1.
Evaluasi
Program
Evaluasi program
adalah salah satu proses yang dapat digunakan untuk membantu konselor sekolah. Evaluasi Program dianggap
sebagai suatu disiplin penelitian
terapan, dan didefinisikan sebagai suatu proses sistematis mengumpulkan dan
menganalisis informasi tentang efisiensi, efektivitas, dan dampak dari program
dan layanan (Boulmetis
& Dutwin, 2000). Salah satu alasan diadakannya
evaluasi program karena merupakan alat yang berharga
untuk konselor sekolah dalam melakukan
penelitian tindakan yang meliputi monitoring, serta peningkatan program atau layanan.
Evaluasi ini
dapat dilakukan
pada skala yang lebih kecil, dapat direncanakan dan dilaksanakan oleh praktisi,
dan dapat digunakan untuk memperlihatkan
dampak program terhadap prestasi
siswa dan variabel-variabel
penting lainnya. Ada beberapa pertanyaan kunci dalam melakukan evaluasi program untuk dapat membantu konselor
sekolah, seperti:
1.
Apa metode,
program, dan intervensi yang
sangat bermanfaat bagi siswa?
2.
Seberapa puaskah siswa
dan guru terhadap layanan
yang diberikan?
3.
Bagaimana dampak intervensi atau program layanan terhadap prestasi
siswa?
4.
Bagaimana dampak penempatan kelas/penjurusan terhadap prestasi siswa?
5.
Seberapa baik ketercapaian tujuan program
konseling di sekolah?
2.
Hambatan
dalam
Evaluasi
Program
Ada beberapa
hambatan potensial dalam melakukan
evaluasi program yang konselor sekolah hadapi.
Berdasarkan literatur yang
berhubungan dengan evaluasi program konseling menunjukan bahwa kurangnya
minat dan kemampuan konselor sekolah
untuk
mengevaluasi layanan konseling secara sistematis
(Whiston, 1996).
Melakukan
evaluasi program membutuhkan beberapa keahlian dalam metode penelitian dasar,
biasanya konselor menerima sedikit pelatihan untuk mempersiapkan mereka untuk melakukan penelitian mereka dalam setting
profesional
(Whiston, 1996). Coker, Astramovich dan Hoskins (2006) melakukan
penelitian terhadap 28
konselor sekolah dengan menjawab
pertanyaan yang meliputi jenis-jenis
instruksional, jika ada, mereka diterima dalam program pelatihan untuk melakukan evaluasi
program. Para Sebagian besar peserta pelatihan, 15 (53,6%), tidak menerima
pelatihan dalam melakukan evaluasi
program selama mereka kuliah.
Dari peserta yang tersisa, 12 (42,9%) diindikasikan menerima beberapa evaluasi
program selama kuliah di
tingkat pascasarjana, dan 1 (3,6%) tidak jelas
(Astramovich, Coker, & Hoskins di tekan).
Potensi hambatan
lain dalam melakukan evaluasi program adalah
kurangnya kepercayaan diri konselor sekolah,
mungkin
karena merasa kurangnya kemampuan mereka untuk
mengumpulkan dan menganalisis data dan kemudian memanfaatkan temuan mereka terhadap program konseling
(Isaacs, 2003). Konselor
yang lain mengakui mereka takut untuk melakukan
evaluasi program karena khwatir temuan
mereka mungkin tidak mendukung gagasan bahwa program yang mereka lakukan efektif (Lusky & Hayes, 2001). Coker, Astramovich dan Hoskins (2006)
percaya bahwa dengan melakukan evaluasi program, konselor juga dapat bekerja
lebih efektif dengan berfokus
lebih pada upaya pencegahan dan intervensi yang telah terbukti efektif daripada
menghabiskan waktu mereka terlibat dalam tugas-tugas tambahan yang tidak secara
langsung mendatangkan manfaat
dan hasil bagi siswa.
Waktu juga merupakan keterbatasan yang diidentifikasi
oleh Coker, Astramovich dan Hoskins (2006). Ketika
ditanya apakah evaluasi program terlalu memakan waktu untuk dilakukan, dari 28 peserta respon tersebut
dibagi, menjadi 9 (32,1%) setuju atau sangat setuju, 9 (32,1%)
menyatakan ketidakpastian / netral, dan 10 (35,7%) tidak setuju atau sangat
tidak setuju (Astramovich et al., di tekan). Konselor tentu mengalami fenomena dimana terlalu banyak hal untuk
melakukannya, sedangkan terlalu sedikit waktu untuk melakukannya.
Beberapa konselor sekolah juga mengalami apa yang
mereka anggap sebagai kurangnya dukungan dari tenaga administrasi untuk melakukan evaluasi program. The
Transforming School Counseling Initiative (TSCI) menyatakan bahwa konselor sekolah memiliki peran
penting dan sentral dalam peningkatan prestasi siswa. TCSI
mendorong administrator untuk memandangan
konselor sekolah bukan sebagai personel pendukung yang berperan sebagai penyelesai masalah/krisis yang terjadi, tetapi juga bertindak proaktif dan merupakan pemain kunci dalam tim pendidik yang tujuannya adalah
untuk memberikan persiapan akademik yang baik untuk semua
siswa (Education Trust, 2002).
