Sunday, December 11, 2011

Penerapan Cinema Education untuk Meningkatkan Empati Siswa SMP


Memasuki abad 21 ditandai oleh perubahan yang mendasar dalam segala aspek kehidupan khususnya perubahan dalam bidang politik, ekonomi, social budaya dan bidang hukum. Sejalan dengan perubahan di segala bidang itu, bangsa indonesia dihadapkan pada permasalahan multi-dimensi yang menyentuh berbagai tatanan kehidupan mendasar manusia, bukan hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, namun juga aspek sosial, budaya dan ahlak. Berbagai masalah muncul dalam kehidupan masyarakat kita, seperti miskin pengabdian, kurang disiplin, kurang empati terhadap masalah sosial, kurang efektif berkomunikasi serta kurang disiplin. Hal itu menunjukkan adanya permasalahan pribadi dan sosial di kalangan masyarakat. Gejala masalah pribadi dan sosial sangan nampak dalam perilaku keseharian masyarakat, seperti: sikap-sikap individualistis, egoistis, acuh tak acuh, malas berfikir, kurangnya rasa tanggung jawab, malas berkomunikasi dan berinteraksi atau rendahnya empati serta seorang yang tidak memiliki empati, berpikiran bahwa dunia hanya yang ia alami, padahal di luar sana banyak pengalaman orang yang berbeda.
Hasil penelitian menyatakan bahwa, ketidakmampuan individu dalam melakukan empati atau dengan kata lain, individu dengan tingkat empati yang rendah dapat menyebabkan muculnya perilaku menyimpang, seperti memperkosa, kekerasan (bullying), menyiksa dan perilaku-perilaku kriminal yang psikopat, bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala manusia, tidak ada bedanya. (Goleman, 1995). Seperti kasus kekerasan remaja Samarinda, Kalimantan Timur dimana sekelompok wanita muda yang diduga pelajar SMP mengeroyok seorang remaja puteri yang tidak berdaya (24 juli 2011). Adapun kasus siswi SMA di kota Pasuruan diperkosa secara bergantian, yang salah satu pelakunya merupakan siswa kelas dua SMP (9 maret 2011)
Kasus-kasus kekerasan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh remaja atau siswa saat ini, salah satu faktor penyebabnya adalah tingkat empati remaja yang rendah. Hal ini sangatlah aneh, karena empati merupakan proses alamiah yang dibawa sejak lahir. Hoffman (dalam Goleman, 2002) sejak bayi dan masa-masa selanjutnya. Pada umur satu tahun, anak-anak merasakan sakit pada dirinya apabila melihat anak lain jatuh dan menangis, perasaannya sedemikian kuat dan mengikat sehingga ia menaruh ibu jarinya di mulut dan membenamkan kepalanya di pangkuan ibunya, seolah-olah ia sendiri terluka. Setelah tahun pertama, ketika bayi sudah lebih menyadari bahwa mereka berbeda dari orang lain, mereka secara aktif mencoba menghibur bayi lain yang menangis, misalnya dengan menawarkan boneka beruang miliknya. Pada awal usia dua tahun, anak-anak mulai memahami bahwa perasaan orang lain berbeda dengan perasaannya, sehingga mereka lebih peka terhadap isyarat-isyarat yang mengungkapkan perasaan orang lain. Pada akhir masa kanak-kanak, tingkat empati paling akhir muncul ketika anak-anak sudah sanggup memahami kesulitan yang ada dibalik situasi yang tampak dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupan dapat menjadi sumber beban stres kronis. Pada tahap ini, mereka dapat merasakan kesengsaraan suatu golongan, misalnya kaum miskin, kaum tertindas, mereka yang terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu, dalam masa remaja dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk meringankan ketidakberuntungan dan ketidakadilan (Goleman, 2002).
Empati memiliki korelasi yang sangat erat dengan perilaku pro-sosial. Siswa dapat berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka, kesediaan memberikan bantuan kepada orang lain baik materiil maupun moril dan juga kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Empati juga dapat meningkatkan harga diri individu. Richard (dalam Jones, 1992) menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dan menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan sumber dari perubahan sikap individu (Corneliu Irimia, 2010)
Perasaan positif, seperti empati memberikan kontribusi pada perkembangan moral remaja. Walaupun empati dianggap sebagai keadaan emosional, sering kali empati memiliki komponen kognitif yaitu kemampuan melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain, atau yang disebut dengan mengambil perspektif orang lain. Hal ini yang diharapkan terjadi ada usia 10 sampai 12 tahun.
Pada usia di atas yang berada pada jenjang siswa SMP, maka pendidikan sebagai sarana untuk mengatasi masalah pribadi-sosial remaja harus memiliki fungsi dan peran dalam meningkatkan empati siswa. Sehingga dengan pendidikan diharapkan krisis dalam berbagai aspek sosial tersebut dapat diatasi. Dengan pendidikan akan melahirkan manusia yang berkualitas yang akan menjadi kekuatan utama dalam mengatasi dan memecahkan masalah pribadi-sosial yang dihadapi. Menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, yang berpegang pada norma dan nilai yang kuat, kinerja dan disiplin tinggi, dan sebaliknya bukan sumber daya manusia yang tidak berkualitas, lemah dalam pegangan norma dan nilai, rendah disiplin dan kinerja.
Dalam upaya untuk meningkatkan empati siswa, guru BK selama ini hanya bersifat instruktusional semata yang pada hakekatnya hanya “menyerang” aspek kognitif siswa saja. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Amitya Kumara, M.S (2011) bahwa siswa kerap dituntut untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya saja dan kurang dibimbing dalam mengembangkan kemampuan yang lain. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menggunakan cinema education sebagai salah satu teknik yang diharapkan dapat meningkatkan empati siswa, melalui pemberian stimulus berupa adegan-adegan film yang diharpkan dapat merangsang kesadaran dan emosi siswa untuk berempati.


REFERENSI

Ann C. Rumble, Paul A. M. Van Lange And Craig D. 2010. The benefits of empathy: When empathy may sustain cooperation in social Dilemmas. European Journal of Social Psychology. Wiley InterScience (www.interscience.wiley.com)
Bavolek Stephen J..2010. Developing Empathy in Families. Family Development Resources, Inc (www.nurturingparenting.com)
Galinsky Adam D.. 2000. Perspective-Taking: Decreasing Stereotype Expression, Stereotype Accessibility, and In-Group Favoritism. Journal of Personality and Social Psychology American Psychological Association, Inc
Goleman, D. 2007. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Håkansson Jakob.2003. Exploring the phenomenon of Empathy. Doctoral dissertation, Department of Psychology Stockholm University
Irimia Corneliu. 2010 Empathy As A Source Of Attitude Change. Contemporary Readings in Law and Social Justice Volume 2. Romanian Society of Psychoanalysis
Johnson , Cheek, Smither. 1983. The Structure of Empathy. Journal of Personality and Social Psychology. American Psychological Association. Inc.
Rebecca P. Ang, Dion H. Goh . 2010. Cyberbullying Among Adolescents: The Role of Affective and Cognitive Empathy, and Gender. Child Psychiatry Hum Dev. Springer Science and Business Media
Nicholas Epley, Carey K. Morewedge and Boaz Keysar. 2004. Perspective taking in children and adults: Equivalent egocentrism but differential correction. Journal of Experimental Social Psychology
Snyder C. R., Lopez  Shane. 2002. Handbook of Positive Psychology. OXFORD UNIVERSITY PRESS
Vittorio Pelligra . 2011. Empathy, Guilt-Aversion, and Patterns of Reciprocity. Journal of Neuroscience, Psychology, and Economics. American Psychological Association

