BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Manusia memiliki “pengaruh”
bagi manusia yang lain. Mungkin inilah salah satu ungkapan yang mendasari
munculnya manusia sebagai makhluk sosial – di samping manusia membutuhkan
manusia yang lain. Dampak yang diberikan oleh manusia yang satu kepada manusia
yang lain dapat bersifat positif maupun negatif, seperti meningkatknya perilaku penyimpangan kelompok tertentu
akan berdampak juga pada penyimpangan individu. Berdasarkan teori perkembangan psikososial
yang dikemukakan oleh Erik
Erikson, usia yang sangat rentan terhadap pengaruh sosial adalah pada usia
remaja (adolescence) yang berkisar
antara 12-18 tahun. Pada masa ini, remaja akan mencari identitasnya dengan
secara tidak langsung bertanya pada dirinya, “siapa saya dan kemana saya
nantinya kelak?”. Umumnya untuk menjawab pertanyaan di atas, remaja cenderung
mengharapkan pengakuan dari oranglain yang sebaya dengannya sehingga
menyebabkan remaja rentan terhadap pengaruh sosial yang bersumber dari luar
dirinya. Hal ini ditunjukan dengan Hasil Penelitian yang menyatakan bahwa para remaja memiliki
kerentanan terhadap pengaruh teman sebaya, sehingga memungkinkan besar penyebab
remaja menjadi menyimpang mengikuti rekan-rekan mereka yang sesat (Pruitt,
1999). Ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa menjadi
penggunaan narkoba sangat berkorelasi dengan rekan-rekan yang mendorong
penggunaan narkoba (Oetting & Beauvais, 1987). Seringkali remaja
larut dalam aktivitas kelompok sebaya yang negatif seperti merokok, pergaulan
bebas, tawuran, penyalahgunaan narkoba, meminum minuman keras, kesehatan
reproduksi remaja (HIV/AIDS), penyakit menular seksual, dll.
Berdasarkan pengumpulan data di
lapangan, terdapat kurang lebih 240 kasus tawuran antar pelajar dan mahasiswa
pada tahun 2008 (Sumber: Institut Titian Perdamaian). Untuk kasus free-sex, berdasarkan hasil survey KPAI,
menyatakan bahwa sebanyak 32% remaja usia 14-18 tahun di indonesia pernah
berhubungan seks. (Sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Dan untuk kasus
HIV/AIDS, data yang diperoleh dari Ditjen PP & PL Depkes RI terdapat 4.969
kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2010.
Menurut Latané, perilaku menyimpang akan meningkat seiring dengan jumlah
sumber dampak yang ditimbulkan oleh lingkungan sosial. Pada usia remaja, yang
menjadi sumber dampak bagi dirinya adalah teman sebaya atau kelompok sebaya. Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa pengaruh teman sebaya telah muncul selama 50
tahun terakhir menjadi sumber utama dari nilai-nilai dan pengaruh perilaku pada
masa remaja, menggantikan pengaruh orang dewasa. Bahkan Carr (1981) menyatakan bahwa hanya
sebagian kecil siswa yang memanfaatkan dan bersedia berkonsultasi langsung
dengan orang dewasa.
Para siswa lebih sering
menjadikan teman-teman mereka sebagai sumber yang diharapkan dapat membantu
pemecahan masalah pribadi-sosial yang mereka hadapi. Para siswa tetap
menjadikan teman-teman mereka sebagai sumber pertama dalam mempertimbangkan
pengambilan keputusan pribadi, perencanaan karir, melanjutkan pendidikan formal
penyesuaian diri, menghadapi konflik dan pergaulan. Perkembangan remaja sangat
dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam konteks sosial, seperti relasi dengan
teman sebaya. Laursen (2005 : 137) menandaskan bahwa teman sebaya merupakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja.
Penegasan Laursen dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam
masyarakat modern seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya
bersama dengan teman sebaya mereka (Steinberg, 1993 : 154).
Berdarkan fenomena yang terja di
di sekolah, sebagian (besar) siswa lebih sering membicarakan masalah-masalah
serius mereka dengan teman sebaya, dibandingkan dengan orang tua dan guru
pembimbing. Untuk masalah yang sangat seriuspun (misalnya, hubungan seksual dan
kehamilan di luar nikah, dan keinginan melakukan aborsi) mereka bicarakan
dengan teman, bukan dengan orang tua atau guru mereka. Kalaupun terdapat
beberapa siswa yang akhirnya menceritakan kehamilan atau hubungan seksual
mereka kepada orang tua atau guru pembimbing, biasanya karena sudah terpaksa
(pembicaraan dan upaya pemecahan masalah bersama teman sebaya mengalami jalan
buntu). Hal ini menunjukan bahwa pada masa remaja, self-disclosure siswa terhadap teman sebayanya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kepada guru atau orangtua. Oleh karena itu, teman sebaya
atau peers memiliki fungsi penting
dalam kelompok teman sebaya yaitu memberikan sumber informasi dan komparasi
tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak
menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka.
Anak-anak menilai apa-apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari pada
teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang anak-anak lain
kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena
saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya)
(Santrock, 2004 : 287). Hubungan yang baik di antara teman sebaya akan sangat
membantu perkembangan aspek sosial anak secara normal. Anak pendiam yang
ditolak oleh teman sebayanya, dan merasa kesepian berisiko menderita depresi.
Anak-anak yang agresif terhadap teman sebaya berisiko pada berkembangnya
sejumlah masalah seperti kenakalan dan drop out dari sekolah. Gladding (1995 :
113-114) mengungkapkan bahwa dalam interaksi teman sebaya memungkinkan
terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi.
