A.
PENGERTIAN INTELIGENSI
Dalam bukunya, Human Ability, Spearman & Jones (dalam
Azwar, 2006:1) mengemukakan adanya sebuah konsepsi lama mengenai suatu
kekuatan yang dapat melengkapi akal
manusia dengan gagasan abstrak yang universal. Dalam bahasa Yunani, kekuatan
itu disebut nous, sedangkan upaya pemanfaatan kekuatan tersebut dikenal
dengan noesis. Kemudian kedua istilah tersebut dikenal sebagai intellectus
dan intelligentia dalam bahasa Latin. Perkembangan berikutnya,
keduanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi intellect dan intelligence.
Transisi bahasa tersebut ternyata juga membawa perubahan makna. Intelligence
yang semula berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata, kemudian
berganti makna menjadi suatu kekuatan yang lain
. Berbagai definisi yang dirumuskan oleh para ahli
tampaknya memang menampakkan adanya pergeseran tersebut. Namun demikian,
definisi-definisi itu selalu mengandung pengertian bahwa inteligensi merupakan
suatu kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Crider (dalam Azwar, 2006:3) mengatakan bahwa inteligensi
bagaikan listrik; mudah diukur namun hampir mustahil untuk didefinisikan.
Pendapat ini sangat beralasan sebab sejak awal kemunculannya hingga saat ini,
belum ada definisi inteligensi yang dapat diterima secara universal. Konsep
mengenai inteligensi sebagai kemampuan mental memang banyak disetujui, namun hal-hal
apa saja yang dicakup dalam kemampuan mental tersebut masih terus
diperdebatkan.
Jika ditilik kembali ke awal perkembangan teori mengenai
inteligensi, dapat kita lihat bahwa kemampuan mental umum banyak dikaitkan pada
faktor-faktor yang lebih bersifas fisik, khususnya faktor penginderaan
(sensasi) dan faktor persepsi. Sebagai contoh, James McKeen Cattell, seorang
pengikut Galton, mengembangkan suatu bentuk skala pengukuran inteligensi yang
banyak mengukur kemampuan fisik seperti kekuatan tangan menekan dinamometer,
kecepatan reaksi, kemampuan persepsi mata, dan semacamnya (Willerman dalam
Azwar, 2006:4). Galton sendiri berteori bahwa terdapat dua karakteristik
yang dimiliki oleh orang berinteligensi tinggi, yaitu: (a) energi/kemampuan
untuk bekerja, dan (b) kepekaan terhadap stimulus fisik. Dengan demikian, faham
Galton ini jelas merupakan faham yang berciri psikofisik dalam bidang inteligensi.
Perkembangan psikologi selanjutnya menggeser
pandangan tentang inteligensi yang bersifat fisikal tersebut ke arah pandangan
yang bersifat mentalistik. Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis
pengukuran inteligensi, bersama Theodore Simon, mendefinisikan
inteligensi sebagai terdiri atas tiga komponen, yaitu: (a) kemampuan untuk
mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, (b) kemampuan untuk mengubah
arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan (d) kemampuan
untuk mengeritik diri sendiri (autocriticism). Ahli lainnya, Lewis
Madison Terman, mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan seseorang
untuk berpikir secara abstrak. Sedangkan H. H. Goddard mengatakan bahwa
inteligensi adalah tingkat kemmapuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah
yang akan datang (Garrison & Magoon dalam Azwar, 2006:5).
V.A.C. Henmon, salah seorang di
antara penyusun Tes Inteligensi Kelompok Henmon-Nelson, mengatakan bahwa
inteligensi terdiri atas dua macam faktor, yaitu: (a) kemampuan untuk
memperoleh pengetahuan, dan (b) pengetahuan yang telah diperoleh. George D.
Stoddard juga menyebut inteligensi sebagai bentuk kemampuan untuk memahami
masalah-masalah yang bercirikan (a) mengandung kesukaran, (b) kompleks, yaitu
mengandung bermacam jenis tugas yang harus dapat diatasi dengan baik, dalam
arti bahwa individu yang berinteligensi tinggi mampu menyerap kemampuan baru
dan memadukannya dengan kemampuan yang sudah dimiliki untuk kemudian digunakan
dalam menghadapi masalah, (c) abstrak, yaitu mengandung simbol-simbol yang
memerlukan analisis dan interpretasi, (d) ekonomis, yaitu dapat diselesaikan
dengan menggunakan proses mental yang efisien waktu, (e) diarahkan pada satu tujuan,
yaitu bukan dilakukan tanpa maksud melainkan mengikuti suatu arah atau target
yang jelas, (f) mempunyai nilai sosial, yaitu cara dan hasil pemecahan masalah
dapat diterima oleh nilai dan norma sosial, dan (g) berasal dari sumbernya,
yaitu pola pikir yang membangkitkan kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang
baru dan lain.
David Wechsler, pencipta
skala-skala inteligensi Wechsler yang masih banyak digunakan hingga saat ini,
mendefinisikan inteligensi sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak
dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi
lingkungannya dengan efektif (Wechsler dalam Azwar, 2006:7).
Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
ternyata juga banyak selaras dengan pandangan orang awam mengenai inteligensi.
Hasil penelitian Stenberg, dkk (1981) menemukan bahwa konsepsi orang awam
mengenai inteligensi mencakup tiga faktor kemampuan utama, yaitu: (a) kemampuan
memecahkan masalah-masalah praktis yang berciri utama adanya kemampuan berpikir
logis, (b) kemampuan verbal yang berciri utama adanya kecakapan berbicara
dengan jelas, dan (c) kompetensi sosial yang berciri utama adanya kemampuan
untuk menerima orang lain sebagaimana adanya. Berikut ini adalah tabel
perbandingan ciri-ciri inteligensi menurut orang awam dan para ahli sebagaimana
dirangkum oleh Stenberg:
AHLI
|
AWAM
|
Kemampuan Memecahkan Masalah
1.
Mampu menunjukkan pengetahuan
mengenai masalah yang dihadapi
2.
Mengambil keputusan dengan tepat
3.
Menyelesaikan masalah secara
optimal
4.
Menunjukkan pikiran jernih
|
Kemampuan Praktis untuk Pemecahan Masalah
1.
Nalar yang baik
2.
Melihat hubungan di antara
berbagai hal
3.
Melihat aspek permasalahan
secara menyeluruh
4.
Pikiran terbuka
|
Inteligensi
Verbal
1.
Kosakata yang baik
2.
Membaca dengan penuh pemahaman
3.
Ingin tahu secara intelektual
4.
Menunjukkan keingintahuan
|
Kemampuan
Verbal
1.
Berbicara dengan artikulasi yang
baik dan fasih
2.
Berbicara dengan lancar
3.
Memiliki pengetahuan di bidang
tertentu
|
Inteligensi
Praktis
1.
Tahu situasi
2.
Tahu cara mencapai tujuan
3.
Sadar terhadap dunia sekeliling
4.
Menunjukkan minat terhadap dunia
luar
|
Kompetensi
Sosial
1.
Menerima orang lain apa adanya
2.
Mengakui kesalahan
3.
Tertarik pada masalah sosial
4.
Tepat waktu bila berjanji
|
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN
ASESMEN INTELIGENSI
Tes
untuk mengukur kompetensi pada awalnya dilaksanakan di Cina sebelum dinasti Han
berkuasa. Tes tersebut dilakukan untuk menguji rakyat sipil yang ingin menjadi
legislatif. Materi tes berisi pengetahuan menulis klasik, persoalan
administratif, dan persoalan manajerial. Tes yang demikian kemudian berlanjut hingga
masa pemerintahan dinasti Han (200 SM – 200 M), untuk menyeleksi calon anggota legislatif,
militer, perpajakan, pertanian, dan geografi. Sistem ujian telah disusun sedemikian
rupa dan berisi aktivitas yang lebih kompleks. Para peserta tes diwajibkan
tinggal sehari semalam dalam kabin untuk menulis artikel atau puisi. Hanya satu
hingga tujuh persen peserta yang akan lolos ke ujian tahap kedua yang berlangsung
dalam tiga hari tiga malam. Menurut Gregory, seleksi ini keras namun dapat
memilih orang yang mewakili karakter orang Cina yang kompleks. Tugas-tugas
militer yang cukup berat dapat dilakukan dengan baik oleh para pegawai yang lolos
dalam seleksi fisik dan psikologi yang intensif ini.
Memasuki era psikologi modern, pengukuran
kemampuan umum mulai banyak dilakukan dengan metode yang sistematis. Usaha-usaha
pengukuran tersebut berkembang di Amerika Serikat dan Perancis dalam waktu yang
hampir serempak. Di Amerika, usaha pertama dimulai oleh James Mckeen Cattell
(1860–1944), yang menerbitkan buku Mental Tests and Measurement pada
tahun 1890. Buku ini berisi rangkaian tes inteligensi yang terdiri dari sepuluh
jenis ukuran. Kesepuluh ukuran tersebut merupakan seri pertama yang dibuat di
laboratorium psikologi The University of Pennsylvania dan dicobakan
kepada siapapun yang bersedia dan kebetulan datang ke laboratorium tersebut. Kesepuluh
macam ukuran tersebut dimaksudkan untuk mengukur inteligensi, yang sarat dengan
pengukuran aspek sensori-motor dan fisiologis.
Di Eropa, para ahli juga melakukan
usaha pengukuran aspek mental yang lebih kompleks. Kraepelin, pada tahun 1895,
menyusun suatu seri tes yang yang panjang yang dimaksudkan untuk mengungkap apa
yang dianggapnya sebagai faktor-faktor dasar yang menjadi karakteristik
individual. Tesnya sendiri pada dasarnya berisi operasi berhitung sederhana dan
dirancang untuk mengukur efek latihan, ingatan, kerentanan terhadap kelelahan
dan kerentanan terhadap pemecah perhatian.
Selanjutnya, seorang
psikolog Perancis, Alfred Binet menciptakan sebuah tes inteligensi yang terkenal
hingga saat ini. Diawali oleh desakan terhadap Ministry of Public Instruction
agar menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus, Binet
ditugaskan untuk mendeteksi anak-anak yang memiliki kecerdasan terbelakang
tersebut. Untuk tugas itu, dengan bantuan Theodore Simon, di tahun 1905 ia menerbitkan
Skala Binet-Simon yg pertama. Tes tersebut kemudian direvisi secara
berturut-turut pada tahun 1908 dan 1911.