Jika konselor sekolah ingin mengatasi beberapa hambatan dalam pelaksanaan evaluasi program, pertama, konselor sekolah harus memiliki pengetahuan dasar yang cukup untuk memanfaatkan strategi yang
berpengaruh pada program konseling di sekolah.
Model jembatan akuntabilitas merupakan kerangka kerja yang dikembangkan oleh Coker, Astramovich dan Hoskins (2006) menyatakan bahwa dapat membantu dalam memfasilitasi kedua program untuk melakukan
dan mempublikasikan hasil evaluasi.
3.
Accountability Bridge Model (Model
Jembatan Akuntabilitas)
Accountability Bridge Model dirancang
untuk membantu konselor sekolah dalam perencanaan, penyampaian, dan penilaian terhadap efektivitas dan dampak dari
layanan yang diberikan. Dalam model ini, Evaluasi konseling bagi ke dalam dua siklus, dimana yang pertama adalah siklus evaluasi program konseling dan siklus evaluasi konteks konseling. Dua siklus
tersebut merupakan proses penyempurnaan berkelanjutan dari layanan berdasarkan pada hasil, umpan balik dari pemangku kepentingan, dan kebutuhan dari siswa yang dilayani.
Pertama, siklus evaluasi program
konseling yang di dalamnya terdapat perencanaan
dan pelaksanaan strategi, intervensi, dan program, pemantauan dan penyempurnaan
program-program, dan penilaian terhadap hasil
identifikasi sebelumnya. Terdapat empat tahap dalam siklus ini:
Sumber: Coker, Astramovich dan Hoskins (2006)
Gambar 1. Model Evaluasi Program Konseling Jembatan Akuntabilitas (Accountability
Bridge Counseling Program Evaluation Model)
Pada tahap perencanaan
program, informasi dikumpulkan selama proses penilaian kebutuhan
dan identifikasi tujuan layanan, serta
perencanaan dan pengembangan program
konseling dan layanan. Pada
tahap ini, konselor sekolah mengidentifikasi intervensi dan program yang akan dilaksanakan
serta sumber daya yang dibutuhkan
untuk mengimplementasikannya. Pada tahap ini juga, konselor
sekolah perlu untuk merencanakan hasil yang akan dicapai.
Sarana untuk menilai hasil yang dicapai pada layanan yang diberikan konselor dapat mencakup
instrumen pra dan pasca pemberian layanan (pre-post instruments),
indikator kinerja, dan daftar cek. Selain
itu, terdapat data sekolah,
data laporan diri, dan data observasi dapat digunakan (Gysbers & Henderson, 2000; Studer
& Sommers, 2000).
Selama
tahap pelaksanaan
program, konselor sekolah melaksanakan
program dan layanan. tahap ini kadang-kadang disebut sebagai evaluasi formatif karena pelaksanaan atau penyampaian layanan
ditentukan oleh masukan (input)
dari
siklus evaluasi konteks. Dalam tahapan pemantauan
program dan perbaikan,
konselor sekolah menentukan apakah
perlu dibuat penyesuaian untuk program atau intervensi
yang didasarkan
pada data awal
dan umpan balik.
Kemudian,
dalam tahap penilaian hasil dari siklus evaluasi program,
konselor sekolah mengumpulkan dan menganalisis data
akhir untuk menentukan
hasil dari intervensi
dan program yang telah dilaksanakan.
Pada tahap ini, konselor
sekolah yang mengalami keterbatasan pengetahuan
dan pelatihan tentang metode
penelitian mungkin perlu berkonsultasi dengan kolega atau supervisor untuk membantu
konselor menganalisis data tersebut.
Penggunaan perangkat lunak (software) program
untuk analisis data (misalnya, SPSS, SAS, Microsoft
Excel) dapat membantu mempercepat
interpretasi dan penyajian data.
Jembatan
akuntabilitas dalam model menunjukan hubungan dari
hasil program kepada pemangku kebijakan (stakeholders). Tenaga Administrasi, orang tua, personil sekolah,
siswa, konselor sekolah lainnya, serta
guru
yang mewakili beberapa stakeholders yang mungkin
memiliki sumbangsih dalam
menentukan keberhasilan siswa.
Berkomunikasi dengan stakeholder
secara proaktif dapat membantu konselor
sekolah dalam memperoleh dukungan
untuk pelaksanaan layanan dan juga meningkatkan permintaan
untuk jasa yang diberikan oleh konselor
(Ernst
& Hiebert, 2002). Penyampaian hasil
evaluasi dapat berupa laporan, ringkasan,
presentasi, dan diskusi.