Hasil ini memiliki implikasi untuk bagaimana penyimpangan dapat
ditangani dan dicegah. Karena penelitian menunjukkan hubungan positif yang kuat
antara penyimpangan dari individu dengan kelompok sebaya yang menyimpang, jelas
bahwa penting untuk memilih kelompok teman sebaya dengan bijak dan penting bagi
orangtua untuk menyadari pengaruh potensial pada anak-anak mereka. Proses-proses tersebut akan
mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas pada remaja. Penelitian yang
dilakukan Willard Hartup (1996, 2000, 2001; Hartup & Abecassiss, 2002;
dalam Santrock, 2004 : 352) selama tiga dekade menunjukkan bahwa sahabat dapat
menjadi sumber-sumber kognitif dan emosi sejak masa kanak-kanak sampai dengan
masa tua. Sahabat dapat memperkuat harga diri dan perasaan bahagia. Sejalan
dengan hasil penelitian tersebut, Cowie and Wellace (2000 : 8) juga menemukan
bahwa dukungan teman sebaya banyak membantu atau memberikan keuntungan kepada
anak-anak yang memiliki problem sosial dan problem keluarga, dapat membantu
memperbaiki iklim sekolah, serta memberikan pelatihan keterampilan sosial.
Berndt (1999) mengakui bahwa tidak semua teman dapat memberikan keuntungan bagi
perkembangan. Perkembangan individu akan terbantu apabila anak memiliki teman
yang secara sosial terampil dan bersifat suportif. Sedangkan teman-teman yang
suka memaksakan kehendak dan banyak menimbulkan konflik akan menghambat
perkembangan (Santrock, 2004 : 352).
Konformitas terhadap pengaruh
teman sebaya dapat berdampak positif dan negatif. Beberapa tingkah laku konformitas
negatif antara lain menggunakan kata-kata jorok, mencuri, tindakan perusakan
(vandalize), serta mempermainkan orang tua dan guru. Namun demikian, tidak
semua konformitas terhadap kelompok sebaya berisi tingkah laku negatif.
Konformitas terhadap teman sebaya mengandung keinginan untuk terlibat dalam
dunia kelompok sebaya seperti berpakaian sama dengan teman, dan menghabiskan
sebagian waktunya bersama anggota kelompok. Tingkah laku konformitas yang
positif terhadap teman sebaya antara lain bersama-sama teman sebaya
mengumpulkan dana untuk kepentingan kemanusiaan (Santrock, 2004 : 415). Teman
sebaya juga memiliki peran yang sangat penting bagi pencegahan penyalahgunaan
Napsa dikalangan remaja. Hubungan yang positif antara remaja dengan orang tua
dan juga dengan teman sebayanya merupakan hal yang sangat penting dalam
mengurangi penyalahgunaan Napsa (Santrock, 2004 : 283). Memperhatikan
pentingnya peran teman sebaya, pengembangan lingkungan teman sebaya yang
positif merupakan cara efektif yang dapat ditempuh untuk mendukung perkembangan
remaja. Dalam kaitannya dengan keuntungan remaja memiliki kelompok teman sebaya
yang positif, Laursen (2005 : 138) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang
positif memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan
katarsis, serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan
pandangan-pandangan baru. Lebih lanjut Laursen menegaskan bahwa kelompok teman
sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk membantu orang
lain, dan mendorong remaja untuk mengembangkan jaringan kerja untuk saling
memberikan dorongan positif. Interaksi di antara teman sebaya dapat digunakan
untuk membentuk makna dan persepsi serta solusi-solusi baru. Budaya teman
sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk menguji
keefektivan komunikasi, tingkah laku, persepsi, dan nilai-nilai yang mereka
miliki. Hasil penelitian menunjukan bahwa remaja yang berhasil mengatasi
berbagai rintangan pada masa remaja adalah mereka yang menjadikan rintangan dan
berbagai kegagalan sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit meraih
keberhasilan, membentuk kelompok sebaya untuk saling menguatkan, dan pada
akhirnya berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar.
Budaya teman sebaya yang positif
sangat membantu remaja untuk memahami bahwa dia tidak sendirian dalam
menghadapi berbagai tantangan. Budaya kelompok teman sebaya yang positif dapat
digunakan untuk membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas maka, penulis membuat rumusan masalah, yaitu: “Bagaimana cara
mengoptimalkan pengaruh teman sebaya (peers)
yang positif dalam menangani masalah-masalah yang terjadi pada masa remaja yang
dikenal dengan periode “storm and stress” ?
3.
Tujuan
Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di
atas maka, penulis dalam penulisan makalah ini bermaksud untuk menemukan
jawaban atas strategi/model intervensi yang sesuai dengan konsep diri remaja
dalam menangani masalah dan meningkatkan kualitas hidup remaja (siswa) di
sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan kajian di atas,
konselor sebagai tenaga pendidik di sekolah, dapat mengambil kesempatan ini
untuk membantu siswa melalui periode “storm and stress” dengan memberdayakan
(empowerment) teman-teman atau kelompok sebaya mereka. Keeratan (attachment), keterbukaan dan perasaan
senasib yang muncul diantara sesama remaja dapat menjadi peluang bagi upaya
fasilitasi perkembangan remaja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
membangun budaya teman sebaya yang positif adalah dengan mengembangkan
konseling teman sebaya dalam komunitas remaja.
Dukungan
sebaya terjadi ketika individu berbagi pengetahuan, pengalaman, emosi, bantuan sosial atau praktis bagi satu sama lain. Dukungan sebaya biasanya
digunakan untuk menbantu rekan-rekan, anggota
organisasi untuk
saling memberikan dukungan secara timbal balik.
A.
TEORI YANG MENDASARI
Efektivitas dukungan sebaya diyakini
berasal dari berbagai proses psikososial yang dijelaskan oleh Mark Salzer pada tahun
2002 seperti social
support.