Di Amerika Serikat, revisi Skala Binet yang
paling terkenal dan paling banyak dipakai selama bertahun-tahun adalah revisi
yang dilakukan di Stanford University oleh L.M. Terman, dkk.. Edisi revisi
tersebut diberi nama “The Stanford Revision of the Binet-Simon Intelligence Scale”.
Revisi pertama dilakukan pada tahun 1916. Terman menambahkan kecermatan skala tersebut
secara psikometri. Item tes juga disusun berdasarkan tingkat kesukaran dan
tingkat umur, serta skornya dinyatakan dalam mental age (MA). Dalam tes
inilah konsep IQ digunakan secara resmi untuk pertama kali. Revisi selanjutnya
dilakukan pada tahun 1937, 1960, dan 1972. Skala Binet ini kemudian menjadi skala
yang paling terkenal dan digunakan untuk memvalidasi tes-tes inteligensi lain
yang muncul setelahnya.
Tes-tes Binet berserta semua revisinya merupakan
skala individual yang pengadministrasiannya memerlukan waktu cukup lama. Pada
saat Amerika Serikat memasuki Perang Dunia I pada tahun 1917, sebuah komisi
ditunjuk oleh American Psychological Association untuk merancang tes
yang dapat melakukan klasifikasi kilat atas satu setengah juta orang calon
tentara. Maka di bawah arahan Robert M. Yerkes, dikembangkanlah tes Army
Alpha dan Army Beta untuk memenuhi kebutuhan praktis ini. Aplikasi tes inteligensi kelompok seperti ini jauh lebih
cepat daripada tes-tes individual. Namun kemudian, ketika tes-tes ini ternyata gagal
memenuhi harapan, skeptisme terhadap para tester dan ahli tes kerap muncul.
Tiga puluh empat tahun setelah
diterbitkannya tes inteligensi oleh Binet dan Simon, David Wechsler
memperkenalkan versi pertama tes inteligensi yang dirancang khusus untuk digunakan
oleh orang dewasa. Tes tersebut terbit pada tahun 1939 dan dinamai Wechsler-Bellevue
Intelligence Scale (WBIS). Pada tahun 1949, Wechsler juga menerbitkan skala
inteligensi untuk anak-anak yang dikembangkan berdasar skala WBIS tadi. Skala
ini diberi nama Wechsler Instelligence Scale for Children (WISC). Pada
tahun 1974, suatu revisi terhadap tes WISC dilakukan kembali dan edisi revisi
ini diterbitkan di tahun tersebut dengan nama WISC-R (huruf R merupakan
singkatan dari kata Revised). Di tahun 1955, Wechsler menyusun skala
lain untuk mengukur inteligensi orang dewasa dengan memperluas isi tes WISC. Skala
baru ini diberinya nama Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Revisi
terhadap WAIS dilakukan dan diterbitkan pada tahun 1981 dengan nama WAIS-R
Pada
perkembangan selanjutnya, disusunlah suatu standar penyusunan tes internasional
di Amerika Serikat yang dikenal dengan “Standards for Psychological and
Educational Test” yang digunakan hingga saat ini. Kini tes psikologi
semakin mudah, praktis, serta muncul dengan berbagai variasi bentuk.
C.
TEORI-TEORI INTELIGENSI
Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi elemen inteligensi, teori-teori
inteligensi dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu (1) teori yang
berorientasi pada faktor tunggal; (2) teori yang berorientasi pada dua faktor;
dan (3) teori yang berorientasi pada faktor ganda. Berikut ini akan dipaparkan
teori-teori inteligensi berdasarkan ketiga orientasi tersebut
1. Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Faktor Tunggal
Alfred Binet
Alfred
Binet (1857-1911) adalah salah satu ahli psikologi yang berpendapat bahwa
inteligensi bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor umum atau
sering dikenal dengan faktor g. Menurut Binet, inteligensi
merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan
proses kematangan individu. Binet menggambarkan inteligensi sebagai sesuatu
yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai
tingkat perkembangan individu berdasar suatu kriteria tertentu. Jadi untuk
melihat apakah seseorang inteligen atau tidak, dapat diamati dari cara dan
kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan dan kemampuannya untuk mengubah
arah tindakannya tersebut jika perlu. Inilah yang dimaksud dengan komponen
Arah, Adaptasi, dan Kritik dalam definisi inteligensi Binet.
2. Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Dua Faktor
a. Charles E. Spearman
Pandangan Spearman (1927) mengenai inteligensi ditunjukkan
dalam teorinya yang dikenal dengan nama teori dua faktor. Penjelasannya
mengenai teori ini berangkat dari analisis korelasional yang dilakukannya
terhadap skor seperangkat tes yang mempunyai tujuan dan fungsi ukur yang
berlainan. Hasil analisisnya memperlihatkan adanya interkorelasi positif di
antara berbagai tes tersebut. Menurut Spearman, interkorelasi positif itu
terjadi karena masing-masing tes tersebut memang mengukur suatu faktor umum
yang sama, yang dinamainya faktor g. Namun demikian,
korelasi-korelasi itu tidaklah sempurna sebab setiap tes, di samping mengukur
faktor umum yang sama, juga mengukur komponen tertentu yang spesifik bagi
masing-masing tes tersebut. Faktor yang spesifik dan hanya diungkap oleh tes
tertentu saja ini disebut faktor s.
Definisi inteligensi menurut Spearman mengandung dua
komponen kualitatif yang penting, yaitu (1) eduksi relasi (eduction of
relation), dan (2) eduksi korelasi (eduction of correlates). Eduksi
relasi adalah kemampuan untuk menemukan suatu hubungan dasar yang berlaku di
antara dua hal. Misalnya, dalam menemukan hubungan yang terdapat di antara dua
kata “panjang-pendek”. Eduksi korelasi adalah kemampuan untuk menerapkan
hubungan dasar yang telah ditemukan dalam proses eduksi relasi sebelumnya ke
dalam situasi baru. Misalnya, bila telah diketahui bahwa hubungan antara
“panjang” dan “pendek” merupakan hubungan lawan kata, maka menerapkannya dalam
situasi pertanyaan seperti “baik - .....”, tentu akan dapat dilakukan.
b. Donald Olding Hebb
Hebb membedakan inteligensi menjadi dua macam, yaitu
Inteligensi A dan Inteligensi B. Inteligensi A merupakan kemampuan dasar
manusia (human basic potentiality) untuk belajar dari lingkungan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Inteligensi A ditentukan oleh
kompleksitas dan kelenturan sistem syaraf pusat, yang dipengaruhi oleh gen. Gen
merupakan suatu blue-print bagi pembentukan organisme hidup, yang
tersusun teratur pada setiap kromosom dalam sel. Masing-masing gen merupakan
satu bagian kecil dari suatu makromolekul yang panjang yang disebut DNA.
Sebagian orang dibekali dengan gen dalam jumlah yang banyak
dan karenanya memiliki kesiapan yang lebih baik bagi perkembangan mentalnya.
Namun ada juga sebagian orang yang tidak memiliki gen yang cukup sehingga
perkembangan mentalnya tidak dapat mencapai batas optimal. Perkembangan mental
dimaksud akan terjadi bila mendapat rangsangan dengan baik dari lingkungan
sosial dan lingkungan fisik tempat seseorang mengalami pertumbuhan.
Inteligensi B merupakan tingkat kemampuan yang
diperlihatkan oleh seseorang dalam bentuk perilaku yang dapat diamati secara
langsung. Bila Inteligensi A dapat dikatakan sebagai kemampuan potensial, maka
Inteligensi B merupakan kemampuan aktual. Inteligensi B tidak berasal dari gen
yang dibawa sejak lahir, namun juga tidak sekedar diperoleh sebagai hasil
belajar dari lingkungan. Inteligensi B merupakan hasil kerjasama antara keadaan
alamiah seseorang dengan asuhan yang diterimanya, atau antara potensi genetik
dan stimulasi lingkungan.
Ukuran terhadap Inteligensi B, sebagaimana diperoleh
melalui tes IQ, disebut sebagai Inteligensi C. Inteligensi C tidak merupakan
representasi total dari Inteligensi B karena tes IQ pada umumnya hanya dapat
mengukur sebagian saja dari Inteligensi B, bukan seluruhnya.
c. Raymond Bernard Cattell
Dalam teorinya mengenai organisasi mental, Cattell (1963)
mengklasifikasikan kemampuan mental menjadi dua macam, yaitu: Inteligensi fluid
(gf) yang merupakan faktor bawaan biologis, dan Inteligensi crystallized
(gc) yang merefleksikan adanya pengaruh pengalaman, pendidikan, dan
kebudayaan dalam diri individu.
Inteligensi crystallized dapat dipandang sebagai
endapan pengalaman yang terjadi sewaktu inteligensi fluid bercampur
dengan apa yang disebut dengan inteligensi budaya. Inteligensi crystallized
akan meningkat kadarnya dalam diri seseorang seiring dengan bertambahnya
pengalaman. Dengan kata lain, tugas-tugas kognitif di mana
keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan telah mengkristal akibat dari
pengalaman sebelumnya, seperti kekayaan kosa kata, pengetahuan, kebiasaan
penalaran, dan lain-lain, semua akan meningkatkan inteligensi dimaksud. Pada
umumnya, bila kita mengatakan inteligensi sebagai kemampuan umum dalam
menyelesaikan masalah, maka hal itu berarti inteligensi crystallized.
Pada sisi lain, inteligensi fluid lebih merupakan
kemampuan bawaan yang diperoleh sejak lahir dan lepas dari pengaruh pendidikan
dan pengalaman. Inteligensi fluid dapat dipandang sebagai faktor yang
tak berbentuk, yang mengalir ke dalam berbagai variasi kemampuan intelektual.
Inteligensi fluid sangat penting artinya guna keberhasilan melakukan
tugas-tugas yang menuntut kemampuan adaptasi atau penyesuaian pada
situasi-situasi baru di mana inteligensi crystallized tidak begitu
berperan.
Inteligensi fluid cenderung tidak berubah setelah
usia 14 atau 15 tahun, sedangkan inteligensi crystallized masih dapat
terus berkembang hingga usia 30-40 tahun, bahkan lebih. Hal ini karena
perkembangan inteligensi crystallized memang banyak tergantung pada
bertambahnya pengalaman dan pengetahuan. Dengan meningkatnya usia, pengalaman
akan terus bertambah sehingga berpengaruh terhadap perkembangan inteligensi crystallized.