Siklus
evaluasi konteks konseling merupakan siklus kedua dalam model. Siklus ini mencakup perolehan umpan
balik dari stakeholder dan
menggunakan umpan balik serta hasil yang diperoleh dalam penilaian itu untuk merencanakan
program yang sedang dilaksanakan.
Selain itu, pada siklus
ini dilakukan penilaian kebutuhan sehingga tujuan program
dapat memenuhi kebutuhan siswa yang dilayani.
Selama
tahap umpan balik dari stakeholder, konselor sekolah
secara aktif mengumpulkan umpan balik berdasarkan hasil yang disampaikan.
Ketika pihak yang terlibat merasa
bahwa mereka mempunya andil dalam
perencanaan dan pelaksanaan dari
layanan, mereka lebih cenderung mendukung
upaya untuk meningkatkan layanan tersebut (Ernst & Hiebert, 2002). Setelah umpan balik, konselor sekolah merencanaan strategis yang meliputi pengujian dan kemungkinan revisi terhadap misi dan tujuan dari program konseling di sekolah secara keseluruhan. Tahap ini merupakan representasi dari konteks sekolah di mana program konseling dilaksanakan, dan memperkirakan dampak program tersebut terhadap keseluruhan misi dan tujuan sekolah.
upaya untuk meningkatkan layanan tersebut (Ernst & Hiebert, 2002). Setelah umpan balik, konselor sekolah merencanaan strategis yang meliputi pengujian dan kemungkinan revisi terhadap misi dan tujuan dari program konseling di sekolah secara keseluruhan. Tahap ini merupakan representasi dari konteks sekolah di mana program konseling dilaksanakan, dan memperkirakan dampak program tersebut terhadap keseluruhan misi dan tujuan sekolah.
Tahapan
penilaian
kebutuhan memberikan informasi
penting bagi konselor sekolah untuk mendesai ulang dan
mengubah program konseling sekolah secara keseluruhan dan layanan-layanan yang ditawarkan di
dalamnya. Penilaian
kebutuhan mencakup bukan
saja kebutuhan populasi, dalam hal ini adalah siswa, tetapi juga kebutuhan
stakeholders yang lain, seperti petugas administrasi, orang
tua, dan guru. Penilaian
kebutuhan secara komprehensif
dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
dan direncanakan dengan tujuan yang jelas
(Royse, Thyer, Padgett, & Logan,2001).
Identifikasi dari tujuan layanan harus
didasarkan pada hasil sebelumnya dari layanan konseling, perencanaan umpan balik
dari stakeholders, dan perencanaan strategis dan hasil penilaian
kebutuhan (need assessment). Komponen utama dari implementasi
program adalah menciptakan intervensi
dan strategi yang memiliki tujuan yang
jelas.
Jika program yang dilaksanakan tidak memiliki mengidentifikasi tujuan, maka program tersebut tidak
dapat memadai untuk menilai efektivitasnya. Setelah tujuan layanan
telah ditetapkan, siklus evaluasi dimulai lagi dengan informasi dari siklus
evaluasi konteks konseling ke tahap perencanaan program pada siklus evaluasi program
konseling.
4.
Implikasi
Dengan penekanan
pada akuntabilitas baik dalam pendidikan secara
umum
dan konseling di sekolah, secara khusus, konselor sekolah tidak
bisa lagi mempertanyakan perlunya melakukan
evalusi program-program yang mereka lakukan.
Dengan konseptualisasi dari evaluasi
program sebagai proses
yang berkolaborasi, konselor sekolah mungkin lebih tertarik
dan termotivasi untuk berpartisipasi dalam evaluasi program. The
Accountability Bridge Model memberikan konselor sekolah kerangka untuk
melibatkan stakeholder, dengan bersikap proaktif dan menunjukkan dampak dari
program yang mereka laksanakan,
dan memanfaatkan evaluasi praktis dan metode penilaian untuk menganalisis hasil dari pelaksanaan program tersebut.
REFERENSI
American School Counselor Association. (2003). The ASCA National
Model: A Framework For School Counseling Programs. Alexandria, VA: Author.
Coker J. K., et al. (2006). Introducing
the Accountability Bridge Model: A Program Evaluation Framework for School
Counselors. http://www.counselingoutfitters.com/
Dahir C. A. dan
Stone C.B. (2009). School Counselor Accountability:
The Path to Social Justice and Systemic Change. http://www.olc.edu/
Gysbers N.C. (2003). Comprehensive Guidance and Counseling Programs: The Evolution of Accountability.
VA: ASCA
Haugle Paula. (2007). School
Counselor Accountability: A Practical Guide to Collect, Interpret, and Utilize
Data in Schools. Winona State University
Loesch, L. C. (2007). Accountability For School Counseling (ACAPCD-01). Alexandria, VA:
American Counseling Association.
No comments:
Post a Comment