Dukungan sosial
adalah adanya interaksi psikososial yang positif dengan orang lain dengan
saling percaya dan perhatian. Hubungan positif
ini berkontribusi
terhadap penyesuaian positif dan penopang terhadap stres dan kesulitan dengan memberikan dukungan emosional, berupa: harga diri, kedekatan, dan
keyakinan, dan dukungan instrumental berupa: materi barang
dan jasa, serta dukungan informasi, berupa: saran,
bimbingan, dan umpan balik.
Terdapat
tiga jenis dukungan sosial, dan masing-masing memiliki hubungan berbeda: 1) Dukungan penerima terhadap persepsi, 2)
mendukung tindakan yang
dilakukan, dan
3) sejauh mana seseorang terintegrasi dalam hubungan sosial. Selain itu, ada tiga jenis utama penyebab dukungan sosial: 1)
kepribadian dari orang yang menerima dukungan, 2) aspek-aspek obyektif yang mendukung penyedia dukungan, serta 3) hubungan antara penerima dan penyedia
dukungan secara khusus.
Sub-tipe Dukungan Sosial
Terdapat tiga subtipe dari dukungan sosial: perceived
support, enacted support, and social integration (Barrera, 1986). Dirasakannya dukungan mengacu pada penilaian subjektif penerima bahwa
penyedia dukungan akan
menawarkan (atau telah menawarkan) bantuan yang efektif selama dukungan
itu dibutuhkan. Dukungan yang diterima
mengacu pada tindakan suportif tertentu (misalnya, saran
atau jaminan) yang ditawarkan oleh penyedia dukungan pada saat dibutuhkan. Integrasi sosial mengacu pada
sejauh mana penerima terhubung dalam jaringan sosial.
Hubungan keluarga, teman, dan keanggotaan dalam kelompok
dan organisasi memberikan kontribusi untuk integrasi
sosial. Anehnya, ketiga bentuk dukungan sosial tidak terkait satu sama lain dan
masing-masing memiliki pola yang berbeda dalam hubungannya dengan kesehatan, kepribadian, dan hubungan pribadi
(Barrera, 1986; Uchino, 2009). Sebagai contoh, perceived
support secara konsisten
dikaitkan dengan kesehatan mental yang lebih baik sedangkan enacted support and social
integration tidak
terdapat hubungan dengan kesehatan mental (Barrera, 1986; Uchino, 2009). Sebaliknya, social
integration dikaitkan secara
konsisten dengan hasil kesehatan fisik (misalnya, kematian, penyakit jantung)
(Uchino, 2009). enacted
support tidak terkait
secara konsisten dengan kesehatan baik fisik atau mental
(Barrera, 1986; Uchino, 2009). Jika ada, enacted
support terkait dengan kesehatan mental buruk (Bolger, Zuckerman &
Kessler, 2000).
Penyebab Perceived Support
Ada tiga jenis utama penyebab perceived
support: pengaruh sifat
penerima, pengaruh penyedia bantuan, dan pengaruh relasional (Lakey, 2010; Lakey, McCabe,
Fisicaro & Drew, 1996). Ini dapat didefinisikan dan hal
ini dapat diukur. Pengaruh Penerima
dukungan
mencerminkan perbedaan antara penerima dalam persepsi
mereka mengenai penyedia, rata-rata di seluruh penyedia layanan. Sebagai
contoh, Penerima bantuan mungkin melihat semua penyedia sebagai lebih mendukung
daripada Penerima. Kita tahu bahwa perbedaan bantuan rata-rata antara penerima tidak mencerminkan karakteristik
dari penyedia, melainkan mencerminkan sifat-seperti karakteristik kepribadian
dari penerima . Pengaruh penyedia mencerminkan perbedaan antara penyedia,
rata-rata dari penerima. Penyedia mencerminkan pengaruh kesepakatan antara
penerima bahwa beberapa penyedia lebih mendukung dibandingkan penyedia
lain. Dengan demikian, pengaruh-pengaruh mencerminkan
sejauh mana penyedia secara objektif mendukung (yaitu, penerima setuju pada
siapa yang paling mendukung). Pengaruh relasional mencerminkan ketidaksepakatan
di antara penerima secara sistematis tentang dukung relatif dari penyedia.
Dukungan
sosial secara konsisten terkait dengan kesehatan mental dan fisik. Sehubungan
dengan kesehatan mental, orang dengan dukungan sosial yang rendah berdasarkan laporan
sub-klinis memiliki gejala
depresi dan kecemasan lebih
tinggi jika dibandingkan orang dengan dukungan sosial yang tinggi
(Barrera, 1986; Cohen & Wills, 1985). Selain itu, orang dengan dukungan
sosial yang rendah memiliki kerentanan
yang lebih tinggi terhadap
gangguan mental jika
dibandingkan dengan dukungan orang
dengan dukungan sosial yang tinggi. Meliputi
gangguan stres pasca trauma (Brewin, Andrews, & Valentine, 2000),
gangguan panik (Huang, Yen & Paru, 2010), fobia sosial (Torgrud, Walker,
Murray, Cox, Chartier, Kjernisted, 2004), depresi (Lakey & Cronin, 2008),
dan gangguan makan (Stice, 2002; Grisset & Norvell, 1992). Selain itu,
orang dengan dukungan yang lebih rendah memiliki keinginan bunuh diri (Casey et
al, 2006.) Dan konsumsi
alkohol dan obat-obatan
(narkoba) lebih tinggi (Stice, Barrera & Chassin, 1998; Wills & Cleary,
1996). Hasil serupa juga
telah ditemukan pada
anak-anak (Chu, Saucier & Hafner, 2010). Mengenai kesehatan fisik,
orang dengan dukungan sosial yang rendah meninggal lebih cepat dibandingkan
orang dengan dukungan yang tinggi (Holt-Lunstad, Smith & Layton, 2010;
Uchino, 2009).