Meskipun berbeda, inteligensi fluid dan inteligensi crystallized
dapat tampak serupa. Pada umumnya, kemampuan fluid dan kemampuan crystallized
menunjukkan korelasi yang tinggi satu sama lain.
3. Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Faktor Ganda
a. Edward Lee Thorndike
Thorndike menyatakan bahwa inteligensi terdiri atas
berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen.
Oleh karena itu, teorinya dikategorikan ke dalam teori inteligensi faktor
ganda.
Formulasi teori Thorndike didasari oleh bukti-bukti riset
yang dilakukannya. Ia mengklasifikasikan inteligensi ke dalam tiga bentuk
kemampuan, yaitu: (1) kemampuan Abstraksi, yaitu suatu kemampuan untuk bekerja
dengan menggunakan gagasan dan simbol-simbol, (2) kemampuan Mekanik, yaitu
suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan alat-alat mekanis dan
kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang memerlukan aktivitas sensory-motor,
dan (3) kemampuan Sosial, yaitu kemampuan untuk menghadapi orang lain di
sekitar diri sendiri dengan cara-cara yang efektif.
Ketiga bentuk kemampuan ini tidak terpisah secara eksklusif
dan juga tidak selalu berkorelasi satu sama lain dalam diri seseorang. Ada
kelompok orang yang sangat cakap dalam kemampuan abstraksi, seperti para
akademisi, namun tidak memiliki kecakapan dalam bidang mekanik. Namun ada juga
kelompok orang yang memiliki kecakapan tinggi dalam ketiga kemampuan tersebut.
Thorndike meyakini bahwa tingkat inteligensi tergantung
pada banyaknya ikatan syaraf (neural connection) antara rangkaian
stimulus dan respon dikarenakan adanya reinforcement yang dialami
seseorang. Orang yang telah memiliki banyak ikatan pada bidang inteligensi
mekanik akan meningkat kecakapannya pada bidang tersebut. Begitu juga pada
bidang abstraksi dan sosial.
b.
Louis Leon Thurstone &
Thelma Gwinn Thurstone
Teori inteligensi L.L. Thurstone & T.G. Thurstone juga
dapat dikategorikan sebagai teori inteligensi yang berorientasi faktor ganda.
Dari hasil analisis faktor yang mereka lakukan terhadap data skor rangkaian 56
tes yang dilancarkan pada siswa sekolah lanjutan di Chicago, mereka tidak
menemukan bukti mengenai adanya faktor inteligensi umum. Menurut L.L.
Thurstone, faktor umum tersebut memang tidak ada. Yang benar adalah bahwa
inteligensi dapat digambarkan sebagai terdiri atas sejumlah kemampuan mental
primer.
Berdasar hasil analisis tersebut, mereka mengatakan bahwa
kemampuan mental dapat dikelompokkan ke dalam enam faktor dan bahwa inteligensi
dapat diukur dengan melihat sampel perilaku seseorang dalam keenam bidang
dimaksud. Suatu perilaku inteligen, menurut keduanya, adalah hasil dari
bekerjanya kemampuan mental tertentu yang menjadi dasar performansi dalam tugas
tertentu pula.
Dari hasil studi yang telah mereka lakukan, Thurstone
menyusun Tes Kemampuan Primer Chicago dan menguraikan keenam faktor kemampuan sebagai
berikut:
V:
|
(verbal),
yaitu pemahaman akan hubungan kata, kosakata, dan penguasaan komunikasi lisan.
|
N:
|
(number),
yaitu kecermatan dan kecepatan dalam penggunaan fungsi-fungsi hitung dasar.
|
S:
|
(spatial),
yakni kemampuan untuk mengenali berbagai hubungan dalam bentuk visual.
|
W:
|
(word
fluency), yaitu kemampuan untuk mencerna kata-kata tertentu dengan cepat.
|
M:
|
(memory),
yaitu kemampuan mengingat gambar-gambar, pesan-pesan, angka-angka, kata-kata,
dan bentuk-bentuk pola.
|
R:
|
(reasoning),
yaitu kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari berbagai contoh, aturan, atau
prinsip. Dapat juga diartikan sebagai kemampuan pemecahan masalah.
|
Penelitian L.L. Thurstone & T.G. Thurstone selanjutnya
menunjukkan bahwa keenam faktor tersebut tidaklah terpisah secara eksklusif dan
tidak pula independen satu sama lain. Oleh karena itu, kesimpulan mereka,
terdapat suatu faktor umum lain yang lebih rendah tingkatannya berupa suatu faktor-g
tingkat dua. Faktor-g tingkat dua inilah yang menjadi dasar bagi semua
faktor-faktor lain.
c.
Cyril Burt
Cyril Burt (1949) beranggapan bahwa faktor-faktor kemampuan
merupakan suatu kumpulan yang terorganisasikan secara hirarkis. Dalam teorinya
ia mengatakan bahwa kemampuan mental terbagi atas beberapa faktor yang berada pada
tingkatan-tingkatan yang berbeda. Faktor-faktor tersebut adalah satu faktor
Umum (general), faktor-faktor Kelompok Besar (broad group),
faktor-faktor Kelompok Kecil (narrow group), dan faktor-faktor Spesifik
(specific). Model tingkat mental hirarkis yang digambarkan oleh Burt
sangat erat berkaitan dengan suatu hirarki fungsional yang diurutkan
berdasarkan kompleksitas kognitifnya.
Tingkat mental terendah berupa Kemampuan Penginderaan (sensory)
dasar dan Proses Penggerak (motor), yang disingkat s dan m.
Satu tingkat di atasnya adalah tingkat kemampuan yang lebih tinggi berupa
Proses Persepsi atau Proses Pengamatan dan Gerakan Terkoordinasikan (perceptual
process & coordinated movement) yang disingkat P dan M. Berikutnya
adalah Proses Asosiasi yang lebih kompleks yang melibatkan Ingatan (memory)
dan Pembentukan Kebiasaan (habit), yang disingkat M dan H.
Berada di atasnya lagi adalah Proses Relasional (relational) yang
disingkat R. Berada pada puncak hirarki adalah Inteligensi Umum (I),
yang dianggap mempunyai peranan integratif yang selalu terlibat dalam setiap
tingkat hirarki.
d.
Philip Ewart Vernon
Sebagaimana Burt, Vernon (1950) mengemukakan pula model
hirarkis dalam menjelaskan teorinya mengenai inteligensi. Dalam model
hirarkisnya (seperti terlihat pada gambar), Vernon menempatkan satu faktor umum
(faktor-g) di puncak hirarki. Di bawah faktor-g terdapat dua
jenis kelompok kemampuan mental yang disebutnya kemampuan verbal-educational
(v:ed) dan practical-mechanical (k:m). Kedua jenis
kemampuan ini termasuk dalam faktor inteligensi yang utama atau kelompok mayor.
Masing-masing kelompok mayor terbagi lagi dalam faktor-faktor kelompok minor,
yang terpecah lagi menjadi bermacam-macam faktor spesifik pada tingkat hirarki
yang paling rendah.
Mengenai faktor-faktor spesifik, Vernon berpendapat bahwa
sebenarnya faktor-faktor spesifik itu tidak banyak memiliki nilai praktis
dikarenakan kurang jelas relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh
karena itu, menurut Vernon, lebih baik membicarakan faktor-faktor yang lebih
umum dikarenakan faktor umum itulah yang berkorelasi lebih konsisten dan
substansial dengan masalah kehidupan sehari-hari.
e.
Joy Paul Guilford
Teori Guilford (1959) dikenal dengan structure of
intellect. Dalam model struktur ini, Guilford berusaha menyertakan
kategorisasi perbedaan individual di berbagai faktor kemampuan mental dalam
usahanya memahami dan menggambarkan proses-proses mental yang mendasari
perbedaan individual tersebut. Model teori structure of intellect ini
diilustrasikan dalam bentuk sebuah kubus atau kotak berdimensi tiga yang
masing-masing mewakili satu klasifikasi faktor-faktor intelektual yang
bersesuaian satu sama lain.
Dimensi yang pertama adalah isi (content),
terurai dalam empat bentuk, yaitu figur (figural), simbol (symbolic),
semantik (semantic), dan perilaku (behavior). Dimensi kedua
adalah operasi (operation), terurai dalam lima proses, yaitu
kognisi (cognition), ingatan (memory), produksi konvergen (convergent
production), produksi divergen (divergent production), dan evaluasi
(evaluation). Dimensi ketiga adalah produk (product),
terurai dalam enam jeni, yaitu satuan (unit), kelas (class),
relasi (relation), sistem (system), transformasi (transformation),
dan implikasi (implication). Dengan demikian, seluruh dimensi akan
berjumlah 120 (4x5x6) macam kombinasi yang merupakan faktor-faktor kemampuan
yang berlainan dan dihipotesiskan sebagai sumber terbentuknya kemampuan-kemampuan
mental yang berbeda pula macamnya.
Dari 120 macam kemampuan tersebut, sekitar tiga perempatnya
telah dibuktikan keberadaannya secara empiris, sedangkan sisanya masih dalam
proses penelitian.
f.
C. Halstead
Teori inteligensi Halstead (1961) merupakan teori yang
menggunakan pendekatan neurobiologis. Menurut Halstead, terdapat sejumlah
fungsi otak yang berkaitan dengan inteligensi dan relatif bebas dari
aspek-aspek kebudayaan. Fungsi otak ini memiliki dasar biologis dan berlaku
bagi fungsi setiap otak individu. Selanjutnya, Halstead mengemukakan adanya
empat faktor inteligensi yang diringkas sebagai berikut:
a. Faktor Central Integrative (C). Faktor ini berupa kemampuan
untuk mengorganisasikan pengalaman. Fungsi faktor ini adalah penyesuaian, di
mana latar belakang pengalaman seseorang dan hasil belajarnya akan
mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang baru.
b. Faktor Abstraction (A). Merupakan kemampuan mengelompokkan
sesuatu dengan cara-cara yang berbeda, dan kemampuan untuk melihat kesamaan dan
perbedaan yang terdapat di antara benda-benda, konsep-konsep, dan
peristiwa-peristiwa.
c. Faktor Power (P). Merupakan kekuatan otak (power) dalam
arti tenaga otak yang utuh. Termasuk dalam faktor ini adalah kemampuan untuk
mengekang afeksi sehingga kemampuan-kemampuan rasional dan intelektual dapat
tumbuh dan berkembang
d. Faktor Directional (D). Merupakan kemampuan yang memberikan arah
dan sasaran bagi kemampuan-kemampuan individu. Kemampuan ini menunjukkan dengan
spesifik cara mengekspresikan intelek dan perilaku.
