Sunday, December 11, 2011

Akuntabilitas Bimbingan dan Konseling


1.             Evaluasi Program
Evaluasi program adalah salah satu proses yang dapat digunakan untuk membantu konselor sekolah. Evaluasi Program dianggap sebagai suatu disiplin penelitian terapan, dan didefinisikan sebagai suatu proses sistematis mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang efisiensi, efektivitas, dan dampak dari program dan layanan (Boulmetis & Dutwin, 2000). Salah satu alasan diadakannya evaluasi program karena merupakan alat yang berharga untuk konselor sekolah dalam melakukan penelitian tindakan yang meliputi monitoring, serta peningkatan program atau layanan.
Evaluasi ini dapat dilakukan pada skala yang lebih kecil, dapat direncanakan dan dilaksanakan oleh praktisi, dan dapat digunakan untuk memperlihatkan dampak program terhadap prestasi siswa dan variabel-variabel penting lainnya. Ada beberapa pertanyaan kunci dalam melakukan evaluasi program untuk dapat membantu konselor sekolah, seperti:
1.             Apa metode, program, dan intervensi yang sangat bermanfaat bagi siswa?
2.             Seberapa puaskah siswa dan guru terhadap layanan yang diberikan?
3.             Bagaimana dampak intervensi atau program layanan terhadap prestasi siswa?
4.             Bagaimana dampak penempatan kelas/penjurusan terhadap prestasi siswa?
5.             Seberapa baik ketercapaian tujuan program konseling di sekolah?

2.             Hambatan dalam Evaluasi Program
Ada beberapa hambatan potensial dalam melakukan evaluasi program yang konselor sekolah hadapi. Berdasarkan literatur yang berhubungan dengan evaluasi program konseling menunjukan  bahwa kurangnya minat dan kemampuan konselor sekolah untuk mengevaluasi layanan konseling secara sistematis (Whiston, 1996).
Melakukan evaluasi program membutuhkan beberapa keahlian dalam metode penelitian dasar, biasanya konselor menerima sedikit pelatihan untuk mempersiapkan mereka untuk melakukan penelitian mereka dalam setting profesional (Whiston, 1996).  Coker, Astramovich dan Hoskins (2006) melakukan penelitian terhadap 28 konselor sekolah dengan menjawab pertanyaan yang meliputi jenis-jenis instruksional, jika ada, mereka diterima dalam program pelatihan untuk melakukan evaluasi program. Para Sebagian besar peserta pelatihan, 15 (53,6%), tidak menerima pelatihan dalam melakukan evaluasi program selama mereka kuliah. Dari peserta yang tersisa, 12 (42,9%) diindikasikan menerima beberapa evaluasi program selama kuliah di tingkat pascasarjana, dan 1 (3,6%) tidak jelas (Astramovich, Coker, & Hoskins di tekan).
Potensi hambatan lain dalam melakukan evaluasi program adalah kurangnya kepercayaan diri konselor sekolah, mungkin karena merasa kurangnya kemampuan mereka untuk mengumpulkan dan menganalisis data dan kemudian memanfaatkan temuan mereka terhadap program konseling (Isaacs, 2003). Konselor yang lain mengakui mereka takut untuk melakukan evaluasi program karena khwatir temuan mereka mungkin tidak mendukung gagasan bahwa program yang mereka lakukan efektif (Lusky & Hayes, 2001). Coker, Astramovich dan Hoskins (2006) percaya bahwa dengan melakukan evaluasi program, konselor juga dapat bekerja lebih efektif dengan berfokus lebih pada upaya pencegahan dan intervensi yang telah terbukti efektif daripada menghabiskan waktu mereka terlibat dalam tugas-tugas tambahan yang tidak secara langsung mendatangkan manfaat dan hasil bagi siswa.
Waktu juga merupakan keterbatasan yang diidentifikasi oleh Coker, Astramovich dan Hoskins (2006). Ketika ditanya apakah evaluasi program terlalu memakan waktu untuk dilakukan, dari 28 peserta respon tersebut dibagi, menjadi 9 (32,1%) setuju atau sangat setuju, 9 (32,1%) menyatakan ketidakpastian / netral, dan 10 (35,7%) tidak setuju atau sangat tidak setuju (Astramovich et al., di tekan). Konselor tentu mengalami fenomena dimana terlalu banyak hal untuk melakukannya, sedangkan terlalu sedikit waktu untuk melakukannya.
Beberapa konselor sekolah juga mengalami apa yang mereka anggap sebagai kurangnya dukungan dari tenaga administrasi untuk melakukan evaluasi program. The Transforming School Counseling Initiative (TSCI) menyatakan bahwa konselor sekolah memiliki peran penting dan sentral dalam peningkatan prestasi siswa. TCSI mendorong administrator untuk memandangan konselor sekolah bukan sebagai personel pendukung yang berperan sebagai penyelesai masalah/krisis yang terjadi, tetapi juga bertindak proaktif dan merupakan pemain kunci dalam tim pendidik yang tujuannya adalah untuk memberikan persiapan akademik yang baik untuk semua siswa (Education Trust, 2002).
Jika konselor sekolah ingin mengatasi beberapa hambatan dalam pelaksanaan evaluasi program, pertama, konselor sekolah harus memiliki pengetahuan dasar yang cukup untuk memanfaatkan strategi yang berpengaruh pada program konseling di sekolah. Model jembatan akuntabilitas merupakan kerangka kerja yang dikembangkan oleh Coker, Astramovich dan Hoskins (2006) menyatakan bahwa dapat membantu dalam memfasilitasi kedua program untuk melakukan dan mempublikasikan hasil evaluasi.