Pada dasarnya peer supporting merupakan suatu cara
bagi para siswa (remaja) belajar bagaimana memperhatikan dan membantu anak-anak
lain (Carr, 1981 : 3). Peer supporting
menempatkan keterampilan-keterampilan komunikasi untuk memfasilitasi eksplorasi
diri. Peer supporter adalah para
siswa (remaja) yang memberikan bantuan kepada siswa lain – sehingga terjadi
interaksi saling membantu (I help you and
you help me) – reciprocal peers. Pada
hakekatnya peer supporting adalah proses
saling membantu dan menopang antar sesama siswa. Dukungan dari sebaya di sekolah atau dalam konteks pendidikan
dapat berupa:
1.
Peer
educating and mentoring
Rekan mentoring berlangsung dalam lingkungan belajar
seperti sekolah, biasanya antara seorang siswa yang lebih berpengalaman yang
lebih tua dan seorang mahasiswa baru. Mentor rekan muncul terutama di sekolah menengah dimana
siswa bergerak naik dari sekolah dasar (SD) mungkin membutuhkan bantuan dalam
menyelesaikan ke dalam jadwal dan gaya hidup baru dari kehidupan sekolah
menengah.
2.
Peer
advisor and listening
Bentuk dukungan sebaya secara luas digunakan dalam
sekolah-sekolah.
Peer supporting dilatih dari dalam
sekolah atau universitas, atau kadang-kadang oleh organisasi luar untuk menjadi
"pendengar aktif"
serta memberikan advice kepada rekan-rekannya. Di
sekolah-sekolah,
peer supporting seperti ini yang biasanya dapat dilakukan pada waktu
istirahat atau makan siang.
3.
Peer
mediation
Mediasi rekan adalah cara penanganan insiden intimidasi
dengan membawa korban dan menggertak bersama di bawah mediasi oleh salah satu
rekan mereka
4.
Self
help group
Seorang pembantu rekan dalam dengan orang dewasa muda
dalam melakukan self help. Mereka mungkin memberikan bantuan dengan taktik self help group: memberikan dukungan
emosional, dukungan pelatihan, dan dukungan sosial. Dalam model peer supporting, terdapat hubungan
antara Konselor, dan kelompok teman sebaya (peer
supporting).
B.
METODE PELAKSANAAN PEER SUPPORTING
Peer Supporting
di sekolah dilaksanakan melalui proses penelitian tindakan (Mc Niff, 1988;
Walker, 1997) yang memungkinkan untuk dilakukannya evaluasi yang terus menerus
dan penyesuaian dalam proses pelaksanaannya. Sistem (Capra, 1997; Hanson, 1995)
dan konstruksi sosial (Fullan, 1991; Shimp, 2001) teori-teori yang digunakan
sebagai kerangka teoritis dalam perencanaan intervensi dan dalam penafsiran
umpan balik yang diperoleh melalui proses evaluasi. Berbagai proses dalam pelaksanaan program akan dibahas.
1.
Pemilihan Calon ”Peer Supporter”.
Meskipun keterampilan pemberian
bantuan dapat dikuasai oleh siapa saja, faktor kesukarelaan dan faktor
kepribadian pemberi dukungan (peer
supporter) ternyata sangat menentukan keberhasilan pemberian dukungan. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemilihan calon peer
supporter. Dalam proses pemilihan peer
supporter, Dinas
Pendidikan dapat memilih beberapa sekolah untuk mewakili komposisi populasi dimana
sekolah tersebut terkenal karena memiliki banyak pelajar yang mengalami masalah
psikososial.
Masing-masing
sekolah yang telah dipilih, sepuluh siswa dipilih sebagai “peer supporter” selama tahun pertama pelaksanaan. Selama tahun kedua
suatu 5-10 siswa ditambahkan untuk dilatih pada setiap sekolah. Pada tahun pertama, guru memilih
peer supporter dari siswa yang
mengajukan diri. Kriteria berikut yang
dapat digunakan dalam pemilihan peer
supporter antara lain:
a.
Peserta
didik harus berada di kelas XI untuk tingkatan SMA dan kelas VII untuk
tingkatan SMP, hal ini untuk memastikan bahwa para siswa tersebut dapat
bertindak sebagai peer supporter
dalam waktu yang lebih dari satu tahun sebelum meninggalkan sekolah.
b.
Calon
peer supporter harus
menampilkan karakteristik seperti keterbukaan, didekati dan hubungan
interpersonal yang baik.
Pada tahun kedua pelaksanaan peserta
didik di sekolah-sekolah memilih calon yang mereka inginkan sebagai peer supporter. Hal ini dilakukan untuk melibatkan peserta didik di sekolah
dalam pemilihan peer supporter dan
untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang sistem bantuan yang dibangun.
2.
Pelatihan Calon ”Peer Supporter”.
Pelatihan calon ”peer supporter” bertujuan untuk
meningkatkan jumlah remaja yang memiliki dan mampu menggunakan
keterampilan-keterampilan pemberian dukungan (support). Pelatihan adalah proses
mengembangkan keterampilan untuk melaksanakan intervensi dan untuk membentuk
makna bersama antara konsultan dan peserta (Fullan, 1992; Louis & Miles,
1990). Program peer supporting dimulai dengan pelatihan
peer supporter selama lokakarya
liburan 24-jam yang difasilitasi oleh mahasiswa pascasarjana – pengajar di S1
Bimbingan Konseling. Pelatihan dilakukan dalam kelompok kecil yang
melibatkan kelompok peer supporter dari
sekolah masing-masing dan fokus pada konten berikut:
a.