Keempat faktor tersebut merupakan dasar dari apa yang oleh
Halstead disebut sebagai inteligensi biologis.
g.
Howard Gardner
Pendapat Gardner mengenai keberadaan Inteligensi Ganda (multiple
intelligence) didorong oleh pendapatnya bahwa pandangan dari sisi
psikometri dan kognitif saja terlalu sempit untuk menggambarkan konsep
inteligensi. Pendekatan teori Gardner sangat berorientasi pada struktur
inteligensi. Teori ini juga merupakan sanggahan terhadap pendapat yang
mengatakan bahwa hanya ada kemampuan umum sebagai konsep tunggal inteligensi.
Dalam usahanya melakukan identifikasi terhadap inteligensi,
Gardner menggunakan beberapa macam kriteria, yaitu: (a) pengetahuan mengenai
perkembangan individu yang normal dan yang superior, (b) informasi mengenai
kerusakan otak, (c) studi mengenai orang-orang eksepsional seperti individu
yang luar biasa pintar, juga individu idiot savant, dan orang-orang
autistik, (d) data psikometrik, dan (e) studi pelatihan psikologis. Gardner
mengatakan bahwa berbagai inteligensi yang telah diidentifikasikannya bersifat
universal sekalipun secara budaya tampak berbeda. Sebagai contoh, inteligensi
linguistik tidak selalu dinyatakan dalam bentuk tulisan, bergantung pada budaya
mana yang diperhatikan. Inteligensi sangat beragam dan kebanyakan bersifat
kognitif.
Tujuh macam inteligensi yang telah berhasil diidentifikasi
oleh Gardner adalah Inteligensi Linguistik, Inteligensi Matematik-logis,
Inteligensi Spasial, Inteligensi Musik, Inteligensi Kelincahan Tubuh,
Inteligensi Interpersonal, dan Inteligensi Interpersonal.
Inteligensi linguistik banyak terlibat dalam kegiatan
membaca, menulis, berbicara dan mendengar. Menurut Gardner, aktivitas
linguistik terletak pada bagian tertentu dalam otak. Sebagai contoh, daerah
Broca adalah lokasi terjadinya kalimat-kalimat yang sesuai dengan struktur
bahasa sehingga seseorang yang mengalami kerusakan pada daerah tersebut,
sekalipun dapat memahami kata dan kalimat, akan tetapi sulit menerangkannya
menjadi kalimat yang benar.
Inteligensi matematik-logis adalah inteligensi yang
digunakan untuk memecahkan problem berbentuk logika simbolis dan matematika
abstrak.
Inteligensi spasial digunakan dalam mencari cara untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, untuk mengatur isi koper agar
memuat barang-barang dengan efisien, membayangkan langkah-langkah lanjutan
dalam permainan catur, dan sejenisnya. Belahan otak sebelah kanan merupakan
sumber inteligensi ini. Sehingga jika terjadi kerusakan pada bagian tersebut,
maka proses spasial akan terganggu.
Inteligensi musik berfungsi dalam menyusun lagu, menyanyi, memainkan
alat musik, ataupun sekedar mendengarkan musik. Sekalipun belahan otak sebelah
kanan banyak mengandung inteligensi musik, menurut Gardner, inteligensi musik
tidak terlalu pasti letaknya.
Inteligensi kelincahan tubuh diperlukan dalam
aktivitas-aktivitas atletik, menari, berjalan, dan semacamnya. Kendali gerak
tubuh terletak pada bagian korteks gerak di otak yang sisi-sisinya
mengendalikan gerakan pada bagian tubuh di sisi yang berlawanan.
Inteligensi interpersonal digunakan dalam berkomunikasi,
saling memahami, dan berinteraksi dengan orang lain. Orang yang inteligensi
interpersonalnya tinggi adalah mereka yang memperhatikan perbedaan di antara
orang lain, dan dengan cermat dapat mengamati temperamen, suasana hati, motif,
dan niat mereka. Inteligensi ini sangat penting pada pekerjaan-pekerjaan yang
melibatkan orang lain, seperti psikoterapis, konselor, guru, polisi, dan
sejenisnya.
Inteligensi intrapersonal sangat diperlukan dalam memahami
diri sendiri. Merupakan kepekaan seseorang akan suasana hati dan kecakapannya
sendiri.
D.
JENIS-JENIS ASESMEN
INTELIGENSI
1. Tes Inteligensi Individual
a. Skala Stanford-Binet
Tes Stanford-Binet merupakan tes inteligensi yang paling
populer di dunia dan seringkali digunakan sebagai standar untuk menguji
validitas tes inteligensi lain yang dikembangkan setelahnya. Tes Stanford-Binet
edisi tahun 1916 memiliki banyak kelemahan sehingga dilakukan revisi pada tahun
1937, yang menghasilkan dua format yang paralel (L dan M). Revisi berikutnya
dilakukan pada tahun 1960 dan kemudian distandardisasi pada tahun 1972 sehingga
mencakup norma-norma yang memadai bagi populasi masyarakat Amerika saat itu.
Skala Binet edisi keempat disusun pada tahun 1986. Penyusunnya
berusaha untuk mempertahankan kelebihan edisi sebelumnya sebagai tes
inteligensi individual, ditambah dengan kelebihan tambahan dari perkembangan
teori dan riset terbaru dalam psikologi kognitif. Selain itu, pada edisi revisi
keempat ini ditambahkan variasi lainnya, khususnya jenis tes nonverbal.
Edisi keempat terdiri dari 15 jenis tes yang berbeda yang
mencakup empat area: (1) verbal reasoning, (2) abstract/visual
reasoning, (3) quantitative reasoning, dan (4) short-term memory.
Sebagian dari kelimabelas jenis tes tersebut dapat digunakan untuk segala umur,
dan sebagian lainnya hanya dapat digunakan untuk umur-umur tertentu.
Sebagaimana edisi sebelumnya, pada tes edisi 1986, testi diberikan
tugas-tugas yang sesuai dengan kemampuannya. Tes pertama-tama dimulai dari
level yang dapat dijangkau oleh testi dan kemudian dilanjutkan ke level yang
lebih tinggi. Jawaban yang diberikan oleh testi pada tes kosakata (sesuai
dengan usia kronologisnya) dapat digunakan untuk menentukan tes mana selanjutnya
yang pertamakali akan digunakan. Tes kemudian berlanjut sampai setidaknya tiga
dari empat item tidak dapat dijawab dengan benar, di mana hal itu menunjukkan batas
kemampuan maksimal konseli (biasanya tes-tes berikutnya juga akan sulit
dijawabnya dengan benar).
Pada sebagian besar tes, setiap item hanya
memiliki satu jawaban benar. Raw score setiap tes kemudian dikonvensi ke
dalam skor standard age dengan mean 50 dan standar deviasi 8. Skor
standar juga disediakan
untuk masing-masing
dari empat
bidang kognitif bersama
dengan skor total
komposit yang
mencerminkan kemampuan
mental umum.
Masing-masing memiliki mean 100 dan standar deviasi 16. Tes edisi
keempat ini memerlukan waktu sekitar satu jam 15 menit. Tidak seluruh
kelimabelas tes dilancarkan pada testi. Biasanya hanya delapan hingga 13 tes
saja yang diberikan, tergantung pada entry level masing-masing testi.
Edisi keempat ini telah distandardisasi
dengan lebih dari 5000 orang dari seluruh Amerika Serikat yang di dalamnya
telah mewakili sampel berdasarkan gender, umur, kelompok etnis, dan masyarakat
luas. Reliabilitas konsistensi internal tes secara keseluruhan sangat tinggi (di
atas .95), begitu pula reliabilitas masing-masing area kognitif (di atas .93). Uji
reliabilitas dengan metode test-retest terhadap bagian-bagian tes dan tes
secara keseluruhan menunjukkan hasil yang lebih tinggi bagi testi usia dewasa. Penyusun
tes Binet juga telah menguji validitas edisi keempat ini dengan menggunakan (1)
validitas konstruk terhadap penelitian terkini dalam bidang inteligensi
kognitif, (2) konsistensi internal dan metode analisis faktor, dan (3) uji
korelasi dengan tes inteligensi lain.
b. Skala Wechsler
Tes Wechsler edisi terakhir terdiri dari tiga jenis, yaitu:
WPPSI-R untuk umur 3-7 tahun, WISC-R untuk umur 6-16 tahun, dan WAIS-R untuk
umur 16-74 tahun. WPPSI-R merupakan hasil revisi pada tahun 1989. Modifikasi
dan restandardisasi berikutnya yang dilakukan pada tahun 1990an menghasilkan
tes baru yang dinamakan WISC III (pengganti WISC-R). Namun dalam subbab ini
hanya akan dibahas mengenai WPPSI dam WISC-R karena edisi penggantinya tersebut
masih belum beredar saat buku ini naik cetak.
Tiga tes tersebut memiliki kesamaan pola, dengan lima atau
enam subtes yang menghasilkan skor Verbal (selanjutnya disingkat V) dan skor
Performansi (selanjutnya disingkat P). Kedua skor tersebut kemudian
menghasilkan skor skala total. Subtes-subtes itu hampir mirip namun tidak
identik antara satu sama lain (untuk masing-masing tingkat usia).
Sub-sub Tes
Wechsler Berdasarkan Umur Testi
Anak
Kecil
(WPSSI-R)
|
Anak
Usia Sekolah
(WISC-R)
|
Usia
16 Tahun Ke Atas
(WAIS-R)
|
VERBAL
Informasi
Pemahaman
Aritmatika
Persamaan
Kosakata
(Kalimat)
|
Informasi
Pemahaman
Aritmatika
Persamaan
Kosakata
(Selisih Digit)
|
Informasi
Pemahaman
Aritmatika
Persamaan
Kosakata
(Selisih
Digit)
|
PERFORMANSI
Mendesain Balok
Menyempurnakan
Gambar
Merangkai
Obyek
(Memasang
Hewan)
Jaringan
Desain
Geometrik
|
Mendesain
Balok
Menyempurnakan
Gambar
Menata Gambar
Merangkai
Obyek
Koding
Jaringan
|
Mendesain
Balok
Menyempurnakan
Gambar
Menata Gambar
Merangkai
Obyek
Simbol Digit
|
Catatan: tanda kurung menunjukkan bahwa tes tersebut merupakan pilihan
atau suplemen. Tes yang berada pada satu baris merupakan tes yang mirip namun
berbeda isi dan judulnya.