Peer Support - Students Helping Students


BAB 1
PENDAHULUAN

1.             Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki “pengaruh” bagi manusia yang lain. Mungkin inilah salah satu ungkapan yang mendasari munculnya manusia sebagai makhluk sosial – di samping manusia membutuhkan manusia yang lain. Dampak yang diberikan oleh manusia yang satu kepada manusia yang lain dapat bersifat positif maupun negatif, seperti meningkatknya perilaku penyimpangan kelompok tertentu akan berdampak juga pada penyimpangan individu. Berdasarkan teori perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson, usia yang sangat rentan terhadap pengaruh sosial adalah pada usia remaja (adolescence) yang berkisar antara 12-18 tahun. Pada masa ini, remaja akan mencari identitasnya dengan secara tidak langsung bertanya pada dirinya, “siapa saya dan kemana saya nantinya kelak?”. Umumnya untuk menjawab pertanyaan di atas, remaja cenderung mengharapkan pengakuan dari oranglain yang sebaya dengannya sehingga menyebabkan remaja rentan terhadap pengaruh sosial yang bersumber dari luar dirinya. Hal ini ditunjukan dengan Hasil Penelitian yang menyatakan bahwa para remaja memiliki kerentanan terhadap pengaruh teman sebaya, sehingga memungkinkan besar penyebab remaja menjadi menyimpang mengikuti rekan-rekan mereka yang sesat (Pruitt, 1999). Ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa menjadi penggunaan narkoba sangat berkorelasi dengan rekan-rekan yang mendorong penggunaan narkoba (Oetting & Beauvais, 1987). Seringkali remaja larut dalam aktivitas kelompok sebaya yang negatif seperti merokok, pergaulan bebas, tawuran, penyalahgunaan narkoba, meminum minuman keras, kesehatan reproduksi remaja (HIV/AIDS), penyakit menular seksual, dll.
Berdasarkan pengumpulan data di lapangan, terdapat kurang lebih 240 kasus tawuran antar pelajar dan mahasiswa pada tahun 2008 (Sumber: Institut Titian Perdamaian). Untuk kasus free-sex, berdasarkan hasil survey KPAI, menyatakan bahwa sebanyak 32% remaja usia 14-18 tahun di indonesia pernah berhubungan seks. (Sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Dan untuk kasus HIV/AIDS, data yang diperoleh dari Ditjen PP & PL Depkes RI terdapat 4.969 kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2010.
Menurut Latané, perilaku menyimpang akan meningkat seiring dengan jumlah sumber dampak yang ditimbulkan oleh lingkungan sosial. Pada usia remaja, yang menjadi sumber dampak bagi dirinya adalah teman sebaya atau kelompok sebaya. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pengaruh teman sebaya telah muncul selama 50 tahun terakhir menjadi sumber utama dari nilai-nilai dan pengaruh perilaku pada masa remaja, menggantikan pengaruh orang dewasa. Bahkan Carr (1981) menyatakan bahwa hanya sebagian kecil siswa yang memanfaatkan dan bersedia berkonsultasi langsung dengan orang dewasa.
Para siswa lebih sering menjadikan teman-teman mereka sebagai sumber yang diharapkan dapat membantu pemecahan masalah pribadi-sosial yang mereka hadapi. Para siswa tetap menjadikan teman-teman mereka sebagai sumber pertama dalam mempertimbangkan pengambilan keputusan pribadi, perencanaan karir, melanjutkan pendidikan formal penyesuaian diri, menghadapi konflik dan pergaulan. Perkembangan remaja sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam konteks sosial, seperti relasi dengan teman sebaya. Laursen (2005 : 137) menandaskan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Penegasan Laursen dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat modern seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan teman sebaya mereka (Steinberg, 1993 : 154).
Berdarkan fenomena yang terja di di sekolah, sebagian (besar) siswa lebih sering membicarakan masalah-masalah serius mereka dengan teman sebaya, dibandingkan dengan orang tua dan guru pembimbing. Untuk masalah yang sangat seriuspun (misalnya, hubungan seksual dan kehamilan di luar nikah, dan keinginan melakukan aborsi) mereka bicarakan dengan teman, bukan dengan orang tua atau guru mereka. Kalaupun terdapat beberapa siswa yang akhirnya menceritakan kehamilan atau hubungan seksual mereka kepada orang tua atau guru pembimbing, biasanya karena sudah terpaksa (pembicaraan dan upaya pemecahan masalah bersama teman sebaya mengalami jalan buntu). Hal ini menunjukan bahwa pada masa remaja, self-disclosure siswa terhadap teman sebayanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kepada guru atau orangtua. Oleh karena itu, teman sebaya atau peers memiliki fungsi penting dalam kelompok teman sebaya yaitu memberikan sumber informasi dan komparasi tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka. Anak-anak menilai apa-apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang anak-anak lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya) (Santrock, 2004 : 287). Hubungan yang baik di antara teman sebaya akan sangat membantu perkembangan aspek sosial anak secara normal. Anak pendiam yang ditolak oleh teman sebayanya, dan merasa kesepian berisiko menderita depresi. Anak-anak yang agresif terhadap teman sebaya berisiko pada berkembangnya sejumlah masalah seperti kenakalan dan drop out dari sekolah. Gladding (1995 : 113-114) mengungkapkan bahwa dalam interaksi teman sebaya memungkinkan terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi.
Hasil ini memiliki implikasi untuk bagaimana penyimpangan dapat ditangani dan dicegah. Karena penelitian menunjukkan hubungan positif yang kuat antara penyimpangan dari individu dengan kelompok sebaya yang menyimpang, jelas bahwa penting untuk memilih kelompok teman sebaya dengan bijak dan penting bagi orangtua untuk menyadari pengaruh potensial pada anak-anak mereka. Proses-proses tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas pada remaja. Penelitian yang dilakukan Willard Hartup (1996, 2000, 2001; Hartup & Abecassiss, 2002; dalam Santrock, 2004 : 352) selama tiga dekade menunjukkan bahwa sahabat dapat menjadi sumber-sumber kognitif dan emosi sejak masa kanak-kanak sampai dengan masa tua. Sahabat dapat memperkuat harga diri dan perasaan bahagia. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Cowie and Wellace (2000 : 8) juga menemukan bahwa dukungan teman sebaya banyak membantu atau memberikan keuntungan kepada anak-anak yang memiliki problem sosial dan problem keluarga, dapat membantu memperbaiki iklim sekolah, serta memberikan pelatihan keterampilan sosial. Berndt (1999) mengakui bahwa tidak semua teman dapat memberikan keuntungan bagi perkembangan. Perkembangan individu akan terbantu apabila anak memiliki teman yang secara sosial terampil dan bersifat suportif. Sedangkan teman-teman yang suka memaksakan kehendak dan banyak menimbulkan konflik akan menghambat perkembangan (Santrock, 2004 : 352).
Konformitas terhadap pengaruh teman sebaya dapat berdampak positif dan negatif. Beberapa tingkah laku konformitas negatif antara lain menggunakan kata-kata jorok, mencuri, tindakan perusakan (vandalize), serta mempermainkan orang tua dan guru. Namun demikian, tidak semua konformitas terhadap kelompok sebaya berisi tingkah laku negatif. Konformitas terhadap teman sebaya mengandung keinginan untuk terlibat dalam dunia kelompok sebaya seperti berpakaian sama dengan teman, dan menghabiskan sebagian waktunya bersama anggota kelompok. Tingkah laku konformitas yang positif terhadap teman sebaya antara lain bersama-sama teman sebaya mengumpulkan dana untuk kepentingan kemanusiaan (Santrock, 2004 : 415). Teman sebaya juga memiliki peran yang sangat penting bagi pencegahan penyalahgunaan Napsa dikalangan remaja. Hubungan yang positif antara remaja dengan orang tua dan juga dengan teman sebayanya merupakan hal yang sangat penting dalam mengurangi penyalahgunaan Napsa (Santrock, 2004 : 283). Memperhatikan pentingnya peran teman sebaya, pengembangan lingkungan teman sebaya yang positif merupakan cara efektif yang dapat ditempuh untuk mendukung perkembangan remaja. Dalam kaitannya dengan keuntungan remaja memiliki kelompok teman sebaya yang positif, Laursen (2005 : 138) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang positif memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan katarsis, serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan pandangan-pandangan baru. Lebih lanjut Laursen menegaskan bahwa kelompok teman sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk membantu orang lain, dan mendorong remaja untuk mengembangkan jaringan kerja untuk saling memberikan dorongan positif. Interaksi di antara teman sebaya dapat digunakan untuk membentuk makna dan persepsi serta solusi-solusi baru. Budaya teman sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk menguji keefektivan komunikasi, tingkah laku, persepsi, dan nilai-nilai yang mereka miliki. Hasil penelitian menunjukan bahwa remaja yang berhasil mengatasi berbagai rintangan pada masa remaja adalah mereka yang menjadikan rintangan dan berbagai kegagalan sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit meraih keberhasilan, membentuk kelompok sebaya untuk saling menguatkan, dan pada akhirnya berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar.
Budaya teman sebaya yang positif sangat membantu remaja untuk memahami bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi berbagai tantangan. Budaya kelompok teman sebaya yang positif dapat digunakan untuk membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja.