Kohesivitas kelompok, membangun tim
dan pertumbuhan pribadi.
b.
Pemahaman tentang pengalaman dan
masalah di antara rekan-rekan mereka
c.
Keterampilan komunikasi seperti:
-
Keterampilan
memperhatikan (attending skills), perilaku
peer supporter untuk menghampiri
teman sebayanya yang diwujudkan dalam bentuk kontak mata, bahasa tubuh dan
bahasa lisan. Oleh karena itu, kemampuan attending peer supporter yang ditunjukan dengan respect, akan
memudahkannya untuk membuat teman sebayanya terlibat pembicaraan dan terbuka.
-
Keterampilan
mendengarkan (listening well), kemampuan
peer supporter untuk menyimak atau
memperhatikan penuturan teman sebayanya. peer
supporter harus bisa jadi pendengar yang baik. Tanpa keterampilan ini, peer supporter tidak akan dapat
menangkap pesan pembicaraan.
-
Keterampilan
membuat pertanyaan terbuka (open question),
kemampuan peer supporter memancing
pembicaraan dengan teman sebayanya, hal ini meliputi:
a)
Kata
apa lagi yang ingin anda katakan !
b)
Apa
yang akan anda lakukan selanjutnya ?
c)
Bagaimana
perasaan anda ?
d)
Apa
yang hendak anda ingin katakan ?
d.
Keterampilan pemecahan masalah
e.
Informasi tentang HIV / AIDS dan
penyalahgunaan narkoba sebagai masalah psikososial di sekolah atau masalah
reporduksi dan lain-lain yang berkaitan dengan dunia remaja.
f.
Keterampilan
mengelola emosi (emotion regulation),
sehingga dapat menghindari feeling
sendiri (penilaian subjektif terhadap perasaan orang lain)
g.
Keterampilan
mengenali ekspresi emosi orang lain (teman
sebaya) – emosional awareness and
self awareness
h.
Keterampilan organisasi untuk
mengorganisir kegiatan kelompok yang bertujuan untuk mempromosikan gaya hidup
sehat dan meningkatkan kesadaran dari sistem peer supporting di sekolah.
Setelah
lokakarya dan pelatihan berlanjut dalam bentuk sesi satu jam per minggu selama
10 minggu pada masing-masing sekolah yang berbeda, difasilitasi oleh mahasiswa
pascasarjana – pengajar di S1 Bimbingan Konseling. Fokus dari
tahapan ini adalah pada pembangunan keterampilan komunikasi dan membantu rekan peer supporter untuk menerapkan sistem
membantu dan mengatasi masalah yang dihadapi selama proses implementasi atau
pelaksanaan peer supporting. Sesi pelatihan merupakan inti dari proyek sejak peer supporter yang bisa membahas dan
memberi makna pada peran mereka di sekolah; mereka bisa menyuarakan pendapat
mereka dan mendiskusikan tantangan yang mereka hadapi.
3.
Keterlibatan
Stakeholder Di Sekolah
Partisipasi
dan komitmen dari berbagai stakeholder
di sekolah adalah penting untuk pelaksanaan yang efektif dan keberlanjutan dari
program ini.
Meskipun komitmen adalah suatu konsep yang berkembang yang tumbuh dengan
keberhasilan pelaksanaan program (Fullan, 1992), fokus dalam memulai program
ini pada mendorong stakeholder dalam
komunitas sekolah untuk terlibat dalam program ini:
a.
Kepala sekolah diberi informasi
mengenai alasan program dan tentang apa yang diharapkan di setiap sekolah. Mereka juga diminta
untuk menyatakan apa sekolah akan memerlukan dalam rangka untuk melaksanakan
proyek tersebut.
b.
Para guru di setiap sekolah diundang
ke lokakarya untuk membicarakan tentang tujuan proyek, peran peer supporter dan peran guru dalam
mendukung para peer supporter. Pada tahun kedua implementasi
guru lebih didekati untuk terlibat dalam pelaksanaan proyek, sehingga dapat
mendukung satu sama lain.
c.
Semua guru di sekolah berpartisipasi
dan terlibat dalam sesi perencanaan untuk membahas kemungkinan peran peer supporter dan bagaimana mereka bisa
mendukung satu sama lain.
4.
Pelaksanaan dan Pengorganisasian Peer Supporting.
Dalam praktiknya, interaksi
”konseling” teman sebaya lebih banyak bersifat spontan dan informal. Spontan
dalam arti interaksi tersebut dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tidak
perlu menunda – bilamana anggota kelompok berkumpul. Meskipun demikian
prinsip-prinsip kerahasiaan tetap ditegakkan (berdasarkan kode etik konselor -
ABKIN). Interaksi terjadi antara ”konselor” sebaya dengan para ”konseli”
sebaya, konselor dengan ”konselor” sebaya, dan konselor dengan para konseli
(kelompok konseling teman sebaya). Dan juga jika diperlukan, dapat ditentukan kelompok
konseling teman sebaya, apakah bersifat kelompok terbuka (open group) atau tertutup (closed
group).
Dalam
konteks ini, implementasi peer supporting
melibatkan para siswa untuk memulai perubahan di sekolah. Setelah
menghadiri lokakarya selama waktu liburan, peer
supporter kembali ke sekolah mereka untuk melaksanakan program. Selama tahap
implementasi hubungan rekursif dibentuk antara isi program dan konteks
implementasi di mana makna baru harus diciptakan dalam lingkungan sekolah.
Dengan cara siklus ini menghasilkan perubahan di kedua pihak yaitu, program peer supporting dan konteks sekolah (Capra,
1997; Fullan, 1991).