Tes Wechsler dilancarkan oleh tester
terlatih dan memerlukan waktu sekitar satu jam. Subtes Verbal dan Performansi
biasanya diberikan secara berseling. Tester memulai dengan item yang paling
mudah –misalnya menyusun balok- atau item yang menengah namun diperkirakan
cukup mudah untuk testi. Tester kemudian melanjutkan pada tes subtes berikutnya
jika testi telah selesai dengan satu tes sebaik yang ia bisa.
2. Tes Inteligensi Kelompok
Tes kelompok diklaim lebih efisien dalam hal waktu pengadministrasian
dan skoringnya. Material-material yang digunakan juga lebih simpel, biasanya
berupa: booklet, lembar jawaban pilihan ganda, pensil, dan kunci
jawaban. Tes jenis ini biasanya juga memberikan informasi yang lebih normatif, karena
data jenis ini lebih mudah dikumpulkan dalam seting kelompok.
Pengembangan tes kelompok didorong oleh kebutuhan untuk
mengklasifikasikan hampir dua juta tentara Amerika yang direkrut selama Perang
Dunia I. Tes Army Alpha (untuk tentara yang dapat membaca) dan Army
Beta (untuk tentara yang tidak dapat membaca) saat itu dikembangkan untuk
keperluan militer. Berikutnya, dikembangkan pula tes inteligensi kelompok untuk
keperluan pendidikan dan personalia, dengan memodel kedua tes tersebut. Sekarang,
beberapa jenis tes kelompok telah digunakan di setiap tingkat pendidikan, dari
TK hingga pascasarjana. Tes kelompok juga digunakan secara luas oleh industri,
militer, dan dalam penelitian-penelitian. Supaya tidak kabur dengan istilah tes
inteligensi, karena istilah inteligensi seringkali disalahpahami dan
disalahartikan, tes-tes kelompok tersebut lebih sering disebut dengan tes
kematangan mental, tes kecakapan kognitif, tes kesiapan sekolah, atau tes kecakapan
mental.
a. Tes Henmon-Nelson
Tes
Kecakapan Mental Henmon-Nelson terdiri dari empat level yang didesain untuk
memenuhi kebutuhan taman kanak-kanak hingga kelas XII, di mana setiap levelnya
dapat digunakan untuk tiga atau empat tingkat. Tes berisikan item jenis verbal
dan numerikal, dan kemudian menghasilkan raw score yang akan
dikonversikan ke dalam IQ deviasi dan persentil.
b. Tes Kecakapan Kognitif (Cognitive Abilities Tests)
Tes
Kecakapan Kognitif merupakan versi modern dari Tes Inteligensi Lorge-Thorndike.
Tes ini terdiri dari tiga peruntukan yang berbeda, yaitu: (1) untuk TK dan
kelas 1, (2) untuk kelas 2 dan kelas 3, serta (3) untuk multilevel yang dapat
digunakan di kelas 3 hingga kelas 12. Tes Kecakapan Kognitif terdiri dari tiga bagian
yang masing-masing mengukur hal yang berbeda: verbal, kuantitatif, dan
nonverbal. Bagian nonverbal mengukur tidak menggunakan bahasa ataupun angka,
namun menggunakan gambar-gambar geometrik yang harus diklasifikasikan,
dianalogikan, dan disintesakan. Dalam porsi ini, pengaruh dari sekolah formal,
ketidakmampuan membaca, atau bukan berbahasa asli Inggris, dapat diminimalkan. Raw
score masing-masing bagian kemudian dikonversikan ke dalam skor stanin dan
persentil untuk setiap umur dan kelas. Tiga skor yang dihasilkan oleh tiga
bagian tersebut kemudian dapat dikomparasikan dengan norma kelompok ataupun
dikomparasikan dengan masing-masing peserta lainnya. Sebagai tambahan, untuk
menghasilkan skor deviasi IQ, skor juga dapat dikonversikan ke dalam skor
standar yang memiliki mean 100 dan standar deviasi 16. Tes Kecakapan Kognitif
ini telah distandardisasi bersama dengan Tes Keterampilan Dasar Iowa (Iowa
Tests of Basic Skills) untuk tingkat TK hingga kelas IX dan
Tes Prestasi dan Profisiensi untuk kelas IX hingga kelas XII.
c. Tes Kuhlmann-Anderson
Tes
Kuhlmann-Anderson terdiri dari delapan level untuk tingkat TK hingga kelas XII,
di mana setiap level berisi beberapa tes. Tes Kuhlmann-Anderson merupakan versi
terbaru dari dari salah satu tes inteligensi terpopuler yang pernah digunakan
di sekolah. Dibandingkan tes sejenis, tes ini tidak terlalu bergantung pada
bahasa, namun akan menghasilkan skor verbal, skor kuantitatif, dan skor total.
Skor disajikan dalam bentuk persentil (condidence interval) dan skor deviasi
IQ.
d. Tes Keterampilan Kognitif (Test of Cognitive Skills)
Tes
Keterampilan Kognitif (Test of Cognitive Skills) merupakan versi terkini
dari California Test of Mental-Maturity-Short Form. Dalam format
aslinya, instrumen tes ini didesain seperti tes Stanford-Binet versi kelompok. Skor
yang dihasilkanpun mirip dengan skor yang didapat dari tes Stanford-Binet. Tes
ini terdiri dari empat subtes yang masing-masing memiliki lima battery
untuk kelas dua hingga kelas XII. Umur dan tingkat stanin, persentil, dan norma
skor standar tersedia untuk setiap subtes. Indeks Keterampilan Total akan
menghasilkan skor IQ deviasi.
e. Tes Kesiapan Sekolah Otis-Lennon (Otis-Lennon School Ability Test)
Tes
Kesiapan Sekolah Otis-Lennon (Otis-Lennon School Ability Test) berisi
lima level tes untuk kelas satu hingga kelas XII. Tes terbagi dalam dua bentuk
R dan S. Tes ini merupakan revisi terkini dari seri tes Otis terdahulu. Norma Tes
Kesiapan Sekolah Otis-Lennon sama dengan the Metropolitan Achievement Tests
dan the Stanford Achievement Test.
f. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and College
Ability Tests)
Tes
Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and College Ability Tests)
terdiri dari tiga level dan diperuntukkan bagi siswa kelas III hingga kelas
XII. Dua di antaranya (X dan Y) dapat digunakan untuk semua tingkatan. Tes
Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi berisi tes lisan mengenai analogi verbal
dan tes kuantitatif mengenai perbandingan numerik. Tes ini akan menghasilkan
tiga skor: verbal, kuantitatif, dan skor total. Skor standar, stanin, dan
persentil juga tersedia untuk setiap tingkatan level. Tes Kesiapan Sekolah dan
Perguruan Tinggi diberi norma secara konkuren dengan the Sequential Tests of
Educational Progress (STEP). Karena Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan
Tinggi dikembangkan oleh Educational Testing Service yang juga
mengembangkan the College Entrance Examination Board’s Scholastic Aptitude
Test (SAT), skor verbal dan kuantitatif dalam Tes Kesiapan Sekolah dan
Perguruan Tinggi dapat digunakan untuk memprediksi skor verbal dan kuantitatif SAT.
g. Wonderlic Personnel Test
Wonderlic Personnel Test merupakan tes
kecakapan mental singkat untuk orang dewasa yang berdurasi 12 menit. Tes inteligensi
dengan kertas dan pensil ini terdiri dari lima bentuk, dengan norma yang
ekstensif. Tes ini banyak digunakan dalam bisnis dan industri untuk seleksi dan
penempatan karyawan. Validitas data mengenai kesuksesan kerja tentu dapat
ditemukan di banyak perusahaan, namun memang jarang ditemukan dalam literatur
penelitian. Namun demikian, validitas tes masih dipertanyakan dalam hal seleksi
posisi-posisi tertentu di mana golongan minoritas memperoleh skor lebih rendah.
h. Multi-Dimensional Aptitude Battery
Multi-Dimensional Aptitude Battery
dikembangkan oleh Douglas Jackson pada tahun 1984 sebagai sebuah tes tulis kelompok
untuk menghasilkan skor yang sama dengan yang akan diperoleh dari Wechsler
Adult Intelligence Scale (WAIS). Tes ini berisi lima tes skala verbal dan lima
tes skala performansi yang bentuknya sangat mirip dengan subtes-subtes skala
WAIS, namun dalam format tulis. Skor pada subtes-subtes tersebut memiliki mean
50 dan standar deviasi 10, sedangkan skor total dari bagian verbal, performansi
dan skala penuh memiliki mean 100 dan standar deviasi 15. Kelebihan tes ini
adalah kemudahan dalam pengadministrasian dan skoringnya. Untuk menjadi tester,
juga tidak diperlukan keterampilan tingkat tinggi seperti yang diperlukan pada
skala WAIS dan Stanford-Binet. Sebagai alat tes kelompok, tes ini tentu saja
tidak bertujuan untuk memperoleh data observasional seperti yang diperoleh pada
instrumen-instrumen individual.
E.
MENGHITUNG DAN
MENGKLASIFIKASIKAN INTELIGENSI
1. Intelligence Quotient
Salah satu cara yang sering digunakan untuk menyatakan
tinggi rendahnya inteligensi adalah dengan menerjemahkan hasil tes inteligensi
ke dalam angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat
kecerdasan seseorang bila dibandingkan secara relatif terhadap suatu norma
Secara tradisional, angka normatif dari hasil tes
inteligensi dinyatakan dalam bentuk rasio (quotient) dan diberi nama intelligence
quotient (IQ). Walaupun demikian, tidak semua tes inteligensi akan
menghasilkan angka IQ karena IQ bukan satu-satunya cara untuk menyatakan
tingkat kecerdasan seseorang. Beberapa tes inteligensi bahkan tidak
menghasilkan IQ, tetapi memberikan klasifikasi tingkat inteligensi, seperti
Level III yang berarti klasifikasi inteligensi normal.