2.             Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka, penulis membuat rumusan masalah, yaitu: “Bagaimana cara mengoptimalkan pengaruh teman sebaya (peers) yang positif dalam menangani masalah-masalah yang terjadi pada masa remaja yang dikenal dengan periode “storm and stress” ?

3.             Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka, penulis dalam penulisan makalah ini bermaksud untuk menemukan jawaban atas strategi/model intervensi yang sesuai dengan konsep diri remaja dalam menangani masalah dan meningkatkan kualitas hidup remaja (siswa) di sekolah.


BAB II
PEMBAHASAN

Berdasarkan kajian di atas, konselor sebagai tenaga pendidik di sekolah, dapat mengambil kesempatan ini untuk membantu siswa melalui periode “storm and stress” dengan memberdayakan (empowerment) teman-teman atau kelompok sebaya mereka. Keeratan (attachment), keterbukaan dan perasaan senasib yang muncul diantara sesama remaja dapat menjadi peluang bagi upaya fasilitasi perkembangan remaja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun budaya teman sebaya yang positif adalah dengan mengembangkan konseling teman sebaya dalam komunitas remaja.
 Dukungan sebaya terjadi ketika individu berbagi pengetahuan, pengalaman, emosi, bantuan sosial atau praktis bagi satu sama lain. Dukungan sebaya biasanya digunakan untuk menbantu rekan-rekan, anggota organisasi untuk saling memberikan dukungan secara timbal balik.


A.           TEORI YANG MENDASARI

Efektivitas dukungan sebaya diyakini berasal dari berbagai proses psikososial yang dijelaskan oleh Mark Salzer pada tahun 2002 seperti social support. Dukungan sosial adalah adanya interaksi psikososial yang positif dengan orang lain dengan saling percaya dan perhatian. Hubungan positif ini berkontribusi terhadap penyesuaian positif dan penopang terhadap stres dan kesulitan dengan memberikan dukungan emosional, berupa: harga diri, kedekatan, dan keyakinan, dan dukungan instrumental berupa: materi barang dan jasa, serta dukungan informasi, berupa: saran, bimbingan, dan umpan balik.
Terdapat tiga jenis dukungan sosial, dan masing-masing memiliki hubungan berbeda: 1) Dukungan penerima terhadap persepsi, 2) mendukung tindakan yang dilakukan, dan 3) sejauh mana seseorang terintegrasi dalam hubungan sosial.  Selain itu, ada tiga jenis utama penyebab dukungan sosial: 1) kepribadian dari orang yang menerima dukungan, 2) aspek-aspek obyektif yang mendukung penyedia dukungan, serta 3) hubungan antara penerima dan penyedia dukungan secara khusus.

Sub-tipe Dukungan Sosial
Terdapat tiga subtipe dari dukungan sosial: perceived support, enacted support, and social integration (Barrera, 1986). Dirasakannya dukungan mengacu pada penilaian subjektif penerima bahwa penyedia dukungan akan menawarkan (atau telah menawarkan) bantuan yang efektif selama dukungan itu dibutuhkan. Dukungan yang diterima mengacu pada tindakan suportif tertentu (misalnya, saran atau jaminan) yang ditawarkan oleh penyedia dukungan pada saat dibutuhkan. Integrasi sosial mengacu pada sejauh mana penerima terhubung dalam jaringan sosial.
Hubungan keluarga, teman, dan keanggotaan dalam kelompok dan organisasi memberikan kontribusi untuk integrasi sosial. Anehnya, ketiga bentuk dukungan sosial tidak terkait satu sama lain dan masing-masing memiliki pola yang berbeda dalam hubungannya dengan kesehatan, kepribadian, dan hubungan pribadi (Barrera, 1986; Uchino, 2009). Sebagai contoh, perceived support secara konsisten dikaitkan dengan kesehatan mental yang lebih baik sedangkan enacted support and social integration tidak terdapat hubungan dengan kesehatan mental (Barrera, 1986; Uchino, 2009). Sebaliknya, social integration dikaitkan secara konsisten dengan hasil kesehatan fisik (misalnya, kematian, penyakit jantung) (Uchino, 2009). enacted support tidak terkait secara konsisten dengan kesehatan baik fisik atau mental (Barrera, 1986; Uchino, 2009). Jika ada, enacted support terkait dengan kesehatan mental buruk (Bolger, Zuckerman & Kessler, 2000).

Penyebab Perceived Support
Ada tiga jenis utama penyebab perceived support: pengaruh sifat penerima, pengaruh penyedia bantuan, dan pengaruh relasional (Lakey, 2010; Lakey, McCabe, Fisicaro & Drew, 1996). Ini dapat didefinisikan dan hal ini dapat diukur. Pengaruh Penerima dukungan mencerminkan perbedaan antara penerima dalam persepsi mereka mengenai penyedia, rata-rata di seluruh penyedia layanan. Sebagai contoh, Penerima bantuan mungkin melihat semua penyedia sebagai lebih mendukung daripada Penerima. Kita tahu bahwa perbedaan bantuan rata-rata antara penerima tidak mencerminkan karakteristik dari penyedia, melainkan mencerminkan sifat-seperti karakteristik kepribadian dari penerima . Pengaruh penyedia mencerminkan perbedaan antara penyedia, rata-rata dari penerima. Penyedia mencerminkan pengaruh kesepakatan antara penerima bahwa beberapa penyedia lebih mendukung dibandingkan penyedia lain. Dengan demikian, pengaruh-pengaruh mencerminkan sejauh mana penyedia secara objektif mendukung (yaitu, penerima setuju pada siapa yang paling mendukung). Pengaruh relasional mencerminkan ketidaksepakatan di antara penerima secara sistematis tentang dukung relatif dari penyedia.
Dukungan sosial secara konsisten terkait dengan kesehatan mental dan fisik. Sehubungan dengan kesehatan mental, orang dengan dukungan sosial yang rendah berdasarkan laporan sub-klinis memiliki gejala depresi dan kecemasan lebih tinggi jika dibandingkan orang dengan dukungan sosial yang tinggi (Barrera, 1986; Cohen & Wills, 1985). Selain itu, orang dengan dukungan sosial yang rendah memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap gangguan mental jika dibandingkan dengan dukungan orang dengan dukungan sosial yang tinggi. Meliputi gangguan stres pasca trauma (Brewin, Andrews, & Valentine, 2000), gangguan panik (Huang, Yen & Paru, 2010), fobia sosial (Torgrud, Walker, Murray, Cox, Chartier, Kjernisted, 2004), depresi (Lakey & Cronin, 2008), dan gangguan makan (Stice, 2002; Grisset & Norvell, 1992). Selain itu, orang dengan dukungan yang lebih rendah memiliki keinginan bunuh diri (Casey et al, 2006.) Dan konsumsi alkohol dan obat-obatan (narkoba) lebih tinggi (Stice, Barrera & Chassin, 1998; Wills & Cleary, 1996). Hasil serupa juga telah ditemukan pada anak-anak (Chu, Saucier & Hafner, 2010). Mengenai kesehatan fisik, orang dengan dukungan sosial yang rendah meninggal lebih cepat dibandingkan orang dengan dukungan yang tinggi (Holt-Lunstad, Smith & Layton, 2010; Uchino, 2009).
Pada dasarnya peer supporting merupakan suatu cara bagi para siswa (remaja) belajar bagaimana memperhatikan dan membantu anak-anak lain (Carr, 1981 : 3). Peer supporting menempatkan keterampilan-keterampilan komunikasi untuk memfasilitasi eksplorasi diri. Peer supporter adalah para siswa (remaja) yang memberikan bantuan kepada siswa lain – sehingga terjadi interaksi saling membantu (I help you and you help me) – reciprocal peers. Pada hakekatnya peer supporting adalah proses saling membantu dan menopang antar sesama siswa. Dukungan dari sebaya di sekolah atau dalam konteks pendidikan dapat berupa:



