Memasuki
abad 21 ditandai oleh perubahan yang mendasar dalam segala aspek kehidupan
khususnya perubahan dalam bidang politik, ekonomi, social budaya dan bidang
hukum. Sejalan dengan perubahan di segala bidang itu, bangsa indonesia
dihadapkan pada permasalahan multi-dimensi yang menyentuh berbagai tatanan
kehidupan mendasar manusia, bukan hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, namun
juga aspek sosial, budaya dan ahlak. Berbagai masalah muncul dalam kehidupan
masyarakat kita, seperti miskin pengabdian, kurang disiplin, kurang empati
terhadap masalah sosial, kurang efektif berkomunikasi serta kurang disiplin. Hal
itu menunjukkan adanya permasalahan pribadi dan sosial di kalangan masyarakat. Gejala
masalah pribadi dan sosial sangan nampak dalam perilaku keseharian masyarakat,
seperti: sikap-sikap individualistis, egoistis, acuh tak acuh, malas berfikir,
kurangnya rasa tanggung jawab, malas berkomunikasi dan berinteraksi atau
rendahnya empati serta seorang yang tidak memiliki empati, berpikiran bahwa
dunia hanya yang ia alami, padahal di luar sana banyak pengalaman orang yang
berbeda.
Hasil penelitian menyatakan bahwa, ketidakmampuan
individu dalam melakukan empati atau dengan kata lain, individu dengan tingkat
empati yang rendah dapat menyebabkan muculnya perilaku menyimpang, seperti
memperkosa, kekerasan (bullying),
menyiksa dan perilaku-perilaku kriminal yang psikopat, bagi psikopat memotong
kepala ayam dan memotong kepala manusia, tidak ada bedanya. (Goleman, 1995). Seperti kasus
kekerasan remaja Samarinda, Kalimantan Timur
dimana sekelompok wanita muda yang diduga pelajar SMP mengeroyok seorang remaja puteri yang tidak berdaya (24 juli 2011). Adapun kasus siswi SMA di kota Pasuruan
diperkosa secara bergantian, yang salah satu pelakunya merupakan siswa kelas
dua SMP (9 maret 2011)
Kasus-kasus kekerasan
dan pemerkosaan yang dilakukan oleh remaja atau siswa saat ini, salah satu
faktor penyebabnya adalah tingkat empati remaja yang rendah. Hal ini sangatlah
aneh, karena empati merupakan proses alamiah yang dibawa sejak lahir. Hoffman
(dalam Goleman, 2002) sejak bayi dan masa-masa selanjutnya. Pada umur satu
tahun, anak-anak merasakan sakit pada dirinya apabila melihat anak lain jatuh
dan menangis, perasaannya sedemikian kuat dan mengikat sehingga ia menaruh ibu
jarinya di mulut dan membenamkan kepalanya di pangkuan ibunya, seolah-olah ia
sendiri terluka. Setelah tahun pertama, ketika bayi sudah lebih menyadari bahwa
mereka berbeda dari orang lain, mereka secara aktif mencoba menghibur bayi lain
yang menangis, misalnya dengan menawarkan boneka beruang miliknya. Pada awal
usia dua tahun, anak-anak mulai memahami bahwa perasaan orang lain berbeda
dengan perasaannya, sehingga mereka lebih peka terhadap isyarat-isyarat yang
mengungkapkan perasaan orang lain. Pada akhir masa kanak-kanak, tingkat empati
paling akhir muncul ketika anak-anak sudah sanggup memahami kesulitan yang ada
dibalik situasi yang tampak dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang
dalam kehidupan dapat menjadi sumber beban stres kronis. Pada tahap ini, mereka
dapat merasakan kesengsaraan suatu golongan, misalnya kaum miskin, kaum
tertindas, mereka yang terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu, dalam masa
remaja dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk
meringankan ketidakberuntungan dan ketidakadilan (Goleman, 2002).