Istilah IQ diperkenalkan pertama kali pada tahun 1912 oleh
seorang psikolog Jerman, William Stern. Kemudian ketika pada tahun 1916, L.M.
Terman menerbitkan edisi revisi tes Binet, istilah IQ mulai digunakan secara
resmi untuk yang pertama kali.
Sewaktu pertama kali digunakan secara resmi, angka IQ
dihitung dari hasil tes inteligensi Binet, yaitu dengan membandingkan skor tes
yang diperoleh seorang individu dengan usia individu tersebut. Pada waktu itu,
perhitungan IQ dilakukan dengan menggunakan rumus:
IQ = (MA/CA) x 100
Keterangan:
MA = Mental Age (usia
mental)
CA = Chronological
Age (usia kronologis)
100 = Angka konstan
untuk menghindari bilangan desimal
Istilah usia mental dikemukakan untuk pertama kalinya
bersamaan dengan perumusan perhitungan IQ di atas. Pada masa tersebut, rumus IQ
digunakan untuk menentukan tingkat inteligensi seseorang berdasarkan hasil tes
inteligensi Binet. Sebenarnya usia mental merupakan suatu norma pembanding,
yaitu norma performansi pada kelompok usia tertentu. Misalkan anak yang berusia
delapan tahun sebagian besar di antara mereka mampu menjawab dengan benar
sebanyak 24 soal dalam tes, mak skor 24 tersebut dijadikan norma untuk kelompok
anak-anak usia delapan tahun, dan disebut usia mental delapan tahun. Bila
seorang anak, dalam mengerjakan tes yang sama, mampu menjawab 24 soal dengan
benar, maka ia dikatakan sebagai mempunyai usia mental delapan tahun, sekalipun
usia kronologisnya baru tujuh tahun. Adapun usia kronologis adalah usia anak
sejak dilahirkan yang dinyatakan dalam satuan tahun atau dalam satuan bulan.
2. Batasan Rasio MA/CA
Gagasan pokok dalam perumusan rasio MA/CA adalah
perbandingan relatif antara usia kronologis dengan usia mental yang telah
ditentukan berdasar rata-rata skor pada kelompok usia tersebut. Seorang yang berinteligensi
normal, diharapkan pada usia lima tahun akan mencapai usia mental lima tahun,
pada usia tujuh tahun akan mencapai usia mental tujuh tahun, dan seterusnya.
Ternyata, hubungan seperti disebutkan di atas tidaklah
selalu ditemui dalam kenyataannya. Setelah memasuki usia remaja akhir, usia
mental seseorang rupanya tidak lagi banyak berubah, bahkan cenderung menurun.
Rata-rata skor tes yang diperoleh individu berusia 40 tahun relatif sama dengan
rata-rata skor sewaktu ia masih berusia 15 tahun, dan karenanya tidaklah layak
untuk mengatakannya mencapai usia mental 40 tahun. Di sisi lain, usia
kronologis seseorang terus saja bertambah dari waktu ke waktu. Dengan demikian,
apabila tes dilakukan dengan membandingkan MA dan CA, maka angka IQ yang
diperoleh akan semakin mengecil sejalan dengan bertambahnya usia kronologis. Hal
itu memberikan kesan bahwa semakin tua seseorang akan, maka IQ-nya akan semakin
menurun. Padahal hal tersebut tidaklah logis dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Karena itu, perhitungan IQ dengan menggunakan perbandingan MA dan CA tidak
dapat dilanjutkan lagi.
3. Perumusan IQ-Deviasi
Dengan
adanya kelemahan penggunaan rasio MA/CA untuk menghitung IQ, maka David
Wechsler memperkenalkan konsep penghitungan IQ yang disebut IQ-Deviasi. IQ-Deviasi
tidak ditentukan berdasarkan perbandingan MA/CA, akan tetapi dihitung
berdasarkan norma kelompok (mean) dan dinyatakan dalam besarnya
penyimpangan (deviasi standar) dari norma kelompok tersebut. Dalam statistika,
angka yang dinyatakan dalam satuan deviasi standar disebut skor standar dan
dirumuskan sebagai:
Skor Standar = m + s {(X-M)/sx}
Keterangan:
m = mean skor
standar yang diinginkan
s = deviasi standar
yang diinginkan
X = skor mentah
yang akan dikonversikan
M = mean distribusi
skor mentah yang diperoleh
sx = deviasi
standar skor mentah yang diperoleh
Sebagai catatan, mean IQ selama ini ditetapkan
sebesar 100. Hal ini merupakan kebiasaan tradisional para ahli tes inteligensi selama
berpuluh-puluh tahun dalam menafsirkan IQ sebesar 100 sebagai tanda tingkat
inteligensi normal. Wechsler sendiri menggunakan mean sebesar 100 dan
deviasi standar sebesar 15 untuk menghitung IQ yang diperoleh dari tes WAIS dan
WISC, sedangkan tes Stanford-Binet, sejak edisi revisi tahun 1960, menggunakan mean
sebesar 100 dan deviasi standar sebesar 16.
4. Distribusi IQ dan Klasifikasi Inteligensi
Sebagaimana karakteristik fisik dan karakteristik
psikologis yang lain, dalam suatu populasi yang besar, distribusi angka IQ akan
mengikuti suatu model sebaran normal yang berbentuk genta/lonceng simetris, di
mana mean terletak di tengah sumbu, angka-angka yang lebih kecil dari mean
terletak di sebelah kiri, dan angka-angka yang lebih besar dari mean
terletak di sebelah kanan. Hal itu terjadi sesuai dengan deskripsi matematis
Quatelet mengenai kurva lonceng yang dijadikan landasan oleh Galton, pada tahun
1869, untuk menyatakan bahwa setiap sifat yang terjadi secara alamiah akan
mempunyai satu mean dan satu distribusi normal terhadap mean tersebut.
Implikasi model distribusi normal ini terhadap tingkat
inteligensi adalah bahwa persentase terbesar populasi akan memiliki IQ di
sekitar mean (100), yaitu di antara angka 90 dan 110. Semakin jauh ke
arah kiri (IQ semakin rendah) dan semakin jauh ke arah kanan (IQ semakin
tinggi), persentase populasi yang ada akan semakin kecil. Artinya, persentase
orang yang mempunyai IQ yang tinggi sekali akan sama kecilnya dengan persentase
orang yang memiliki IQ rendah sekali.
Hal tersebut telah terbukti kebenarannya dari data yang
diperoleh oleh Terman dan Merril pada tahun 1937. Data tersebut berasal dari
3184 subyek yang digunakan untuk standardisasi tes Stanford-Binet. Distribusi
data tersebut tampak dalam tabel berikut:
IQ
|
PERSENTASE
|
KLASIFIKASI
|
160 –
169
|
0,03
|
Sangat
Superior
|
150 –
159
|
0,20
|
|
140 –
149
|
1,10
|
|
130 –
139
|
3,10
|
Superior
|
120 –
129
|
8,20
|
|
110 –
119
|
18,10
|
Rata-rata
Tinggi
|
100 –
109
|
23,50
|
Rata-rata
Normal
|
90 –
99
|
23,00
|
|
80 –
89
|
14,50
|
Rata-rata
Rendah
|
70 –
79
|
5,60
|
Batas
Lemah
|
60 –
69
|
2,00
|
Lemah
Mental
|
50 –
59
|
0,40
|
|
40 –
49
|
0,20
|
|
30 –
39
|
0,03
|
Normalitas
distribusi skor tes inteligensi juga diperlihatkan oleh hasil pelancaran skala
WAIS-R, pada tahun 1981, sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini. Dalam
tabel tersebut dapat dibandingkan distribusi persentase teoretis bagi
masing-masing kelompok IQ dengan distribusi persentase yang diperoleh dari sampel
nyata.
IQ
|
PERSENTASE
|
|
KLASIFIKASI
|
|
Teoretis
|
Sampel
Nyata
|
|
≥ 130
|
2,2
|
2,6
|
Sangat
Superior
|
120 – 129
|
6,7
|
6,9
|
Superior
|
110 – 119
|
16,1
|
16,6
|
Di
Atas Rata-rata
|
90 – 109
|
50,0
|
49,1
|
Rata-rata
|
80 – 89
|
16,1
|
16,1
|
Di Bawah Rata-rata
|
70 – 79
|
6,7
|
6,4
|
Batas Lemah
|
≤ 69
|
2,2
|
2,3
|
Lemah Mental
|
Gambaran
distribusi IQ demikian diharapkan juga dapat berlaku pada populasi subyek yang
lain di mana saja, asalkan bukan merupakan kelompok khusus atau kelompok
pilihan.
F.
PROSEDUR PELAKSANAAN
ASESMEN INTELIGENSI
Pelaksanaan tes intelegensi memberikan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjamin adanya hasil dari
sebuah pelaksanaan tes yang reliabel dan valid. Beberapa hal yang harus
dilakukan dalam prosedur pelaksanaan tes intelegensi antara lain sebagai
berikut.
1.
Menciptakan
Suasana Testing
Kegiatan menciptakan sebuah
kondisi dan situasi testing memiliki tujuan pokok agar testi dapat menunjukkan
dan memberikan performance yang dimilikinya dengan sebaik mungkin.
Dalam pelaksanaan kegiatan ini perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya
terkait dengan kondisi fisik bangunan yang digunakan dalam pelaksanaan sebuah
tes intelegensi. Misalnya, penerangan ruangan, ventilasi ruangan, dan besarnya
ruangan yang digunakan tersebut. Sebagai contoh, testi akan mengalami kesulitan
memahami pengarahan yang diberikan sebelum tes intelegensi dilaksanakan jika
tidak ditunjang dengan sound system yang memadai.
Selain kondisi fisik bangunan
yang digunakan dalam pelaksanaan tes, hal lain yang perlu diperhatikan yakni
keadaan atau kondisi orang yang akan dites. Hasil tes yang ditunjukkan dari
testi yang mengalami kelelahan dan mengalami masalah-masalah yang lain bukan
merupakan sampel yang representatif dari tingkah laku yang diharapkan muncul
dalam kondisi dan situasi tes. Hal ini dikarenakan, tes intelegensi secara umum
menghendaki kondisi fisik dan mental yang serasi dalam diri seorang individu.
Jika tes intelegensi dilaksanakan dalam kondisi testi yang kurang mendukung,
maka dalam interpretasinya nanti harus disertakan kondisi-kondisi testi yang
kurang mendukung pelaksanaan tes intelegensi ini.