1.             Peer educating and mentoring
Rekan mentoring berlangsung dalam lingkungan belajar seperti sekolah, biasanya antara seorang siswa yang lebih berpengalaman yang lebih tua dan seorang mahasiswa baru. Mentor rekan muncul terutama di sekolah menengah dimana siswa bergerak naik dari sekolah dasar (SD) mungkin membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan ke dalam jadwal dan gaya hidup baru dari kehidupan sekolah menengah.
2.             Peer advisor and listening
Bentuk dukungan sebaya secara luas digunakan dalam sekolah-sekolah. Peer supporting dilatih dari dalam sekolah atau universitas, atau kadang-kadang oleh organisasi luar untuk menjadi "pendengar aktif" serta memberikan advice kepada rekan-rekannya. Di sekolah-sekolah,  peer supporting seperti ini yang biasanya dapat dilakukan pada waktu istirahat atau makan siang.
3.             Peer mediation
Mediasi rekan adalah cara penanganan insiden intimidasi dengan membawa korban dan menggertak bersama di bawah mediasi oleh salah satu rekan mereka
4.             Self help group
Seorang pembantu rekan dalam dengan orang dewasa muda dalam melakukan self help. Mereka mungkin memberikan bantuan dengan taktik self help group: memberikan dukungan emosional, dukungan pelatihan, dan dukungan sosial.  Dalam model peer supporting, terdapat hubungan antara Konselor, dan kelompok teman sebaya (peer supporting).


B.       METODE PELAKSANAAN PEER SUPPORTING

Peer Supporting di sekolah dilaksanakan melalui proses penelitian tindakan (Mc Niff, 1988; Walker, 1997) yang memungkinkan untuk dilakukannya evaluasi yang terus menerus dan penyesuaian dalam proses pelaksanaannya. The systems (Capra, 1997; Hanson, 1995) and social construction (Fullan, 1991; Shimp, 2001) theories were used as theoretical frameworks in the planning of the intervention and in the interpretation of feedback obtained by means of the evaluation processes. Sistem (Capra, 1997; Hanson, 1995) dan konstruksi sosial (Fullan, 1991; Shimp, 2001) teori-teori yang digunakan sebagai kerangka teoritis dalam perencanaan intervensi dan dalam penafsiran umpan balik yang diperoleh melalui proses evaluasi. Various processes in the implementation of the programme will be discussed.Berbagai proses dalam pelaksanaan program akan dibahas.

1.        Pemilihan Calon ”Peer Supporter”.
Meskipun keterampilan pemberian bantuan dapat dikuasai oleh siapa saja, faktor kesukarelaan dan faktor kepribadian pemberi dukungan (peer supporter) ternyata sangat menentukan keberhasilan pemberian dukungan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan calon peer supporter. Dalam proses pemilihan peer supporter, The Department of Education selected thirteen schools to represent the population composition in the area.Dinas Pendidikan dapat memilih beberapa sekolah untuk mewakili komposisi populasi dimana sekolah tersebut terkenal karena memiliki banyak pelajar yang mengalami masalah psikososial.
In each participating school, ten peer supporters were selected during the first year of implementation.Masing-masing sekolah yang telah dipilih, sepuluh siswa dipilih sebagai “peer supporter” selama tahun pertama pelaksanaan. During the second year an additional five to ten supporters were trained for each school, resulting in a group of 170 peer supporters after the second year of implementation. Selama tahun kedua suatu 5-10 siswa ditambahkan untuk dilatih pada setiap sekolah. In the first year, teachers selected peer supporters from learners who volunteered. Pada tahun pertama, guru memilih peer supporter dari siswa yang mengajukan diri. The following criteria were used in the selection of peer supporters: Kriteria berikut yang dapat digunakan dalam pemilihan peer supporter antara lain:
a.         Learners had to be in Grades 9 to 11 (ages 14–18 years), to ensure that they could act as peer supporters for more than one year before leaving schoPeserta didik harus berada di kelas XI untuk tingkatan SMA dan kelas VII untuk tingkatan SMP, hal ini untuk memastikan bahwa para siswa tersebut dapat bertindak sebagai peer supporter dalam waktu yang lebih dari satu tahun sebelum meninggalkan sekolah.
b.         `Calon • Learners had to display characteristics such as openness, approachability and good interpersonal relationshpeer supporter harus menampilkan karakteristik seperti keterbukaan, didekati dan hubungan interpersonal yang baik.
In the second year of implementation learners in the schools voted for the candidates they wanted as peer supporters.Pada tahun kedua pelaksanaan peserta didik di sekolah-sekolah memilih calon yang mereka inginkan sebagai peer supporter. This was done to involve the learners in the school in the selection of peer supporters and to raise their awareness of this helping system. Hal ini dilakukan untuk melibatkan peserta didik di sekolah dalam pemilihan peer supporter dan untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang sistem bantuan yang dibangun.

2.        Pelatihan Calon ”Peer Supporter”.
Pelatihan calon ”peer supporter” bertujuan untuk meningkatkan jumlah remaja yang memiliki dan mampu menggunakan keterampilan-keterampilan pemberian dukungan (support). Training is the process of developing skills to implement an intervention and to form shared meanings between consultants and participants (Fullan, 1992; Louis & Miles, 1990Pelatihan adalah proses mengembangkan keterampilan untuk melaksanakan intervensi dan untuk membentuk makna bersama antara konsultan dan peserta (Fullan, 1992; Louis & Miles, 1990). The peer support programme was initiated with the training of peer supporters during a 24-hour holiday workshop that was facilitated by the graduate students. Program peer supporting dimulai dengan pelatihan peer supporter selama lokakarya liburan 24-jam yang difasilitasi oleh mahasiswa pascasarjana – pengajar di S1 Bimbingan Konseling. Training was done in small groups involving the group of peer supporters from each school and focused on the following content: Pelatihan dilakukan dalam kelompok kecil yang melibatkan kelompok peer supporter dari sekolah masing-masing dan fokus pada konten berikut:
a.         Group cohesion, team building and personal grKohesivitas kelompok, membangun tim dan pertumbuhan pribadi.• An understanding of the experiences of and problems among their peers
b.         Pemahaman tentang pengalaman dan masalah di antara rekan-rekan mereka • Communication skills such as listening and empathy
c.         Keterampilan komunikasi seperti:
-            Keterampilan memperhatikan (attending skills), perilaku peer supporter untuk menghampiri teman sebayanya yang diwujudkan dalam bentuk kontak mata, bahasa tubuh dan bahasa lisan. Oleh karena itu, kemampuan attending peer supporter yang ditunjukan dengan respect, akan memudahkannya untuk membuat teman sebayanya terlibat pembicaraan dan terbuka.
-            Keterampilan mendengarkan (listening well), kemampuan peer supporter untuk menyimak atau memperhatikan penuturan teman sebayanya. peer supporter harus bisa jadi pendengar yang baik. Tanpa keterampilan ini, peer supporter tidak akan dapat menangkap pesan pembicaraan.
-            Keterampilan membuat pertanyaan terbuka (open question), kemampuan peer supporter memancing pembicaraan dengan teman sebayanya, hal ini meliputi:
a)        Kata apa lagi yang ingin anda katakan !
b)        Apa yang akan anda lakukan selanjutnya ?
c)        Bagaimana perasaan anda ?
d)       Apa yang hendak anda ingin katakan ?