Empati
memiliki korelasi yang sangat erat dengan perilaku pro-sosial. Siswa dapat
berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka, kesediaan
memberikan bantuan kepada orang lain baik materiil maupun moril dan juga
kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Empati
juga dapat meningkatkan harga diri individu. Richard (dalam Jones, 1992)
menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dan menyebabkan
tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang. Berdasarkan paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa empati
merupakan sumber dari perubahan sikap individu (Corneliu Irimia, 2010)
Perasaan positif,
seperti empati memberikan kontribusi pada perkembangan moral remaja. Walaupun empati
dianggap sebagai keadaan emosional, sering kali empati memiliki komponen
kognitif yaitu kemampuan melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain, atau
yang disebut dengan mengambil perspektif orang lain. Hal ini yang diharapkan
terjadi ada usia 10 sampai 12 tahun.
Pada
usia di atas yang berada pada jenjang siswa SMP, maka pendidikan sebagai sarana
untuk mengatasi masalah pribadi-sosial remaja harus memiliki fungsi dan peran
dalam meningkatkan empati siswa. Sehingga dengan pendidikan diharapkan krisis
dalam berbagai aspek sosial tersebut dapat diatasi. Dengan pendidikan akan
melahirkan manusia yang berkualitas yang akan menjadi kekuatan utama dalam
mengatasi dan memecahkan masalah pribadi-sosial yang dihadapi. Menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas, yang berpegang pada norma dan nilai yang kuat,
kinerja dan disiplin tinggi, dan sebaliknya bukan sumber daya manusia yang
tidak berkualitas, lemah dalam pegangan norma dan nilai, rendah disiplin dan
kinerja.
Dalam upaya untuk meningkatkan
empati siswa, guru BK selama ini hanya bersifat instruktusional semata yang
pada hakekatnya hanya “menyerang” aspek kognitif siswa saja. Hal ini sejalan
dengan yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Amitya Kumara, M.S (2011) bahwa siswa kerap
dituntut untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya saja dan kurang dibimbing
dalam mengembangkan kemampuan yang lain. Oleh karena itu, peneliti tertarik
untuk menggunakan cinema education
sebagai salah satu teknik yang diharapkan dapat meningkatkan empati siswa,
melalui pemberian stimulus berupa adegan-adegan film yang diharpkan dapat merangsang
kesadaran dan emosi siswa untuk berempati.
REFERENSI
Ann C. Rumble,
Paul A. M. Van Lange And Craig D. 2010. The
benefits of empathy: When empathy may sustain cooperation in social Dilemmas.
European Journal of Social Psychology. Wiley InterScience (www.interscience.wiley.com)
Bavolek Stephen
J..2010. Developing Empathy in Families.
Family Development Resources, Inc (www.nurturingparenting.com)
Galinsky Adam D.. 2000. Perspective-Taking: Decreasing
Stereotype Expression, Stereotype Accessibility, and In-Group Favoritism. Journal
of Personality and Social Psychology American Psychological Association, Inc
Goleman,
D. 2007. Emotional Intelligence.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Håkansson
Jakob.2003. Exploring the phenomenon of
Empathy. Doctoral dissertation, Department of Psychology Stockholm
University
Irimia Corneliu.
2010 Empathy As A Source Of Attitude
Change. Contemporary Readings in Law and Social Justice Volume 2. Romanian
Society of Psychoanalysis
Johnson
, Cheek, Smither. 1983. The Structure of
Empathy. Journal of Personality and
Social Psychology. American Psychological Association. Inc.
Rebecca P. Ang, Dion
H. Goh . 2010. Cyberbullying Among
Adolescents: The Role of Affective and Cognitive Empathy, and Gender. Child
Psychiatry Hum Dev. Springer Science and Business Media
Nicholas Epley,
Carey K. Morewedge and Boaz Keysar. 2004. Perspective
taking in children and adults: Equivalent egocentrism but differential
correction. Journal of Experimental Social Psychology
Snyder C. R.,
Lopez Shane. 2002. Handbook of Positive Psychology.
OXFORD UNIVERSITY PRESS
Vittorio
Pelligra . 2011. Empathy, Guilt-Aversion,
and Patterns of Reciprocity. Journal of Neuroscience, Psychology, and
Economics. American Psychological Association
Slots Casino Review - Bonuses, Free Spins, Games & More
ReplyDeleteRead our full review 슬롯머신 무료 about Slots 마틴 게일 Casino, an independent review with exclusive bonus codes, promotions and games.Visit Slots Casino: Claim Bonus, 페이 백 먹튀 VIP Club, Play Now!🎲 Games: 150+ Rating: 3.6 넷마블 토토 사이트 · 라스 벳 Review by Nicholas Crouch