2.
Memberikan
Motivasi dan Menciptakan Rapport dalam Testing
Motivasi merupakan salah satu
hal yang harus menjadi perhatian, karena motivasi testi yang mendasari
pelaksanaan tes intelegensi akan mempengaruhi skor testi. Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam memahami motivasi dalam testing antara lain.
a. Reinforcement yang dapat meningkatkan skor
Pada umumnya testi akan
memiliki dorongan yang lebih besar dalam menyelesaikan sebuah tes intelegensi
jika mengetahui akan memperoleh reinforcement dari penyelesaian tes
intelegensi tersebut. Untuk anak-anak, reinforcement dapat berupa
hadiah-hadiah, untuk siswa sekolah menengah dapat dimotivasi dengan
menyampaikan bahwa hasil tes intelegensi berguna untuk mengetahui diri mereka
sendiri dengan lebih baik dan juga penting untuk penjurusan bidang studi
mereka. Jika kegiatan ini dapat dilakukan secara optimal kepada testi, maka
hasil tes yang diperoleh akan cukup representatif dari tujuan yang diharapkan
dalam pelaksanaan tes intelegensi ini.
b. Motivasi-motivasi yang dapat mengurangi
skor.
Pelaksanaan tes intelensi
tidak menutup kemungkinan sedikit banyak akan memicu munculnya dorongan atau
motivsi dalam diri testi yang akan mendorong testi untuk mengambil “jalan aman”
dalam penyelesaian tes intelegensi atau bahkan tidak bersungguh-sungguh dalam
penyelesaiannya. Kondisi seperti ini harus menjadi perhatian tester untuk dapat
menciptakan sebuah kondisi yang dapat memotivasi testi agar bersungguh-sungguh
dalam penyelesaian tes intelegensi ini, selain juga menghindarkan testi dari
perasaan tegang yang dapat mengakibatkan testi membuat banyak kesalahan dalam
menyelesaikan tes intelegensi ini. Hal yang dapat dilakukan tester yakni dengan
membangkitkan ego-involvement dari testi, yakni sebuah situasi yang
melibatkan kepentingan seorang individu.
c. Ketakutan dalam menghadapi tes
Adanya ketakutan dalam
menghadapi sebuah tes merupakan hal yang wajar, ketakutan yang muncul dalam
diri seorang testi dapat berasal dari orang tua, guru-guru, dan teman sebaya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa testi yang khawatir tentang hasil tesnya
akan menunjukkan jumlah kesalahan yang lebih besar jika dibandingkan dengan
testi yang tidak atau kurang mengkhawatirkan hasil tes yang diselesaikannya
tersebut. Kondisi ini dapat ditangani dengan memberikan treatment
reconditioning, dengan memberikan pemahaman kepada testi bahwa tes
intelegensi yang akan dilaksanakan merupakan alat atau media yang dapat
membantu (seorang individu) untuk dapat memahami dirinya sendiri dengan lebih
baik, dan tes yang akan dilakukan ini perlu disikapi secara wajar dan tidak
berlebih-lebihan, dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk Rapport dalam Testing
Sebagian besar teknik yang
digunakan dalam membentuk rapport ditentukan oleh sifat tes yang akan
diselesaikan dan tingkatan umur subyek yang akan dites. Teknik pembentukan rapport
pastinya akan berbeda antara subyek anak taman kanak-kanak, sekolah dasar,
sekolah menengah, dan orang dewasa. Setiap tingkatan perkembangan ini akan
memberikan tantangan terhadap tester untuk dapat menciptakan sebuah hubungan
yang baik dan menciptakan suatu lingkungan yang aman dan nyaman antara testi
dan tester dalam proses penyelesaian sebuah tes. Sebagai contoh, tester
dituntut untuk dapat menunjukkan sikap membantu, bersahabat, ramah,dapat
dipercaya, dan santai dalam menciptakan rapport sebelum pelaksanaan
sebuah tes. Kondisi pembentukan rapport ini dapat ditunjung dengan
adanya kesamaan apa saja antara tester dengan testi, karena adanya kesamaan ini
dapat membangkitkan rasa aman dan kepercayaan dalam diri testi. Hal yang lain,
tester juga dapat menciptakan kondisi agar anak (testi) dapat menyelesaikan
sebuah tes dengan sungguh-sungguh sebagaimana dirinya (testi)
bersungguh-sungguh dalam menghadapi sebuah permainan tertentu yang disukai oleh
testi.
Hal yang perlu diperhatikan
dalam membentuk rapport agar dapat berjalan dengan baik yaitu
menghindari pelaksanaan sebuah tes secara mendadak. Jika sebuah tes dilakukan
secara mendadak, secara langsung maupun tidak langsung akan memicu munculnya
rasa tidak nyaman dalam diri testi sebelum, selama, dan bahkan setelah
menyelesaikan sebuah tes. Oleh karena itu, sebelum pelaksanaan sebuah tes harus
diberitahukan terlebih dahulu, sehingga testi (siswa) dapat mempersiapkan
dirinya terlebih dahulu sebelum menghadapi sebuah tes.
3.
Memberikan
Pengarahan kepada Testi
Memberikan pengarahan apa yang
harus dilakukan oleh testi dalam menyelesaikan tes intelegensi merupakan salah
satu tanggungjawab yang penting dalam prosedur pelaksanaan tes intelegensi.
Tester dalam memberikan pengarahan apa yang harus dilakukan oleh testi harus
sesuai dengan yang tercantum dalam manual book tes intelegensi. Tester
mengikuti semua petunjuk yang ada dalam manual book, seperti nama, umur,
tanggal pengetesa, dan lain sebagainya secara jelas, membacakannya kata demi
kata, tidak menambah dan atau merubah sedikit pun petunjuk penyelesaian suatu
tes, hingga dapat dipahami dengan baik oleh testi dan tidak terjadi
kesalahfahaman dari pengarahan yang diberikan tersebut.
Tester harus tegas dalam
menyampaikan petunjuk kepada testi, selain juga menentukan waktu yang tepat
dalam menyampaikan petunjuk tersebut, sehingga petunjuk yang disampaikan kepada
testi tidak diulang berkali-kali. Hal lain yang juga diperhatikan yakni
pengarahan dilakukan secara sederhana, jelas, dan tahap demi tahap. Sebagai
contoh, tester memberikan perintah “ambillah buku tesmu”, disaat yang bersamaan
tester juga mengambil satu buku tes pula sebagai contoh sembari memeriksa
apakah perintah yang disampaikannya tersebut telah dilakukan oleh testi sebelum
melanjutkan perintah berikutnya. Penyampaikan perintah ini harus bersifat
formal, dapat didengarkan dengan jelas tetapi tetap dengan nada yang sopan dan
tidak menyebabkan testi merasa tidak bebas dan tertekan. Sesekali dalam situasi
yang formal tersebut diiiringi dengan suara yang santai semisal saat
menyampaikan arti dan tujuan tes yang akan diselesaikan.
4.
Mengontrol
Cara Kerja Testi
Setelah kegiatan pemberian
pengarahan selesai, tester memberikan aba-aba bahwa tes mulai dapat dikerjakan.
Tester mengawasi dan menjaga batas waktu sesuai dengan yang ditetapkan tes.
Batas waktu dalam penyelesaian tes intelegensi ini harus dijaga ketat. Hal yang
lain yang dapat dilakukan oleh tester yakni melakukan kontrol apakah testi
telah mengerjakan sesuai dengan petunjuk, tetapi perlu diperhatikan dalam hal
ini hendaknya kegiatan tester ini tidak sampai mengganggu testi yang sedang
menyelesaikan tes. Sebagai contoh, berlama-lama melihat dan mengamati pekerjaan
testi
5.
Menjawab
Pertanyaan-Pertanyaan Testi
Jika sebuah pengarahan testing
telah diberikan biasanya akan diikuti oleh berbagai macam pertanyaan dari
testi. Menyikapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari testi ini, tester
menjawab pertanyaan yang disampaikan dengan tidak menambahi hal-hal atau
pengertian-perngertian baru sebagaimana yang telah tercantum dalam manual
book. Hal ini perlu mendapat perhatian yang lebih karena penyampaian
pengarahan merupakan bagian dari dalam situasi tes. Dalam pelaksanaannya,
pengarahan yang tidak dapat dimengerti dan dipahami dengan baik dapat
mempengaruhi skor yang diperoleh testi sebagai hasil tes.
6.
Menskor
hasil tes dan mentfansformasian ke dalam norma
Jika tes telah selesai
dilakukan, kegiatan berikurnya yakni menskor hasil tersebut. Kegiatan ini cukup
sederhana, yang dilakukan yakni mencocokkan jawaban testi dengan kunci jawaban
yang telah tersedia. Biasanya setiap jawaban yang benar diberi skor 1, dan
secara keseluruhan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total, yang kurang
sederhana ialah kunci jawaban tersebut berupa petunjuk yang memberikan berbagai
kategori dengan gradasi skor yang berbeda-beda.
Skor total yang dihasilkan
biasanya disebut skor “mentah” karena belum diolah lebih lanjut. Untuk
menjadikan skor “mentah” ini memiliki lebih banyak makna, maka skor “mentah”
ini harus dibandingkan dengan patokan tertentu. Dapat dilakukan melalui
membandingkannya dengan suatu norma tertentu untuk melihat kedudukan relatif
dari individu pemilik skor tersebut, lebih tinggi atau lebih rendah dari umum.
Untuk tes intelegensi, norma yang lazim digunakan ialah yang didasarkan pada
pengelompokan umur. Hal yang dapat dilakukan agar skor “mentah” ini lebih
bermakna yakni dengan mentransformasikannya ke dalam IQ, hal ini akan
menjadikan skor “mentah” tersebut berubah menjadi “self expalining” yang
dapat langsung menerangkan kedudukannya sendiri. Cara yang paling banyak
digunakan yakni dengan menggunakan tabel transformasi, yakni dengan mencocokkan
skor “mentah” dengan nilai IQ yang telah tercantum dalam tabel untuk kelompok
umur yang diperlukan.
7.