d.      Keterampilan pemecahan masalah • Information about HIV/AIDS and substance abuse as psychosocial issues in the schools
e.       Informasi tentang HIV / AIDS dan penyalahgunaan narkoba sebagai masalah psikososial di sekolah atau masalah reporduksi dan lain-lain yang berkaitan dengan dunia remaja. • Organisational skills to organise group activities aimed at promoting healthy lifestyles and raising awareness of the peer support system in schools
f.       Keterampilan mengelola emosi (emotion regulation), sehingga dapat menghindari feeling sendiri (penilaian subjektif terhadap perasaan orang lain)
g.      Keterampilan mengenali ekspresi emosi orang lain (teman sebaya) – emosional awareness and self awareness
h.      Keterampilan organisasi untuk mengorganisir kegiatan kelompok yang bertujuan untuk mempromosikan gaya hidup sehat dan meningkatkan kesadaran dari sistem peer supporting di sekolah.
After the holiday workshop the training continued in the form of a one hour session per week for 10 weeks at each of the different schools, facilitated by the graduate students.Setelah lokakarya dan pelatihan berlanjut dalam bentuk sesi satu jam per minggu selama 10 minggu pada masing-masing sekolah yang berbeda, difasilitasi oleh mahasiswa pascasarjana – pengajar di S1 Bimbingan Konseling. The focus of these sessions was on building communication skills and helping the peer supporters to implement the helping system and overcome the problems encountered during the implementation process. Fokus dari tahapan ini adalah pada pembangunan keterampilan komunikasi dan membantu rekan peer supporter untuk menerapkan sistem membantu dan mengatasi masalah yang dihadapi selama proses implementasi atau pelaksanaan peer supporting. The training sessions constituted the core of the project since the peer supporters could discuss and give meaning to their roles in the school; they could voice their opinions and discuss the challenges they faced. Sesi pelatihan merupakan inti dari proyek sejak peer supporter yang bisa membahas dan memberi makna pada peran mereka di sekolah; mereka bisa menyuarakan pendapat mereka dan mendiskusikan tantangan yang mereka hadapi.
Involvement of other role-players in the school
3.        Keterlibatan Stakeholder Di Sekolah Whole-hearted participation and commitment of various role-players in the school is important for the effective implementation and sustainability of the programme.
Partisipasi dan komitmen dari berbagai stakeholder di sekolah adalah penting untuk pelaksanaan yang efektif dan keberlanjutan dari program ini. Although commitment is an evolving concept that grows with the successful implementation of a programme (Fullan, 1992), the focus in the initiation of the programme was on encouraging role players in the school community to take ownership of the programme: Meskipun komitmen adalah suatu konsep yang berkembang yang tumbuh dengan keberhasilan pelaksanaan program (Fullan, 1992), fokus dalam memulai program ini pada mendorong stakeholder dalam komunitas sekolah untuk terlibat dalam program ini:
a.       School principals were informed about the rationale of the programme and about what was expected in each schooKepala sekolah diberi informasi mengenai alasan program dan tentang apa yang diharapkan di setiap sekolah. They were also asked to state what the school would require in order to implement the project. Mereka juga diminta untuk menyatakan apa sekolah akan memerlukan dalam rangka untuk melaksanakan proyek tersebut. • One teacher in every school was invited to a workshop to discuss the goals of the project, the roles of peer supporters and the role of teachers in supporting these peer supporters.
b.      Para guru di setiap sekolah diundang ke lokakarya untuk membicarakan tentang tujuan proyek, peran peer supporter dan peran guru dalam mendukung para peer supporter. In the second year of implementation more teachers were approached to become involved in the implementation of the project, so as to support one another. Pada tahun kedua implementasi guru lebih didekati untuk terlibat dalam pelaksanaan proyek, sehingga dapat mendukung satu sama lain. • All the teachers in the participating schools were involved in a planning session to discuss the possible role of the peer supporters and how they could support them.
c.       Semua guru di sekolah berpartisipasi dan terlibat dalam sesi perencanaan untuk membahas kemungkinan peran peer supporter dan bagaimana mereka bisa mendukung satu sama lain.

4.        Pelaksanaan dan Pengorganisasian Peer Supporting.
Dalam praktiknya, interaksi ”konseling” teman sebaya lebih banyak bersifat spontan dan informal. Spontan dalam arti interaksi tersebut dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tidak perlu menunda – bilamana anggota kelompok berkumpul. Meskipun demikian prinsip-prinsip kerahasiaan tetap ditegakkan (berdasarkan kode etik konselor - ABKIN). Interaksi terjadi antara ”konselor” sebaya dengan para ”konseli” sebaya, konselor dengan ”konselor” sebaya, dan konselor dengan para konseli (kelompok konseling teman sebaya). Dan juga jika diperlukan, dapat ditentukan kelompok konseling teman sebaya, apakah bersifat kelompok terbuka (open group) atau tertutup (closed group).
Within this context, implementation involved the action taken to initiate change in the school.Dalam konteks ini, implementasi peer supporting melibatkan para siswa untuk memulai perubahan di sekolah. After attending the holiday workshop, peer supporters returned to their schools to implement the programme. Setelah menghadiri lokakarya selama waktu liburan, peer supporter kembali ke sekolah mereka untuk melaksanakan program. During the implementation stage a recursive relationship was formed between the programme content and the context of implementation where new meanings were to be created. Selama tahap implementasi hubungan rekursif dibentuk antara isi program dan konteks implementasi di mana makna baru harus diciptakan dalam lingkungan sekolah. In a cyclical manner this resulted in changes in both the programme and the context (Capra, 1997; Fullan, 1991). Dengan cara siklus ini menghasilkan perubahan di kedua pihak yaitu, program peer supporting dan konteks sekolah (Capra, 1997; Fullan, 1991). The implementation of an intervention can therefore not be planned rigidly, since processes, relationships and meanings develop as change takes place (Fullan, 1991). Pelaksanaan intervensi tidak dapat direncanakan secara kaku, karena proses, hubungan dan makna berkembang sebagai perubahan yang terjadi (Fullan, 1991). The peer supporters were therefore faced with many challenges, as will be discussed below. Karena itu, para peer supporter dihadapkan dengan banyak tantangan, seperti yang akan dibahas di bawah ini:


a.       Peran peer supporterIn each school the peer supporters could give their own meaning to their roles to encourage ownership of the project.
d.       
Ø  Mengidentifikasi dan mendukung peserta didik yang mengalami masalah psikososial dan merujuk mereka ke fasilitas membantu yang sesuai.• Facilitating change in peer group norms from within the peer group by creating a context for awareness and communication among peers about high-risk behaviour.
Ø  Memfasilitasi perubahan dalam norma-norma kelompok sebaya dari dalam kelompok sebaya dengan menciptakan konteks untuk kesadaran dan komunikasi antara rekan-rekan tentang perilaku berisiko tinggi. • Mobilising the involvement and participation of young people and other stakeholders in addressing the problems experienced by young people in schools.
Ø  Mengerahkan keterlibatan dan partisipasi kaum muda dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengatasi masalah yang dialami oleh orang-orang muda di sekolah. Creating awareness of the peer supporters

b.       Menciptakan kesadaran para pendukung rekan The peer supporters introduced themselves to the school at assembl
Para peer supporter memperkenalkan diri ke sekolah. At some of the schools they also performed plays, made posters, painted graffiti walls, organised health awareness days and distributed newsletters. Pada beberapa sekolah mereka juga tampil dalam bermain peran, membuat poster, grafiti di dinding, membuat hari kesehatan yang terorganisir dan mendistribusikan newsletter. This was done to market their services and to construct a context in the organisation of the school for them to help others. Hal ini dilakukan untuk memasarkan jasa mereka dan untuk membangun konteks dalam organisasi sekolah bagi mereka untuk membantu orang lain.

