Standar Penilaian Pendidikan.
Dari kedelapan standar pendidikan di atas, masih perlu ditambahkan 1 (satu) standar lagi yaitu standar evaluasi pendidikan, yang mengatur tentang mekanisme dan prosedur evaluasi pendidikan secara nasional, sehingga hasil (output) pendidikan kita secara nasional dapat diukur dan ditingkatkan sesuai dengan delapan standar pendidikan yang lain. Dengan kata lain, peningkatan standar evaluasi pendidikan sangat dipengaruhi oleh peningkatan delapan standar pendidikan yang lain, bukannya hanya standar evaluasi saja yang ditingkatkan. Supaya terjadi harmonisasi antara setiap standar pendidikan yang ada.

3.             Lakukan desentralisasi pendidikan dan pemerataan pendidikan (Standar Nasional Pendidikan).
Serahkan tanggungjawab kontrol pendidikan ini kepada masing-masing propinsi. Lakukan desentralisasi pendidikan. Dengan menyerahkan tanggungjawab kualitas pendidikan kepada setiap propinsi maka setiap propinsi akan berusaha untuk melakukan upaya terbaiknya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-masing tanpa harus didikte oleh pusat. Pusat hanya berperan dalam membantu memberikan alternatif-alternatif perbaikan kualitas dan mendorong setiap propinsi untuk mendayagunakan semua kapasitas yang mereka miliki. Depdiknas juga akan mendorong agar setiap propinsi berupaya untuk bersinergi dan bekerja sama dengan propinsi lain dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan tersebut.







KERANGKA SOLUSI MASALAH KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) VS UJIAN NASIONAL (UN)











Rounded Rectangle: LEARNING GOALS




Rounded Rectangle: STAKEHOLDER




 























REFERENSI

Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Buku Kompas
Dharma Satria. 2009. Tanya Jawab Tentang Ujian Nasional. (http://satriadharma.com/index.php/2009/12/26/tanya-jawab-tentang-ujian-nasional/#more-122), Online.
Juliantara Ketut. 2009. 134 Pengertian Kurikulum (Lengkap). (http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/16/134-pengertian-kurikulum-lengkap/), Online.
Dwitagama Dedi. 2008. Tentang Kurikulum Indonesia. (http://dedidwitagama.wordpress.com/2008/03/24/tentang-kurikulum-indonesia/), Online.
Khoiruddin. 2010. Sejarah Ujian Nasional. (http://www.smanda.sch.id/berita-umum/56-pendidikan/94-sejarah-ujian-nasional.html), Online.
Judrajat Akhmad. 2009. Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning) Dalam KTSP. (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/11/02/pembelajaran-tuntas-mastery-learning-dalam-ktsp/), Online.

No comments:

Post a Comment