Menafsirkan
dan melaporkan hasil tes
Dalam melaporkan hasil tes harus
dituliskan identitas testi secara lengkap dan jelas, jenis tes yang digunakan
juga harus disebutkan, termasuk tanggal pengetesan. Hal ini dikarenakan nilai
IQ yang diperoleh dari suatu tes hampir tidak pernah sama antara satu tes
dengan tes lainnya. Melaporkan nilai IQ, baik itu tinggi maupun rendah, akan
membawa risiko masing-masing dari pencantuman nilai IQ tersebut. Pencantuman
nilai IQ yang rendah akan membawa risiko yang lebih besar jika dibandingkan
dengan pencantuman nilah IQ yang tinggi. Dalam melaporkannya, nilai IQ tinggi
lebih reliabel jika dibandingkan dengan nilai IQ rendah, karena nilai IQ rendah
dapat berarti macam-macam, seperti kurang percaya diri, kurang motivasi, tidak
ada minat mengerjakan tes, dan lain sebagainya, oleh karena itu perlu
dipertimbangkan untuk menggunakan tes yang lain. Hal terakhir terkait pelaporan
hasil tes ialah laporan hasil tes tersebut harus ditandatangani dengan
mencantumkan tangga pembuatan laporan.
G.
PENGGUNAAN ASESMEN
INTELIGENSI DALAM LAYANAN BK
Penggunaan tes intelegensi dalam pelayanan
bimbingan konseling tidak hanya melibatkan konselor sebagai pelaksanan kegiatan
bimbingan konseling, tetapi juga pihak-pihak lain yang juga terlibat dalam
pelaksanaan pendidikan di sekolah. Hasil tes intelegensi yang diperoleh dapat
dipergunakan oleh berbagai pihak disekolah yaitu:
1. Sekolah, tes intelegensi dapat digunakan
untuk menyaring calon siswa yang akan diterima atau untuk menempatkan siswa
pada jurusan tertentu, dan juga mengidentifikasi siswa yang memiliki IQ di atas
normal.
2. Guru, tes intelegensi dapat digunakan
untuk mendiagnosa kesukaran pelajaran dan mengelompokkan siswa yang memiliki
kemampuan setara.
3. Konselor, tes intelegensi dapat digunakan
untuk membuat diagnosa siswa, untuk memprediksi hasil siswa dimasa yang akan
datang, dan juga sebagai media untuk mengawali proses konseling.
4. Siswa, tes intelegensi dapat digunakan
untuk mengenali dan memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, dan mengetahui
kemampuannya.
Penggunaan tes intelegensi perlu
memperhatikan beberapa prinsip dalam pelaksanaannya di sekolah. Diantaranya
sebagai berikut.
1. Diberikan untuk seluruh siswa, jika hanya
diberikan kepada sekelompok siswa saja, dikhawatirkan kesimpulan yang diambil
nantinya tidak mencakup atau mewakili siswa secara keseluruhan.
2. Diberikan dengan pertimbangan waktu yang
baik, tes yang diselenggarakan dengan rencana yang matang akan memiliki manfaat
yang cukup besar dari hasil yang diberikan tersebut.
3. Dilakukan dengan cara yang benar, tes
harus dilakukan dengan cara yang benar dan tidak disalahgunakan agar dapat
memberikan manfaat kepada siswa dan juga pada sekolah.
4. Proses skoring harus dilakukan dengan
tepat dan teliti.
5. Hasil tes harus diinterpretasikan
berdasarkan norma yang wajar.
6. Hasil tes hendaknya disajikan dengan cara
yang mudah dimengerti oleh siswa, orang tua, kepala sekolah, guru dan konselor.
Dapat disertai dengan keterangan-keterangan yang menunjang.
Kegiatan
konseling memiliki ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan kegiatan
bimbingan yang lain, dan dalam praktiknya ada yang menggunakan hasil tes untuk
mengawali sebuah proses konseling. Hasil tes intelegensi dapat digunakan sebagai bahan diagnosa. Hasil tes
belum tentu perlu disampaikan dalam proses konseling, tetapi konselor maupun
konseli memerlukan gambaran yang menyeluruh dari diri seorang konseli. Dengan
menggunakan hasil tes intelegensi, konselor dapat melakukan diagnosa terkait
perkembangan konseli selama dan setelah proses konseling berlangsung. Selain
itu, Hasil tes intelegensi dapat digunakan sebagai data penunjang. Jika tes
yang digunakan tidak hanya tes atau tes intelegensi, maka hasil tes intelegensi
dapat digunakan untuk menunjang data yang telah diperoleh dan diperlukan dalam
kegiatan konseling.
H.
ETIKA PENGGUNAAN ASESMEN
INTELIGENSI DALAM PELAYANAN BK
Agar tes intelegensi tidak disalahgunakan,
maka disusunlah kode etik yang mengatur sebuah penggunaan tes. Beberapa prinsip
penting yang perlu diketahui oleh berbagai pihak, termasuk konselor, antara
lain sebagai berikut.
1. Penjualan dan distribusi tes intelegensi
terbatas pada pemakai yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya orang-orang
tertentu yang memiliki wewenang untuk mengadministrasikan tes itelegensi yang
telah dipersiapkan sebelumnya secara matang untuk dapat melakukan hal tersebut,
sehingga tidak semua orang dapat menjalankan dan mengadministrasikan kegiatan
tes intelegensi ini.
2. Skor tes intelegensi hanya boleh
disampaikan kepada orang-orang yang mampu menginterpretasikannya. Individu
(testi) yang memperoleh laporan hasil tes intelegensi selayaknya juga
memperoleh penjelasan dari orang yang mengerti dan mampu menginterpretasikan hasil
tes intelegensi tersebut. Hal ini berkaitan dengan tindakan berikutnya yang
akan dilakukan setelah individu (testi) mengerti dan memahami hasil tes
intelegensi yang diperolehnya.
3. Membentuk sikap obyektif testi. Hal ini
perlu dilakukan karena bagaimapun kondisinya, tes intelegensi merupakan alat
atau media yang dapat digunakan untuk memahami diri sendiri dengan lebih baik,
hal ini perlu dilakukan karena adanya kemungkinan testi memiliki prasangka
tertentu dalam menginterpretasikan sebuah hasil tes.
4. Tes yang digunakan telah teruji tingkat
validitas dan reliabilitasnya. Tes intelegensi yang masih dalam tahap
pengembangan tidak boleh digunakan, hal ini dikarenakan tingkat validitas dan
reliabilitasnya belum teruji.
Terdapat dua alasan pokok terkait pengontrolan
dalam penggunaan tes intelegensi dengan menggunakan aturan-aturan yang ketat,
yaitu:
1. Menjaga agar tes tidak menjadi hal yang
biasa bagi calon testi, sehingga bisa mengurangi tingkat validitas tes. Jika
seorang individu pernah mengerjakan tes intelegensi dan mencoba mengingat-ingat
jawaban yang benar dari tes yang diselesaikannya tersebut, maka tidak menutup
kemungkinan individu tersebut memperoleh hasil yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil tes sebelumnya (belum pernah menyelesaikan tes tersebut).
Hasil tes yang baru menjadi tidak valid karena hasil tersebut diperoleh melalui “latihan”
sebelumnya dan tidak dapat dipandang sebagai manifestasi kemampuan individu
dalam kondisi yang wajar yang ingin diungkap melalui tes tersebut.
2. Menjamin agar tes intelegensi hanya dapat
dilakukan dan diadministrasikan oleh orang-orang yang berwenang. Hal ini
dikarenakan dalam pelaksanaan sebuah tes pastinya akan melibatkan aspek
pemilihan, pengadministrasian, skoring, serta interpretasi hasil tes yang telah
dilaksanakan tersebut. Kegiatan-kegiatan ini tidak dapat dilakukan oleh semua
orang, melainkan orang-orang yang telah dipersiapkan sebelumnya secara matang
untuk dapat melakukan berbagai macam kegiatan ini.
I.
KELEMAHAN TES INTELIGENSI
Menurut Cronbach (1970) dalam
Azwar (2006) menempatkan tes intelegensi umum berdasarkan ethical standart
of psychologist pada golongan tes Level B, yaitu tes yang hanya
boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki latar belakang dan pendidikan
psikologi dan terlatih secara khusus dalam penggunaan tes ini. Sedangkan
penggunaan tes intelegensi secara klinis menempatkan tes ini pada golongan Level
C, yaitu tes yang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki paling
tidak tingkat mastes dalam bidang psikologi dan mempunyai paling tidak
pengalaman minimal satu tahun dalam penggunaan tes, yang bersangkutan dibawah
pengawasan yang ketat.
Aspek administrasi tes
intelegensi ini menuntut kualifikasi taraf terlatih, dalam hal ini dapat
dilakukan oleh siapapun yang telah dipersiapakan secara matang dan dilatih
secara khusus, sehingga kesalahan-kesalahan dalam pengadminisresian dapat
dihindari. Aspek interpretasi tes intelegensi ini menuntut kualifikasi
terdidik secara khusus dalam bidang psikologi, hal ini dikarenakan hasil tes
intelegensi akan memiliki manfaat yang besar jika dipergunakan secara tepat,
akan menjadi berbahaya jika disalahgunakan oleh orang yang tidak dapat
menginterpretasikannya dengan benar, dan akan merugikan testi dan instansi yang
berkepentingan dalam menggunakan hasil tes intelegensi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi,
A. & Urbina, S. 1997. Psychological
Testing. Upper Saddle River,
NJ: Prentice-Hall International, Inc.
Azwar, S. 2006. Pengantar Psikologi Inteligensi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cronbach, L.J. 1990. Essentials of Psychological Testing. New
York: HarperCollins Publishers.
Hood, A.B. & Johnson, R.W.
1993. Assessment in Counseling: A Guide
to the Use of Psychological Assessment Procedures. Alexandria, VA: ACA.
Konselor Indonesia. 2010. Sejarah Tes Inteligensi,
(Online), (Error! Hyperlink reference not valid.), diakses pada 15 Oktober 2011.
Suwandi, I. 1993. Teknik Bimbingan Testing: Memahami
Individu dengan Menggunakan Tes. Malang: Proyek OPF IKIP Malang.
Wirawan, Y. G. & Triyono. 2011. Materi Pelatihan
3: Tes Kemampuan Umum (Inteligensi). Malang: PPs UM.
sangat membantu pak.
ReplyDeleteOk. Sukses nyong...
Deletepak test acer itu apa ya? dan sejarah serta cara penggunaannya bagaimana ? ada tugas dari dosen psi-diagno saya , mohon di jawab
DeleteSangat bermanfaat. Bookmark dulu ah
ReplyDelete