5.        Ongoing supportDukungan BerkelanjutanThe implementation process can be seen as negotiation and re-negotiation and as a continuous dealing with problems in implementation.
Proses implementasi dapat dilihat sebagai negosiasi dan negosiasi ulang atau sebagai proses yang berkelanjutan antara masalah dan pelaksanaannya. Huberman and Miles (1984:273) stress the importance of ongoing support in implementing an intervention by stating: "Large-scale changebearing innovations lived or died by the amount and quality of assistance that their users received once the change process was under way". Huberman dan Miles (1984:273) menekankan pentingnya dukungan yang berkelanjutan dalam melaksanakan intervensi
The psychology students as facilitators of the implementation process provided support, which involved developing the skills of participants, providing resources, motivating them and encouraging problem solving to overcome the obstacles they faced. Mahasiswa psikologi sebagai fasilitator dari proses implementasi memberikan dukungan, yang melibatkan pengembangan keterampilan peserta, menyediakan sumber daya, memotivasi mereka dan mendorong pemecahan masalah untuk mengatasi hambatan yang mereka hadapi. As support was needed throughout the various day-to-day experiences of peer supporters, support was built into the various levels of the implementation process: Sebagai dukungan yang dibutuhkan sepanjang hari-hari berbagai pengalaman pendukung sebaya, dukungan dibangun ke dalam berbagai tingkatan proses pelaksanaan:
a)      All training sessions were conducted in a group and involved all the peer supporters in a school so as to enhance group cohesion and support.Semua sesi pelatihan dilakukan di kelompok dan melibatkan semua pendukung sebaya di sekolah sehingga untuk meningkatkan kohesi kelompok dan dukungan. The participants were encouraged to trust and support one another in the implementation of the project. Para peserta didorong untuk kepercayaan dan dukungan satu sama lain dalam pelaksanaan proyek. • The follow-up training sessions in the schools were also used to provide support to peer supporters who experienced personal problems and difficulty in dealing with the problems of their peers.
b)      Sesi pelatihan lanjutan di sekolah-sekolah juga digunakan untuk memberikan dukungan kepada pendukung sebaya yang mengalami masalah pribadi dan kesulitan dalam berurusan dengan masalah-masalah dari rekan-rekan mereka. Through the relationship with the students as facilitators, the peer supporters gained self-knowledge and confidence in their own interpersonal skills. Melalui hubungan dengan siswa sebagai fasilitator, pendukung rekan memperoleh pengetahuan diri dan kepercayaan diri dalam kemampuan mereka sendiri interpersonal. • The role of the teachers was to support the peer supporters and to form a communication channel between peer supporters and the school management.
c)      Peran guru adalah untuk mendukung para pendukung sebaya dan untuk membentuk saluran komunikasi antara pendukung sebaya dan manajemen sekolah. • Some financial support was provided for the peer supporters to create awareness of their services and to organise awareness activities that would involve their peers.
d)     Beberapa dukungan keuangan diberikan bagi para pendukung rekan untuk menciptakan kesadaran akan layanan mereka dan untuk mengatur kegiatan kesadaran yang akan melibatkan rekan-rekan mereka. • A management committee consisting of one peer supporter and teacher from each school was formed to meet once a month with the co-ordinators of the Department of Education and the University to discuss progress in the implementation of the programme.
e)      Sebuah komite manajemen yang terdiri dari satu pendukung sebaya dan guru dari setiap sekolah dibentuk untuk memenuhi sebulan sekali dengan koordinator Departemen Pendidikan dan Universitas untuk membahas kemajuan dalam pelaksanaan program.


BAB III
REFLEKSI

1.             Refleksi Proses
An intervention may have many possible implications in a community due to the equifinal or multifinal processes that occur (Capra, 1997).Setiap intervensi mungkin memiliki implikasi bagi banyak masyarakat karena proses equifinal atau multifinal yang terjadi (Capra, 1997). Every person or every community reacts according to its own internal processes and the meanings it attaches to the intervention (Fullan, 1991). Setiap orang atau setiap masyarakat bereaksi sesuai dengan proses internalnya sendiri dan makna yang melekat pada intervensi yang diberikan (Fullan, 1991). The outcome of a process of change can therefore not be predicted and needs to be closely monitored to provide feedback that may be used in the further planning of the intervention. Hasil dari proses perubahan tidak dapat diprediksi dan perlu diawasi secara ketat untuk memberikan umpan balik yang dapat digunakan dalam perencanaan lebih lanjut dari intervensi. Various ways of monitoring the implementation of the programme were used: Refleksi dari pelaksanaan program, antara lain:
a.       The facilitators provided weekly reports on the training sessions and discussion of activities and problems experienced in implementing peer support in schools.Fasilitator memberikan laporan mingguan dari sesi pelatihan dan diskusi kegiatan dan masalah yang dialami dalam pelaksanaan peer supporting di sekolah. • Focus group discussions were held twice a year, where all the peer supporters (n=170) discussed the activities implemented in their schools, their experiences, achievements, the challenges they encountered and possible ways of improving the peer support system.
b.      Fokus pada diskusi kelompok yang diadakan dua kali setahun, di mana semua peer supporter membahas kegiatan yang dilaksanakan di sekolah mereka, pengalaman mereka, prestasi, tantangan yang mereka hadapi dan cara yang mungkin untuk meningkatkan sistem dukungan sebaya. This was also done to motivate peer supporters by exchanging ideas between schools. Hal ini juga dilakukan untuk memotivasi pendukung sebaya dengan bertukar ide antar sekolah. • Focus group discussions were held with the responsible teachers (n=13) about the activities of the peer supporters and the challenges faced in implementing the project.
c.       Fokus diskusi kelompok diadakan dengan guru yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan peer supporter dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan proyek. • Peer supporters were provided with diaries and requested to record the number of learners who had personal discussions with them, as well as the kind of problems that were discussed.
d.      Peer supporter diberi buku harian dan diminta untuk mencatat jumlah peserta didik yang memiliki diskusi pribadi dengan mereka, serta jenis masalah yang dibahas. This was done to monitor how many learners actually used the support system. Hal ini dilakukan untuk memantau berapa banyak peserta didik benar-benar menggunakan sistem pendukung. (This way of monitoring did not work effectively, because the peer supporters used it for their personal records and were not prepared to share information from their diaries. The data were subsequently obtained from the learners themselves.) (Cara ini pemantauan tidak bekerja efektif, karena pendukung sebaya yang digunakan untuk catatan pribadi mereka dan tidak siap untuk berbagi informasi dari buku harian mereka Data tersebut kemudian diperoleh dari peserta didik sendiri)
2.             Refleksi Hasil
Berdasarkan refleksi proses di atas maka, hasil yang dapat diperoleh saat melaksanakan program “peer supporting”, antara lain:
a.      Re-organisasian tim
They had to organise themselves as a team in relation to the needs in the school. Para peer supporter harus mengatur diri mereka sebagai sebuah tim dalam kaitannya dengan kebutuhan di sekolah. In some schools they nominated more learners to become peer supporters. Di beberapa sekolah, peer supporter dinominasikan lebih banyak peserta untuk menjadi pendukung sebaya. In other schools peer supporters who were not committed, dropped out. Di sekolah lain peer supporter yang tidak berkomitmen, dan keluar. There was greater commitment among peer supporters in schools where peer supporters were assigned specific roles and responsibilities. Ada komitmen yang lebih besar di antara peer supporter di sekolah di mana peer supporter ditugaskan untuk peran yang spesifik dan tanggung jawab.
b.        Giving meaning to the role of peer supporter Memberikan makna terhadap peran peer supporterIn each school the peer supporters and their teachers had to give meaning to the role of peer supporter.
Di setiap sekolah peer supporter dan guru mereka harus memberi makna untuk peran peer supporter. Teachers and peer supporters held different perspectives of what they could do and needed to construct shared meanings. Guru dan peer supporter perlu membuat perspektif yang berbeda dari apa yang bisa mereka lakukan dan dibutuhkan untuk membangun makna bersama. Some teachers felt the peer supporters should only provide information, identify learners with problems, and then inform the teachers. Beberapa guru merasa para peer supporter hanya harus menyediakan informasi, mengidentifikasi peserta didik dengan masalah, dan kemudian menginformasikannya kepada guru. However, the peer supporters shared personal and very intimate issues in their informal contact with their peers. Namun, peer supporter bersama masalah-masalah pribadi dan sangat intim dalam kontak informal dengan rekan-rekan mereka. They were scared that their peers would not trust them any more if they were to inform the teachers about problems the learners experienced, since the learners did not have a trusting relationship with the teachers. Mereka takut bahwa rekan-rekan mereka tidak akan mempercayai mereka lagi jika mereka adalah untuk menginformasikan para guru tentang masalah yang dialami peserta didik, karena peserta didik tidak memiliki hubungan saling percaya dengan para guru. The agreed upon peer supporter role therefore depended on the needs in the school, the commitment and interaction among the group of peer supporters, the peer supporter–teacher relationship, the peer supporter–student facilitator relationship and the process of implementation. Yang disepakati peran peer supporter karena tergantung pada kebutuhan di sekolah, komitmen dan interaksi di antara kelompok peer supporter, hubungan peer supporter - rekan guru, hubungan peer supporter -siswa rekan fasilitator dan proses pelaksanaan. Initially, the process of developing a shared idea of the role of peer supporter contributed to some confusion that needed to be sorted out before the project could be implemented. Awalnya, proses mengembangkan ide bersama tentang peran peer supporter menyumbang beberapa kebingungan yang harus diselesaikan sebelum proyek dapat diterapkan.