Pelaksanaan intervensi tidak dapat direncanakan secara kaku, karena proses,
hubungan dan makna berkembang sebagai perubahan yang terjadi (Fullan, 1991). Karena itu, para peer supporter dihadapkan dengan banyak
tantangan, seperti yang akan dibahas di bawah ini:
Peran
peer supporter
d.
Ø
Mengidentifikasi dan mendukung
peserta didik yang mengalami masalah psikososial dan merujuk mereka ke
fasilitas membantu yang sesuai.
Ø
Memfasilitasi perubahan dalam
norma-norma kelompok sebaya dari dalam kelompok sebaya dengan menciptakan
konteks untuk kesadaran dan komunikasi antara rekan-rekan tentang perilaku
berisiko tinggi.
Ø
Mengerahkan keterlibatan dan
partisipasi kaum muda dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengatasi masalah
yang dialami oleh orang-orang muda di sekolah.
b.
Menciptakan kesadaran para pendukung rekan
Para
peer supporter memperkenalkan diri ke
sekolah. Pada beberapa sekolah mereka
juga tampil dalam bermain peran, membuat poster, grafiti di dinding, membuat hari
kesehatan yang terorganisir dan mendistribusikan newsletter.
Hal ini dilakukan untuk memasarkan jasa mereka dan untuk membangun konteks
dalam organisasi sekolah bagi mereka untuk membantu orang lain.
5.
Dukungan Berkelanjutan
Proses
implementasi dapat dilihat sebagai negosiasi dan negosiasi ulang atau sebagai proses
yang berkelanjutan antara masalah dan pelaksanaannya.
Huberman dan Miles (1984:273) menekankan pentingnya dukungan yang berkelanjutan
dalam melaksanakan intervensi
Mahasiswa
psikologi sebagai fasilitator dari proses implementasi memberikan dukungan,
yang melibatkan pengembangan keterampilan peserta, menyediakan sumber daya,
memotivasi mereka dan mendorong pemecahan masalah untuk mengatasi hambatan yang
mereka hadapi. Sebagai
dukungan yang dibutuhkan sepanjang hari-hari berbagai pengalaman pendukung
sebaya, dukungan dibangun ke dalam berbagai tingkatan proses pelaksanaan:
a)
Semua
sesi pelatihan dilakukan di kelompok dan melibatkan semua pendukung sebaya di
sekolah sehingga untuk meningkatkan kohesi kelompok dan dukungan. Para peserta
didorong untuk kepercayaan dan dukungan satu sama lain dalam pelaksanaan
proyek.
b)
Sesi pelatihan lanjutan di
sekolah-sekolah juga digunakan untuk memberikan dukungan kepada pendukung
sebaya yang mengalami masalah pribadi dan kesulitan dalam berurusan dengan
masalah-masalah dari rekan-rekan mereka. Melalui hubungan dengan siswa sebagai fasilitator, pendukung
rekan memperoleh pengetahuan diri dan kepercayaan diri dalam kemampuan mereka
sendiri interpersonal.
c)
Peran guru adalah untuk mendukung
para pendukung sebaya dan untuk membentuk saluran komunikasi antara pendukung
sebaya dan manajemen sekolah.
d)
Beberapa dukungan keuangan diberikan
bagi para pendukung rekan untuk menciptakan kesadaran akan layanan mereka dan
untuk mengatur kegiatan kesadaran yang akan melibatkan rekan-rekan mereka.
e)
Sebuah komite manajemen yang terdiri
dari satu pendukung sebaya dan guru dari setiap sekolah dibentuk untuk memenuhi
sebulan sekali dengan koordinator Departemen Pendidikan dan Universitas untuk
membahas kemajuan dalam pelaksanaan program.
BAB
III
REFLEKSI
1.
Refleksi Proses
Setiap intervensi mungkin memiliki implikasi bagi banyak
masyarakat karena proses equifinal atau multifinal yang terjadi (Capra, 1997). Setiap orang atau setiap masyarakat
bereaksi sesuai dengan proses internalnya sendiri dan makna yang melekat pada
intervensi yang diberikan (Fullan, 1991). Hasil dari proses perubahan tidak
dapat diprediksi dan perlu diawasi secara ketat untuk memberikan umpan balik
yang dapat digunakan dalam perencanaan lebih lanjut dari intervensi. Refleksi dari pelaksanaan program, antara
lain:
a.
Fasilitator
memberikan laporan mingguan dari sesi pelatihan dan diskusi kegiatan dan
masalah yang dialami dalam pelaksanaan peer
supporting di sekolah.
b.
Fokus pada diskusi kelompok yang diadakan
dua kali setahun, di mana semua peer
supporter membahas kegiatan yang dilaksanakan di sekolah mereka, pengalaman
mereka, prestasi, tantangan yang mereka hadapi dan cara yang mungkin untuk
meningkatkan sistem dukungan sebaya.
Hal ini juga dilakukan untuk memotivasi pendukung sebaya dengan bertukar ide
antar sekolah.
c.
Fokus diskusi kelompok diadakan
dengan guru yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan peer supporter dan tantangan yang
dihadapi dalam pelaksanaan proyek.
d.
Peer
supporter diberi buku harian dan diminta
untuk mencatat jumlah peserta didik yang memiliki diskusi pribadi dengan
mereka, serta jenis masalah yang dibahas. Hal ini dilakukan untuk memantau berapa banyak peserta didik
benar-benar menggunakan sistem pendukung. (Cara ini pemantauan tidak bekerja efektif, karena
pendukung sebaya yang digunakan untuk catatan pribadi mereka dan tidak siap
untuk berbagi informasi dari buku harian mereka Data tersebut kemudian diperoleh
dari peserta didik sendiri)
2.