3.             Accountability Bridge Model (Model Jembatan Akuntabilitas)
Accountability Bridge Model dirancang untuk membantu konselor sekolah dalam perencanaan, penyampaian, dan penilaian terhadap efektivitas dan dampak dari layanan yang diberikan. Dalam model ini, Evaluasi konseling bagi ke dalam dua siklus, dimana yang pertama adalah siklus evaluasi program konseling dan siklus evaluasi konteks konseling. Dua siklus tersebut merupakan proses penyempurnaan berkelanjutan dari layanan berdasarkan pada hasil, umpan balik dari pemangku kepentingan, dan kebutuhan dari siswa yang dilayani.
Pertama, siklus evaluasi program konseling yang di dalamnya terdapat perencanaan dan pelaksanaan strategi, intervensi, dan program, pemantauan dan penyempurnaan program-program, dan penilaian terhadap hasil identifikasi sebelumnya. Terdapat empat tahap dalam siklus ini:
 











                                         Sumber: Coker, Astramovich dan Hoskins (2006)

Gambar 1. Model Evaluasi Program Konseling Jembatan Akuntabilitas (Accountability Bridge Counseling Program Evaluation Model)

Pada tahap perencanaan program, informasi dikumpulkan selama proses penilaian kebutuhan dan identifikasi tujuan layanan, serta perencanaan dan pengembangan program konseling dan layanan. Pada tahap ini, konselor sekolah mengidentifikasi intervensi dan program yang akan dilaksanakan serta sumber daya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikannya.  Pada tahap ini juga, konselor sekolah perlu untuk merencanakan hasil yang akan dicapai. Sarana untuk menilai hasil yang dicapai pada layanan yang diberikan konselor dapat mencakup instrumen pra dan pasca pemberian layanan (pre-post instruments), indikator kinerja, dan daftar cek. Selain itu, terdapat data sekolah, data laporan diri, dan data observasi dapat digunakan (Gysbers & Henderson, 2000; Studer & Sommers, 2000).
Selama tahap pelaksanaan program, konselor sekolah melaksanakan program  dan layanan. tahap ini kadang-kadang disebut sebagai evaluasi formatif karena pelaksanaan atau penyampaian layanan ditentukan oleh masukan (input) dari siklus evaluasi konteks. Dalam tahapan pemantauan program dan perbaikan, konselor sekolah menentukan apakah perlu dibuat penyesuaian untuk program atau intervensi yang didasarkan pada data awal dan umpan balik.
Kemudian, dalam tahap penilaian hasil dari siklus evaluasi program, konselor sekolah mengumpulkan dan menganalisis data akhir untuk menentukan hasil dari intervensi dan program yang telah dilaksanakan. Pada tahap ini, konselor sekolah yang mengalami keterbatasan pengetahuan dan pelatihan tentang metode penelitian mungkin perlu berkonsultasi dengan kolega atau supervisor untuk membantu konselor menganalisis data tersebut. Penggunaan perangkat lunak (software) program untuk analisis data (misalnya, SPSS, SAS, Microsoft Excel) dapat membantu mempercepat interpretasi dan penyajian data.
Jembatan akuntabilitas dalam model menunjukan hubungan dari hasil program kepada pemangku kebijakan (stakeholders). Tenaga Administrasi, orang tua, personil sekolah, siswa, konselor sekolah lainnya, serta guru yang mewakili beberapa stakeholders yang mungkin memiliki sumbangsih dalam menentukan keberhasilan siswa. Berkomunikasi dengan stakeholder secara proaktif dapat membantu konselor sekolah dalam memperoleh dukungan untuk pelaksanaan layanan dan juga meningkatkan permintaan untuk jasa yang diberikan oleh konselor (Ernst & Hiebert, 2002). Penyampaian hasil evaluasi dapat berupa laporan, ringkasan, presentasi, dan diskusi.
Siklus evaluasi konteks konseling merupakan siklus kedua dalam model. Siklus ini mencakup perolehan umpan balik dari stakeholder dan menggunakan umpan balik serta hasil yang diperoleh dalam penilaian itu untuk merencanakan program yang sedang dilaksanakan. Selain itu, pada siklus ini dilakukan penilaian kebutuhan sehingga tujuan program dapat memenuhi kebutuhan siswa yang dilayani.