Building relationships with peers
c.               Membangun hubungan dengan teman sebaya Some of the challenges the peer supporters experienced in building relationships with their peers were the following:
Beberapa tantangan peer supporter yang berpengalaman dalam membangun hubungan dengan rekan-rekan mereka adalah sebagai berikut: • Building trusting relationships: Initially learners tried to make fun of the peer supporters and tested their acceptance with fake problems.
Ø  Membangun hubungan saling percaya: Awalnya pelajar mencoba untuk membuat menyenangkan dari pendukung sebaya dan diuji penerimaan mereka dengan masalah palsu. After the novelty of introducing the system was over, learners showed some acceptance of the project. Setelah kebaruan memperkenalkan sistem ini selesai, peserta didik menunjukkan beberapa penerimaan proyek. • Confidentiality: To develop a trusting relationship, confidentiality was needed.
Ø  Kerahasiaan: Untuk mengembangkan hubungan saling percaya, kerahasiaan diperlukan. However, peer supporters were not equipped to deal with serious psychological problems and had to get some assistance from a trusted adult or refer their peers to appropriate helping facilities. Namun, pendukung sebaya yang tidak dilengkapi untuk menangani masalah psikologis yang serius dan harus mendapatkan beberapa bantuan dari orang dewasa yang dipercaya atau merujuk teman-teman mereka untuk membantu fasilitas yang sesuai. This could easily compromise the confidentiality of the relationship and the peer supporters consequently needed training in discussing referrals with their peers. Ini dengan mudah dapat membahayakan kerahasiaan hubungan dan pendukung peer akibatnya dibutuhkan pelatihan dalam membahas referral dengan rekan-rekan mereka.• A culture of not talking about personal problems: In some of the schools, especially among white Afrikaans-speaking learners and Indian learners it was found that sharing personal information was not part of the culture in the schools.
Ø  Sebuah budaya tidak berbicara tentang masalah-masalah pribadi: Di beberapa sekolah, terutama di kalangan pelajar putih berbahasa Afrikaans pelajar dan India ditemukan bahwa berbagi informasi pribadi bukan bagian dari budaya di sekolah. To optimise the benefits of the peer support programme, this culture of silence had to be challenged. Untuk mengoptimalkan manfaat dari program dukungan sebaya, budaya diam ini harus ditantang. • Conflicting relationships: Some peer supporters experienced conflict in handling relationships with their peers.
Ø  Hubungan yang saling bertentangan: Beberapa pendukung sebaya yang mengalami konflik dalam menangani hubungan dengan teman sebaya mereka. On the one hand they were friends, while on the other they were helpers. Di satu sisi mereka teman, sementara di sisi lain mereka penolong. They also needed support in managing relationships that involved hostility and aggression, and being idealised by their peers. Mereka juga membutuhkan dukungan dalam mengelola hubungan yang melibatkan permusuhan dan agresi, dan yang ideal oleh rekan-rekan mereka. • Heavy burdens: Peer supporters sometimes had to shoulder burdens that they could not carry.
Ø  Beban yang berat: pendukung rekan kadang harus bahu beban bahwa mereka tidak bisa membawa. At times they experienced excessive responsibility in coping with their own development problems and at the same time helping their peers cope with serious issues such as rape and trauma. Pada saat mereka mengalami tanggung jawab berlebihan dalam mengatasi masalah pembangunan mereka sendiri dan pada saat yang sama membantu rekan-rekan mereka mengatasi isu-isu serius seperti perkosaan dan trauma. Latham (1997:78) wrote in this regard: "Even the most mature and responsible high school peer counselor is still a teenager, facing the same formidable challenges as his or her peers." Latham (1997:78) menulis dalam hal ini: "Bahkan yang paling dewasa dan bertanggung jawab konselor sekolah tinggi rekan masih remaja, menghadapi tantangan berat yang sama dengan nya atau teman-temannya." Therefore, these learners needed extensive training and support to deal with being a peer supporter. Oleh karena itu, pelajar diperlukan pelatihan yang ekstensif dan dukungan untuk berurusan dengan menjadi pendukung sebaya. Building relationships with teachers

d.              Membangun hubungan dengan guru In terms of the peer supporter–teacher relationships there were also barriers in implementing the projec
Dalam hal hubungan peer supporter dengan guru ada juga hambatan dalam pelaksanaan proyek. Six of the teachers responsible for the programme in their schools were enthusiastic and actively supported it. Enam dari para guru bertanggung jawab untuk program di sekolah mereka sangat antusias dan secara aktif mendukungnya. In these schools the peer supporters could implement their ideas with support from the school management. Dalam sekolah-sekolah ini pendukung sebaya yang bisa melaksanakan ide-ide mereka dengan dukungan dari manajemen sekolah. Although various interventions were made to involve all the teachers responsible for the project (and these teachers actually agreed to the importance of the project), the peer supporters in the other seven schools did not experience adequate support from their teachers. Meskipun berbagai intervensi dilakukan untuk melibatkan semua guru bertanggung jawab untuk proyek (dan guru-guru ini benar-benar menyetujui pentingnya proyek), pendukung sebaya di tujuh sekolah lain tidak mengalami dukungan yang memadai dari guru mereka. These teachers did not feel comfortable dealing with learners' emotional problems. Para guru tidak merasa nyaman dengan menangani masalah emosional peserta didik '. Without the support of the teachers the peer supporters did not have enough negotiating power in the schools to facilitate change. Tanpa dukungan dari para pendukung rekan guru tidak punya cukup kekuatan negosiasi di sekolah untuk memfasilitasi perubahan. This created much frustration among the peer supporters who were enthusiastically taking part. Hal ini menciptakan frustrasi di antara para pendukung sebaya yang antusias mengambil bagian. As a result, during the second year of implementation an increased emphasis was placed on encouraging teachers' participation and involvement. Akibatnya, selama tahun kedua implementasi peningkatan penekanan ditempatkan pada mendorong partisipasi guru dan keterlibatan.