Refleksi Hasil
Berdasarkan refleksi proses di
atas maka, hasil yang dapat diperoleh saat melaksanakan program “peer supporting”, antara lain:
a. Re-organisasian
tim
Para peer supporter harus mengatur
diri mereka sebagai sebuah tim dalam kaitannya dengan kebutuhan di sekolah. Di beberapa sekolah, peer supporter dinominasikan lebih banyak peserta untuk menjadi
pendukung sebaya. Di sekolah lain peer supporter yang tidak berkomitmen,
dan keluar. Ada komitmen yang lebih besar di
antara peer supporter di sekolah di
mana peer supporter ditugaskan untuk peran
yang spesifik dan tanggung jawab.
b.
Memberikan makna terhadap peran peer supporter
Di setiap sekolah peer supporter dan guru mereka harus
memberi makna untuk peran peer supporter.
Guru dan peer supporter
perlu membuat perspektif yang berbeda dari apa yang bisa mereka lakukan dan
dibutuhkan untuk membangun makna bersama. Beberapa
guru merasa para peer supporter hanya
harus menyediakan informasi, mengidentifikasi peserta didik dengan masalah, dan
kemudian menginformasikannya kepada guru. Namun, peer supporter bersama masalah-masalah pribadi dan sangat intim
dalam kontak informal dengan rekan-rekan mereka.
Mereka takut bahwa rekan-rekan mereka tidak akan mempercayai mereka lagi jika
mereka adalah untuk menginformasikan para guru tentang masalah yang dialami
peserta didik, karena peserta didik tidak memiliki hubungan saling percaya
dengan para guru. Yang disepakati peran peer supporter karena tergantung pada kebutuhan di sekolah,
komitmen dan interaksi di antara kelompok peer
supporter, hubungan peer supporter
- rekan guru, hubungan peer supporter
-siswa rekan fasilitator dan proses pelaksanaan. Awalnya, proses mengembangkan
ide bersama tentang peran peer supporter
menyumbang beberapa kebingungan yang harus diselesaikan sebelum proyek dapat
diterapkan.
c.
Membangun hubungan dengan teman sebaya
Beberapa tantangan peer supporter yang berpengalaman dalam
membangun hubungan dengan rekan-rekan mereka adalah sebagai berikut:
Ø
Membangun hubungan saling percaya:
Awalnya pelajar mencoba untuk membuat menyenangkan dari pendukung sebaya dan
diuji penerimaan mereka dengan masalah palsu. Setelah kebaruan memperkenalkan
sistem ini selesai, peserta didik menunjukkan beberapa penerimaan proyek.
Ø
Kerahasiaan: Untuk mengembangkan
hubungan saling percaya, kerahasiaan diperlukan. Namun, pendukung
sebaya yang tidak dilengkapi untuk menangani masalah psikologis yang serius dan
harus mendapatkan beberapa bantuan dari orang dewasa yang dipercaya atau
merujuk teman-teman mereka untuk membantu fasilitas yang sesuai. Ini dengan mudah
dapat membahayakan kerahasiaan hubungan dan pendukung peer akibatnya dibutuhkan
pelatihan dalam membahas referral dengan rekan-rekan mereka.
Ø
Sebuah budaya tidak berbicara
tentang masalah-masalah pribadi: Di beberapa sekolah, terutama di kalangan
pelajar putih berbahasa Afrikaans pelajar dan India ditemukan bahwa berbagi
informasi pribadi bukan bagian dari budaya di sekolah. Untuk mengoptimalkan manfaat
dari program dukungan sebaya, budaya diam ini harus ditantang.
Ø
Hubungan yang saling bertentangan:
Beberapa pendukung sebaya yang mengalami konflik dalam menangani hubungan
dengan teman sebaya mereka. Di satu
sisi mereka teman, sementara di sisi lain mereka penolong.
Mereka juga membutuhkan dukungan dalam mengelola hubungan yang melibatkan
permusuhan dan agresi, dan yang ideal oleh rekan-rekan mereka.
Ø
Beban yang berat: pendukung rekan
kadang harus bahu beban bahwa mereka tidak bisa membawa.
Pada saat mereka mengalami tanggung jawab berlebihan dalam mengatasi masalah
pembangunan mereka sendiri dan pada saat yang sama membantu rekan-rekan mereka
mengatasi isu-isu serius seperti perkosaan dan trauma. Latham
(1997:78) menulis dalam hal ini: "Bahkan yang paling dewasa dan
bertanggung jawab konselor sekolah tinggi rekan masih remaja, menghadapi
tantangan berat yang sama dengan nya atau teman-temannya." Oleh karena
itu, pelajar diperlukan pelatihan yang ekstensif dan dukungan untuk berurusan
dengan menjadi pendukung sebaya.
d.
Membangun hubungan dengan guru
Dalam hal hubungan peer supporter dengan guru ada juga
hambatan dalam pelaksanaan proyek. Enam dari para guru bertanggung
jawab untuk program di sekolah mereka sangat antusias dan secara aktif
mendukungnya.
Dalam sekolah-sekolah ini pendukung sebaya yang bisa melaksanakan ide-ide
mereka dengan dukungan dari manajemen sekolah. Meskipun berbagai
intervensi dilakukan untuk melibatkan semua guru bertanggung jawab untuk proyek
(dan guru-guru ini benar-benar menyetujui pentingnya proyek), pendukung sebaya
di tujuh sekolah lain tidak mengalami dukungan yang memadai dari guru mereka. Para guru tidak merasa nyaman
dengan menangani masalah emosional peserta didik '. Tanpa
dukungan dari para pendukung rekan guru tidak punya cukup kekuatan negosiasi di
sekolah untuk memfasilitasi perubahan. Hal ini menciptakan frustrasi di antara para pendukung
sebaya yang antusias mengambil bagian.
Akibatnya, selama tahun kedua implementasi peningkatan penekanan ditempatkan
pada mendorong partisipasi guru dan keterlibatan.
e.