Selama tahap umpan balik dari stakeholder, konselor sekolah secara aktif mengumpulkan umpan balik berdasarkan hasil yang disampaikan. Ketika pihak yang terlibat merasa bahwa mereka mempunya andil dalam perencanaan dan pelaksanaan dari layanan, mereka lebih cenderung mendukung
upaya untuk meningkatkan layanan tersebut (Ernst & Hiebert, 2002). Setelah umpan balik,
konselor sekolah merencanaan strategis yang meliputi pengujian dan kemungkinan revisi terhadap misi dan tujuan dari program konseling di sekolah secara keseluruhan. Tahap ini  merupakan representasi dari konteks sekolah di mana program konseling dilaksanakan, dan memperkirakan dampak program tersebut terhadap keseluruhan misi dan tujuan sekolah.
Tahapan penilaian kebutuhan memberikan informasi penting bagi konselor sekolah untuk mendesai ulang dan mengubah program konseling sekolah secara keseluruhan dan layanan-layanan yang ditawarkan di dalamnya. Penilaian kebutuhan mencakup bukan saja kebutuhan populasi, dalam hal ini adalah siswa, tetapi juga kebutuhan stakeholders yang lain, seperti petugas administrasi, orang tua, dan guru. Penilaian kebutuhan secara komprehensif dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan direncanakan dengan tujuan yang jelas (Royse, Thyer, Padgett, & Logan,2001).
Identifikasi dari tujuan layanan harus didasarkan pada hasil sebelumnya dari layanan konseling, perencanaan umpan balik dari stakeholders, dan perencanaan strategis dan hasil penilaian kebutuhan (need assessment). Komponen utama dari implementasi program adalah menciptakan intervensi dan strategi yang memiliki tujuan yang jelas. Jika program yang dilaksanakan tidak memiliki mengidentifikasi tujuan, maka program tersebut tidak dapat memadai untuk menilai efektivitasnya. Setelah tujuan layanan telah ditetapkan, siklus evaluasi dimulai lagi dengan informasi dari siklus evaluasi konteks konseling ke tahap perencanaan program pada siklus evaluasi program konseling.

4.             Implikasi
Dengan penekanan pada akuntabilitas baik dalam pendidikan secara umum dan konseling di sekolah, secara khusus, konselor sekolah tidak bisa lagi mempertanyakan perlunya melakukan evalusi program-program yang mereka lakukan. Dengan konseptualisasi dari evaluasi program sebagai proses yang berkolaborasi,  konselor sekolah mungkin lebih tertarik dan termotivasi untuk berpartisipasi dalam evaluasi program. The Accountability Bridge Model memberikan konselor sekolah kerangka untuk melibatkan stakeholder, dengan bersikap proaktif dan menunjukkan dampak dari program yang mereka laksanakan, dan memanfaatkan evaluasi praktis dan metode penilaian untuk menganalisis hasil dari pelaksanaan program tersebut.

REFERENSI

American School Counselor Association. (2003). The ASCA National Model: A Framework For School Counseling Programs. Alexandria, VA: Author.
Coker J. K., et al. (2006).  Introducing the Accountability Bridge Model: A Program Evaluation Framework for School Counselors. http://www.counselingoutfitters.com/
Dahir C. A. dan Stone C.B. (2009). School Counselor Accountability: The Path to Social Justice and Systemic Change. http://www.olc.edu/
Gysbers N.C. (2003). Comprehensive Guidance and Counseling Programs: The Evolution of Accountability. VA: ASCA
Haugle Paula. (2007). School Counselor Accountability: A Practical Guide to Collect, Interpret, and Utilize Data in Schools. Winona State University
Loesch, L. C. (2007). Accountability For School Counseling (ACAPCD-01). Alexandria, VA: American Counseling Association.

No comments:

Post a Comment