Establishing a sustainable structure
e.              Membangun struktur yang berkelanjutan The goal of the project was to establish a sustainable structure in schools as part of the routine functioning of the school.
Tujuan dari program ini adalah untuk membentuk struktur yang berkelanjutan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari fungsi rutin sekolah. After two years of implementation the peer support system was formalised as a sub-committee of the student representative body in two schools and in another school they were assistants to the Guidance teacher. Setelah dua tahun pelaksanaan sistem dukungan sebaya ini diresmikan sebagai sub-komite dari badan perwakilan mahasiswa di dua sekolah dan di sekolah lain mereka asisten guru Bimbingan. In some schools, however, they still lacked the acceptance and support of the school management and the teachers. Di beberapa sekolah, bagaimanapun, mereka masih kekurangan penerimaan dan dukungan dari manajemen sekolah dan para guru. Support for personal problems

f.                Dukungan untuk masalah-masalah pribadi In seven of the schools the peer supporters started an office with a schedule of peer supporters available, where the learners could reach them to talk to them about personal problems
Dalam tujuh dari sekolah pendukung sebaya mulai kantor dengan jadwal rekan pendukung yang tersedia, di mana peserta didik dapat mencapai mereka untuk berbicara dengan mereka tentang masalah-masalah pribadi. They defined their role as supporters or "befrienders".Para guru disebut beberapa peserta didik untuk pendukung sebaya, dan pendukung sebaya yang meminta bantuan dari para guru dan fasilitator. In the other schools, consultation was done in a more informal way on the school grounds. Di sekolah lain, konsultasi ini dilakukan dengan cara yang lebih informal di halaman sekolah. From the focus group discussions it was concluded that there was some acceptance of the peer support system in most of the schools, since learners started to share personal experiences with them. Dari diskusi kelompok fokus disimpulkan bahwa ada beberapa penerimaan dari sistem dukungan sebaya di sebagian besar sekolah-sekolah, sejak peserta didik mulai berbagi pengalaman pribadi dengan mereka. The most important problems discussed were addictions such as smoking, alcohol and drug abuse, sexually oriented problems such as rape, pregnancy, HIV/AIDS and relationship problems, gambling, and peer pressure. Masalah yang paling penting dibahas adalah kecanduan seperti penyalahgunaan merokok, alkohol dan narkoba, masalah berorientasi seksual seperti perkosaan, kehamilan, HIV / AIDS dan masalah hubungan, perjudian, dan tekanan teman sebaya. Information and awareness activities

g.              Informasi dan kesadaran terhadap kegiatan
Another role of the peer supporters was to initiate activities to enhance learners' knowledge and awareness of psychosocial problems such as HIV/AIDS and drug abuse.Peran peer supporter adalah untuk memulai kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik dan kesadaran masalah psikososial seperti HIV / AIDS dan penyalahgunaan narkoba. Activities that they undertook included the following: Kegiatan yang mereka melakukan adalah sebagai berikut:
o  Inviting guest speakers about topical issues (9 schools)Mengundang pembicara tamu tentang isu-isu topikal (9 sekolah) • Organising AIDS and drug awareness days with speakers, drama, song and dance (6 school
o  Pengorganisasian AIDS dan hari kesadaran obat dengan speaker, lagu drama, dan tari• Presenting dramas with health messages in various classes (3 schools)
o  Menyajikan drama dengan pesan-pesan kesehatan di berbagai kelas • Initiating the establishment of a feeding scheme for needy children (3 schools)
o  Memprakarsai pembentukan skema pemberian makanan untuk anak-anak miskin • Organising safety, child protection and crime prevention programmes (3 schools)
o  Pengorganisasian keselamatan, perlindungan anak dan program pencegahan kejahatan • Developing posters and newsletters with information (2 schools)
o  Mengembangkan poster dan buletin dengan informasi • Painting a graffiti wall with preventive messages (1 school)
o  Lukisan dinding graffiti dengan pesan-pesan pencegahan • Presenting dramas for other community members and helping children with HIV in orphanages (3 schools) In three of the schools no formal activities were organised.
o  Menyajikan drama bagi anggota masyarakat lain dan membantu anak-anak dengan HIV di panti asuhan
 

Referensi

Berndt, T.J. (1999). Friends’ Influence On Students’ Adjustment To School. Educational Psychologist, 34, 15–28.
Cowie , Helen; Wallace, Patti . (2000). Peer Support In Action: From Bystanding To Standing By. Sage Publication inc.
Fernandez, et all. 2006. American Journal of Evaluation. American Journal of Evaluation, 25(4), xxx- yyy.
Grbac Steve. 2008.  How to implement a ‘Peer Support’ program in a P-6 School”.  Scotch College Junior School Melbourne Australia
Hilton, et all. 2000. Peer Support: A Theoretical Perspective. New Hampshire Department of Mental Health & Developmental Services
Lakey & Cohen. (2000). Social Support Theory and Measurement. On-line.
Laursen, Erik K. (2005). Handbook Of Peer Interaction, Relationsip And Group. New York: Guildford Publication Inc.
MacNeil & Mead. (2004). Peer Support: What Makes It Unique?. American Journal of Evaluation, 25(4), xxx- yyy.
Muro & Kottman, (1995). Guidance And Counseling In The Elementary And Middle Schools: A Practical Approach. Brown & Benchmark  (Madison, Wis.)
Nickerson, A. & Nagle, R.J. (2005). Parent And Peer Relations In Middle Childhood And Early Adolescence. Journal Of Early Adolescence,  25, 223-249.
Salzer, M., & Shear, S. L. (2002). Identifying Consumer-Provider Benefits In Evaluations Of Consumer-Delivered Services. Psychiatric Rehabilitation Journal, 25, 281–288.
Salzer, Mark. (2002). Best Practice Guidelines For Consumer-Delivered Services Developed By And Mental Health Association Of Southeastern Pennsylvania Best Practices Team Behavioral Health Recovery Management Project An Initiative Of Fayette Companies, The University Of Chicago Center For Psychiatric Rehabilitation Inc
Santrock, J (2004). A Topical Approach To Life-Span Development. Chapter 6 Cognitive Development Approaches (200 – 225). New York, Ny: Mcgraw-Hill.
Sarason & Sarason. (1985). Social Support: Theory, Research and Applications. NATO Scientific Affairs Division
Solomon, P (2004).Peer Support/Consumer Provided Services Underlying Processes, Benefits, and Critical Ingredients. Draft
Suwarjo. (2008). Konseling Teman Sebaya (Peer Counseling) Untuk Mengembangkan Resiliensi Remaja . Makalah. Disampaikan Dalam Seminar Pengembangan Ilmu Pendidikan  Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Steinberg, L. (1993). Adolescence (Third Edition).New York, Ny:  Mcgraw Hill
Visser. (2005). Implementing peer support in secondary schools: facing the challenges. South African Journal of Education. Copyright © 2005 EASA Vol 25(3)148–155
Wilson. (2002). Self-help Group in India. EDA Rural Systems Private Ltd