Membangun struktur yang
berkelanjutan
Tujuan dari program ini adalah untuk
membentuk struktur yang berkelanjutan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari
fungsi rutin sekolah. Setelah dua tahun pelaksanaan sistem
dukungan sebaya ini diresmikan sebagai sub-komite dari badan perwakilan
mahasiswa di dua sekolah dan di sekolah lain mereka asisten guru Bimbingan. Di
beberapa sekolah, bagaimanapun, mereka masih kekurangan penerimaan dan dukungan
dari manajemen sekolah dan para guru.
f.
Dukungan untuk masalah-masalah pribadi
Dalam tujuh dari sekolah pendukung
sebaya mulai kantor dengan jadwal rekan pendukung yang tersedia, di mana
peserta didik dapat mencapai mereka untuk berbicara dengan mereka tentang
masalah-masalah pribadi. Para guru disebut
beberapa peserta didik untuk pendukung sebaya, dan pendukung sebaya yang
meminta bantuan dari para guru dan fasilitator. Di sekolah lain, konsultasi ini dilakukan
dengan cara yang lebih informal di halaman sekolah. Dari diskusi
kelompok fokus disimpulkan bahwa ada beberapa penerimaan dari sistem dukungan
sebaya di sebagian besar sekolah-sekolah, sejak peserta didik mulai berbagi
pengalaman pribadi dengan mereka. Masalah yang paling
penting dibahas adalah kecanduan seperti penyalahgunaan merokok, alkohol dan
narkoba, masalah berorientasi seksual seperti perkosaan, kehamilan, HIV / AIDS
dan masalah hubungan, perjudian, dan tekanan teman sebaya.
g.
Informasi dan kesadaran terhadap kegiatan
Peran peer supporter
adalah untuk memulai kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik dan
kesadaran masalah psikososial seperti HIV / AIDS dan penyalahgunaan narkoba. Kegiatan yang mereka melakukan adalah sebagai berikut:
o Mengundang pembicara tamu tentang isu-isu topikal (9
sekolah)
o Pengorganisasian
AIDS dan hari kesadaran obat dengan speaker, lagu drama, dan tari
o Menyajikan
drama dengan pesan-pesan kesehatan di berbagai kelas
o Memprakarsai
pembentukan skema pemberian makanan untuk anak-anak miskin
o Pengorganisasian
keselamatan, perlindungan anak dan program pencegahan kejahatan
o Mengembangkan
poster dan buletin dengan informasi
o Lukisan
dinding graffiti dengan pesan-pesan pencegahan
o Menyajikan
drama bagi anggota masyarakat lain dan membantu anak-anak dengan HIV di panti
asuhan
Referensi
Berndt, T.J.
(1999). Friends’ Influence On Students’ Adjustment To School. Educational
Psychologist, 34, 15–28.
Cowie , Helen; Wallace, Patti . (2000). Peer Support In Action: From Bystanding To
Standing By. Sage Publication inc.
Fernandez,
et all. 2006. American Journal of Evaluation.
American Journal of Evaluation, 25(4), xxx- yyy.
Grbac Steve. 2008. How to implement a ‘Peer Support’ program in a P-6 School”. Scotch
College Junior School Melbourne Australia
Hilton,
et all. 2000. Peer Support: A Theoretical Perspective. New Hampshire
Department of Mental Health & Developmental Services
Lakey
& Cohen. (2000). Social Support Theory and Measurement.
On-line.
Laursen,
Erik K. (2005).
Handbook Of Peer Interaction,
Relationsip And Group. New York: Guildford Publication Inc.
MacNeil
& Mead. (2004). Peer Support: What
Makes It Unique?. American
Journal of Evaluation, 25(4), xxx- yyy.
Muro
& Kottman, (1995). Guidance And Counseling In The
Elementary And Middle Schools: A Practical Approach. Brown
& Benchmark (Madison, Wis.)
Nickerson,
A. & Nagle, R.J. (2005). Parent And Peer Relations In
Middle Childhood And Early Adolescence. Journal Of Early Adolescence,
25, 223-249.
Salzer, M.,
& Shear, S. L. (2002). Identifying Consumer-Provider Benefits In
Evaluations Of Consumer-Delivered Services. Psychiatric Rehabilitation
Journal, 25, 281–288.
Salzer, Mark. (2002). Best Practice Guidelines For Consumer-Delivered Services Developed By
And Mental Health Association Of Southeastern Pennsylvania Best Practices Team
Behavioral Health Recovery Management Project An Initiative Of Fayette
Companies, The University Of Chicago Center For Psychiatric
Rehabilitation Inc
Santrock, J (2004). A
Topical Approach To Life-Span Development. Chapter 6 Cognitive Development
Approaches (200 – 225). New York, Ny: Mcgraw-Hill.
Sarason & Sarason. (1985). Social
Support: Theory, Research and Applications.
NATO Scientific Affairs Division
Solomon,
P (2004).Peer Support/Consumer Provided Services Underlying Processes, Benefits, and
Critical Ingredients. Draft
Suwarjo. (2008).
Konseling Teman Sebaya (Peer
Counseling) Untuk Mengembangkan Resiliensi Remaja . Makalah. Disampaikan Dalam Seminar
Pengembangan Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Steinberg,
L. (1993). Adolescence (Third
Edition).New York, Ny: Mcgraw Hill
Visser.
(2005). Implementing peer support in
secondary schools: facing the challenges. South African Journal of Education. Copyright © 2005
EASA Vol 25(3)148–155
Wilson.
(2002). Self-help Group in India.
EDA Rural Systems
Private Ltd
Jenis Pakan Ayam Bangkok Yang Bagus Sesuai Umur
ReplyDeleteDaftar S128